Cari Blog Ini

Jumat, 17 Oktober 2014

Tentang SALAT GAIB

Al-Ustadz Abu Karimah Askari Al-Bugisi

Bismillahirrahmanirrahim.
Ustadz bagaimana hukum sholat ghaib? Ada sebagian kaum muslimin membolehkan dengan dalil rasulullah pernah mensholati seorang wanita tua yang meninggal akan tetapi khabar meninggalnya wanita itu didengar Rasulullah setelah beberapa hari kemudian. Mohon penjelasannya Ustadz.
Jazakallahu khairan.

Jawaban:

Yang dimaksud shalat ghaib adalah menshalati jenazah yang berada di lokasi lain, bukan di hadapan orang-orang yang menshalatinya. Para ulama berselisih pendapat tentang siapa saja yang dibolehkan untuk dishalati jenazahnya dalam bentuk shalat ghaib. Di antara mereka ada yang berpendapat bolehnya shalat ghaib pada setiap yang meninggal baik yang telah dishalati secara langsung (bukan ghaib) maupun tidak, adapula yang berpendapat bahwa shalat ghaib khusus bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak untuk yang lainnya. Dan adapula yang mengatakan dibolehkannya menshalati orang yang memiliki kedudukan yang terhormat dalam Islam.

Dan yang rajih dalam masalah ini adalah disyari’atkannya menshalati jenazah seorang muslim yang tidak dishalati dalam bentuk shalat secara langsung di kampung tempat dia meninggal. Adapun bagi jenazah yang telah dishalati secara langsung maka tidak disyari’atkan melaksanakan shalat ghaib untuknya. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian Najasyi (Raja negeri Habasyah) rahimahullahu ta’ala pada hari beliau meninggal maka beliau keluar ke Mushalla (tanah lapang untuk tempat shalat) bersama para shahabat, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami shalat bersama mereka dan beliau bertakbir empat kali. Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalati Najasyi disebabkan karena beliau tidak dishalati di negerinya dan beliau menyembunyikan keislamannya hingga wafat, dan Allah mengabarkan berita meninggalnya pada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan telah banyak yang meninggal dari kalangan kaum muslimin di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di berbagai daerah, namun tidak dinukilkan pelaksanaan shalat ghaib atas meninggalnya mereka. Kalaulah shalat ghaib disyari’atkan atas setiap yang meninggal tentunya beliau telah menshalati mereka. Demikian pula meninggalnya orang-orang yang terbaik setelah Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti Abu Bakr Ash Shiddiq, Umar bin Al Khathab, ‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu ‘anhum, namun tidak dinukilkan adanya pelaksanaan shalat ghaib terhadap kematian mereka. Dan ini merupakan pendapat Imam Ahmad dalam satu riwayat, sebagian ahli tahqiq dari kalangan Syafi’iyyah dan dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Al Albani rahimahumullah ta’ala. Wallahu a’lam bis shawab.

###

Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al-Atsari

Assalamu ‘alaikum wa rohmatullahi wa barokatuh.
Beberapa hari yang lalu, selepas sholat Jum’at di masjid dekat rumah saya, tiba-tiba diumumkan bahwasanya ada salah seorang yang meninggal dunia. Kemudian dilakukan sholat ghoib. Pertanyaannya, apa dan bagaimana sholat ghoib itu? Apa syarat-syaratnya? Bagaimana pula hukumnya?
Jazakallahu khoiron katsiron.

Jawaban:

Wa ‘alaikum salam wa rohmatullahi wa barokatuh.
Sebenarnya tidak ada definisi khusus tentang sholat ghoib, namun agar saudara lebih memahami, maka gambaran sederhananya ialah: kita mensholatkan seseorang yang telah diketahui meninggal dunia di suatu daerah, sedang jenazahnya tidak hadir di hadapan kita atau tidak hadir di tempat kita. Kemudian, sholat ghoib dilakukan sama seperti halnya sholat jenazah biasa.

Asal munculnya istilah sholat ghoib adalah berdasarkan satu hadits, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumumkan kematian raja Najasyi pada harinya kemudian keluar bersama para sahabatnya menuju lapangan lalu membuat shaf dan bertakbir empat kali. (HR Bukhori Muslim dari sahabat Abu Hurairoh)

Adapun mengenai hukumnya, para ahli ilmu berselisih hingga tiga pendapat yang masyhur.
Pertama: bahwa sholat ghoib disyariatkan dan ia adalah sunnah, ini pendapatnya Syafi’i dan Ahmad, berdalil dengan hadits di atas.
Kedua: hukum ini berlaku khusus bagi jenazahnya raja Najasyi, tidak untuk yang lainnya, ini pendapatnya Malik dan Abu Hanifah dengan dalil bahwa peristiwa sholat ghoib ini tidak pernah ada kecuali pada kejadian meninggalnya raja Najasyi.
Ketiga: mengkompromikan/menjamak antara dalil-dalil, yakni apabila seseorang meninggal dunia di suatu daerah (negeri dan belum) tidak ada yang mensholatkannya, maka dilakukan sholat ghoib, seperti yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam atas raja Najasyi karena ia meninggal di lingkungan/tempat orang-orang kafir dan belum disholatkan. Adapun jika telah disholatkan di tempat dia meninggal atau tempat lainnya, maka tidak dilaksanakan sholat ghoib karena kewajiban untuk mensholatkannya telah gugur dengan sholatnya kaum muslimin atasnya. Ini pendapatnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan dirajihkan oleh Al Khattabi, serta Abu Dawud membuat bab tentangnya dalam Sunannya, dikuatkan pula oleh Al Albany dan Muqbil bin Hadi Al Wadi’i semoga Allah merahmati semuanya.

Di antara pendapat-pendapat ini yang kami lihat lebih kuat dan menurut kami lebih dekat kepada kebenaran adalah pendapat yang ketiga. Wal ‘ilmu indallah.

###

Al-Ustadz Arif hafidzahullah

Seseorang yang meninggal dunia di sebuah negeri dan tidak ada seorang pun yang menyalatkannya di depan jenazah.

Maka jenazah seperti ini dishalatkan oleh sekelompok kaum muslimin dengan shalat ghaib walaupun di negeri yang lain. Hal ini berdasarkan shalat ghaib yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk an-Najasyi, raja negeri Habasyah. Oleh karena itu bukan bagian dari sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyalatkan setiap jenazah dengan shalat ghaib. (Zadul Ma’ad 1/205-206)

Di antara dasar yang menguatkan pendapat bahwa shalat ghaib tidak disyariatkan untuk setiap jenazah yang berada di tempat yang jauh adalah ketika para Khulafa’ur Rasyidin dan selain mereka meninggal dunia, tidak seorang pun dari kaum muslimin yang berada di tempat yang jauh menyalatkannya dengan shalat ghaib. Jika memang mereka melakukannya tentu akan didapati banyak penukilan tentang hal ini dari mereka.

###

Asy Syeikh Bin Baaz rohimahullah

Hukum sholat ghoib ada rinciannya:

Sebagian Ulama' berpendapat bahwa tidak boleh dilaksanakan sholat ghaib bagi orang yang sudah disholatkan di negerinya.

Dan sebagian Ulama' berpendapat boleh dilaksanakan sholat ghaib JIKA orang yang meninggal punya nama didalam islam seperti Najasyi rohimahullah.

Yang mana Nabi Shollallahu Alaihi Wa Sallam melakukan sholat ghaib untuk Najasyi ketika Najasyi meninggal di negerinya dan mengabarkan hal ini kepada para shohabat kemudian beliau Shollallahu Alaihi Wa Sallam melakukan sholat ghaib.
Dan tidak ada riwayat Beliau Shollallahu Alaihi Wa Sallam melakukan sholat ghaib selain untuk Najasyi.

Apabila ada seorang pemimpin yang baik dan adil meninggal dunia maka maka hendaknya pemerintah melakukan sholat ghaib untuknya, dan hendaknya dia memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan sholat ghaib.
Begitu pula jika yang meninggal para Ulama' maka jika dilaksanakan sholat ghaib untuk mereka maka ini adalah sesuatu yang baik, sebagaimana Nabi Shollallahu Alaihi Wa Sallam melakukan sholat ghaib untuk Najasyi.

Adapun orang per orang maka TIDAK DIANJURKAN untuk dilakukan sholat ghaib untuk mereka, karena Nabi Shollallahu Alaihi Wa Sallam tidak melakukan sholat ghaib untuk SEMUA ORANG YANG MENINGGAL, yang ada  beliau Shollallahu Alaihi Wa Sallam hanya melakukan sholat ghaib untuk satu orang saja yaitu Najasyi, karena Najasyi punya jasa didalam islam.
Najasyi telah melindungi Shohabat yang hijroh ke Habasyah, dia lindungi para Shohabat, dia menolong mereka, dia jaga para Shohabat, dan dia berbuat baik terhadap Shohabat.
Sehingga Najasyi termasuk orang yang memiliki jasa besar di dalam islam, oleh karena itu ketika beliau meninggal maka Nabi Shollallahu Alaihi Wa Sallam mensholatinya bersama para shohabat.

Maka barangsiapa yang punya kedudukan seperti ini dan dia punya jasa besar didalam islam maka boleh dilakukan sholat ghaib atasnya.
Sebagaimana di negeri ini (Saudi Arabia) pernah kaum muslimin melakukan sholat ghaib untuk presiden pakistan Dhiyaul Haq rohimahullah, karena dia memiliki kebijakan kebijakan yang baik untuk  kepentingan islam.
Yang mana pemerintah saudi memerintahkan untuk dilakukan sholat ghaib atasnya di Al Haramain dan telah terlaksana sholat ghaib untuknya.
Dia adalah orang yang pantas untuk dilakukan sholat ghaib atasnya, karena kebijakan kebijakannya yang bagus dan perhatiannya untuk menegakkan hukum islam, yang mana dia memerintahkan untuk menegakkan syareat islam dan serius terhadap penegakan syareat, kita memohon kepada Allah ampunan untuk kita dan untuknya.

Dan yang dimaukan adalah siapa saja yang memiliki jasa didalam islam, baik mereka itu pemerintah atau para Ulama' apabila mereka meninggal dunia maka kaum muslimin di negeri yang lain atau di negeri mereka sendiri disyareatkan untuk melakukan sholat ghaib sebagaimana kisah Najasyi diatas, Wallahu Waliyyut Taufiq.

Sumber: http://www.binbaz.org.sa/node/2613

Alih bahasa: Abu Arifah Muhammad Bin Yahya Bahraisy

Berbagi ilmu agama

WA Al Istifadah
WALIS

###

ASY-SYAIKH MUHAMMAD BIN SHALIH AL-'UTSAIMIN رحمه اللّٰه

PERTANYAAN
هل تشرع الصّلاة على الغائب مطلقا؟
Apakah sholat ghaib itu disyariatkan secara mutlak?

JAWABAN
القول الراجح من أقوال أهل العلم أن الصّلاة على الغائب غير مشروعة إﻻ لمن لم يصل عليه. كما لو مات شخص في بلد كفار ولم يصل عليه أحد فإنه تجب الصّلاة عليه، وأما من صلى عليه فالصحيح أن الصّلاة عليه غير مشرو عة أي على الغائب، ﻷن ذلك لم يرد في السّنّة إﻻ في قصة النجاشي 
Pendapat yang rajih (kuat) diantara pendapat para ulama adalah bahwa shalat ghaib tidaklah disyariatkan kecuali bagi jenazah yang belum dishalatkan sama sekali. Sebagai contoh ada seorang muslim yang meninggal di negara kafir dan tidak ada seorang pun yang menshalatkannya, maka menshalatkannya hukumnya adalah wajib.
Adapun orang yang telah dishalatkan, maka yang shahih (benar) adalah bahwa menshalatkannya dengan shalat ghaib tidak disyariatkan. Karena yang seperti ini tidak pernah diriwayatkan di dalam as-Sunnah kecuali pada kisah Raja an-Najasyi.
HR. al-Bukhari, Kitabul Janaiz (1327) dan Muslim Kitabul Janaiz (951).
والنجاشي لا يصلّى عليه في بلده؛ فلذلك صلى عليه  النبي صلى الله عليه وسلم في المدينة
Sedangkan Raja an-Najasyi tidak dishalatkan di negerinya. Maka ketika Nabi mengetahui hal tersebut beliau pun menshalatkannya bersama para shahabatnya di kota Madinah.
وقد مات الكبراء والزعماء و لم ينقل أنه صلى الله عليه وسلم صلى عليهم. وقال بعض أهل العلم: من كان فيه منفعة في الدين بماله أو علمه فإنه يصلى عليه صلاة الغائب.... ومن لم يكن كذلك فلا يصلى عليه، و قال بعض أهل العلم: يصلى على الغائب مطلقا وهذا أضعف اﻹقوال
Para pembesar dan penguasa yang lain banyak yang meninggal, namun tidak pernah diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau menshalatkan mereka secara ghaib.
Akan tetapi sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa orang yang berjasa besar terhadap Islam baik dengan harta ataupun ilmunya, maka dishalatkan dengan shalat ghaib. Adapun orang yang tidak seperti itu, tidak perlu untuk dishalatkan. Namun ada sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa shalat ghaib itu disyariatkan secara mutlak. Tetapi pendapat ini adalah pendapat yang paling lemah.

SUMBER:
 سبعون سؤالا في أحكام الجنائز طـ مدار الوطن - السعوديّة ١٤٣٢ ه٠
Alih Bahasa: Miqdad al-Ghifary hafizhahullaah

WhatsApp Riyadhul Jannah

http://postinganwhatsapp.blogspot.co.id/2015/01/shalat-ghaib-hanya-disyariatkan-bagi.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar