Cari Blog Ini

Sabtu, 12 Maret 2016

CARA MERUQYAH DENGAN MENGUNAKAN DAUN SIDIR

Cara meruqyah dengan mengunakan daun sidir (bidara)

Berkata Asy-Syekh Sulaiman Ar-Ruhaily حفظه الله ورعاه : " Disebutkan dari salaf diambil dari 7 lembar daun sidir warna hijau kemudian ditumbuk sampai hancur kemudian dicambur dengan air Kemudian dibacakan ayat-ayat sihir...."

📡 Dengarkan audionya :
https://www.dropbox.com/s/m2vj50p71d2776d/Cararuqyahdgnsidir.mp3?dl=0

_________________

وهذ كلام الشيخ محمد بن صالح العثيمين نقلا عن موقعه الرسمي

يؤتى بماء فيدق سبع ورقات من ورق السدر وتوضع في هذا الماء ويقرأ فيه أو ينفث فيه بمثل قوله تعالى (ما جئتم به السحر إن الله سيبطله) وغيرها من الآيات التي تفيد بطلان السحر ويسقى المريض المصاب بالسحر

من فتاوى نور على الدرب (نصية) : التوحيد والعقيدة

🇲🇨 Dan ini ucapan Asy-Syekh muhammad bin shalih al u'tsaimin rahimahullah dinukil dari web resmi beliau:Sediakan air kemudian tumbuk tujuan lembar dari daun sidir (bidara) dan letak daun (yg sdh ditumbuk) di dalam air (sdh disediakan) dan membacakan padanya ayat ayat sihir
Seperti ayat ( ما جئتم به السحر إن الله سيبطله ) dan diminumkan kepada pasien yang sakit terkenak sihir .

Dari fataawa nurun a'lal darb : tauhid dan aqidah .

Sumber :
http://www.sahab.net/forums/?showtopic=90832

http://fawaidilmiyahwaddurus.blogspot.co.id/2016/03/cara-meruqyah-dengan-mengunakan-daun.html?m=1

Hukum Pajak Dan Kerja Di Kantor Pajak

Hukum Pajak Dan Kerja Di Kantor Pajak

Saya telah memperoleh ijazah perpajakan dan saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepada Anda terkait hukum bekerja di instansi perpajakan.

Pertama, apakah saya boleh bekerja di instansi perpajakan dan apakah secara syar’i bekerja di sana hukumnya halal?

Kedua, apakah mewajibkan pajak di samping zakat diperbolehkan di negara Islam?

Ketiga, apabila bekerja di instansi perpajakan diperbolehkan, maka bagaimana memahami hadits yang mencela pajak dan pemungutnya?

Saya berharap Anda dapat menghilangkan kegalauan saya dalam permasalahan ini. Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan. Wassalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

Jawaban Syaikh Muhammad ‘Ali Farkus –hafizhahullah– :

الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على محمد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمّا بعد

Sebelum masuk ke dalam jawaban pertanyaan di atas, kita perlu membedakan antara dua jenis pajak yang dinamakan oleh sebagian ahli fikih dari kalangan Malikiyah dengan “al-wazhaif” atau “al-kharraj“; dan di kalangan ulama Hanafiyah dinamakan dengan “an-nawaib“, yaitu pengganti pajak perorangan dari Sultan; sedangkan di sebagian ulama Hanabilah dinamakan dengan “al-kalf as-sultaniyah“, kedua jenis pajak ini terbagi menjadi :

Pajak yang diambil secara adil dan memenuhi berbagai syaratnya.

Pajak yang diambil secara zhalim dan melampaui batas.

Pajak yang diwajibkan oleh penguasa muslim karena keadaan darurat untuk memenuhi kebutuhan negara atau untuk mencegah kerugian yang menimpa, sedangkan perbendaharaan negara tidak cukup dan tidak dapat menutupi biaya kebutuhan tersebut, maka dalam kondisi demikian ulama telah memfatwakan bolehnya menetapkan pajak atas orang-orang kaya dalam rangka menerapkan mashalih al-mursalah dan berdasarkan kaidah “ تفويت الأدنى المصلحتين تحصيلا لأعلاهما
(sengaja tidak mengambil mashlahat yang lebih kecil dalam rangka memperoleh mashalat yang lebih besar)
dan kaidah

يتحمل ضرر الخاص لدفع ضرر العام

(menanggung kerugian yang lebih ringan dalam rangka menolak kerugian yang lebih besar).

Pendapat ini juga didukung oleh Abu Hamid al-Ghazali dalam al-Mustashfa dan asy-Syatibhi dalam al-I’tisham ketika mengemukakan bahwa jika kas Bait al-Maal kosong sedangkan kebutuhan pasukan bertambah, maka imam boleh menetapkan iuran yang sesuai atas orang-orang kaya.

Sudah diketahui bahwa berjihad dengan harta diwajibkan kepada kaum muslimin dan merupakan kewajiban yang lain di samping kewajiban zakat.

Allah ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar [Al Hujuraat:15]

dan firman-Nya,

انْفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

Berangkatlah kamu baik dalam Keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah [At Taubah: 41].

وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan [Al Baqarah: 195].

تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui [Ash Shaff: 11].

Dengan demikian, merupakan salah satu hak penguasa kaum muslimin adalah menetapkan sejumlah iuaran kepada setiap orang yang mampu untuk menanggung beban jihad.

Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh pengarang Ghiyats al-Umam dan juga pendapat An Nawawi dan ulama Syafi’iyah yang lain, dimana mereka merajihkan pendapat bahwa kalangan kaya dari kaum muslimin berkewajiban membantu kaum muslimin dengan harta selain zakat.

Termasuk dari apa yang kami sebutkan, (pungutan dari) berbagai fasilitas umum yang bermanfaat bagi seluruh individu masyarakat, yaitu (yang memberikan) manfaat kepada seluruh masyarakat dan perlindungan mereka dari segi keamanan (militer) dan ekonomi yang tentunya membutuhkan biaya (harta) untuk merealisasikannya sementara hasil dari zakat tidak mencukupi. Bahkan, apabila dakwah kepada Allah dan penyampaian risalah-Nya membutuhkan dana (maka kewajiban pajak dapat diterapkan untuk memenuhi keperluan itu), karena merealisasikan hal tersebut merupakan kewajiban bagi tokoh kaum muslimin dan biasanya seluruh hal itu tidak dapat terpenuhi dengan hanya mengandalkan zakat. Kewajiban tersebut hanya bisa terealisasi dengan penetapan pajak di luar kewajiban zakat.

Oleh karena itu, kewajiban ini ditopang kaidah

“ما لا يتم الواجب إلا به فهو الواجب“

(sesuatu dimana sebuah kewajiban tidak sempurna kecuali denganya, maka sesuatu itu bersifat wajib)

Kemudian, setiap individu yang memanfaatkan fasilitas umum yang telah disediakan oleh pemerintah Islam untuk dimanfaatkan dan untuk kemaslahatan individu, maka sebaliknya sudah menjadi kewajiban setiap individu untuk memberi kompensasi dalam rangka mengamalkan prinsip

الغرم بالغنم

(Tanggungan kewajiban seimbang dengan manfaat yang diambil).

Namun, ketetapan ini terikat dengan sejumlah syarat, yaitu :

1.Baitul maal mengalami kekosongan dan kebutuhan negara untuk menarik pajak memang sangat dibutuhkan sementara sumber pemasukan negara yang lain untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak ada.

2.Pajak yang ditarik wajib dialokasikan untuk berbagai kepentingan umat dengan cara yang adil.

3.Bermusyawarah dengan ahlu ar-ra’yi dan anggota syura dalam menentukan berbagai kebutuhan negara  yang membutuhkan dana tunai dan batas maksimal sumber keuangan negara dalam memenuhi kebutuhan tersebut disertai pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian dana tersebut dengan cara yang sejalan dengan syari’at.

4.Pajak jenis ini, yang dibagikan secara adil dan dengan cara yang benar telah disebutkan oleh para ahli fikih empat madzhab dengan penamaan yang berbeda-beda sebagaimana hal ini didukung oleh perbuatan ‘Umar in al-Khathab radliallahu ‘anhu di masa kekhalifahannya, dimana beliau mewajibkan pajak sebesar 10% kepada para pedagang ahlu al-harb, sedangkan untuk pedagang ahlu adz-dzimmah sebesar 5%, dan 2,5% bagi pedagang kaum muslimin.

Sedangkan pajak jenis kedua yang diambil secara tidak wajar dan zhalim, maka hal itu tidak lain merupakan bentuk penyitaan sejumlah harta yang diambil dari pemiliknya secara paksa tanpa ada kerelaan darinya. Hal ini menyelisihi prinsip umum syari’at Islam yang terkait dengan harta, yaitu hukum asal dalam permasalahan harta adalah haram diganggu karena berpedoman pada dalil-dalil yang banyak, diantaranya adalah sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لا يحلّ مال امرئ مسلم إلاّ بطيب نفس منه
أخرجه الدارقطني (300 ) وأحمد (5/72) وأبو يعلى والبيهقي (6/100)، والحديث صححه الألباني في الإرواء (5/279) رقم (1459)، وفي صحيح الجامع (7539)

(Tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari jiwanya.)

من قتل دون ماله فهو شهيد

رواه البخاري كتاب المظالم، باب من قاتل دون ماله، ومسلم كتاب الإيمان، باب الدليل على أن من قصد أخذ مال غيره بغير حق.. والترمذي كتاب الديات باب ما جاء فيمن قتل دون ماله فهو شهيد، والنسائي: كتاب تحريم الدم باب من قتل دون ماله

(Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka dia syahid.)
HR Bukhori, Muslim,At-Tirmidzi,An-Nasa’i dan Ahmad

ألا إنّ دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام

رواه البخاري كتاب العلم باب قول النبي ربّ مبلغ أوعى من سامع ومسلم كتاب القسامة ، باب تغليظ تحريم الدماء والأعراض والأموال عن ابي بكرة والترمذي كتاب الفتن باب ما جاء في دماءكم وأموالكم عليكم حرام وابن ماجه كتاب المناسك باب الخطبة يوم النحر وأحمد(5/443) رقم (18487) واللفظ له من حديث عمرو بن الأحوص رضي الله عنه

(Sesungguhnya darah-darah kalian, harta-harta dan kerhormatan-kehormatan kalian adalah haram atas sesama kalian)

Berdasarkan hal ini, maka berbagai hadits, baik yang shahih maupun yang tidak, yang mencela para pemungut pajak dan mengaitkannya dengan siksa yang berat, kesemuanya dibawa kepada makna pajak yang diberlakukan secara tidak wajar dan zhalim, yang diambil dan dialokasikan tanpa hak dan tanpa adanya pengarahan. Hal ini berarti pegawai yang dipekerjakan untuk memungut pajak dipergunakan oleh para raja dan penguasa serta pengikutnya untuk memenuhi kepentingan dan syahwat mereka dengan mengorbankan kaum fakir dan rakyat yang tertindas. Gambaran inilah yang dikatakan oleh adz-Dzahabi dalam al-Kabair dengan komentarnya,

المكاس من أكبر أعوان الظلمة، بل هو من الظلمة أنفسهم، فإنّه يأخذ ما لا يستحق ويعطيه لمن لا يستحق

Pemungut pajak adalah salah satu pendukung tindak kezhaliman, bahkan dia merupakan kezhaliman itu sendiri, karena dia mengambil sesuatu yang bukan haknya dan memberikan kepada orang yang tidak berhak.

Inilah kondisi riil yang tersebar luas di pelosok dunia ketika Islam telah berkembang. Berbagai pajak yang tidak wajar diwajibkan oleh beberapa pemerintahan pada saat ini di tengah-tengah manusia dan atas kaum fakir, khususnya kaum muslimin. Kemudian, pajak tersebut disetorkan kepada para pemimpin, penguasa dan kalangan elit, yang pada umumnya digunakan untuk memenuhi syahwat dan kesenangan mereka dan hal itu tertuang dalam berbagai protokol resmi kenegaraan ketika menerima tamu dari kalangan para raja dan pemimpin. Demikian pula pajak tersebut dialokasikan untuk mendanai berbagai pesta dan festival yang di dalamnya terdapat kemaksiatan dan minuman keras, mempertontonkan aurat, pertunjukan musik dan tari serta kegiatan batil lainnya yang jelas-jelas membutuhkan biaya yang mahal.

Maka, pajak jenis ini seperti yang dinyatakan oleh sebagian ulama bahwa pajak tersebut justru dipungut dari kalangan miskin dan dikembalikan kepada kalangan kaya.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan ruh zakat yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya,

تؤخذ من أغنيائهم و ترد على فقرائهم

رواه البخاري كتاب الزكاة باب وجوب الزكاة ومسلم كتاب الإيمان باب الدعاء إلى الشهادتين وشرائع الإسلام وأبو داود كتاب الزكاة باب في زكاة السائمة والترمذي كتاب الزكاة باب ما جاء في كراهية أخذ خيار المال في الصدقة والنسائي كتاب الزكاة باب وجوب الزكاة وابن ماجه كتاب الزكاة باب فرض الزكاة وأحمد (1/386) رقم (2072) من حديث ابن عباس

(Zakat itu diambil dari kalangan kaya dan serahkan kepada kalangan fakir)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka seorang muslim yang peduli akan agamanya berkewajiban menjauhi segala bentuk keharaman dan kemaksiatan serta menjauhkan diri dari setiap pekerjaan yang justru akan memperbanyak dosa dan mengotori harta yang dimilikinya.

Sebagaimana dia berkewajiban untuk tidak menjadi alat dan perantara untuk memaksa dalam tindak kezhaliman yang digunakan oleh para pelakunya dalam  membebani manusia dengan berbagai pungutan harta.

Bahkan, bisa jadi dia termasuk pelaku kezhaliman itu sendiri, karena biasanya seorang yang berserikat dengan para pelaku kezhaliman dan berbagi harta yang haram dengan mereka, (maka hal itu juga merupakan tindak kezhaliman), karena syari’at apabila mengharamkan suatu aktivitas, maka uang yang diperoleh dari aktivitas tersebut juga haram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قاتل الله اليهود لمّا حرّم عليهم شحومها جملوه ثمّ باعوه فأكلوا ثمنه

رواه البخاري كتاب البيوع باب بيع الميتة والأصنام ومسلم كتاب المساقاة باب تحريم الخمر والميتة والخنزير والأصنام وأبو داود كتاب الإجارة باب في ثمن الخمر والميتة والترمذي كتاب البيوع باب ما جاء في بيع جلود الميتة والأصنام,والنسائي كتاب الفرع والعتيرة باب النهي عن الانتفاع بشحوم الميتة وابن ماجه كتاب التجارات باب ما لا يحل بيعه وأحمد (4/270) رقم (14063) من حديث جابر بن عبد الله رضي الله عنهما

Semoga Allah membinasakan Yahudi, karena tatkala Allah mengharamkan lemak bangkai atas mereka, mereka malah mencairkannya, kemudian menjual dan menggunakan uang hasil penjualannya.

Adapun penetapan pajak di samping zakat, apabila tidak ditemukan sumber keuangan untuk memenuhi suatu kebutuhan negara kecuali dengan adanya penetapan pajak, maka boleh memungut pajak bahkan hal itu menjadi wajib dengan syarat kas Bait al-Maal (kas negara) kosong, dialokasikan dan didistribusikan dengan benar dan ‘adil berdasarkan penjelasan di atas mengenai pajak yang ‘adil dan tindakan ‘Umar ibn al-Khaththab radliallahu ‘anhu yang mendukung hal tersebut.

Inilah yang nampak bagiku dalam permasalahan ini. Apabila benar, maka hal itu berasal dari Allah dan jika keliru, maka hal itu berasal dari diriku. Saya memohon kepada Allah untuk meneguhkan langkah kita, menjauhkan kita dari kesesatan, memberi taufik kepada kita untuk mengerjakan amalan yang mengandung kebaikan di dunia dan akhirat, serta menjadikan diri kita sebagai sarana dalam memperbaiki manusia dan negara. Sesungguhnya Dia-lah yang Mahamenguasai dan Mahaberupaya atas hal itu.

وآخر دعوانا أن الحمد لله ربّ العالمين؛ وصلّى الله على محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين وسلم تسليما

Aljazair 12 Jumadi al-Awwal 1417 H

http://www.ferkous.com/rep/Bi2.php

وهذه فتاوى للشيخ الفاضل أبي عبد المعز محمد علي فركوس- حفظه الله –

1 –

العمل في الضرائب
السؤال: إلى الشيخ الفاضل، إنّي تحصلت على شهادة في الجباية ( الضرائب ) وأنا أريد أن أوجه لك بعض الأسئلة على حكم العمل في مصالح الضرائب.

السؤال الأول: هل يجوز لي العمل في مصالح الضرائب وهل يعتبر حلالا شرعا؟
السؤال الثاني: هل يجوز فرض الضرائب إلى جانب الزكاة في الدولة الإسلامية ؟
السؤال الثالث: إذا كان العمل جائزا في هذه المصالح كيف يمكن تفسير أو تأويل حديث ذم المكس والمكاسين والعشارين ؟
أرجو أن تشفي غليلي في هذه المسألة وجزاك الله خيرا، والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته.

الجواب: الحمد لله ربّ العالمين والصلاة والسلام على محمد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين، أمّا بعد:
فينبغي -قبل الشروع في الإجابة- التفريق بين نوعين من الضرائب التي يسمّيها بعض الفقهاء من المالكية بـ ” الوظائف ” أو بـ ” الخراج ” وسمّاها بعض الأحناف بـ “النوائب” أي نيابة الفرد عن السلطان وعند بعض الحنابلة بـ: ” الكلف السلطانية “.
– ضرائب مأخوذة بحق على سبيل العدل وبشرطها.
– ضرائب تؤخذ على سبيل الظلم والتعدي.
فالضرائب التي يفرضها الحاكم المسلم لضرورة قاضية أو لسدّ حاجة داعية أو لدرء خطر داهم أو متوقع، ومصدر الخزينة العامة للدولة لا تفي بالحاجيات ولا تغطيها بالنفقات، فإنّ العلماء أفتوا بتجويز فرضها على الأغنياء عملا بالمصالح المرسلة وتأسيسا لقاعدة: تفويت أدنى المصلحتين تحصيلا لأعلاهما وقاعدة: يتحمل الضرر الخاص لدفع ضرر عام وبه قال أبو حامد الغزالي في المستصفى والشاطبي في الاعتصام حيث نصّ على أنّه إذا خلا بيت المال وزادت حاجة الجند فللإمام أن يوظف على الأغنياء ما يراه كافيا لهم في الحال، ولا يخفى أنّ الجهاد بالمال مفروض على المسلمين وهو واجب آخر غير فريضة الزكاة، قال تعالى: ﴿إِنَّمَا الُمؤْمِنُونَ الّذِينَ آمَنُوا بِاللهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللهِ أُوْلئَِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ﴾[الحجرات 15] وقوله تعالى: ﴿انفِرُوا خفافا ًوَثِقَالاً وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيْلِ اللهِ﴾[التوبة 41] وقوله تعالى: ﴿ وَأَنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللهِ وَلاَ تُلقُوا بِأَيِْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ﴾[البقرة 195] وقوله عزّ وجلّ:﴿تُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَرَسُولهِ ِوَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَ أَنْفُسِكُمْ﴾[الصف 11]، فيكون من حق أولي أمر المسلمين أن يحددوا نصيب كلّ فرد قادر من عبء الجهاد بالمال على ما قرره صاحب “غياث الأمم ” ورجح النووي وغيره من أئمة الشافعية أنّه يلزم أغنياء المسلمين إعانتهم من غير مال الزكاة، ويدخل ضمن ما ذكرنا سائر المرافق العامة العائدة على أفراد المجتمع كافة سواء كانت مصلحة الجماعة وتأمينها عسكريا واقتصاديا يحتاج إلى مال لتحقيقها ولم تكفهم الزكاة بل وحتى إذا كانت الدعوة إلى الله وتبليغ رسالته يتطلب ذلك إذ أنّ تحقيقها حتم لازم على ساسة المسلمين وفرض الزكاة، لا يفي بما هو لازم وإنّما يتمّ الواجب بفرض مال ضريبة غير الزكاة، فيقرر الوجوب عندئذ بناء على قاعدة: ما لا يتمّ الواجب إلاّ به فهو واجب.
ثمّ إنّ الفرد يغنم من تلك المرافق العامة الممهدة لفائدته والمهيأة لمصلحته من قبل الدولة المسلمة، فإنّه عليه بالمقابل أن يدفع ما هو داخل في التزامه عملا بمبدأ: الغرم بالغنم.
غير أنّ هذا التشريع مقيّد بجملة من الشروط منها:
1_ خلو بيت المال وحاجة الدولة إليه حقيقية وانعدام الموارد المالية الأخرى لها.
2_ وجوب إنفاقها في مصالح الأمة على سبيل العدل.
3_ التماس مشورة أهل الرأي ورجال الشورى في تقدير حاجات الدولة إلى المال العاجلة، ومدى كفاية الموارد عن عجزها، مع مراقبة جمعها وتوزيعها بالصورة المطلوبة شرعا.
هذا النوع من الضرائب الذي يقسم بالعدل والقسط بحق فقد أقره فقهاء المذاهب الأربعة تحت تسميات مختلفة كما يؤيد ذلك فعل عمر بن الخطاب رضي الله عنه أثناء خلافته أنّه كان يفرض على تجار أهل الحرب العشر، ويأخذ من تجار أهل الذمّة نصف العشر ومن تجار المسلمين ربع العشر.
أمّا النوع الثاني من الضرائب المجحفة والجائرة فليست سوى مصادرة لجزء من المال يؤخذ من أصحابه قسرا وجبرا وكرها من غير طيب نفس منه، مخالفين في ذلك المبدأ الشرعي العام في الأموال وهو أنّ الأصل فيها التحريم استنادا إلى نصوص كثيرة منها قوله صلى الله عليه وسلم: “لا يحلّ مال امرئ مسلم إلاّ بطيب نفس منه”(١) وقوله عليه الصلاة والسلام: “من قتل دون ماله فهو شهيد”(٢) وقوله :” ألا إنّ دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام … “(٣) الحديث .
وعليه فإنّ ما ورد ثابتا أو غير ثابت من أحاديث ذمّ المكاس والعشار واقترانها بالوعيد الشديد إنّما هي محمولة على الجبايات والضرائب الجائرة والقاسطة التي تؤخذ بغير حق وتنفق في غير حق ومن غير توجيه، بمعنى أنّ الموظف العامل على جبايتها يستخدمه الملوك والحكام وأتباعهم لقضاء مصالحهم وشهواتهم على حساب فقراء ومظلومي مجتمعاتهم من شعوبهم، وضمن هذا المنظور والمحتوى يقول الذهبي في الكبائر: “المكاس من أكبر أعوان الظلمة، بل هو من الظلمة أنفسهم، فإنّه يأخذ ما لا يستحق ويعطيه لمن لا يستحق.
هذا هو حال التعامل الذي ساد العالم عند ظهور الإسلام ولا تزال هذه الضرائب المجحفة تفرضها الحكومات اليوم على أوساط الناس وفقرائهم من مجتمعاتهم وبالخصوص الشعوب الإسلامية، وتُرَدُّ على الرؤساء والأقوياء والأغنياء، وتصرف غالبا في شهواتهم وملذاتهم المتمثلة في البروتوكولات الرسمية في استقبال الزائرين من ملوك ورؤساء، وفي ولائمهم ومهرجاناتهم التي يأخذ فيها الفجور والخمور وإظهار الخصور نصيب الأسد فضلا عن أنواع الموسيقى وألوان الرقص والدعايات الباطلة وغيرها من شتى المجالات الأخرى المعلومة والمشاهدة عيانا باهضة التكاليف المالية فكانت هذه الضريبة فعلا – كما عبّر عنها بعض أهل العلم- بأنّها: تؤخذ من فقرائهم وتردّ على أغنيائهم، خلافا لمعنى الزكاة التي قال فيها النبي صلى الله عليه وسلم: “تؤخذ من أغنيائهم و ترد على فقرائهم”(٤).
وبناء على ما تقدم فإنّه يجب على المسلم الحريص على دينه أن يتجنب المحرمات والمعاصي وأن يبتعد عن كلّ عمل يلوثه بالآثام والذنوب وينجس أمواله ويقذرها، كما ينبغي عليه أن لا يكون آلة ظلم ووسيلة قهر يستخدمه الظلمة سوط عذاب لإرهاق النّاس بالتكاليف المالية بل قد يكون من الظلمة أنفسهم لأنّه غالبا ما يشارك الظالمين ظلمهم ويقاسمهم الأموال المحرمة، على أنّ الشرع إذا حرّم شيئا حرّم ثمنه قال عليه الصلاة والسلام: “قاتل الله اليهود لمّا حرّم عليهم شحومها جملوه ثمّ باعوه فأكلوا ثمنه”(٥).
أمّا فرض الضرائب إلى جانب الزكاة إذا لم يوجد المورد لسدّ هذه الحاجة إلاّ بالضرائب فيجوز أخذها بل يجب أخذها عند خلو بيت المال وإنفاقها في حقها وتوزيع أعبائها بالعدل والمساواة على ما تقدم في الضرائب العادلة وما تأيّد به من فعل عمر بن الخطاب رضي الله عنه.
هذا ما بدا لي في هذه المسألة فإن أصبت فمن الله وإن أخطأت فمن نفسي، والله نسأل أن يسدد خطانا ويبعدنا من الزلل ويوفقنا لما فيه خير الدنيا والآخرة، ويجعلنا عونا في إصلاح العباد والبلاد إنّه ولي ذلك والقادر عليه.
وآخر دعوانا أن الحمد لله ربّ العالمين؛ وصلّى الله على محمّد وعلى آله وصحبه وإخوانه إلى يوم الدين وسلم تسليما.

الجزائر في : 12 جمادى الأول 1417هـ.

الموافق لـ : 26 سبتمبـر 1996م.
ــــــــــــ

١- أخرجه الدارقطني (300 ) وأحمد (5/72) وأبو يعلى والبيهقي (6/100)، والحديث صححه الألباني في الإرواء (5/279) رقم (1459)، وفي صحيح الجامع(7539)
٢- رواه البخاري كتاب المظالم، باب من قاتل دون ماله، ومسلم كتاب الإيمان، باب الدليل على أن من قصد أخذ مال غيره بغير حق.. والترمذي كتاب الديات باب ما جاء فيمن قتل دون ماله فهو شهيد، والنسائي: كتاب تحريم الدمن باب من قتل دون بابه، وأحمد (2/348) رقم (6486) من حديث عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنه، وأبو داود كتاب السنة باب في قتال اللصوص وابن ماجه: كتاب الحدود، باب من قتل دون ماله فهو شهيد من حديث سعيد بن يزيد بن عمرو بن نفيل رضي الله عنه.
٣- رواه البخاري كتاب العلم باب قول النبي ربّ مبلغ أوعى من سامع ومسلم كتاب القسامة ، باب تغليظ تحريم الدماء والأعراض والأموال عن ابي بكرة والترمذي كتاب الفتن باب ما جاء في دماءكم وأموالكم عليكم حرام وابن ماجه كتاب المناسك باب الخطبة يوم النحر وأحمد(5/443) رقم (18487) واللفظ له من حديث عمرو بن الأحوص رضي الله عنه.
٤- رواه البخاري كتاب الزكاة باب وجوب الزكاة ومسلم كتاب الإيمان باب الدعاء إلى الشهادتين وشرائع الإسلام وأبو داود كتاب الزكاة باب في زكاة السائمة والترمذي كتاب الزكاة باب ما جاء في كراهية أخذ خيار المال في الصدقة والنسائي كتاب الزكاة باب وجوب الزكاة وابن ماجه كتاب الزكاة باب فرض الزكاة وأحمد (1/386) رقم(2072) من حديث ابن عباس .
٥- رواه البخاري كتاب البيوع باب بيع الميتة والأصنام ومسلم كتاب المساقاة باب تحريم الخمر والميتة والخنزير والأصنام وأبو داود كتاب الإجارة باب في ثمن الخمر والميتة والترمذي كتاب البيوع باب ما جاء في بيع جلود الميتة والأصنام,والنسائي كتاب الفرع والعتيرة باب النهي عن الانتفاع بشحوم الميتة وابن ماجه كتاب التجارات باب ما لا يحل بيعه وأحمد(4/270) رقم(14063) من حديث جابر بن عبد الله رضي الله عنهما.

Didukung oleh: WebMasterKHAS

http://salafymedia.com/blog/2016/03/12/hukum-pajak-dan-kerja-di-kantor-pajak/

SEKUNTUM SURAT BUAT KAWANKU

BUAT SAHABATKU

SEKUNTUM SURAT BUAT KAWANKU
〰〰〰〰〰〰〰〰

🌈Syukur dan tahmid terbingkai indah dalam sanjungan hamba untuk Dzat Yang Maha Pemurah..

Dia-lah, dengan taufik dan hikmah-Nya, yang memilihkan derajat tinggi untuk hamba atau hina berkepanjangan.

           🌴Shalawat serta salam terangkai elok dalam do’a hamba kepada baginda agung, Muhammad bin Abdillah .

🍃Beliau lah, dengan penuh kasih dan sayang, yang telah mengarahkan jalan-jalan mudah menuju keabadian surga.
         

🍁Kawan…
Lama sudah rasanya kita tidak berjumpa. Ada rindu yang mengejar sebenarnya, jika sekian waktu berpisah. Sebab, engkau adalah kawan dekatku. Karena, kita pernah berjalan dan hidup bersahabat.

          🍁Namun, itu dahulu kala…

Saat kita masih disatukan oleh majelis ilmu. Saat semangatku dan semangatmu dalam thalabul ilmi bagai banjir bandang yang tak terbendung. Ya, momen-momen indah kita dalam suka duka belajar agama.

          🍁Kawan…

Masihkah teringat olehmu ? Saat orangtua kita telihat marah karena cara berpakaian kita yang berubah. Apalagi ketika kita mulai senang dan gemar menilai segala sesuatu dengan pandangan agama ?

           🍁Dan, orangtua kita pun akhirnya memaklumi. Sebab, kita masih berdarah muda. Suka dengan hal-hal baru dan menantang

🍁Masihkah pula engkau teringat ? Saat nama-nama kita dipanggil dalam sebuah dewan guru. Karena kita terlambat masuk kelas demi menegakkan shalat dzuhur berjama’ah ?

           🍁Dan, akhirnya kita pun menang. Sebab, sebagian guru pun mendukung. Sekali lagi, sebab kita masih muda. Semangat dan sikap idealis kita begitu tinggi.

          🍁Kawan…

Masihkah engkau seperti yang dulu ? Bersemangat membara untuk fokus belajar ilmu-ilmu agama ?

          🍁Kawan…

Engkau begitu cerdas. Daripada menghafal rumus dan aksioma dalam ilmu matematika, apakah tidak sebaiknya engkau menghafal ayat-ayat suci Al-Qur’an ? Aku yakin engkau pasti mampu menjadi seorang penghafal Al-Qur’an.

           🍁Engkau sungguh pintar. Daripada menghafal nama-nama latin tumbuhan lengkap dengan ordo dan familinya, apakah tidak sebaiknya engkau menghafal hadits-hadits Nabi lengkap dengan sanadnya ? Aku yakin engkau pasti bisa menjadi seorang penghafal hadits.

           🍁Engkau benar-benar pandai. Daripada engkau menghafal vocabulary dan rumus-rumus tense dalam Bahasa Inggris, apakah tidak sebaiknya engkau menghafal mufradat Bahasa Arab dan menguasai tata Bahasa Arab ? Aku yakin engkau dapat menjadi seorang ahli nahwu dan sharaf.

          

🍁Engkau memiliki kekuatan mengingat yang tinggi. Daripada engkau menghafal tahun dan peristiwa yang terjadi dalam lintasan sejarah romawi dan daratan eropa, apakah tidak sebaiknya engkau menghafal tahun dan peristiwa yang terjadi dalam sejarah kehidupan Nabi?
🍁Aku yakin engkau mampu menjadi seorang ahli tentang sejarah islam.

          🍁Kawan…

Dengan kemampuan, kecerdasan, dan kemauan juga tentu dengan pertolongan dari Allah, aku yakin engkau bisa menjadi seorang pembimbing agama.

          🍂Namun…

Di mana engkau sekarang ?
Kemana engkau pergi ?
Apalagi yang sedang engkau kejar ?

          🍂Kawan…

Sedih rasanya saat mendengar tentangmu kini. Cahaya ilmu di wajahmu telah tertukar dengan gelapnya dosa. Sujud dan rukukmu yang lalu telah berubah menjadi langkah-langkah cela. Do’a dan dzikirmu telah berganti nada dan lagu.
Engkau bukan yang dahulu lagi.

          🍂Kawan…

Sekuntum surat ini aku rangkaikan untukmu. Moga-moga engkau teringat kembali akan tekad dan cita-citamu untuk menjadi seorang ulama’, penerang umat manusia.
Sungguh, do’aku selalu ada untukmu.

📚Sumber: Buku “PEMUDA DI WARNA-WARNI THALABUL ‘ILMI”. Penulis: Abu Nasim Mukhtar “Iben” Rifai La Firlaz, Penerbit: Toobagus Publishing

Dipublikasikan oleh ⤵
___________________________
almuwahhidiin.salafymedia.com
📚 طالب العلم جيكارنج

Pada,  Sabtu 03 Jumadil akhir 1437H/12 Maret 2016M Jam 11.52 Wib

Didukung oleh: WebMasterKHAS

http://salafymedia.com/blog/2016/03/12/buat-sahabatku/