Diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari no. 6985 dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu bahwa beliau telah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Apabila seseorang bermimpi yang disukainya maka sesungguhnya datang dari Allah, hendaklah dia memuji Allah dan menceritakannya kepada orang lain.”
“Apabila dia bermimpi yang selain itu (yakni yang tidak disukai), maka itu datangnya dari setan. Hendaklah dia berlindung dari (kejahatan) setan dan jangan menceritakannya kepada orang lain karena hal itu tidak akan membahayakannya.”
Cari Blog Ini
Jumat, 14 November 2014
Tentang MEMUJI ALLAH DAN MENCERITAKAN MIMPINYA KEPADA ORANG LAIN JIKA MENDAPATKAN MIMPI YANG BAIK, DAN BERLINDUNG DARI SETAN DAN TIDAK MENCERITAKAN MIMPINYA KEPADA ORANG LAIN JIKA MENDAPATKAN MIMPI YANG BURUK
Tentang ROKOK
Imam Ahlussunnah Syaikh ‘Allaamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz semoga Allah merahmati beliau
Pertanyaan:
ما حكم شرب الدخان؟ وهل هو حرام أم مكروه ؟ وما حكم بيعه والاتجار فيه؟
Apa hukum merokok? Apakah hal tersebut haram ataukah makruh? Dan apa hukum menjual serta memperdagangkannya?
Jawab:
الدخان محرم؛ لكونه خبيثا ومشتملا على أضرار كثيرة، والله سبحانه وتعالى إنما أباح لعباده الطيبات من المطاعم والمشارب وغيرها، وحرم عليهم الخبائث، قال الله سبحانه وتعالى: يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ
Rokok hukumnya haram, karena rokok itu buruk dan mengandung banyak kerusakan. Allah subhanahu wa ta’ala hanya membolehkan bagi hambaNya perkara-perkara yang baik berupa makanan, minuman, dan selainnya dan Allah mengharamkan atas hambaNya perkara-perkara yang buruk.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Mereka bertanya kepadamu, apakah yang dihalalkan bagi mereka. Katakanlah: Yang dihalalkan bagi kalian adalah yang baik-baik.” (Surat Al Maidah ayat 4)
وقال سبحانه في وصف نبيه محمد صلى الله عليه وسلم: يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Demikian juga dengan firmanNya, ketika menyifati Nabi shollallohu ‘alaihi wa salam: “…yang menyuruh mereka berbuat yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka.” (Surat Al A’raf ayat 157)
والدخان بأنواعه كلها ليس من الطيبات بل هو من الخبائث وهكذا جميع المسكرات كلها من الخبائث، والدخان لا يجوز شربه ولا بيعه ولا التجارة فيه؛ لما في ذلك من المضار العظيمة والعواقب الوخيمة
Rokok dengan berbagai jenisnya tidak termasuk dari kebaikan, bahkan dia termasuk dari keburukan, dan demikian juga dengan semua yang memabukkan itu adalah bagian dari keburukan.
Tidak boleh merokok, menjualnya ataupun memperdagangkannya, karena di dalamnya terdapat kerusakan yang besar dan akibat-akibat yang jelek.
والواجب على من كان يشرب أو يتجر فيه البدار بالتوبة والإنابة إلى الله سبحانه وتعالى، والندم على ما مضى، والعزم على ألا يعود في ذلك ، ومن تاب صادقا تاب الله عليه كما قال عز وجل: وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Maka wajib bagi seseorang yang merokok atau memperdagangkannya untuk segera bertaubat dan kembali kepada Allah subhanahu wa ta’ala, menyesali atas apa yang telah dilakukan, dan bersungguh-sungguh untuk tidak mengulanginya.
Barang siapa bertaubat dengan sebenar-benarnya, niscaya Allah akan mengampuninya, sebagaimana firmanNya: “…dan bertaubatlah kalian semua kepada Allah wahai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.” (Surat An Nur ayat 31)
وقال سبحانه: وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى
Dan juga firmanNya: “Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertaubat, beriman dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk.” (Surat Thaha ayat 82)
وقال النبي صلى الله عليه وسلم: التوبة تجب ما كان قبلها
Dan telah bersabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa salam: “Taubat akan menghapuskan dosa-dosa yang telah lalu.”
وقال عليه الصلاة والسلام: التائب من الذنب كمن لا ذنب له
Dan juga sabda beliau shollallohu ‘alaihi wa salam: “Orang yang bertaubat dari dosa, seperti orang yang tidak memiliki dosa.”
Sumber:
Almuntaqo karya Ibnu Baz rohimahullah, Majmu’ (82/19)
Alih Bahasa: Syabab Forum Salafy Indonesia
Forum Salafy Indonesia
###
Al Ustadz Abu Mu’awiyah Askari hafizhahullah
Pertanyaan: Apa hukum rokok?
Jawaban:
Haram! Dan banyak sekali mudharatnya, berdasarkan kesepakatan, kesepakatan para ulama, kesepakatan para uqala (orang-orang yang berakal), kesepakatan para dokter. Bahwa rokok itu membahayakan, dan itu diakui oleh perusahaan-perusahaan rokok setiap membuat iklan, di bawahnya ada peringatan rokok bisa menyebabkan kanker, ini, itu, macem-macem, hah? Maka menghambur-hamburkan harta. Banyak sekali kemadharatannya.
Menghambur-hamburkan harta,memadharatkan diri sendiri, membunuh diri sendiri. Wa la taktulu anfusahum (jangan kalian membunuh diri kalian), memudharatkan orang lain. Kata nabi Shalallahu’ alaihi wa sallam “la dharat wa la dhirar.” Tidak diperbolehkan mendatangkan kemudharatan baik untuk diri atau untuk orang lain, tidak diperbolehkan.
Mereka mengatakan, yakni ahli kesehatan mengatakan, seorang perokok, yang apa, yang menghisap asap rokok itu lebih berbahaya daripada yang merokok. Ha? Ya pasif lebih berbahaya daripada yang aktif. Berarti kan memudharatkan orang lain.
Belum lagi baunya, gimana dia shalat? Nabi shalallahu ’alaihi wa sallam melarang kaum muslimin yang makan bawang mentah, bawang putih, bawang merah mentah untuk mendekati masjid. Gimana dengan seorang yang merokok?
Bau. Keluar bau yang tidak sedap. Fainnal malaikata ta adzammimma ya taadzam minhu bani adam. Para malaikat terganggu dengan sesuatu yang bani adam terganggu darinya. Walhasil banyak sekali kemudharatannya. Tidak sepantasnya seorang muslim merokok.
Belum lagi gayanya, ya gaya perokok itu sombong, terlalu bergaya na’am. Bukan tanda seorang yang shaleh sekedar melihat orang merokok itu subhanallah ya kelihatan kesombongannya. Kelihatan ya, yakni tidak sepantasnya, seorang yang shaleh tidak sepantasnya melakukan hal tersebut.
sumber: forumsalafy .net
Tentang ZAKAT PERHIASAN EMAS DAN PERAK
Pendapat yang benar dalam masalah ini adalah bahwa perhiasan yang terbuat dari emas dan perak wajib dikeluarkan zakatnya. Pendapat ini dikuatkan oleh asy-Syaikh Ibnu Baz bersama anggota al-Lajnah ad-Daimah, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, asy-Syaikh al-Albani, dan asy-Syaikh Muqbil al-Wadi’i rahimahumullah, bahwa kedua logam mulia tersebut wajib dizakati secara mutlak sekalipun dalam bentuk perhiasan seperti cincin, kalung, gelang, anting-anting, atau giwang.
Pendapat ini sangat kuat dan benar karena berdasarkan tiga alasan.
Pertama, ayat dan hadits yang menunjukkan kewajiban zakat pada emas dan perak secara mutlak (umum) apapun bentuknya, baik berupa lempengan ataupun perhiasan. Sementara tidak ada dalil yang shahih dan sharih (jelas) yang mengecualikan bahwa perhiasan emas dan perak tidak ada kewajiban zakat.
Dalam al-Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya):
“Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, sementara mereka tidak menginfakkannya di jalan Allah, maka beritakanlah kepada mereka dengan azab yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahannam, lalu dahi-dahi, lambung-lambung dan punggung-punggung mereka diseterika dengannya, seraya diserukan kepada mereka, “Inilah balasan dari apa yang kalian simpan untuk diri kalian sendiri, maka rasakanlah akibatnya sekarang.” (at-Taubah: 34-35)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَامِنْصَاحِبِذَهَبٍوَلَافِضَّةٍ، لَايُؤَدِّيمِنْهَاحَقَّهَا، إِلَّاإِذَاكَانَيَوْمُالْقِيَامَةِ، صُفِّحَتْلَهُصَفَائِحُمِنْنَارٍ، فَأُحْمِيَعَلَيْهَافِينَارِجَهَنَّمَ، فَيُكْوَىبِهَاجَنْبُهُوَجَبِينُهُوَظَهْرُهُ، كُلَّمَابَرَدَتْأُعِيدَتْلَهُ، فِييَوْمٍكَانَمِقْدَارُهُخَمْسِينَأَلْفَسَنَةٍ، حَتَّىيُقْضَىبَيْنَالْعِبَادِ، فَيَرَىسَبِيلَهُ، إِمَّاإِلَىالْجَنَّةِ،وَإِمَّاإِلَىالنَّارِ
“Tidak ada seorang pun pemilik emas dan perak yang tidak menunaikan haknya, kecuali pada hari kiamat nanti dibuatkan untuknya lempeng-lempeng dari api (yang terbuat dari emas dan perak miliknya sendiri). Kemudian lempeng-lempeng itu dipanaskan dalam neraka jahannam dan dengannya diseterikalah lambung, dahi dan punggungnya. Setiap kali mendingin lempengan itu maka diulangi lagi untuknya. Pada satu hari yang lamanya sebanding dengan 50 ribu tahun, hingga diputuskan di antara hamba-hamba (Allah), maka ia pun akan melihat jalannya menuju surge ataukah menuju neraka." (HR. Muslim no. 987)
Kedua, terdapat hadits-hadits yang shahih dan sharih (tegas) yang menunjukkan kewajiban zakat pada perhiasan emas dan perak. Hadits-hadits tersebut sebagai berikut,
1. Hadits Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya (yaitu Abdullah bin Amr bin al ‘Ash radhiyallahu ‘anhum), beliau berkata,
أَنَّامْرَأَةًأَتَتْرَسُولَاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَوَمَعَهَاابْنَةٌلَهَا، وَفِييَدِابْنَتِهَامَسَكَتَانِغَلِيظَتَانِمِنْذَهَبٍ، فَقَالَلَهَا: «أَتُعْطِينَزَكَاةَهَذَا؟» ،قَالَتْ: لَا،قَالَ: «أَيَسُرُّكِأَنْيُسَوِّرَكِاللهُبِهِمَايَوْمَالْقِيَامَةِسِوَارَيْنِمِنْنَارٍ؟» ،قَالَ: فَخَلَعَتْهُمَا، فَأَلْقَتْهُمَاإِلَىالنَّبِيِّصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَ، وَقَالَتْ: هُمَالِلهِعَزَّوَجَلَّوَلِرَسُولِهِ
Sesungguhnya ada seorang wanita menemui Rasulullah dan bersamanya putrinya yang mengenakan gelang yang tebal di tangannya. Maka beliau berkata kepadanya, "Apakah kamu telah menunaikan zakatnya?" Wanita itu menjawab, “Belum.” Rasulullah berkata, ”Apakah menggembirakan dirimu bahwa dengan sebab dua gelang emas itu Allah akan memakaikan kepadamu dua gelang dari api neraka pada hari kiamat nanti?" Maka wanita itu melepaskan kedua gelang itu dan memberikannya kepada Rasulullah, seraya berkata, “Keduanya untuk Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Abu Dawud no. 1563, at-Tirmidzi no. 637, an-Nasaa’i no. 2479. Hadits ini dikuatkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Bulughul Maram dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa’ 3/296)
2. Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
دَخَلَعَلَيَّرَسُولُاللهِصَلَّىاللهُعَلَيْهِوَسَلَّمَفَرَأَىفِييَدَيَّفَتَخَاتٍمِنْوَرِقٍ، فَقَالَ: «مَاهَذَايَاعَائِشَةُ؟» ،فَقُلْتُ: صَنَعْتُهُنَّأَتَزَيَّنُلَكَيَارَسُولَاللهِ، قَالَ: «أَتُؤَدِّينَزَكَاتَهُنَّ؟» ،قُلْتُ: لَا، أَوْمَاشَاءَاللهُ، قَالَ: «هُوَحَسْبُكِمِنَالنَّارِ»
Rasulullah masuk menemuiku dan melihat beberapa cincin perak tak bermata di tanganku, maka beliau berkata, “Apa ini wahai Aisyah?" Aku pun menjawab, “Wahai Rasulullah aku mengenakannya karena berhias untukmu." Seraya beliau berkata, “Apakah engkau telah mengeluarkan zakatnya?" Aku berkata, “Belum." Maka beliau berkata, “Cukuplah dia akan menjerumuskanmu kedalam neraka.” (HR. Abu Dawud no. 1565, ad-Daruquthni no. 7547-7548, dan al-Hakim no. 1437, beliau rahimahullah berkata, “Hadits shahih menurut syarat al-Bukhari dan Muslim," dibenarkan oleh al-Imam adz-Dzahabi dan al-Albani rahimahullah dalam al-Irwa’ 3/296-297)
3. Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha,
كُنْتُأَلْبَسُأَوْضَاحًامِنْذَهَبٍ، فَقُلْتُ: يَارَسُولَاللَّهِ، أَكَنْزٌهُوَ؟ فَقَالَ: «مَابَلَغَأَنْتُؤَدَّىزَكَاتُهُ، فَزُكِّيَفَلَيْسَبِكَنْزٍ
Dahulu Ummu Salamah pernah mengenakan beberapa perhiasan emas, kemudian beliau menanyakannya kepada Rasulullah, maka beliau (ummu Salamah) berkata, “Apakah perhiasan itu kanzun?" Rasulullah menjawab, “Yang sampai pada jumlah untuk dizakati (sampai nishab) dan ditunaikan zakatnya makan bukan kanzun.” (HR. Abu Dawud no. 1564 dan ad-Daruquthni no. 1950, al-Baihaqi no 1201. Hadits ini dengan adanya syahid (penguat dari riwayat lain) dishahihkan oleh al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah no. 559)
Ketiga, adapun hadits yang marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam),
لَيْسَفِيالحُلِيِّزَكَاةٌ
“Tidak ada zakat pada perhiasan.” (HR. Ibnul Jauzi rahimahullah dalam at-Tahqiq dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu)
Hadits ini adalah batil tidak ada asalnya, sebagaimana yang dihukumi oleh al-Baihaqi dalam Ma’rifat as-Sunan wal Atsar dan juga al-Albani rahimahullah dalam al Irwa’ no. 817.
Penulis: Ustadz Arif hafizhahullah
Tentang SALING MEMBERI HADIAH DAN HUKUM MENOLAK HADIAH
Dalam kehidupan bermasyarakat, tidak jarang terjadi perselisihan dan pertikaian antara sesama mereka. Terkadang perselisihan tersebut akan bertambah tajam jikalau tidak segera ditangani dan dicarikan solusi. Terlebih lagi adanya syaithan sang musuh abadi yang tidak akan rela bila kaum muslimin hidup rukun, damai dan saling mencintai. Setiap waktu ia akan berusaha untuk menciptakan konflik dan menyulutnya di antara kaum muslimin.
Islam, telah mengajarkan segala kebaikan bagi para pemeluknya. Termasuk dalam hal ini adalah mengajarkan bagaimana cara menghilangkan sikap permusuhan dan sekaligus menciptakan rasa saling cinta. Salah satu caranya adalah dengan saling memberikan hadiah antara sesama mereka. Berikut ini ada sedikit pembahasan mengenai hadiah, semoga dapat bermanfaat.
Hukum Memberi Hadiah
Hukum memberi hadiah asalnya adalah boleh ketika tidak ada penghalang dalam syariat. Namun hukum asal tersebut dapat berubah menjadi sunnah ketika hadiah ini diberikan dalam rangka untuk mewujudkan perdamaian serta menciptakan rasa saling sayang dan cinta antara sesama muslim. Hadiah juga dianjurkan apabila diberikan dengan tujuan untuk membalas hadiah. Berubah pula hukum boleh tersebut menjadi haram apabila hadiah itu dari sesuatu yang haram atau dengan tujuan yang haram.
Perintah untuk saling memberikan hadiah telah disebutkan dalam sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, di antaranya adalah sabda beliau shallallahu alaihi wasallam dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu:
تهادوا تحابوا
“Salinglah memberi hadiah antara kalian, niscaya kalian akan saling mencintai.“ [H.R. Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah]
Hukum Menerima Hadiah
Menerima hadiah menurut pendapat yang kuat adalah wajib, dengan catatan hadiah tersebut adalah hadiah yang mubah dan tidak ada penghalang dalam pandangan syariat yang bisa dijadikan alasan untuk menolak hadiah.
Kewajiban untuk menerima hadiah tersebut telah diperintahkan, bahkan dilakukan sendiri oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Penuhilah undangan, janganlah kalian menolak hadiah dan janganlah pula kalian memukul kaum muslimin.” [HR Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah]
Juga disebutkan dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang Allah berikan kepadanya sesuatu dari harta ini (hadiah) dengan tanpa meminta-minta maka hendaknya ia menerimanya, karena itu adalah rizki yang Allah berikan kepadanya.” [H.R. Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Shahih At Targhib]
Kapan Boleh Menolak Hadiah?
Kewajiban untuk menerima hadiah bukan berarti mutlak harus dilakukan, namun dibolehkan untuk tidak menerimanya apabila ia memiliki alasan yang sesuai dengan syariat. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pun pernah pula menolak hadiah dengan alasan tertentu. Di antara alasan bolehnya menolak hadiah:
(1) Karena adanya larangan untuk menerimanya dengan sebab syariat.
Dari As-Sha’ab bin Jatsamah radhiallahu anhu bahwa beliau suatu saat memberi hadiah kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam berupa daging kuda zebra, tetapi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menolak hadiah tersebut. Maka berubahlah rona muka shahabat tersebut, melihat hal ini Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Saya tidak menerima hadiah tersebut kecuali sebabnya saya sedang dalam keadaan Ihram.” [H.R. Bukhari dan Muslim]
Dalam riwayat ini beliau tidak menerima hadiah tersebut dikarenakan beliau dalam keadaan haji, sedangkan orang yang haji tidak diperbolehkan untuk makan dari hewan buruan, dan kuda zebra dalam hadits ini adalah hewan buruan.
(2) Karena udzur (alasan tertentu).
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma bahwa suatu saat bibinya yaitu Ummu Hafid memberi hadiah kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam berupa: susu kering, minyak samin serta adhab (hewan sejenis biawak yang hidup di padang pasir, dan makanan pokoknya adalah tumbuhan), maka beliau memakan susu kering, minyak samin dan menolak adhab.” [H.R. Al Bukhari dan Muslim]
Dalam hadits ini Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menolak untuk memakan adhab. Adhab adalah makanan yang biasa dimakan oleh kaum Anshar namun tidak biasa dimakan oleh penduduk Mekah, sehingga beliau merasa risih untuk memakannya walaupun tidak diharamkan.
(3) Menolaknya karena khawatir mudharat yang akan menimpanya.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya, “Demi Allah, setelah tahun ini aku tidak akan menerima hadiah kecuali dari orang-orang yang berhijrah, orang Quraisy, orang Anshar, orang Daus, atau orang Tsaqafy.” [H.R. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah]
Penolakan beliau atas hadiah selain dari orang-orang yang tersebut ini disebabkan karena sebelumnya ada seorang Arab Badui yang memberikan hadiah kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam. Merupakan kebiasaan mereka adalah memberikan hadiah dalam rangka untuk mendapatkan balasan yang lebih baik. Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberikan hadiah kepada orang ini dengan sesuatu yang dimampui Nabi shallallahu alaihi wasallam. Namun orang ini marah dan tidak terima, sampai akhirnya Nabi shallallahu alaihi wasallam memberi dengan kadar yang diinginkan orang tersebut. Maka, di sini dapat diambil pelajaran bahwa kita boleh menolak hadiah atau pemberian jika hal tersebut akan memberikan kemudharatan kepada kita atau akan menjadikan rendah orang yang menerima hadiah tersebut.
Demikian sekilas mengenai hadiah dan hukum-hukumnya, semoga kita dapat memetik manfaat darinya. Wallahu a’lam.
Sumber: tashfiyah[dot]net/hadiah/
###
Tidak Meremehkan Hadiah Sekecil Apapun
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
يِا نِسَاءَ الْـمُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرْنَ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
“Wahai wanita muslimah, janganlah seorang tetangga menganggap remeh (pemberian) tetangganya, walaupun sekadar kaki kambing.” (HR. Al-Bukhari dalam Kitabul Adab dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Hadits ini adalah larangan bagi yang akan memberikan hadiah untuk menganggap remeh apa yang akan ia berikan kepada tetangganya, walaupun sesuatu yang sedikit. Karena yang dinilai adalah keikhlasan dan kepedulian terhadap tetangganya. Juga, karena memberi sesuatu yang banyak tidak bisa dimampu setiap saat. Demikian pula, hadits ini melarang orang yang diberi hadiah dari meremehkan pemberian tetangganya. (Lihat Fadhlullah Ash-Shamad, 1/215-216)
Tentang BERWUDHU BAGI ORANG YANG JUNUB JIKA INGIN TIDUR ATAU MAKAN ATAU MINUM
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya malaikat tidak akan datang menghadiri jenazah orang kafir dengan kebaikan, dan juga orang yang melumuri dirinya dengan Za’faran, dan orang yang junub.”
Ammar (bin Yasir radhiallahu anhu) berkata, “Beliau memberi keringanan kepada orang yang junub jika ingin tidur, atau makan, atau minum cukup dengan berwudhu.”
(HR. Ahmad, Al-Baihaqi dan Abu Dawud, dihasankan Asy-Syaikh al-Albani)
###
Disunnahkan berwudhu bagi orang junub jika akan makan.
Berwudhunya orang junub jika akan makan bukan wajib, ini disepakati oleh para ulama, tapi yang benar hukumnya sunnah.
Dalilnya:
Hadits Aisyah رضي الله عنها bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم apabila akan makan atau tidur dalam keadaan junub, maka beliau berwudhu seperti wudhu untuk shalat.
Dan disunnahkan untuk orang junub apabila hendak tidur untuk berwudhu.
Dalilnya, hadits Umar رضي الله عنه bahwa dia bertanya,
Ya Rasulullah, apakah kami boleh tidur dalam keadaan junub? Maka beliau menjawab,
نعم، إذا توضأ أحدكم فليرقد وهو جنب. وفي لفظ: توضأ واغسل ذكرك ثم نم
"Ya, apabila berwudhu salah seorang kalian, maka tidurlah dalam keadaan junub."
Dalam riwayat yang lain:
"Berwudhulah dan cucilah zakar kalian kemudian tidurlah."
(HR. Bukhari Muslim)
Dalil di atas menunjukkan 'wajib' (berwudhu), karena beliau menjawab,
"Ya jika berwudhu."
Menggantungkan sesuatu yang 'mubah' dengan suatu syarat, sama artinya dengan 'tidak mubah kecuali dengan adanya syarat tersebut'.
Sehingga bisa difahami, bahwa berwudhunya orang junub ketika akan tidur itu wajib, dan inilah pendapat 'Adh-Dhahiriyyah' dan mayoritas ulama.
Tapi yang MASYHUR di kalangan ulama fiqih dan para imam yang banyak diikuti, bahwa hal ini dihukumi SUNNAH.
Berdalilkan hadits Aisyah رضي الله عنها :
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان ينام وهو جنب من غير أن يمس ماء
"Bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم tidur dalam keadaan junub tanpa menyentuh air."
(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Mereka (para ulama) menjelaskan:
Nabi صلى الله عليه وسلم tidak berwudhu dalam keadaan ini, menunjukkan hukumnya 'boleh', sehingga perintah untuk berwudhu menunjukkan tidak wajib, inilah kaedah yang benar.
Berbeda dengan pendapat:
"Sesungguhnya perbuatan beliau tidak didahulukan dari ucapan beliau, bahkan yang diambil hendaknya dari ucapan beliau, sedangkan perbuatan beliau tidak menunjukkan hukum 'bolehnya'."
Adapun yang nampak bagi saya:
Bahwa orang junub tidak tidur kecuali berwudhu, ini hukumnya sunnah, berdalilkan hadits Aisyah رضي الله عنها, begitu pula ketika akan makan dan minum.
Dari kitab:
Fiqh Al-Mar`ah Al-Muslimah
Penulis:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رحمه الله
Diterjemahkan oleh Al-Ustadzah Ummu Abdillah Zainab hafizhahallah pada Selasa, 15 Dzulhijjah 1436 H / 29 September 2015
Nisaa` As-Sunnah