Cari Blog Ini

Sabtu, 17 Oktober 2015

Tentang MEMUJI ALLAH KETIKA SESEORANG MENANYAKAN KEADAANMU

Sunnah yang ditingalkan adalah ucapan:
أحمد الله إليك
"aku memuji Alloh dengan sebab engkau,"
ketika seseorang bertanya tentang keadaanmu.

Dalilnya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِرَجُلٍ: كَيْفَ أَصْبَحْتَ يَا فُلَانُ؟ قَالَ: أَحْمَدُ اللهَ إِلَيْكَ يَا رَسُولَ اللهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: هَذَا الَّذِي أَرَدْتُ مِنْكَ
Dari Abdulloh ibn Amr berkata, bersabda Rosululloh alaihi sholatu wa salam kepada seorang laki-laki: Bagaimana kabarmu pagi ini wahai fulan?
Ia berkata: Aku memuji Alloh dengan perantara engkau wahai Rosululloh.
Maka Rosululloh alaihi sholatu wa salam bersabda: Ini yang aku inginkan darimu.
(Dishohihkan syaikh Al- Albani Rohimahulloh)

Abu Usamah Khoiri

Forum Ilmiyah Karanganyar

Tentang PENENTUAN MASUKNYA BULAN MUHARAM

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah

Pertanyaan: 
Saya seorang pemuda yang telah diberi hidayah oleh Allah dengan cahaya Al-Haq. Saya ingin melaksanakan Shiyâm ‘âsyûrâ` dan semua shiyâm pada hari-hari yang utama di luar Ramadhân. 
Apakah boleh terkait dengan shiyâm ‘âsyûra` saya bersandar pada kalender dalam penentuan masuknya bulan Muharram, ataukah berhati-hati dengan cara bershaum sehari sebelum dan sesudah itu lebih utama? Jazâkumullâh Khairan.

Jawab:
Tetap wajib atasmu untuk bersandar kepada ru’yatul hilâl. 
Namun ketika tidak ada ketetapan ru`yah maka engkau menempuh cara ihtiyâth, yaitu dengan menyempurnakan bulan Dzulhijjah menjadi 30 hari.
Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua.

[diterbitkan di majalah Ad-Da’wah edisi 1687 tanggal 29/12/1419 H. lihat Majmû’ Fatâwâ wa Maqâlât Mutanawwi’ah XV/402, fatwa no. 157]

http://www.manhajul-anbiya.net/fatwa-fatwa-penting-seputar-asyura/

Majmu'ah Manhajul Anbiya

###

Al-Ustadz Qamar hafizhahullah Ta'ala

Kami -sebagian pengajar di ma'had Minhajus Sunnah- bertanya kepada ustadz Qamar hafizhahullah Ta'ala pada hari Senin 6 Muharram 1437 H di maktabah:
"Afwan Ustadz, kapan kita melaksanakan puasa Asyura? Bagaimana sikap kita yang benar?"

Beliau menjawab:
"Kita ikut pemerintah RI."

Penanya:
"Pemerintah RI tidak berdasarkan rukyatul hilal. Pemerintah Saudi mengumumkan bahwa tanggal 1 Muharram 1437 H jatuh pada hari Kamis berdasarkan penggenapan bulan karena hilal tidak terlihat. Sementara pemerintah RI menetapkan bahwa tanggal 1 Muharram jatuh pada hari Rabu berdasarkan hisab."

Ustadz:
"Iya. Kita ikut pemerintah.
فإن أصابوا فلكم ولهم، وإن أخطأوا فلكم وعليهم
"Jika mereka benar, pahalanya bagi kita dan mereka. Dan jika mereka salah, pahalanya bagi kita namun dosanya mereka tanggung."
Dalam menentukan bulan Ramadhan, kita ikut pemerintah. Ini adalah ibadah yang wajib. Apalagi puasa Asyura adalah sunah. Sehingga kita berpuasa Asyura pada hari Jum'at (dan Tasu'a pada hari Kamis)."

Selasa, 7 Muharram 1437 H.

Pon. Pes. Minhajus Sunnah Magelang

DISEBARKAN OLEH IMS

Publikasi:
WA Salafy Solo
www.salafymedia.com
8 Muharram 1437 H | 21 Oktober 2015

###

Syaikh Abdullah Abu Buthain rahimahullah

Tanya:
Bagaimana jika terjadi keraguan dalam menentukan Hilal Muharram?

Beliau menjawab:
Diriwayatkan dari Ahmad ia berkata : "Apabila tersamarkan atas kita awal bulan maka kita berpuasa tiga hari." [Ad Durarus Saniyyah, jilid 3 hal 360]
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata : Ahmad berkata : "Jika awal bulan itu samar maka hendaknya berpuasa tiga hari. Hal itu dilakukan untuk meyakinkan bahwa ia telah berpuasa pada tanggal 9 dan 10." [Al Mughni, jilid 3 hal 178]
Berkata 'Allamah Ibnu Qasim rahimahullah :
"Dan hal itu (puasa tiga hari karena ragu) bukan termasuk puasa syak (ragu) yang dilarang. Karena puasa syak yang dilarang adalah pada awal ramadhan." [Hasyiyah ar Raudhul Murabbi', jilid 3 hal 451]

Alih Bahasa : Abdurrahman bin Harun

Majmu'ah Ittiba'us Salaf (Sumpiuh)

Via WA Al-Manshuroh

Tentang MEMAKAI SANDAL ATAU SEPATU SAMBIL BERDIRI

Asy Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi'i rahimahullah

Pertanyaan: 
هل ثبت النهي عن الإنتعال قائماً وهل النهي نهي تنزيه أم تحريم؟
Apakah tsabit (benar) larangan memakai sandal sambil berdiri dan larangan tersebut untuk tanzih ataukah untuk tahrim?

Jawaban:
نعم ثبت من حديث جابر وغيره أن النبي - صلى الله عليه وعلى آله وسلم - نهى أن ينتعل الرجل قائما ، وهذا حمله أهل العلم على نهي إرشاد ، فإنه ربما الشخص يسقط على وجهه أو يعثر على وجهه إذا انتعل وهو قائم ، فهو نهي إرشاد لا سيما ونعالهم كانت سبتية تحتاج إلى تربيط ، وقد عرفت أنه نهي إرشاد ولو رأينا أحداً من إخواننا في الله ينتعل وهو جالس ويقول : أنا احمل النهي على أصله ، وأصل النهي هو التحريم فأنا أحمله على أصله وانتعل وأنا جالس لا ينبغي أن نصفه بالتشدد ، ولا ينبغي أن نصفه بالتنطع أو بمخالفة العلماء ، لا بأس لو فعل ، وأقصد أننا مانصفه أنه متشدد أو متزمت أو غير ذلك إذا انتعل وهو جالس
Ya, telah tsabit dari hadits Jabir dan selainnya bahwa Nabi shallallahu 'alaihi was salam melarang memakai sandal sambil berdiri. Para 'ulama membawa larangan ini kepada nahyu irsyadi. Karena tidak jarang seseorang jatuh tersungkur apabila mengenakan sandal sambil berdiri.
Oleh karena itu, ini merupakan bentuk larangan irsyadi, apalagi kalau sandalnya model yang membutuhkan pengikat. Sedangkan engkau sudah tahu kalau larangan irsyadi, seandainya kita melihat salah seorang saudara kita karena Allah memakai sandal sambil duduk dan mengatakan: "Saya membawa larangan tersebut kepada bentuk asalnya. Dan asal larangan adalah tahrim (pengharaman). Maka saya membawa kepada makna asalnya." Dan ia memakai sandal sambil duduk. Maka kita tidak boleh mensifatinya sebagai orang yang keras (mutasyadid), berlebih-lebihan, atau menyelisihi para 'ulama. Tidak mengapa kalau dia melakukannya. Maksud saya kita tidak mensifati dia sebagai seorang mutasyaddid, keras, atau selain dari pada itu apabila dia memakai sandal dalam keadaan duduk.
أما انا فأرى أنه نهي إرشاد، فاذا قالوا: نهي إرشاد أي أنه متعلق بمصلحة دنيوية
Adapun saya, maka saya memandangnya sebagai larangan irsyadi. Apabila mereka mengatakan larangan irsyadi maka maksudnya adalah larangan yang berkaitan dengan maslahat duniawi.

Al-Ajwibah 'ala Asilatil 'Aizari

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

http://forumsalafy.net/memakai-sandal-sambil-berdiri/

http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=1047

WA Al Istifadah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

Tentang PUPUK KANDANG

Apakah tanaman yang dipupuk dengan pupuk kandang buahnya haram karena pupuk kandangnya berasal dari kotoran hewan?

Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari

Apabila pupuk kandangnya berasal dari kotoran hewan yang halal dimakan dagingnya, seperti
kotoran ayam,
sapi,
kerbau,
dan semisalnya, tidak jadi masalah, sebab kotoran tersebut suci.

Jika pupuk kandangnya berasal dari kotoran hewan yang haram dimakan dagingnya, masalah ini kembali pada perbedaan pendapat mengenai kesucian kotoran hewan yang haram dimakan dagingnya.

Jika dikatakan bahwa kotorannya suci—sebagaimana mazhab Zhahiri—, berarti tidak jadi masalah.
Jika dikatakan bahwa kotorannya najis—sebagaimana pendapat yang dipilih Ibnu Taimiyah—, inilah yang menjadi masalah.

Begitu pula masalahnya jika dipupuk dengan kotoran manusia yang jelas kenajisannya, atau dipupuk dengan kotoran hewan yang najis karena hewan itu sendiri memang najis, seperti kotoran anjing dan babi.

Termasuk kotoran keledai yang dagingnya dinyatakan najis oleh Rasulullah Shalallahu'alaihi wa sallan dan bagal yang merupakan keturunan keledai dan kuda.

Terkait kehalalan hasil tanaman (buah, biji, dan sayur-mayur) yang dipupuk dengan najis atau disirami/diairi dengan air bernajis, ada perbedaan pendapat di antara ulama.

1. Haram dengan hujah bahwa perubahan substansi yang najis ke substansi lain (istihalah) tidak dapat menyucikannya.
Dengan demikian, haram dimakan sampai disucikan dulu dengan cara dipupuk atau disirami/diairi dengan zat yang suci beberapa waktu lamanya hingga dianggap suci kembali. Ini adalah mazhab Hanbali.

2. Halal selama tidak tampak efek najis padanya, seperti bau busuk atau rasa najis. Sebab, substansi najis tersebut telah mengalami proses istihalah (perubahan) sekian kali, mulai dari istihalah yang terjadi dalam tanah hingga diserap oleh akar tanaman dan beredar dalam tubuh tanaman, yang menyebabkan eksistensinya berubah menjadi substansi yang suci dalam tubuh tanaman tersebut.

Hal itu terbukti dengan tidak tampaknya efek najis, seperti bau busuk atau rasa najis. Adapun jika tampak efek najis, seperti bau tidak sedap atau rasa najis, haram.

Jika demikian, disucikan dulu dengan cara dipupuk atau disirami/diairi dengan zat yang suci beberapa waktu lamanya hingga efek najisnya hilang.

Ini adalah mazhab jumhur (mayoritas) ulama dan dirajihkan oleh Ibnu ‘Utsaimin. Oleh karena itu, jumhur ulama membolehkan memupuk tanaman dengan kotoran yang najis. Pendapat jumhur ulama inilah yang benar. Wallahu a’lam. (1)

Catatan Kaki:

(1) Lihat kitab al-Mughni (13/330, terbitan Dar ‘Alam al-Kutub), al-Majmu’ (9/32), al-Inshaf (10/368), dan asy-Syarh al-Mumti’ (8/122, 15/22, Dar Ibni al-Jauzi pada Program Maktabah Syamilah).

Sumber:
http://asysyariah.com/buah-tanaman-yang-dipupuk-dengan-kotoran/

____________________________
Dipublikasikan oleh:

Tholibul Ilmi Cikarang

Pada, Sabtu 04 Muharram1437H/17 Oktober 2015M Jam 05:10 wib
Untuk postingan sebelumnya silahkan klik www.salafymedia.com