Cari Blog Ini

Kamis, 01 Januari 2015

Tentang BEBERAPA SUNAH DI HARI JUMAT

Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata:
فينبغي للمسلم: أن يهتم بشأن الجمعة عيد الأسبوع وميزة هذه الأمة ويفرح بقدوم يومها لما فيه من الفضائل والنفحات لأهل الاسلام والايمان والاحسان والجمع والجماعات ما لا يوجد في يوم سواه من سائر الايام والشعائر الاخرى من العبادات
Selayaknya bagi setiap muslim untuk MEMENTINGKAN urusan Jumat yang merupakan id pekanan dan keistimewaan umat ini, BERGEMBIRA dengan datangnya hari Jumat, karena keutamaan-keutamaan yang ada padanya dan berbagai keistimewaan untuk ahlul Islam, ahlul Iman, dan ahlul Ihsan; serta adanya berkumpul (di masjid, pen) dan shalat berjamaah, yang (itu semua) tidak ada pada hari selainnya, dan banyak lagi berbagai syiar ibadah lainnya. (al-Afnan an-Nadiyyah: 2/135)

Berikut beberapa sunah di hari Jumat:

1.
قال رسول الله ﷺ: مَن غسَّلَ يومَ الجمعةِ واغتسلَ ، ثم بكَّرَ وابتكرَ ، ومشَى ولَم يركبْ ، ودَنا مِن الإمامِ فاستمعَ ولَم يَلْغُ ، كان لهُ بكلِّ خُطوةٍ عملُ سنةٍ أجرُ صيامِها وقيامِها
أخرجه أبو داود والترمذي وصححه الألباني
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Barang siapa yang mandi pada hari Jumat kemudian berangkat di awal waktu, berjalan kaki dan tidak naik kendaraan, mendekat kepada imam, menyimak khutbah dan tidak berkata/berbuat sia-sia, maka dia mendapatkan dengan setiap langkahnya amalan setahun pahala puasa dan shalat malamnya.
(Diriwayatkan oleh Abu Daud dan At-Tirmidzi, dishahihkan oleh Al-Albani)

2.
قال رسول الله ﷺ: لا يغتسلُ رجلٌ يومَ الجمعة ويتطهر ما استطاع مِن طُهر ، ويَدَّهن مِن دُهنِه ، أو يَمَس مِن طِيب بيتِه ، ثم يَخرج فلا يُفَرِّق بين اثنين ، ثم يُصلي ما كُتِب له ، ثم يُنصِت إذا تَكلَّم الإمام إلَّا غُفِرَ له ما بينَه وبين الجمعة الأُخرى
رواه البخاري
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Tidaklah seseorang mandi pada hari Jumat, bersuci dengan thaharah yang dia mampu, memakai minyak atau menggunakan wewangian di rumahnya, kemudian berangkat (ke masjid) dan tidak memisahkan di antara dua orang, kemudian melaksanakan shalat yang telah dituliskan untuknya, kemudian diam jika imam berkhutbah, kecuali diampuni baginya antara Jumat tersebut dengan Jumat berikutnya.
(HR. Al-Bukhari no. 843) *)

3.
قال رسول الله ﷺ: مَن توضأَ فأحْسَنَ الوضوء ثم أتى الجمعة فأستمعَ وأنصَت غُفِرَ له ما بينَه وبين الجمعة وزيادة ثلاثة أيام ومَن مَسَّ الحصى فّقّد لَغَا
رواه مسلم
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Barang siapa berwudhu dan membaguskan wudhunya kemudian mendatangi shalat Jumat, lalu mendengar khutbah dan diam, maka diampuni dosanya antara Jumat tersebut dengan Jumat berikutnya ditambah tiga hari. Barang siapa yang memegang kerikil maka dia telah berbuat sia-sia.
(HR Muslim no. 857)

4.
قال رسول الله ﷺ: مَن قرَأ سورةَ الكهفِ في يومِ الجمُعةِ أضاء له منَ النورِ ما بين الجمُعتَين
صحيح الجامع
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Barang siapa membaca surat Al-Kahfi pada hari Jumat akan diterangi dengan cahaya selama di antara dua Jumat.
(Shahihul Jami no. 6407)

5.
قال رسول الله ﷺ: أكثِروا الصَّلاةَ عليَّ يومَ الجمُعةِ وليلةَ الجمُعةِ ، فمَن صلَّى عليَّ صلاةً صلَّى اللهُ عليهِ عَشرًا
صحيح الجامع
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Perbanyaklah shalawat kepadaku pada hari Jumat dan malam Jumat, barang siapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah bershalawat kepadanya sepuluh kali.
(Shahihul Jami no. 1209)

6.
قال رسول الله ﷺ: يومُ الجمعة اِثنتا عشرة ساعة ، لايُوجدُ فيها عَبْدٌ مُسلم يَسألُ اللهَ شيئاً إلاَّ آتاهُ إيَّاه فالتَمِسُوها اخِر ساعة بعد العصر
صحيح النسائي
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: Pada hari jumat itu ada dua belas waktu, tidak didapati padanya hamba yang muslim yang meminta sesuatu kepada Allah kecuali Allah beri, maka carilah waktu tersebut pada akhir waktu setelah ashar.
(Shahih An-Nasai no. 1389)

7.
قال رسول الله ﷺ: إنَّ في الجُمُعة لَساعةً لا يُوافِقُها مُسلمٌ قائمٌ يُصَلِّي يَسألُ اللهَ خيراً إلا أعطاه إيَّاه. وقال بِيَدِهِ يُقَلِّلُها يُزَهِّدُها
أخرجه ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻭﻣﺴﻠﻢ
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
Sesungguhnya pada hari Jumat itu ada satu waktu, tidaklah seorang muslim menepatinya dengan berdiri shalat, meminta kebaikan kepada Allah kecuali pasti akan Dia beri.
Nabi mengisyaratkan dengan tangannya menunjukkan bahwa waktu tersebut sedikit dan singkat.
(HR. Al-Bukhari no. 935, Muslim no. 852)

Majmuah Manhajul Anbiya

*) Dalam riwayat Abu Dawud:
“Barangsiapa yang:
- mandi pada hari jumat,
- memakai pakaiannya yang paling bagus,
- memakai wangi-wangian jika punya,
- kemudian mendatangi salat Jumat,
- dia tidak melangkahi leher-leher manusia,
- kemudian dia shalat sesuai dengan jumlah rakaat yang telah Allah takdirkan baginya,
- lalu diam apabila imam telah keluar sampai selesai dari shalatnya,
Maka itu semua adalah penghapus dosa antara Jumat tersebut dan Jumat sebelumnya.”
(HR. Abu Dawud dalam kitab at-Thaharah, hadits no. 343)

###

Al-Ustadz Abul Abbas Muhammad Ihsan

Adab-adab sebelum dan ketika berangkat ke masjid

a. Mandi, bersiwak (menggosok gigi), dan memakai minyak wangi

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْغُسْلُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ وَأَنْ يَسْتَنَّ وَأَنْ يَمَسَّ طِيبًا إِنْ وَجَدَ
“Mandi pada hari Jum’at hukumnya wajib bagi tiap orang yang sudah baligh, bersiwak (menggosok gigi), dan memakai minyak wangi apabila dia mendapatkannya.”
Oleh karena itulah, seorang yang hendak pergi ke masjid tidak boleh memakan dan meminum segala sesuatu yang berbau tidak sedap karena akan mengganggu orang lain, seperti bawang putih, bawang merah, daun bawang, dan lebih-lebih rokok. Sebab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ أَكَلَ ثُومًا أَوْ بَصَ فَلْيَعْتَزِلْنَا-أَوْ قَالَ:فَلْيَعْتَزِلْ مَسْجِدَنَا
“Barangsiapa yang makan bawang putih atau bawang merah, hendaknya dia menjauhi kami atau menjauhi masjid kami.” (Muttafaqun alaih)
Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu pernah berkhutbah pada hari Jumat dan berkata di dalam khutbahnya,
ثُمَّ إِنَّكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ تَأْكُلُونَ شَجَرَتَيْنِ أَرَاهُمَا إِ خَبِيثَتَيْنِ هَذَا الْبَصَلَ وَالثُّومَ لَقَدْأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صل الله عليه وسلم إِذَا وَجَدَ رِيحَهُمَا مِنَ الرَّجُلِ فِي الْمَسْجِدِ أَمَرَ بِهِ فَأُخْرِجَ إِلَى الْبَقِيعِ فَمَنْ أَكَلَهُمَا فَلْيُمِتْهُمَا طَبْخًا
“Selanjutnya, kalian, wahai manusia, sungguh telah memakan dua buah tanaman yang tidaklah tampak olehku selain busuk (baunya), yaitu bawang merah dan bawang putih. Sungguh, aku melihat ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendapati bau busuk keduanya dari seseorang di dalam masjid maka beliau memerintahkan agar orang itu dikeluarkan dari masjid hingga ke Baqi’. Oleh karena itu, barangsiapa ingin memakan keduanya, hendaknya ia menghilangkan bau busuknya dengan memasaknya terlebih dahulu.” (HR. Muslim)
Adapun seorang muslimah yang ingin menghadiri shalat Jumat atau shalat berjamaah bersama kaum muslimin, tidak boleh memakai minyak wangi yang menyebabkan orang lain mencium bau wangi darinya sehingga akan menimbulkan godaan. Sebab, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا شَهِدَتْ إِحْدَاكُنَّ الْمَسْجِدَ فَ تَمَسَّ طِيبًا
“Apabila salah seorang diantara kalian para wanita ikut shalat berjamaah di masjid, janganlah memakai minyak wangi.” (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengancam seorang wanita yang memakai wangi lalu melewati kaum laki-laki agar mereka mencium bau wanginya dalam sabdanya,
إِذَا اسْتَعْطَرَتْ الْمَرْأَةُ فَمَرَّتْ عَلَى الْقَوْمِ لِيَجِدُوا رِيحَهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ
“Apabila seorang wanita memakai minyak wangi lalu dia melewati kaum laki-laki agar mereka mencium bau wanginya, dia adalah seorang pezina.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasai)

b. Dianjurkan memakai pakaian bersih yang bagus dan syar’i yang dimilikinya

Abu Ayyub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَمَسَّ مِنْ طِيبٍ إِنْ كَانَ عِنْدَهُ وَلَبِسَ مِنْ أَحْسَنِ ثِيَابِهِ ثُمَّ خَرَجَ حَتَّى يَأْتِيَ الْمَسْجِدَ فَيَرْكَعَ إِنْ بَدَا لَهُ وَلَمْ يُؤْذِ أَحَدًا ثُمَّ أَنْصَتَ إِذَا خَرَجَ إِمَامُهُ حَتَّى يُصَلِّيَ كَانَتْ كَفَّارَةً لِمَا بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ الْأُخْرَى
“Barangsiapa mandi pada hari Jumat, memakai minyak wangi (apabila dia memilikinya), memakai pakaian (syar’i) yang paling bagus, kemudian keluar menuju ke masjid, lantas dia shalat dan tidak mengganggu orang lain, kemudian diam (mendengar khutbah) apabila imam berkhutbah sampai dia shalat, hal-hal itu menjadi penghapus dosa-dosanya antara Jumat tersebut dan Jumat berikutnya.” (HR. Ahmad, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani)

c. Berdoa ketika keluar dari rumah menuju masjid

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar (dari rumahnya) untuk shalat dan berdoa,
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُورًا، وَفِي لِسَانِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي سَمْعِي نُورًا، وَاجْعَلْ فِي بَصَرِي نُورًا، وَاجْعَلْ مِنْ خَلْفِي نُورًا، وَمِنْ أَمَامِي نُورًا ، وَاجْعَلْ مِنْ فَوْقِي نُورًا ، وَمِنْ تَحْتِي نُورًا، اللَّهُمَّ أَعْطِنِي نُورًا
“Ya Allah, jadikanlah cahaya di dalam hatiku, jadikanlah cahaya di lisanku, jadikanlah cahaya dibelakangku, jadikanlah cahaya di depanku, jadikanlah cahaya dari atasku, dan jadikanlah cahaya dari bawahku. Ya Allah, berilah aku cahaya.” (HR. Muslim)

d. Berpagi-pagi berangkat, lebih baik dengan berjalan kaki dan tenang

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَ ئَالِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
“Barangsiapa mandi sebagaimana mandi junub pada hari Jumat kemudian dia berangkat (pada waktu pertama), seakan-akan dia telah berkurban seekor unta. Barangsiapa datang di masjid pada waktu kedua, seakan-akan dia telah berkurban seekor sapi. Barang siapa datang pada waktu ketiga, seakan-akan dia telah berkurban dengan seekor domba yang bertanduk. Barang siapa datang pada waktu keempat, seakan-akan dia telah berkurban seekor ayam. Barangsiapa datang pada waktu kelima, seakan-akan dia telah berkurban sebutir telur. Apabila imam telah keluar, para malaikat menutup (melipat) lembaran-lembaran catatannya lalu (para malaikat) mendengarkan khutbah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Suri teladan kita, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, telah menjelaskan keutamaan berjalan kaki tatkala pergi ke masjid dengan tenang dan tidak tergesa-gesa dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَطَهَّرَ فِي بَيْتِهِ ثُمَّ مَشَى إِلَى بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ لِيَقْضِيَ فَرِيضَةً مِنْ فَرَائِضِ اللهِ كَانَتْ خَطْوَتَاهُ إِحْدَاهُمَا تَحُطُّ خَطِيئَةً وَالْأُخْرَى تَرْفَعُ دَرَجَةً
“Barangsiapa bersuci dirumahnya kemudian berjalan menuju ke salah satu masjid Allah Subhanahu wata’ala untuk menunaikan salah satu kewajiban (shalat) yang diwajibkan oleh Allah Subhanahu wata’ala (atasnya), pada setiap dua langkah kakinya, satu langkah akan menggugurkan satu dosa dan satu langkah yang lain akan mengangkat derajat.” (HR. Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda,
إِذَا سَمِعْتُمُ الْإِقَامَةَ فَامْشُوا إِلَى الصَّ ةَالِ وَعَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ وَالْوَقَارِ وَ تُسْرِعُوا، فَمَا أَدْرَكْتُمْ فَصَلُّوا وَمَا فَاتَكُمْ فَأَتِمُّوا
“Apabila kalian mendengar iqamah, berjalanlah menuju shalat dan wajib atas kalian tenang dan tidak mempercepat jalan. Apa yang kalian dapatkan, shalatlah (bersama imam), sedangkan apa yang kalian tertinggal darinya, sempurnakanlah (setelah imam salam).” (Muttafaqun ‘alaih)
Apabila seorang muslim pergi ke masjid dengan kendaraan, tetap wajib baginya tenang dan tidak tergesa-gesa dalam perjalanan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ، عَلَيْكُمْ بِالسَّكِينَةِ، فَإِنَّ الْبِرَّ لَيْسَ باِلْإيِضَاعِ
“Wahai sekalian umat manusia, wajib atas kalian untuk tenang karena kebaikan itu bukan dengan tergesa-gesa.” (HR. al-Bukhari dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Adab-Adab di Masjid

a. Doa ketika masuk dan keluar masjid

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ؛ وَإِذَا خَرَجَ فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
“Apabila salah seorang diantara kalian masuk masjid maka hendaknya dia berdoa,
اللَّهُمَّ افْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
“Ya Allah, bukakanlah untukku pintu-pintu rahmat-Mu.”
Apabila dia keluar hendaknya dia berdoa,
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon keutamaan dari-Mu.” (HR. Muslim)
Ketika masuk, dahulukan kaki kanan dan tatkala keluar, dahulukan kaki kiri. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
كَانَ النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِي تَنَعُّلِهِ وَتَرَجُّلِهِ وَطُهُورِهِ وَفِي شَأْنِهِ كُلِّهِ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam senang mendahulukan sebelah kanan dalam hal memakai sandal, bersisir, bersuci, dan pada seluruh urusannya.” (Muttafaqun‘alaih)

b. Berusaha mencari tempat di shaf yang paling depan dan dekat dengan imam tanpa memisahkan dua orang yang sedang duduk berdampingan dan tidak melangkahi pundak-pundak jamaah yang telah duduk.

Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata,
أَ تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَ ئَالِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا، فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَ ئَالِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟ قَالَ : يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ
“Mengapa kalian tidak bershaf sebagaimana para malaikat bershaf di sisi Rabbnya?” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara malaikat bershaf di sisi Rabbnya?” Beliau menjawab, “Mereka menyempurnakan shaf-shaf di depan dan merapatkannya.” (HR. Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memotivasi umatnya untuk berlomba-lomba mencari shaf yang terdepan dalam sabdanya,
لَوْ يَعْلَمُ النَّاسُ مَا فِي النِّدَاءِ وَالصَّفِّ الْأَوَّلِ ثُمَّ لَمْ يَجِدُوا إِ أَنْ يَسْتَهِمُوا عَلَيْهِ سَالْتَهَمُوا
“Seandainya umat manusia mengetahui keutamaan (menjawab) panggilan azan dan keutamaan shaf terdepan dan mereka tidak bisa mendapatkannya selain dengan berundi, sungguh mereka akan berundi (untuk mendapatkannya).” (HR. Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam membimbing umatnya tentang cara mengatur shaf dalam sabdanya,
أَتِمُّوا الصَّفَّ الْمُقَدَّمَ ثُمَّ الَّذِي يَلِيهِ، فَمَا كَانَ مِنْ نَقْصٍ فَلْيَكُنْ فِي الصَّفِّ الْمُؤَخَّرِ
“Sempurnakanlah shaf yang depan kemudian shaf yang berikutnya (di belakangnya). Adapun shaf yang masih kurang hendaknya di akhir.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang memisahkan dua orang yang duduk berdampingan, baik dengan cara duduk di antara keduanya maupun mengusir salah satunya lantas menduduki tempat duduknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
فَلَمْ يُفَرِّقْ بَيْنَ اثْنَيْنِ
“Kemudian dia tanpa memisahkan dua orang yang duduk berdampingan.” (HR. al-Bukhari dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu)
Larangan di atas dikecualikan bagi orang yang mendapatkan izin dari keduanya sebagaimana dalam hadits,
يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يُفَرِّقَ بَيْنَ اثْنَيْنِ إِ بِإِذْنِهِمَا
“Tidak halal bagi seorangpun memisahkan dua orang (yang duduk berdampingan) selain dengan izin dari keduanya.” (HR. Abu Dawud dan at-Tirmidzi)
Sebaik-baik pembimbing umat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, melarang seorang muslim mengusir saudaranya dari tempat duduknya lantas mendudukinya. Dari Ibnu Umar, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُقَامَ الرَّجُلُ مِنْ مَجْلِسِهِ وَيَجْلِسَ فِيهِ آخَرُ وَلَكِنْ تَفَسَّحُوا وَتَوَسَّعُوا
“Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang diusir dari tempat duduknya lantas orang lain mendudukinya. Akan tetapi, (yang boleh dilakukan) mereka bergeser dan berlapang-lapang (supaya orang lain bisa masuk dan duduk).” (Muttafaqun ‘alaih)
Apabila seseorang berdiri dan meninggalkan tempat duduknya karena kebutuhannya kemudian kembali, dia paling berhak atas tempat duduknya semula, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَجْلِسِهِ ثُمَّ رَجَعَ إِلَيْهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ
“Apabila salah seorang di antara kalian berdiri dari tempat duduknya lantas kembali, dia paling berhak atasnya.” (HR. Muslim)
Termasuk adab-adab di dalam masjid, tatkala seseorang berusaha mendapatkan shaf awal (depan), ia tidak boleh melangkahi punggung-punggung jamaah yang sedang duduk. Hal ini diterangkan oleh hadits Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu,
جَاءَ رَجُلٌ يَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالنَّبِيُّ صل الله عليه وسلم يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صل الله عليه وسلم : اجْلِسْ فَقَدْ آذَيْتَ وَآنَيْتَ
“Seorang laki-laki datang pada hari Jumat lalu melangkahi punggung-punggung jamaah yang sedang duduk. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda, ‘Duduklah! Sungguh engkau telah mengganggu (menyakiti) dan mengakhirkan (jamaah).” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i, asy-Syaikh al-Albani menyatakannya sahih dalam Shahih Sunan Abu Dawud)
Syaikhul Islam menjelaskan, seseorang tidak boleh mengisi shaf-shaf di belakang padahal shaf di depan masih longgar. Demikian pula, tidak boleh membuat shaf di jalan-jalan dan toko-toko padahal di dalam masjid masih longgar. Barang siapa melakukan perbuatan seperti itu, dia berhak mendapatkan hukuman. Orang-orang yang datang setelahnya boleh melangkahinya dan masuk menyempurnakan shaf-shaf yang di depan karena hal ini tidak dilarang baginya.
Hal ini sebagaimana tidak bolehnya seseorang meletakkan tempat duduknya terlebih dahulu (misal: sajadah) di masjid namun dia berangkat terlambat (demi mengaveling tempat duduk di shaf awal) sehingga orang lain tidak berhak mendudukinya. Justru tempat duduknya itu (harus dihilangkan), dan boleh dipakai (oleh orang lain) untuk shalat menurut pendapat yang benar.
Apabila masjid telah penuh dengan shaf, mereka boleh membuat shaf di luar masjid. Apabila shaf-shaf itu bersambung dengan masjid, walaupun di jalan-jalan dan di pasar-pasar, shalat Jumatnya sah. Adapun apabila mereka membuat shaf dalam keadaan ada jarak (jalan) yang memisahkan shaf-shaf mereka dengan shaf-shaf yang ada di masjid, shalatnya tidak sah berdasarkan pendapat yang paling jelas di antara dua pendapat para ulama. (al-Kubra, 1/137)

c. Shalat sunnah tahiyatul masjid walaupun imam telah berkhutbah

Dari Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ذَا دَخَلَ أَحَدُكُمُ الْمَسْجِدَ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ يَجْلِسَ
“Apabila salah seorang diantara kalian masuk masjid, hendaknya dia shalat dua rakaat sebelum duduk.” (Muttafaqun ‘alaih)
Tatkala imam sudah berkhutbah, hendaknya shalat tahiyatul masjid dikerjakan dengan ringan, sebagaimana bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,
إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَلْيَرْكَعْ رَكْعَتَيْنِ وَلْيَتَجَوَّزْ فِيهِمَا
“Apabila salah seorang di antara kalian datang dan imam sedang berkhutbah, hendaknya dia shalat dua rakaat dan mengerjakannya dengan ringan.” (Muttafaqun ‘alaih)

d. Duduk mendengarkan khutbah dan menghadap kepada khatib

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah membuat sebuah bab dalam kitab Shahih-nya Bab “Mendengarkan Khutbah”. Beliau berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila hari Jumat telah tiba, para malaikat berdiri di depan pintu untuk menulis orang-orang yang datang, satu demi satu. Permisalan orang yang berpagi-pagi (berangkat ke masjid) seperti orang yang berkurban seekor unta, kemudian seperti orang yang berkurban seekor sapi, kemudian seekor domba, kemudian seekor ayam, kemudian seekor telur. Apabila imam telah keluar mereka (para malaikat) menutup lembaran-lembaran catatannya dan mendengarkan khutbah.” (HR. al-Bukhari, 929)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan tentang wajibnya seseorang diam mendengarkan khutbah dalam sabdanya,
إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Apabila engkau berkata kepada temanmu pada hari Jumat, ‘Diam, dengarkanlah (khutbah),’ padahal imam sedang berkhutbah, itu berarti engkau telah berbuat sia-sia.” (Mutttafaqun ‘alaih)
Demikian pula disunnahkan bagi jamaah untuk menghadap kepada imam tatkala dia berkhutbah, sebagaimana perkataan al-Imam al-Bukhari dalam Shahih-nya “Bab Imam menghadap kaum (hadirin) dan kaum itu menghadap imam tatkala berkhutbah”. Beliau berdalil dengan hadits Abu Sa’id al-Khudri,
أَنَّ النَّبِيَّ صل الله عليه وسلم جَلَسَ ذَاتَ يَوْمٍ عَلَى الْمِنْبَر وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ
“Pada suatu hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di atas mimbar [1] dan kami pun duduk di sekelilingnya.”

e. Apabila mengantuk, hendaknya ia berpindah (bergeser) dari tempat duduknya selama tidak mengganggu orang lain.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا نَعَسَ أَحَدُكُمْ فِي مَجْلِسِهِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَلْيَتَحَوَّلْ مِنْهُ إِلَى غَيْرِهِ
“Apabila salah seorang di antara kalian mengantuk di tempat duduknya, hendaknya dia pindah ke tempat lain.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma)

f. Boleh memakai hibwah [2] (melakukan ihtiba) pada hari Jumat ketika mendengarkan khutbah imam, karena hadits-hadits yang melarangnya dhaif.

Banyak ulama salafus shalih yang memakainya, selama tidak menyebabkan auratnya tersingkap dan mengantuk.
Al-Imam Abu Dawud rahimahullah berkata, “Ibnu Umar memakai hibwah ketika imam berkhutbah, demikian juga Anas bin Malik, Syuraih, Sha’sha’ah bin Shuhan, Sa’id bin al-Musayib, Ibrahim an-Nakha’i, Makhul, dan Ismail bin Muhammad bin Sa’d.”
Beliau berkata, “Tidak ada yang sampai kepadaku berita dari seorang salaf pun yang membencinya (hibwah), selain Ubadah bin Nusaiya.” (Sunan Abu Dawud, no. 191)
Al-Iraqi rahimahullah berkata, “Mayoritas ulama berpendapat bahwa hibwah tidak makruh. Adapun tentang hadits-hadits dalam hal ini, mereka menjawab bahwa seluruh hadits tersebut dhaif.” (Nailul Authar, 2/299)
Kalaupun dianggap semuanya sahih, larangan itu dimaksudkan agar seseorang tidak mulai memasang hibwah ketika imam sudah berdiri untuk berkhutbah, sampai ia menyelesaikan khutbahnya. (Syarh Musykil al-Atsar, 7/344-345)

Catatan kaki:

1. Mimbar di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam hanya berupa tiga anak tangga sehingga bisa diduduki. Berbeda halnya dengan mimbar yang ada di zaman sekarang pada umumnya.

2. Al-hibwah yaitu seorang mengikat/mendekatkan kedua lututnya ke perut dengan tali atau pakaiannya, lalu mendekatkan keduanya ke punggungnya. Terkadang, hal ini dilakukan dengan tangan sebagai pengganti tali/pakaian. (an-Nihayah li Ibni Atsir)

Sumber: Asy Syariah Edisi 082

Tentang MENJAGA KEBERSIHAN DAN KEHARUMAN MASJID

Aisyah radhiallahu anha berkata,
ﺃَﻣَﺮَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺑِﺒِﻨَﺎﺀِ ﺍﻟْﻤَﺴَﺎﺟِﺪِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻭْﺭِ ﻭَﺃَﻥْ ﺗُﻨَﻈَّﻒَ ﻭَﺗُﻄَﻴَّﺐَ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan agar masjid-masjid dibangun di kabilah-kabilah (kampung-kampung). Beliau juga memerintahkan agar masjid dibersihkan dan diberi wewangian.” (HR. at-Tirmidzi dalam “Kitab al-Jumu’ah” no. 594, Sunan Abu Dawud dalam “Kitab ash-Shalah” no. 455 dan Ibnu Majah dalam “Kitab al-Masajid wal Jama’at” no. 759, dinyatakan sahih oleh al-Albani)

Al-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Disunahkan memberi pengharum di dalam masjid karena Said bin Mansur menyebutkan dari Nuaim bin Abdillah al-Mujmir bahwa Umar bin al-Khatthab menyuruh memberi pengharum masjid setiap hari Jumat ketika masuk siang hari.” (Zadul Maad, 1/382)

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma,
ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻗَﺎﻝَ ﻓِﻲ ﻏَﺰْﻭَﺓِ ﺧَﻴْﺒَﺮَ: ﻣَﻦْ ﺃَﻛَﻞَ ﻣِﻦْ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟﺸَّﺠَﺮَﺓِ -ﻳَﻌْﻨِﻲ ﺍﻟﺜُّﻮﻡَ -ﻓَﻠَﺎ ﻳَﺄْﺗِﻴَﻦَّ ﺍﻟْﻤَﺴَﺎﺟِﺪَ
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda ketika Perang Khaibar, “Barang siapa memakan dari pohon ini —yakni bawang—, jangan sekali-kali ia mendatangi masjid-masjid.” (HR. Muslim 1/393 no. 561)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ﻋُﺮِﺿَﺖْ ﻋَﻠَﻲَّ ﺃَﻋْﻤَﺎﻝُ ﺃُﻣَّﺘِﻲ ﺣَﺴَﻨُﻬَﺎ ﻭَﺳَﻴِّﺌُﻬَﺎ، ﻓَﻮَﺟَﺪْﺕُ ﻓِﻲ ﻣَﺤَﺎﺳِﻦِ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟِﻬَﺎ ﺍﻟْﺄَﺫَﻯ ﻳُﻤَﺎﻁُ ﻋَﻦِ ﺍﻟﻄَّﺮِﻳﻖِ، ﻭَﻭَﺟَﺪْﺕُ ﻓِﻲ ﻣَﺴَﺎﻭِﻱ ﺃَﻋْﻤَﺎﻟِﻬَﺎ ﺍﻟﻨُّﺨَﺎﻋَﺔَ ﺗَﻜُﻮﻥُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ﻟَﺎ ﺗُﺪْﻓَﻦُ
“Ditampakkan kepadaku amalan-amalan umatku, yang baik dan yang buruk. Aku pun melihat, di antara amalan-amalan baik umatku adalah duri-duri yang disingkirkan dari jalan. Aku juga melihat, di antara amalan jelek mereka adalah riak/dahak yang berada di masjid, namun tidak ia pendam (dibuang).” (HR. Muslim dari sahabat Abu Dzar radhiallahu anhu)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺍﻟْﺒُﺰَﺍﻕُ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ ﺧَﻄِﻴﺌَﺔٌ ﻭَﻛَﻔَّﺎﺭَﺗُﻬَﺎ ﺩَﻓْﻨُﻬَﺎ
“Meludah di masjid adalah sebuah kesalahan dan penghapusnya adalah menimbunnya (membersihkannya).” (Muttafaqun alaih)

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha,
ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻞ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﺭَﺃَﻯ ﻓِﻲ ﺟِﺪَﺍﺭِ ﺍﻟْﻘِﺒْﻠَﺔِ ﻣُﺨَﺎﻃًﺎ ﺃَﻭْ ﺑُﺼَﺎﻗًﺎ ﺃَﻭْ ﻧُﺨَﺎﻣَﺔً ﻓَﺤَﻜَّﻪُ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihat ingus, ludah, atau dahak menempel ditembok masjid sebelah kiblat, maka beliau mengeriknya (membersihkannya).” (Muttafaqun ‘alaih)

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma,
ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺭَﺃَﻯ ﺑُﺼَﺎﻗًﺎ ﻓِﻲ ﺟِﺪَﺍﺭِ ﺍﻟْﻘِﺒْﻠَﺔِ ﻓَﺤَﻜَّﻪُ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah melihat ludah menempel di dinding masjid, maka beliau mengoreknya.” (HR. Muslim 1/388 no. 547)

Anas bin Malik radhiallahu anhu bercerita,
ﺟَﺎﺀَ ﺃَﻋْﺮَﺍﺑِﻲٌّ ﻓَﺒَﺎﻝَ ﻓِﻲ ﻃَﺎﺋِﻔَﺔِ ﺍﻟْﻤَﺴْﺠِﺪِ، ﻓَﺰَﺟَﺮَﻩُ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻓَﻨَﻬَﺎﻫُﻢُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ، ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﻗَﻀَﻰ ﺑَﻮْﻟَﻪُ ﺃَﻣَﺮَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺑِﺬَﻧُﻮﺏٍ ﻣِﻦْ ﻣَﺎﺀٍ ﻓَﺄُﻫْﺮِﻳﻖَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
“Seorang Arab badui datang lalu kencing di salah satu sisi masjid (Nabawi). Orang-orang pun bangkit untuk mencegahnya. Namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang para sahabat. Ketika sang badui selesai dari kencingnya, Rasulullah memerintahkan agar dibawakan satu ember air dan dituangkan pada tanah yang terkena kencing.” (HR. al-Bukhari no. 219 dan Muslim no. 284)
Pada sebagian riwayat kisah di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyampaikan nasihat kepada si Badui,
ﺇِﻥَّ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟْﻤَﺴَﺎﺟِﺪَ ﻟَﺎ ﺗَﺼْﻠُﺢُ ﻟِﺸَﻲْﺀٍ ﻣِﻦْ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﺒَﻮْﻝِ ﻭَﻟَﺎ ﺍﻟْﻘَﺬَﺭِ، ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻫِﻲَ ﻟِﺬِﻛْﺮِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻭَﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﻭَﻗِﺮَﺍﺀَﺓِ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ
“Sesungguhnya masjid-masjid itu tidak pantas untuk dikotori dengan kencing dan kotoran. Masjid itu didirikan hanyalah untuk berdzikir kepada Allah, shalat, dan membaca al-Qur’an.”