Cari Blog Ini

Jumat, 17 Oktober 2014

Tentang MEMANDANG KE ARAH LANGIT DAN BERZIKIR KETIKA KELUAR RUMAH

Apabila kita keluar dari rumah maka disunnahkan untuk membaca:
ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺗَﻮَﻛَّﻠْﺖُ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻭَﻻَ ﺣَﻮْﻝَ ﻭَﻻَ ﻗُﻮَّﺓَ ﺇِﻻَّ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ
“Dengan nama Allah, aku hanya bertawakkal kepada Allah. Dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.” (HR. Abu Dawud 4/325 dan At-Tirmidziy 5/490, lihat Shahih At-Tirmidziy 3/151)

Dari Ummu Salamah berkata, 
ما خرج النبي صلى الله عليه و سلم من بيتي قط إلا رفع طرفه الى السماء، فقال: اللهم إني أعوذبك أنْ أضل أو أضل أو أزل أو أزل أو أظلم أو أظلم أو أجهل أو يجهل علي
"Tidaklah nabi shallallahu 'alaihi wa sallam keluar dari rumahku samasekali kecuali beliau mengarahkan pandangan mata beliau ke langit, lalu beliau berdo'a,
اللّٰهُمَّ إِنِّيْ أُعُوْذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلُ عَلَيَّ
"Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu (agar jangan sampai) aku tersesat atau disesatkan, tergelincir atau digelincirkan, berbuat dzalim atau didzalimi, berbuat kebodohan atau dibodohi."
(Diriwayatkan oleh Al Arba'ah, dan Al Albani rahimahullah menshahihkannya)

Tentang MENGUCAPKAN BASMALAH KETIKA MASUK RUMAH DAN KETIKA MAKAN

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang masuk ke rumahnya, lalu berdzikir kepada Allah (menyebut nama Allah) ketika memasukinya dan ketika makan, maka berkatalah syaithan, “Tidak ada tempat menginap (bermalam) bagi kalian (yakni teman-temannya dari bangsa jin) dan tidak ada makan malam.” Dan apabila dia masuk (ke rumahnya) lalu tidak menyebut nama Allah ketika memasukinya, maka berkatalah syaithan, “Kalian mendapatkan tempat menginap.” Dan apabila dia tidak menyebut nama Allah ketika makan, maka berkatalah syaithan, “Kalian mendapatkan tempat menginap dan makan malam.” (HR. Muslim no.2018 dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu)

Tentang SALAT GAIB

Al-Ustadz Abu Karimah Askari Al-Bugisi

Bismillahirrahmanirrahim.
Ustadz bagaimana hukum sholat ghaib? Ada sebagian kaum muslimin membolehkan dengan dalil rasulullah pernah mensholati seorang wanita tua yang meninggal akan tetapi khabar meninggalnya wanita itu didengar Rasulullah setelah beberapa hari kemudian. Mohon penjelasannya Ustadz.
Jazakallahu khairan.

Jawaban:

Yang dimaksud shalat ghaib adalah menshalati jenazah yang berada di lokasi lain, bukan di hadapan orang-orang yang menshalatinya. Para ulama berselisih pendapat tentang siapa saja yang dibolehkan untuk dishalati jenazahnya dalam bentuk shalat ghaib. Di antara mereka ada yang berpendapat bolehnya shalat ghaib pada setiap yang meninggal baik yang telah dishalati secara langsung (bukan ghaib) maupun tidak, adapula yang berpendapat bahwa shalat ghaib khusus bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak untuk yang lainnya. Dan adapula yang mengatakan dibolehkannya menshalati orang yang memiliki kedudukan yang terhormat dalam Islam.

Dan yang rajih dalam masalah ini adalah disyari’atkannya menshalati jenazah seorang muslim yang tidak dishalati dalam bentuk shalat secara langsung di kampung tempat dia meninggal. Adapun bagi jenazah yang telah dishalati secara langsung maka tidak disyari’atkan melaksanakan shalat ghaib untuknya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian Najasyi (Raja negeri Habasyah) rahimahullahu ta’ala pada hari beliau meninggal maka beliau keluar ke Mushalla (tanah lapang untuk tempat shalat) bersama para shahabat, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami shalat bersama mereka dan beliau bertakbir empat kali. Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalati Najasyi disebabkan karena beliau tidak dishalati di negerinya dan beliau menyembunyikan keislamannya hingga wafat, dan Allah mengabarkan berita meninggalnya pada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan telah banyak yang meninggal dari kalangan kaum muslimin di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di berbagai daerah, namun tidak dinukilkan pelaksanaan shalat ghaib atas meninggalnya mereka. Kalaulah shalat ghaib disyari’atkan atas setiap yang meninggal tentunya beliau telah menshalati mereka. Demikian pula meninggalnya orang-orang yang terbaik setelah Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Abu Bakr Ash Shiddiq, Umar bin Al Khathab, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum, namun tidak dinukilkan adanya pelaksanaan shalat ghaib terhadap kematian mereka. Dan ini merupakan pendapat Imam Ahmad dalam satu riwayat, sebagian ahli tahqiq dari kalangan Syafi’iyyah dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Al Albani rahimahumullah ta’ala. Wallahu a’lam bis shawab.

###

Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al-Atsari

Assalamu ‘alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh.
Beberapa hari yang lalu, selepas sholat Jum’at di masjid dekat rumah saya, tiba-tiba diumumkan bahwasanya ada salah seorang yang meninggal dunia. Kemudian dilakukan sholat ghoib. Pertanyaannya, apa dan bagaimana sholat ghoib itu? Apa syarat-syaratnya? Bagaimana pula hukumnya?
Jazakallahu khoiron katsiron.

Jawaban:

Wa ‘alaikum salam wa rohmatullahi wa barokatuh.
Sebenarnya tidak ada definisi khusus tentang sholat ghoib, namun agar saudara lebih memahami, maka gambaran sederhananya ialah: kita mensholatkan seseorang yang telah diketahui meninggal dunia di suatu daerah, sedang jenazahnya tidak hadir di hadapan kita atau tidak hadir di tempat kita. Kemudian, sholat ghoib dilakukan sama seperti halnya sholat jenazah biasa.

Asal munculnya istilah sholat ghoib adalah berdasarkan satu hadits, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian raja Najasyi pada harinya kemudian keluar bersama para sahabatnya menuju lapangan lalu membuat shaf dan bertakbir empat kali. (HR Bukhori Muslim dari sahabat Abu Hurairoh)

Adapun mengenai hukumnya, para ahli ilmu berselisih hingga tiga pendapat yang masyhur.
Pertama: bahwa sholat ghoib disyariatkan dan ia adalah sunnah, ini pendapatnya Syafi’i dan Ahmad, berdalil dengan hadits di atas.
Kedua: hukum ini berlaku khusus bagi jenazahnya raja Najasyi, tidak untuk yang lainnya, ini pendapatnya Malik dan Abu Hanifah dengan dalil bahwa peristiwa sholat ghoib ini tidak pernah ada kecuali pada kejadian meninggalnya raja Najasyi.
Ketiga: mengkompromikan/menjamak antara dalil-dalil, yakni apabila seseorang meninggal dunia di suatu daerah (negeri dan belum) tidak ada yang mensholatkannya, maka dilakukan sholat ghoib, seperti yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam atas raja Najasyi karena ia meninggal di lingkungan/tempat orang-orang kafir dan belum disholatkan. Adapun jika telah disholatkan di tempat dia meninggal atau tempat lainnya, maka tidak dilaksanakan sholat ghoib karena kewajiban untuk mensholatkannya telah gugur dengan sholatnya kaum muslimin atasnya. Ini pendapatnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan dirajihkan oleh Al Khattabi, serta Abu Dawud membuat bab tentangnya dalam Sunannya, dikuatkan pula oleh Al Albany dan Muqbil bin Hadi Al Wadi’i semoga Allah merahmati semuanya.

Di antara pendapat-pendapat ini yang kami lihat lebih kuat dan menurut kami lebih dekat kepada kebenaran adalah pendapat yang ketiga. Wal ‘ilmu indallah.

###

Al-Ustadz Arif hafidzahullah

Seseorang yang meninggal dunia di sebuah negeri dan tidak ada seorang pun yang menyalatkannya di depan jenazah.

Maka jenazah seperti ini dishalatkan oleh sekelompok kaum muslimin dengan shalat ghaib walaupun di negeri yang lain. Hal ini berdasarkan shalat ghaib yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk an-Najasyi, raja negeri Habasyah. Oleh karena itu bukan bagian dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyalatkan setiap jenazah dengan shalat ghaib. (Zadul Ma’ad 1/205-206)

Di antara dasar yang menguatkan pendapat bahwa shalat ghaib tidak disyariatkan untuk setiap jenazah yang berada di tempat yang jauh adalah ketika para Khulafa’ur Rasyidin dan selain mereka meninggal dunia, tidak seorang pun dari kaum muslimin yang berada di tempat yang jauh menyalatkannya dengan shalat ghaib. Jika memang mereka melakukannya tentu akan didapati banyak penukilan tentang hal ini dari mereka.

###

Asy Syeikh Bin Baaz rohimahullah

Hukum sholat ghoib ada rinciannya:

Sebagian Ulama' berpendapat bahwa tidak boleh dilaksanakan sholat ghaib bagi orang yang sudah disholatkan di negerinya.

Dan sebagian Ulama' berpendapat boleh dilaksanakan sholat ghaib JIKA orang yang meninggal punya nama didalam islam seperti Najasyi rohimahullah.

Yang mana Nabi Shollallahu Alaihi Wa Sallam melakukan sholat ghaib untuk Najasyi ketika Najasyi meninggal di negerinya dan mengabarkan hal ini kepada para shohabat kemudian beliau Shollallahu Alaihi Wa Sallam melakukan sholat ghaib.
Dan tidak ada riwayat Beliau Shollallahu Alaihi Wa Sallam melakukan sholat ghaib selain untuk Najasyi.

Apabila ada seorang pemimpin yang baik dan adil meninggal dunia maka maka hendaknya pemerintah melakukan sholat ghaib untuknya, dan hendaknya dia memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan sholat ghaib.
Begitu pula jika yang meninggal para Ulama' maka jika dilaksanakan sholat ghaib untuk mereka maka ini adalah sesuatu yang baik, sebagaimana Nabi Shollallahu Alaihi Wa Sallam melakukan sholat ghaib untuk Najasyi.

Adapun orang per orang maka TIDAK DIANJURKAN untuk dilakukan sholat ghaib untuk mereka, karena Nabi Shollallahu Alaihi Wa Sallam tidak melakukan sholat ghaib untuk SEMUA ORANG YANG MENINGGAL, yang ada  beliau Shollallahu Alaihi Wa Sallam hanya melakukan sholat ghaib untuk satu orang saja yaitu Najasyi, karena Najasyi punya jasa didalam islam.
Najasyi telah melindungi Shohabat yang hijroh ke Habasyah, dia lindungi para Shohabat, dia menolong mereka, dia jaga para Shohabat, dan dia berbuat baik terhadap Shohabat.
Sehingga Najasyi termasuk orang yang memiliki jasa besar di dalam islam, oleh karena itu ketika beliau meninggal maka Nabi Shollallahu Alaihi Wa Sallam mensholatinya bersama para shohabat.

Maka barangsiapa yang punya kedudukan seperti ini dan dia punya jasa besar didalam islam maka boleh dilakukan sholat ghaib atasnya.
Sebagaimana di negeri ini (Saudi Arabia) pernah kaum muslimin melakukan sholat ghaib untuk presiden pakistan Dhiyaul Haq rohimahullah, karena dia memiliki kebijakan kebijakan yang baik untuk  kepentingan islam.
Yang mana pemerintah saudi memerintahkan untuk dilakukan sholat ghaib atasnya di Al Haramain dan telah terlaksana sholat ghaib untuknya.
Dia adalah orang yang pantas untuk dilakukan sholat ghaib atasnya, karena kebijakan kebijakannya yang bagus dan perhatiannya untuk menegakkan hukum islam, yang mana dia memerintahkan untuk menegakkan syareat islam dan serius terhadap penegakan syareat, kita memohon kepada Allah ampunan untuk kita dan untuknya.

Dan yang dimaukan adalah siapa saja yang memiliki jasa didalam islam, baik mereka itu pemerintah atau para Ulama' apabila mereka meninggal dunia maka kaum muslimin di negeri yang lain atau di negeri mereka sendiri disyareatkan untuk melakukan sholat ghaib sebagaimana kisah Najasyi diatas, Wallahu Waliyyut Taufiq.

Sumber: http://www.binbaz.org.sa/node/2613

Alih bahasa: Abu Arifah Muhammad Bin Yahya Bahraisy

Berbagi ilmu agama

WA Al Istifadah
WALIS

###

ASY-SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL-'UTSAIMIN رحمه اللّٰه

PERTANYAAN
هل تشرع الصّلاة على الغائب مطلقا؟
Apakah sholat ghaib itu disyariatkan secara mutlak?

JAWABAN
القول الراجح من أقوال أهل العلم أن الصّلاة على الغائب غير مشروعة إﻻ لمن لم يصل عليه. كما لو مات شخص في بلد كفار ولم يصل عليه أحد فإنه تجب الصّلاة عليه، وأما من صلى عليه فالصحيح أن الصّلاة عليه غير مشرو عة أي على الغائب، ﻷن ذلك لم يرد في السّنّة إﻻ في قصة النجاشي 
Pendapat yang rajih (kuat) diantara pendapat para ulama adalah bahwa shalat ghaib tidaklah disyariatkan kecuali bagi jenazah yang belum dishalatkan sama sekali. Sebagai contoh ada seorang muslim yang meninggal di negara kafir dan tidak ada seorang pun yang menshalatkannya, maka menshalatkannya hukumnya adalah wajib.
Adapun orang yang telah dishalatkan, maka yang shahih (benar) adalah bahwa menshalatkannya dengan shalat ghaib tidak disyariatkan. Karena yang seperti ini tidak pernah diriwayatkan di dalam as-Sunnah kecuali pada kisah Raja an-Najasyi.
HR. al-Bukhari, Kitabul Janaiz (1327) dan Muslim Kitabul Janaiz (951).
والنجاشي لا يصلّى عليه في بلده؛ فلذلك صلى عليه  النبي صلى الله عليه وسلم في المدينة
Sedangkan Raja an-Najasyi tidak dishalatkan di negerinya. Maka ketika Nabi mengetahui hal tersebut beliau pun menshalatkannya bersama para shahabatnya di kota Madinah.
وقد مات الكبراء والزعماء و لم ينقل أنه صلى الله عليه وسلم صلى عليهم. وقال بعض أهل العلم: من كان فيه منفعة في الدين بماله أو علمه فإنه يصلى عليه صلاة الغائب.... ومن لم يكن كذلك فلا يصلى عليه، و قال بعض أهل العلم: يصلى على الغائب مطلقا وهذا أضعف اﻹقوال
Para pembesar dan penguasa yang lain banyak yang meninggal, namun tidak pernah diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau menshalatkan mereka secara ghaib.
Akan tetapi sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa orang yang berjasa besar terhadap Islam baik dengan harta ataupun ilmunya, maka dishalatkan dengan shalat ghaib. Adapun orang yang tidak seperti itu, tidak perlu untuk dishalatkan. Namun ada sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa shalat ghaib itu disyariatkan secara mutlak. Tetapi pendapat ini adalah pendapat yang paling lemah.

SUMBER:
 سبعون سؤالا في أحكام الجنائز طـ مدار الوطن - السعوديّة ١٤٣٢ ه٠
Alih Bahasa: Miqdad al-Ghifary hafizhahullaah

WhatsApp Riyadhul Jannah

http://postinganwhatsapp.blogspot.co.id/2015/01/shalat-ghaib-hanya-disyariatkan-bagi.html

Tentang BARANG YANG SUDAH DIBELI TIDAK DAPAT DIKEMBALIKAN ATAU DITUKAR

Pertanyaan: Apa hukum syari’at menulis ungkapan “Barang yang dibeli tidak boleh dikembalikan atau ditukar” yang ditulis oleh sebagian toko di faktur yang mereka keluarkan, dan apakah syarat semacam ini boleh menurut syari’at, dan apa nasehat Anda tentang perkara ini?

Jawaban:
Menjual barang dengan syarat tidak boleh dikembalikan dan tidak boleh ditukar adalah tidak boleh, karena itu merupakan syarat yang tidak sah karena mengandung tindakan merugikan pihak lain dan tindakan menyembunyikan cacat barang yang dijual, juga karena tujuan dari penjual dengan membuat syarat semacam ini adalah mengharuskan pembeli untuk menerima barang walaupun barang tersebut memiliki cacat, sementara penentuan syarat semacam ini tidak bisa membersihkan cacat yang ada pada barang tersebut. Jadi seandainya barang tersebut memiliki cacat, maka pembeli boleh untuk meminta ganti dengan barang yang tidak memiliki cacat, atau dia boleh meminta kompensasi dari cacat yang ada tersebut.
Juga karena harga yang sempurna merupakan imbalan bagi barang yang bagus kualitasnya, dan tindakan penjual mengambil pembayaran dalam keadaan barang yang dia jual memiliki cacat merupakan perbuatan mengambil tanpa hak. Dan karena syariat menegakkan syarat yang telah dikenal di tengah-tengah manusia (seperti tidak boleh menjual barang yang cacat) sama seperti syarat yang terucap, dan hal itu tujuannya adalah agar barang yang diperjualbelikan bebas dari cacat, sehingga boleh baginya untuk mengembalikannya jika ternyata didapati ada cacatnya. Hal ini merupakan penerapan bagi pensyaratan bebasnya barang yang diperjualbelikan dari cacat yang telah dikenal di tengah-tengah manusia, walaupun syarat tersebut tidak diucapkan.

Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’

Tertanda,
Ketua:
Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Anggota:
Abdullah bin Ghudayyan
Shalih Al-Fauzan
Abdul Aziz Alusy Syaikh
Bakr Abu Zaid

Sumber artikel:
Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’ XIII/187-198, fatwa no. 13788

Alih Bahasa: Abu Almass

###

Pertanyaan: Bagaimana menurut Anda –baarakallahu fiikum– tentang apa yang dilakukan oleh sebagian pedagang berupa kesepakatan dengan pembeli bahwa pembeli boleh mengembalikan barang yang dia beli jika dia menginginkan, namun dia tidak boleh meminta kembali uang yang dibayarkan, tetapi dia boleh memilih barang lain yang ada pada penjual yang dia inginkan yang seharga dengan barang yang dikembalikan. Kalau dia tidak mendapatkan barang yang sesuai pada penjual, maka penjual menulis uang pembayaran si pembeli, tujuannya jika kapan saja dia ingin membeli sesuatu dari toko tersebut dia bisa menggunakan uang tersebut sebagai deposit.

Jawaban:
Boleh mensyaratkan untuk menentukan pilihan atau keputusan dalam jual beli untuk jangka waktu tertentu, dan pembeli boleh mengembalikan barang yang telah dia beli dalam waktu yang telah disepakati tersebut, dan dia boleh mengambil kembali uang yang telah dia bayarkan kepada penjual, karena itu adalah hartanya. Adapun pensyaratan tidak boleh meminta kembali uang yang telah dibayarkan oleh si pembeli dan hanya boleh digunakan untuk membeli barang yang lain kepada si penjual, maka ini merupakan syarat yang bathil dan tidak boleh diterapkan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:
ﻛُﻞُّ ﺷَﺮْﻁٍ ﻟَﻴْﺲَ ﻓِﻲْ ﻛِﺘَﺎﺏِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﻬُﻮَ ﺑَﺎﻃِﻞٌ ﻭَﺇِﻥْ ﻛَﺎﻥَ ﻣِﺎﺋَﺔَ ﺷَﺮْﻁٍ
“Semua syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah adalah bathil, walaupun ada 100 syarat.” (HR. Al-Bukhary no. 2155 dan Muslim no. 1504)
ﻭَﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﺍﻟﺘَﻮْﻓِﻴْﻖُ ﻭَﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻧَﺒِﻴِّﻨَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﺁﻟِﻪِ ﻭَﺻَﺤْﺒِﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ
Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta ’

Tertanda:
Ketua:
Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Anggota:
Abdullah bin Ghudayyan
Shalih Al-Fauzan
Abdul Aziz Alus Syaikh
Bakr Abu Zaid

Sumber artikel:
Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah lil Buhutsil Ilmiyyah wal Ifta’, XIII/199, fatwa no. 19804

Alih Bahasa: Abu Almass

Tentang MENGUNJUNGI DAN MENJENGUK SAUDARA SESAMA MUSLIM

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, beliau bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﻋَﺎﺩَ ﺍﻟﺮَّﺟُﻞُ ﺃَﺧَﺎﻩُ ﺃَﻭْ ﺯَﺍﺭَﻩُ، ﻗَﺎﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟَﻪُ : ﻃِﺒْﺖَ ﻭَﻃَﺎﺏَ ﻣَﻤْﺸَﺎﻙَ، ﻭَﺗَﺒَﻮَّﺃْﺕَ ﻣَﻨْﺰِﻻً ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ
“Jika seseorang menjenguk saudaranya atau mengunjunginya, maka Allah mengatakan kepadanya: Semoga kehidupanmu menjadi baik dan langkahmu menjadi baik, dan engkau telah mempersiapkan sebuah tempat tinggal di surga.“

Syaikh Zaid bin Muhammad al-Madkholy rahimahullah, ketika menjelaskan hadits yang terdapat dalam kitab al-Adabul Mufrod tersebut, beliau berpendapat:

Dan dalam hadits ini terdapat hasungan dan dorongan agar seorang muslim mengunjungi saudara muslim yang lain dalam rangka mencari dan mengharap pahala dari Allah ‘Azza wa Jalla, dan sangat menginginkan (rakus) terhadap pahala yang telah dijanjikan ini. Dan yang demikian itu, ketika seseorang mengunjungi saudaranya:
✔ Jika saudaranya itu sakit maka dia menjenguk/membesuknya, mendoakannya dan menghiburnya.
✔ Dan jika saudaranya itu sehat maka dia menghiburnya, mengingatkannya dan mendoakan kebaikan untuknya.

Maka sesungguhnya dengan kunjungan ini dan besukannya itu akan mengakibatkan apa yang disabdakan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah ‘Azza wa Jalla mengatakan kepadanya, “Semoga kehidupanmu menjadi baik dan langkahmu menjadi baik, dan engkau telah mempersiapkan sebuah tempat tinggal di surga.”

Dan ini adalah seruan yang penuh berkah. Bagaimana tidak, seruan ini berasal dari Dzat yang Maha Penyayang dari semua penyayang, yang Maha Pemurah dari semua dermawan, Dialah Robb semesta alam. Dan ini adalah di antara kemuliaan dan puncak tujuan (cita-cita) bagi seorang mukmin, yaitu: dia dicintai oleh Sang Robb Tabaroka wa Ta’ala. Dan Dia menganugrahinya sebuah tempat tinggal di surga, negeri keabadian.

Dan yang perlu diperhatikan adalah hendaknya kunjungan dan besukan tersebut dilakukan dengan cara yang baik/sopan, dan tiada lain niat melakukannya adalah untuk mengharap pahala, memasukkan rasa senang kepada saudara muslimmu dengan kunjungan tersebut, dan mendoakan kesembuhan jika dia sakit, dan mendoakan agar senantiasa mendapat perlindungan, taufiq dan kelurusan jika dia selamat dan sehat. Semua itu termasuk di antara tuntutan syariat dan termasuk anugrah yang indah. Maka segala puji bagi Allah dan rasa syukur terpanjat kepada-Nya atas kebaikan dan kemurahan-Nya kepada para hamba-Nya yang beriman nan penuh kelemahan yang mereka mendekatkan diri kepada-Nya dengan amalan yang ringan namun Dia memberi pahala yang banyak atas amalan itu.

(‘Aunul Ahadis Shomad, Syarhul Adabil Mufrad, hal 345)

WhatsApp Salafiyyin Jogja

###

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam:
ﺃَﻥَّ ﺭَﺟُﻠًﺎ ﺯَﺍﺭَ ﺃَﺧًﺎ ﻟَﻪُ ﻓِﻲ ﻗَﺮْﻳَﺔٍ ﺃُﺧْﺮَﻯ ﻓَﺄَﺭْﺻَﺪَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺪْﺭَﺟَﺘِﻪِ ﻣَﻠَﻜًﺎ، ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺃَﺗَﻰ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻗَﺎﻝَ: ﺃَﻳْﻦَ ﺗُﺮِﻳﺪُ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﺃُﺭِﻳﺪُ ﺃَﺧًﺎ ﻟِﻲ ﻓِﻲ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟْﻘَﺮْﻳَﺔِ. ﻗَﺎﻝَ: ﻫَﻞْ ﻟَﻚَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻣِﻦْ ﻧِﻌْﻤَﺔٍ ﺗَﺮُﺑُّﻬَﺎ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﻟَﺎ ﻏَﻴْﺮَ ﺃَﻧِّﻲ ﺃَﺣْﺒَﺒْﺘُﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ. ﻗَﺎﻝَ: ﻓَﺈِﻧِّﻲ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﺑِﺄَﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻗَﺪْ ﺃَﺣَﺒَّﻚَ ﻛَﻤَﺎ ﺃَﺣْﺒَﺒْﺘَﻪُ ﻓِﻴﻪِ
Ada seseorang mengunjungi saudaranya di sebuah desa. Maka Allah Subhanahu wata’ala mengutus malaikat-Nya untuk menjaganya di dalam perjalanannya. Maka tatkala malaikat tersebut menemuinya, malaikat itu bertanya, “Kamu hendak pergi ke mana?” Dia menjawab, “Aku ingin mengunjungi saudaraku di desa ini.” Malaikat itu bertanya lagi, “Apakah kamu memiliki suatu kenikmatan yang bisa diberikan kepadanya?” Dia menjawab, “Tidak. Hanya saja aku mencintai dia karena Allah Subhanahu wata’ala.” Maka malaikat itu menyatakan, “Aku adalah utusan Allah Subhanahu wata’ala kepadamu (untuk mengabarkan kepadamu) bahwa Allah Subhanahu wata’ala sungguh mencintaimu sebagaimana kamu mencintainya karena-Nya.” (HR. Muslim)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu berkata:
Abu Bakr berkata kepada ‘Umar setelah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam meninggal, “Berangkatlah bersama kami mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana biasanya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam mengunjunginya.” Maka setelah keduanya sampai, Ummu Aiman menangis. Keduanya bertanya, “Apa yang menjadikan kamu menangis? Tidakkah kamu yakin bahwa apa yang di sisi Allah Subhanahu wata’ala itu lebih baik bagi Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam?” Ummu Aiman radhiyallahu anha menjawab, “Aku menangis bukan karena aku tidak meyakini bahwa apa yang ada di sisi Allah Subhanahu wata’ala itu lebih baik bagi Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Akan tetapi aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit.” Maka dia menyebabkan keduanya (Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu anhuma) menangis. Sehingga mulailah keduanya menangis bersamanya. (HR. Muslim 3454)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Ziarah (kunjungan) itu memiliki banyak faedah, di antaranya: akan membuahkan pahala yang besar, melunakkan dan menyatukan hati, mengingatkan saudaranya yang lupa, memperingatkan saudaranya yang lalai, serta mengajarkan ilmu kepada saudaranya yang jahil. Dan di dalamnya ada kebaikan yang banyak. Orang yang mengamalkannya akan mengetahui kebaikan tersebut.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/116)

Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
ﺣَﻖُّ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺧَﻤْﺲٌ؛ ﺭَﺩُّ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡِ، ﻭَﻋِﻴَﺎﺩَﺓُ ﺍﻟْﻤَﺮِﻳﺾِ، ﻭَﺍﺗِّﺒَﺎﻉُ ﺍﻟْﺠَﻨَﺎﺋِﺰِ، ﻭَﺇِﺟَﺎﺑَﺔُ ﺍﻟﺪَّﻋْﻮَﺓِ، ﻭَﺗَﺸْﻤِﻴﺖُ ﺍﻟْﻌَﺎﻃِﺲِ
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: membalas salam, menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, memenuhi undangan, dan menjawab orang yang bersin.”
Dalam riwayat Muslim:
ﺣَﻖُّ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺳِﺖٌّ. ﻗِﻴﻞَ: ﻣَﺎ ﻫُﻦَّ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﺇِﺫَﺍ ﻟَﻘِﻴﺘَﻪُ ﻓَﺴَﻠِّﻢْ ﻋَﻠَﻴْﻪِ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺩَﻋَﺎﻙَ ﻓَﺄَﺟِﺒْﻪُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺍﺳْﺘَﻨْﺼَﺤَﻚَ ﻓَﺎﻧْﺼَﺢْ ﻟَﻪُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻋَﻄَﺲ ﻓَﺤَﻤِﺪَ ﺍﻟﻠﻪَ ﻓَﺴَﻤِّﺘْﻪُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻣَﺮِﺽَ ﻓَﻌُﺪْﻩُ، ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻣَﺎﺕَ ﻓَﺎﺗَّﺒِﻌْﻪُ
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam. Ditanyakan: “Apa saja wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Bila engkau bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya, bila dia mengundangmu maka penuhilah undangannya, bila dia meminta nasihat maka berilah dia nasihat, bila dia bersin lalu memuji Allah maka jawablah, bila dia sakit maka jenguklah, dan bila dia mati maka ikutilah (jenazahnya‏).”

###

Syaikh Shalih Fauzan

Jika terdapat saudaramu (yang muslim) ada yang sakit, maka sudah semestinya engkau menengoknya dalam rangka:
- Melapangkan dirinya
- Menenangkan kekhawatirannya
- Mendoakan kesembuhan untuknya.

Ketika engkau mengunjunginya, maka akan menghasilkan suatu pengaruh positif padanya, di antaranya adalah: 
Akan baik jiwanya dan lapang dadanya. 
Karena orang sakit itu jiwanya terasa sempit.

Ketika ada saudaranya datang menjenguknya, maka tidak diragukan lagi, rasa sakitnya akan terasa ringan.

Tapi jangan engkau katakan ketika menjenguknya dengan ucapan: 
"Kamu ini orang sakit."
Atau ucapan,
"Sakitmu sepertinya bertambah parah."
Laa haula wala quwwata illa billah!

Hendaknya engkau ucapkan:
"Masya Allah, engkau hari ini terlihat lebih membaik."
Atau ucapan yang semisal.

Kecuali jika memang pada dirinya terdapat tanda-tanda kematian, maka engkau ingatkan kepadanya urusan wasiat dan syahadah.

(Silahkan lihat Tas-hilul Ilmam-Syaikh Shalih Fauzan, jil. 6, hal. 155-156)

###

Keutamaan Menjenguk Orang Sakit

Para pembaca rahimakumullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyebutkan beberapa keutamaan menjenguk orang sakit. Di antaranya adalah:

1. Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ عَادَ مَرِيضًا لَمْ يَزَلْ فِي خُرْفَةِ الْجَنَّةِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا خُرْفَةُ الْجَنَّةِ قَالَ جَنَاهَا
“Barang siapa menjenguk saudaranya yang sakit maka dia senantiasa berada di Khurfatul jannah sampai dia pulang.” Lalu ditanyakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, apa khurfatul jannah itu? Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Memetik buah-buahan di surga.” (HR. Muslim no. 2568 dari sahabat Tsauban radhiyallahu ‘anhu)

2. Sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ﻣَﺎ ﻣِﻦْ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ ﻳَﻌُﻮﺩُ ﻣُﺴْﻠِﻤًﺎ ﻏُﺪْﻭَﺓً ﺇِﻟَّﺎ ﺻَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺳَﺒْﻌُﻮﻥَ ﺃَﻟْﻒَ ﻣَﻠَﻚٍ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﻤْﺴِﻲَ، ﻭَﺇِﻥْ ﻋَﺎﺩَﻩُ ﻋَﺸِﻴَّﺔً ﺇِﻟَّﺎ ﺻَﻠَّﻰ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺳَﺒْﻌُﻮﻥَ ﺃَﻟْﻒَ ﻣَﻠَﻚٍ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﺼْﺒِﺢَ، ﻭَﻛَﺎﻥَ ﻟَﻪُ ﺧَﺮِﻳﻒٌ ﻓِﻲ ﺍﻟﺠَﻨَّﺔِ
“Tidaklah seorang muslim menjenguk muslim yang lain pada pagi hari melainkan 70.000 malaikat akan bershalawat (mendoakan ampunan) baginya sampai sore hari. Jika menjenguk pada sore hari maka 70.000 malaikat akan bershalawat baginya sampai pagi hari. Dia pun berhak untuk memiliki buah-buahan yang dipetik di surga.” (HR. at-Tirmidzi dari sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu)

Adab Menjenguk Orang Sakit

Ada beberapa adab dan bimbingan bagi seseorang yang menjenguk saudaranya yang sedang sakit. Di antaranya adalah:

1. Hendaknya meniatkan amalan tersebut karena Allah subhanahu wa ta’ala dan meneladani baginda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan untuk tujuan dunia.

2. Berharap agar amalan yang dilakukannya itu bisa memberikan kebaikan dan kebahagiaan bagi saudaranya yang sedang sakit.

3. Alangkah baiknya jika kesempatan menjenguk dimanfaatkan untuk menghibur si sakit dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti mengingatkan untuk bersabar, bertaubat, beristighfar, dan yang semisal dengan itu. Jangan menyampaikan hal-hal yang dapat menambah beban si sakit.

4. Jangan lupa mendoakannya, di antara doa yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:
ﻻَ ﺑَﺄْﺱَ ﻃَﻬُﻮْﺭٌ ﺇِﻥْ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠﻪُ
“Tidak mengapa, insya Allah (sakit ini) sebagai pembersih.” (HR. al-Bukhari dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa menjenguk orang sakit yang belum datang ajalnya lalu dia mengucapkan doa,
ﺃَﺳْﺄَﻝُ ﺍﻟﻠﻪَ ﺍﻟْﻌَﻈِﻴْﻢَ ﺭَﺏَّ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﻟْﻌَﻈِﻴْﻢِ ﺃَﻥْ ﻳَﺸْﻔِﻴَﻚَ
“Aku meminta kepada Allah yang Maha Kuasa, Rabb al-’Arsy yang agung, agar memberikan kesembuhan kepadamu” sebanyak 7 kali, niscaya Allah akan memberikan kesembuhan kepadanya.” (HR. at-Tirmidzi dan Abu Dawud dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

5. Tidak mengapa membawa sesuatu untuk dihadiahkan kepada si sakit, karena dengan hadiah akan semakin erat tali persaudaraan dan kasih sayang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺗَﻬَﺎﺩُﻭْﺍ ﺗَﺤَﺎﺑُّﻮْﺍ
“Saling memberikan hadiahlah di antara kalian niscaya kalian akan saling mencintai.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

6. Hendaknya tidak berkunjung atau menjenguk di waktu-waktu yang memberatkan si sakit, seperti waktu-waktu tidur atau istirahat.

7. Meruqyah si sakit dengan membacakan kepadanya bacaan-bacaan yang disyariatkan yaitu ayat-ayat Al-Qur`an atau doa-doa yang tidak mengandung kesyirikan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
ﻭَﻧُﻨَﺰِّﻝُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥِ ﻣَﺎ ﻫُﻮَ ﺷِﻔَﺎﺀٌ ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔٌ ﻟِﻠْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra`: 82)
Al-Qur`an itu mengandung obat dan rahmat. Namun kandungan tersebut tidak bermanfaat bagi setiap orang dan hanya bermanfaat bagi orang yang beriman dengannya, yang membenarkan ayat-ayat-Nya, dan mengilmuinya. Adapun orang-orang yang zalim, yang tidak membenarkannya atau tidak beramal dengannya, maka Al-Qur`an tidak akan menambahkan kepada mereka kecuali kerugian. (Lihat Tafsir as-Sa’di)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjenguk sebagian keluarganya yang sakit lalu beliau mengusap si sakit dengan tangan kanannya sambil membaca:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺭَﺏَّ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﺃَﺫْﻫِﺐِ ﺍﻟْﺒَﺄْﺱَ، ﺍﺷْﻒِ، ﺃَﻧْﺖَ ﺍﻟﺸَّﺎﻓِﻲْ ﻻَ ﺷِﻔَﺎﺀَ ﺇِﻻَّ ﺷِﻔَﺎﺀُﻙَ، ﺷِﻔَﺎﺀً ﻻَ ﻳُﻐَﺎﺩِﺭُ ﺳَﻘَﻤًﺎ
“Ya Allah, Rabb seluruh manusia, hilangkanlah penyakit ini. Sembuhkanlah, Engkau adalah Dzat yang Maha Menyembuhkan. (Maka) tidak ada obat (yang menyembuhkan) kecuali obatmu, kesembuhan yang tidak meninggalkan penyakit.” (Muttafaqun ‘alaih)

8. Jika yang menjenguk itu dari kalangan orang yang berilmu hendaknya mengajarkan hal-hal penting yang belum diketahui si sakit, seperti tata cara bersuci dan shalat bagi orang sakit dan yang lainnya.

9. Lihatlah bagaimana keadaan si sakit. Jika si sakit merasa senang dengan berlama-lama di rumahnya maka hendaknya tidak segera pulang demi memberikan kebahagiaan kepada si sakit. Namun jika si sakit merasa gelisah dan kurang nyaman berlama-lama dengannya maka hendaknya tidak berlama-lama di rumahnya dan bersegera meminta izin pulang.

10. Jika memang memungkinkan, boleh bagi si penjenguk meminta kepada si sakit agar mendoakannya dengan kebaikan karena keadaan sakit merupakan salah satu momen dikabulkannya doa.

11. Jika ternyata si sakit berada di tempat pengobatan umum, seperti rumah sakit dan semisalnya maka hendaknya memperhatikan kerapian diri serta memperhatikan tata tertib dan aturan di tempat tersebut. Seperti berpakaian yang rapi dan sopan, melihat jadwal waktu-waktu berkunjung, tidak membuat gangguan bagi si sakit dan pasien yang lain semisal merokok, berkata kotor, gaduh, tidak sopan, dan yang lainnya.

12. Jangan lupa, ketika sedang menjenguk si sakit untuk banyak bersyukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang senantiasa memberikan nikmat kesehatan kepadanya. Karena seseorang itu seringkali menyadari kadar nikmat Allah subhanahu wa ta’ala ketika melihat orang lain yang kehilangan nikmat tersebut, baik karena dicabut oleh Allah subhanahu wa ta’ala atau belum dikaruniai nikmat tersebut atau ketika dirinya sendiri telah kehilangan nikmat tersebut.

Nasehat untuk Keluarga si Sakit

Perlu saya nasehatkan kepada keluarga dan kerabat si sakit untuk senantiasa bersabar atas ujian yang menimpanya. Hendaknya senantiasa menjadikan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bimbingan ketika melayani si sakit. Termasuk ketika mengobati si sakit hendaklah menempuh cara-cara yang syar’i dan meninggalkan cara-cara yang tidak syar’i seperti membawanya ke dukun atau paranormal.
Begitu juga ketika diketahui ada tanda-tanda ajal akan menjemputnya maka hendaknya menalqinkan atau memerintahkannya untuk mengucapkan Laa ilaaha illallah. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Talqinkanlah kepada orang yang menjelang kematiannya kalimat Laa ilaaha illallah. Barang siapa yang akhir ucapannya Laa ilaaha illallah maka dia akan masuk surga…” (HR. Muslim)
Wallahu a’lam bish shawab.

Penulis: Ustadz Abdullah Imam hafizhahullahu ta’ala

Sumber: Ma’had As-Salafy Jember

WA Salafy Manokwari
via WA Al-Manshuroh

Fawaaid WA Salafy Ahlussunnah wal Jama'ah

Tentang DUDUK ISTIRAHAT DAN TATA CARA BANGKIT DARI SUJUD DI DALAM SHALAT

Al-Lajnah ad-Daimah lil Buhuts al-Ilmiyyah yang saat itu diketuai oleh Samahatusy Syaikh Ibnu Baz rahimahullah, ketika membahas tentang masalah ini, mereka mengatakan, "Ulama sepakat bahwa duduk setelah mengangkat kepala dan tubuh dari sujud yang kedua pada rakaat pertama dan ketiga serta sebelum bangkit ke rakaat kedua dan keempat, bukanlah amalan yang termasuk kewajiban shalat, bukan pula sunnah yang ditekankan (mu’akkadah) dalam shalat. Ulama berbeda pendapat setelah itu, apakah duduk ini sunnah saja, atau bukan termasuk gerakan shalat sama sekali (sehingga tidak boleh diamalkan), atau boleh dilakukan oleh orang yang membutuhkannya karena tubuh yang lemah karena usia, sakit, atau kegemukan." (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 6/447—448)

Pendapat pertama: duduk istirahat dan bangkit berdiri dengan bertumpu di atas kedua tangan

Malik ibnul Huwairits radhiallahu anhu berkata,
ﺃَﻵ ﺃُﺣَﺪِّﺛُﻜُﻢْ ﻋَﻦْ ﺻَﻼَﺓِ ﺭَﺳُﻮْﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ؟ ﻓَﺼَﻠَّﻰ ﻓِﻲ ﻏَﻴْﺮِ ﻭَﻗْﺖِ ﺻَﻼَﺓٍ. ﻓَﺈِﺫَﺍ ﺭَﻓَﻊَ ﺭَﺃْﺳَﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴَّﺠْﺪَﺓِ ﺍﻟﺜَّﺎﻧِﻴَﺔِ ﻓِﻲ ﺃَﻭَّﻝِ ﺭَﻛْﻌَﺔٍ، ﺍﺳْﺘَﻮَﻯ ﻗَﺎﻋِﺪًﺍ، ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻡَ ﻓَﺎﻋْﺘَﻤَﺪَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ.
“Maukah aku gambarkan kepada kalian cara shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam?” Lalu Malik shalat di luar waktu shalat. Tatkala ia mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua pada rakaat yang awal, ia duduk tegak. Kemudian baru bangkit dengan bertumpu (dengan kedua tangannya) di atas tanah. (HR. asy-Syafi’i dalam al-Umm no. 198, an-Nasa’i no. 1153, dan al-Baihaqi 2/124,125. Sanadnya sahih di atas syarat Syaikhani sebagaimana disebutkan dalam al-Irwa 2/82)

Dalam riwayat al-Bukhari (no. 824) disebutkan Malik ibnul Huwairits radhiallahu anhu mencontohkan shalat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada orang-orang. Ketika Ayyub, salah seorang perawi hadits ini, bertanya kepada Abu Qilabah, syaikhnya yang menyampaikan hadits ini dari Malik radhiallahu anhu tentang bagaimana cara shalat yang dicontohkan Malik, maka kata Abu Qilabah seperti shalat yang dilakukan syaikh kita ‘Amr ibnu Salamah.
ﻗﺎﻝ ﺃﻳﻮﺏ ﻭﻛﺎﻥ ﺫﻟﻚ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻳﺘﻢ ﺍﻟﺘﻜﺒﻴﺮ ﻭﺇﺫﺍ ﺭﻓﻊ ﺭﺃﺳﻪ ﻋﻦ ﺍﻟﺴﺠﺪﺓ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﺟﻠﺲ ﻭﺍﻋﺘﻤﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺭﺽ ﺛﻢ ﻗﺎﻡ
Ayyub berkata, "Adapun syaikh tersebut maka dia menyempurnakan takbir, dan bila mengangkat kepalanya dari sujud yang kedua, ia duduk dan bertumpu di atas tanah, kemudian baru bangkit berdiri."

Adapun yang berkata bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melakukannya karena ada kebutuhan, maka anggapan seperti ini tidak boleh dipakai untuk menolak sunnah yang sahih. Apalagi duduk istirahat ini telah diriwayatkan oleh sejumlah sahabat yang mencapai lebih dari sepuluh orang. Kalau memang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukannya karena ada kebutuhan, bukan karena sunnah, bagaimana bisa hal tersebut tersembunyi bagi para sahabat yang mulia tersebut. Terlebih lagi, di antara mereka ada Malik ibnul Huwairits radhiallahu anhu, yang menyampaikan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam,
ﺻَﻠُّﻮﺍ ﻛَﻤَﺎ ﺭَﺃَﻳْﺘُﻤُﻮﻧِﻲ ﺃُﺻَﻠِّﻲ
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”

An-Nawawi berkata:
Yang lebih memperkuat hal ini adalah sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam kepada Malik ibnul Huwairits radhiallahu anhu setelah ia shalat bersama beliau dan menghafal ilmu dari beliau selama dua puluh hari lantas ingin pulang kepada keluarganya,
ﺍﺫْﻫَﺒُﻮﺍ ﺇِﻟَﻰ ﺃَﻫْﻠِﻴْﻜُﻢْ، ﻭَﻣُﺮُﻭْﻫُﻢْ ﻭَﻋَﻠِّﻤُﻮْﻫُﻢْ ﻭَﺻَﻠُّﻮﺍ ﻛَﻤَﺎ ﺭَﺃَﻳْﺘُﻤُﻮﻧِﻲ ﺃُﺻَﻠِّﻲ
“Pulanglah kalian kepada keluarga kalian, perintahlah dan ajarilah mereka. Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.”
Semua ini ada dalam Shahih al-Bukhari dari beberapa jalan. Nabi shallallahu alaihi wasallam mengatakan demikian kepada Malik sedangkan Malik telah menyaksikan Nabi shallallahu alaihi wasallam duduk istirahat. Seandainya duduk istirahat ini tidak termasuk amalan yang disunnahkan bagi setiap orang, niscaya Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak memutlakkan ucapan beliau, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (al-Majmu’, 3/422)

Al-Lajnah ad-Daimah menjelaskan, "Duduk ini disebutkan oleh hadits Abu Humaid as-Sa’idi radhiallahu anhu yang diriwayatkan oleh al-Imam Ahmad dan Abu Dawud dengan sanad yang jayyid (bagus). Abu Humaid radhiallahu anhu menjelaskan tata cara shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam di tengah-tengah sepuluh orang sahabat, dan mereka membenarkannya." (Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 6/447—448, Ketua: asy-Syaikh Ibnu Baz, Wakil: Abdurrazzaq Afifi, dan Anggota: Abdullah bin Ghudayyan)

Dan dari Azraq ibnu Qais rahimahullah, ia berkata:
ﺭﺃﻳﺖ ﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﺇﺫﺍ ﻗﺎﻡ ﻣﻦ ﺍﻟﺮﻛﻌﺘﻴﻦ ﺍﻋﺘﻤﺪ ﻋﻠﻰ ﺍﻷﺭﺽ ﺑﻴﺪﻳﻪ ﻓﻘﻠﺖ ﻟﻮﻟﺪﻩ ﻭﻟﺠﻠﺴﺎﺋﻪ ﻟﻌﻠﻪ ﻳﻔﻌﻞ ﻫﺬﺍ ﻣﻦ ﺍﻟﻜﺒﺮ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﻻ ﻭﻟﻜﻦ ﻫﺬﺍ ﻳﻜﻮﻥ
Aku melihat Ibnu Umar radhiallahu anhuma, apabila bangkit dari dua rakaat, beliau bertumpu dengan kedua tangannya di atas permukaan tanah. Maka aku tanyakan kepada anaknya dan para sahabatnya, "Apakah Ibnu Umar melakukannya karena tua?" Mereka menjawab, "Tidak, memang demikianlah yang biasa beliau lakukan.” (HR. al-Baihaqi 2/135, riwayat ini jayyid sebagaimana dalam adh-Dhaifah, 2/392)
Dalam riwayat ath-Thabarani rahimahullah di dalam al-Ausath disebutkan"
ﻓﻘﻠﺖ : ﻣﺎ ﻫﺬﺍ ﻳﺎ ﺃﺑﺎ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﺮﺣﻤﻦ؟ . ﻗﺎﻝ : ﺭﺃﻳﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﺳﻠﻢ ﻳﻌﺠﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﻼﺓ , ﻳﻌﻨﻲ : ﻳﻌﺘﻤﺪ
Aku (Azraq) bertanya kepada Ibnu Umar, “Apa ini wahai Abu Abdirrahman?” Ibnu Umar radhiallahu anhuma menjawab, “(Aku melakukannya karena) aku pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukan 'ajn [1] di dalam shalat.” Yakni bertumpu dengan kedua tangan.
Abu Ishaq al-Harabi dalam Gharibul Hadits meriwayatkan juga dari Azraq ibnu Qais, ia berkata:
ﺭﺃﻳﺖ ﺍﺑﻦ ﻋﻤﺮ ﻳﻌﺠﻦ ﻓﻰ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻳﻌﺘﻤﺪ ﻋﻠﻰ ﻳﺪﻳﻪ ﺇﺫﺍ ﻗﺎﻡ ﻓﻘﻠﺖ ﻟﻪ ﻓﻘﺎﻝ : ﺭﺃﻳﺖ ﺭﺳﻮﻝ ﺍﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻳﻔﻌﻠﻪ
Aku pernah melihat Ibnu Umar radhiallahu anhuma melakukan ‘ajn dalam shalat, yaitu bertumpu dengan kedua tangannya (di atas bumi) di saat bangkit. Aku pun bertanya kepadanya tentang apa yang dilakukannya, maka ia menjawab, "Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukannya.” (Sanadnya hasan sebagaimana dalam adh-Dhaifah, 2/392)

Pendapat kedua: langsung bangkit berdiri (tanpa duduk istirahat) dengan bertumpu pada kedua kaki

Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushanif-nya, beliau membuat bab khusus yaitu “Bab orang-orang yang bangkit dengan bertumpu pada kedua kaki” serta “Bab perkataan seseorang: Apabila engkau mengangkat kepalamu dari sujud kedua pada rakaat pertama maka jangan duduk”:
1) Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Al-A’masy dari Ibrahim dari Abdurrahman bin Yazid berkata, ”Adalah Abdullah (bin Mas’ud) apabila bangkit di dalam shalat menggunakan kedua kakinya.”
2) Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Muhammad bin Yazid dari Yazid bin Ziyad bin Abi Al-Ja’d dari Ubaid bin Abi Al-Ja’d berkata, ”Adalah ‘Ali apabila bangkit di dalam shalat menggunakan kedua kakinya.”
3) Telah menceritakan kepada kami Abu Mu’awiyah dari Al-A’masiy dari Khaitsamah dari Ibnu Umar, bahwa, ”Aku pernah melihatnya bangkit di dalam shalat dengan menggunakan kedua kaki.”
4) Telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar dari Isa bin Maisarah dari Asy-Sya’bi berkata, ”Bahwasanya Umar dan Ali serta para sahabat Nabi shallallahu alaihi wasallam mereka apabila berdiri di dalam shalatnya menggunakan kedua kaki mereka.”
5) Telah menceritakan kepada kami Humaid bin Abdurrahman dari Hisyam bin Urwah dari Wahb bin Kisan, berkata, ”Aku melihat Abdullah bin Zubair apabila sujud pada sujud yang kedua ia bangkit sedemikian halnya dengan bertumpu pada kedua kaki.”
6) Telah menceritakan kepada kami Waki’ dari Usamah dan Umari dari Nafi’ dari Ibnu Umar, bahwasanya ia berdiri di dalam shalatnya menggunakan kedua kakinya.”
7) Telah menceritakan kepada kami Isma’il bin Ibrahim dari Abi Al-Mu’alla dari Ibrahim berkata, ”Adalah Ibnu Mas’ud pada rakaat pertama dan ketiga di dalam shalat ketika hendak bangkit tidak duduk terlebih dahulu.”
8) Telah menceritakan kepada kami Abu Khalid Al-Ahmar dari Muhammad bin Ajlan dari Nu’man bin Abi ‘Ayyas, berkata, ”Aku menjumpai lebih dari satu sahabat Nabi shalallahu alaihi wasallam, mereka apabila mengangkat kepalanya dari sujud pada rakaat pertama dan ketiga berdiri secara langsung tanpa duduk terlebih dahulu.”
(Lihat Mushanif Ibnu Abi Syaibah (3/330-332))
Mengenai riwayat-riwayat ini Syaikh Albani berkata, ”Faidah: Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushanif-nya (1/157) meriwayatkan dari sebagian salaf di antaranya Ibnu Mas’ud, Ali, Ibnu Umar dan yang selainnya dengan sanad-sanad yang shahih bahwasanya mereka semua berdiri di dalam shalat dengan menggunakan kedua kaki mereka.” (Lihat Irwaul Ghalil (2/84))

Al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra:
1) Dari Abdurahman bin Yazid bahwasanya dia melihat Abdullah bin Mas’ud bangkit di dalam shalat menggunakan kedua kakinya.
2) Dari Khaitsamah bin Abdurrahman berkata, ”Aku melihat Abdullah bin Umar bangkit di dalam shalat dengan kedua kakinya.”
(Lihat As-Sunan Al-Kubra Ma’a Dzailihi (2/125))

Pendapat yang terpilih adalah bahwa duduk istirahat dan bangkit berdiri dengan bertumpu dengan kedua tangan di atas tanah adalah sunnah, namun bukan sunnah yang ditekankan (muakkadah) apalagi wajib. Sehingga boleh untuk mengamalkannya walaupun tidak ada kebutuhan untuk melakukannya seperti karena gemuk, usia tua, fisik yang lemah, atau karena sakit, namun semata-mata karena mencontoh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan boleh juga untuk meninggalkannya, yakni dengan langsung bangkit berdiri (tanpa duduk istirahat) dengan bertumpu pada kedua kaki seperti yang diamalkan oleh beberapa shahabat dan orang-orang setelahnya. Wallahu a'lam.

Footnote:

[1] Al-‘Ajn di dalam shalat, para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkannya:
Pendapat pertama Al-‘Ajn yang bermakna Al-‘Ajz (lemah) dikarenakan usia.
Berkata Ibnu Rajab Al-Hanbali tentang makna Al-‘Ajn yang termaktub di dalam hadits, ”Berkata sebagian ulama, al-‘Ajin maknanya adalah seorang yang sudah tua renta yang bertelekan dengan kedua telapak tangannya tatkala berdiri, jadi bukan makna al-‘ajin disini bertelekan tangan sebagaimana seorang yang meremas adonan.” (Lihat Fathul Baari’ (7/293))
Berkata Imam Nawawi, "Maknanya adalah berdiri dengan bertelekan kedua telapak tangan sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang lemah, yaitu seorang yang tua renta, dan bukan bermakna seperti orang yang meremas adonan.” (Lihat Al-Majmu’ (3/421))
Berkata Ibnu Shalah, ”Apabila sifat tua renta disini dipetik dari kalimat ‘aajinul ‘ajiin (orang yang meremas adonan), maka penyerupaan tersebut diambil semata-mata karena kuatnya pensifatan dalam bertumpu dengan kedua tangan, bukan pensifatan bentuk mengepalkan tangan tatkala bangkit.“ (Lihat Al-Badru Al-Muniir (3/680))
Pendapat kedua Al-‘Ajn berarti menggenggam, mengepalkan tangan, meremas sebagaimana seorang yang meremas adonan.
Bekata Ibnu Al-Atsir, ”Maksudnya adalah bertumpu dengan kedua tangan saat berdiri sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang meremas adonan. (Lihat An- Nihayah Fii Gharibil Hadits Wal Atsar (3/188))
Berkata Abu Ishaq Al-Harbi, "Yang dimaksud yaitu bertumpu dengan meletakan kedua tangan di atas bumi sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang meremas adonan.” (Lihat Gharibul Hadits Al-Harabi (2/526))
Berkata Ibnu Al-Mandur, ”Maksudnya yaitu bertelekan dengan kedua tangannya tatkala bangkit sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang meremas adonan”. (Lihat Lisanul Arab (Hal. 2829))