Cari Blog Ini

Kamis, 23 Oktober 2014

Tentang MENGOLOK-OLOK ORANG YANG MENGAMALKAN SYARIAT ISLAM

Al Lajnah Ad Daimah

Soal:
Apa hukum orang yang mengolok-olok muslimah yang mengenakan hijab syar’i dan mensifati mereka dengan ucapan bahwa mereka itu kuntilanak, kemah berjalan, dan ucapan yang mengolok-olok lainnya (di negeri kita para akhwat kadang dipanggil ninja, gulungan kain berjalan, dll)?

Jawab:
Barangsiapa yang mengolok-olok seorang muslim, perempuan maupun laki-laki, karena berpegang teguhnya dia dengan syariat Islam, maka dia (yang mengolok-olok) adalah kafir. Sama saja baik itu dalam perkara berhijabnya seorang wanita dengan hijab yang syar’i atau dalam perkara lainnya.
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma meriwayatkan: Beliau berkata:
Ketika Perang Tabuk, seorang laki-laki berkata di tempat kumpul-kumpul mereka, "Tidaklah aku pernah melihat seperti para qurro’ (pembaca-pembaca) kita ini yang paling dusta lisannya, paling buncit perutnya (paling rakus dalam makan), paling penakut ketika bertemu musuh." Maka salah seorang berkata, "Dusta engkau! Engkau adalah seorang munafiq! Sungguh aku akan melaporkan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.“ Perkara ini lalu sampai kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka turunlah ayat Al Qur’an.
Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata:
Aku melihat orang tadi (yang mengolok-olok) bergelantung di tali kekang tunggangan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wasallam, tersandung oleh batu. Dia berkata, "Wahai Rasululllah, sesungguhnya kami ini hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja." Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian membaca,
ﺃَﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺋُﻮﻥَ. ﻻ ﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُﻭﺍ ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢْ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻜُﻢْ ﺇِﻥْ ﻧَﻌْﻒُ ﻋَﻦْ ﻃَﺎﺋِﻔَﺔٍ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻧُﻌَﺬِّﺏْ ﻃَﺎﺋِﻔَﺔً ﺑِﺄَﻧَّﻬُﻢْ ﻛَﺎﻧُﻮﺍ ﻣُﺠْﺮِﻣِﻴﻦَ
“Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok? Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu, niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (At Taubah: 65-66)
Maka olokan dia terhadap kaum mukminin dihukumi sama dengan mengolok-olok Allah, ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya.

Tertanda:
Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Ilmiyah wal Ifta
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz
Anggota: Abdullah bin Qu’ud
Anggota: Abdullah Al Ghudayan
Anggota: Abdurrazzaq Afifi

###

Al Lajnah Ad Daimah
Fatwa nomor 5044

PERTANYAAN:
ما حكم الشرع فيمن استهزأ بسنة من سنن نبينا محمد صلى الله عليه وسلم كمن يستهزئ باللحية أو بصاحبها؛ لكونه ذا لحية فيناديه استهزاء: (يا دقن) فنرجو من فضيلتكم التكرم ببيان حكم قائلها
Bagaimana hukum syari'at terkait dengan orang yang mengolok-olok salah satu sunnah nabi kita Muhammad - صلى الله عليه وسلم seperti mengolok-olok jenggot atau orang yang memelihara jenggot. Dia memanggil orang yang berjenggot dengan panggilan "wahai jenggot" untuk tujuan mengolok-olok.
Maka dari kebaikan dan kemurahan hati anda kami mengharapkan penjelasan tentang hukum orang yang mengucapkan olok-olokan tersebut.

JAWABAN:
الاستهزاء باللحية منكر عظيم، فإن قصد القائل بقوله: (يا دقن) السخرية فذلك كفر، وإن قصد التعريف فليس بكفر، ولا ينبغي له أن يدعوه بذلك؛ لقول الله عز وجل: {قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ} (1) {لا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ} (2) الآية
وبالله التوفيق. وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم
Mengolok-olok jenggot merupakan kemungkaran yang sangat besar. Jika maksud orang yang mengucapkannya tersebut dalam rangka mengejek maka hal tersebut merupakan kekufuran. Dan jika dia memaksudkannya dalam rangka sebagai ta'rif (ciri atau tanda seseorang) maka tidak termasuk kekufuran. Dan dia tidak pantas memanggilnya dengan panggilan demikian. Sebagaimana yang Allah firmankan [yang maknanya] :
"..... Katakanlah: Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?" Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman...."
(At Taubah: 65-66)

Komite Tetap Riset Ilmiyah dan Fatwa
Ketua:
Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz
Wakil:
Abdurrozzaq Afify
Anggota:
Abdullah bin Ghudayyan
Abdullah bin Qu'ud

http://shamela.ws/browse.php/book-8381/page-1414#page-1102

Kontributor:
Al ustadz Abu Dawud Al Pasimy
(Naskah ini telah dikoreksi oleh Asatidzah di group SLN 1)

Salafy Lintas Negara

###

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Pembatal (keislaman) keenam:
Barangsiapa memperolok-olok (mengejek) sesuatu dari agama Rasul shallallahu alaihi wasallam (Islam) atau mengejek pahala Allah atau siksa-Nya, maka dia telah kafir.

Penjelasan:

Yang keenam dari jenis-jenis kemurtadan adalah memperolok-olok terhadap yang telah Allah turunkan atau menghina sesuatu yang dibawa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meskipun hal itu termasuk perkara-perkara yang disunnahkan dan dianjurkan seperti bersiwak, memotong kumis, mencabut bulu ketiak dan memotong kuku. Apabila seseorang memperolok-oloknya, maka dia menjadi kafir. Dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah firman Allah subhanahu wata’ala:
ﻭَﻟَﺌِﻦْ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢْ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟُﻦَّ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﺨُﻮﺽُ ﻭَﻧَﻠْﻌَﺐُ ﻗُﻞْ ﺃَﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺋُﻮﻥَ * ﻻ ﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُﻭﺍ ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢْ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻜُﻢْ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu) tentulah mereka akan menjawab: ”Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok? Tidak usah kalian meminta maaf, karena sungguh kalian telah kafir sesudah beriman.” (At Taubah: 65-66)

Maka orang yang memperolok-olok sedikit saja dari perkara yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam baik perkara tersebut perkara yang fardhu ataupun sunnah, maka sungguh dia telah menjadi murtad dari agama Islam. Lalu apa pendapat kalian terhadap orang yang mengatakan: “Membiarkan jenggot, merapikan kumis, mencabut bulu ketiak dan mencuci jari-jari, ini semua adalah kulit luar saja.” Ini adalah pengolok-olokan terhadap agama Allah. Apabila mereka mengucapkan hal ini, walaupun mereka mengamalkannya maka sungguh mereka telah murtad dari agama ini, karena ini adalah sikap meremehkan terhadap apa yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka yang wajib bagi kita adalah mengagungkan sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan memuliakannya, sampaipun apabila seorang manusia terjatuh dalam suatu perkara yang menyelisihi agama ini karena hawa nafsunya, maka seharusnya dia tetap menghormati sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan memuliakan sunnah serta memuliakan hadits-hadits dan tidak mengatakan, “Ini hanya kulit luar saja.”
Dan dalilnya firman Allah:
ﻭَﻟَﺌِﻦْ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢْ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟُﻦَّ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﺨُﻮﺽُ ﻭَﻧَﻠْﻌَﺐُ ﻗُﻞْ ﺃَﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺋُﻮﻥَ * ﻻ ﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُﻭﺍ ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢْ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻜُﻢْ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu) tentulah mereka akan menjawab: ”Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok? Tidak usah kalian meminta maaf, karena sungguh kalian telah kafir sesudah beriman.” (At Taubah: 65-66)

Sebab turun ayat ini, bahwasanya ada sekelompok manusia yang dahulu bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam perang Tabuk dan mereka adalah muslimin, kemudian dalam suatu majelis mereka mengatakan: “Kita tidak pernah melihat seperti para qurro’ (pembaca-pembaca) kita ini yang paling dusta lisannya, paling buncit perutnya (paling rakus dalam makan), paling penakut ketika bertemu musuh.” Mereka memaksudkan dengan ucapannya itu adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para sahabatnya. Dan bersama mereka ada seorang pemuda dari kalangan sahabat, maka dia marah dengan ucapan mereka ini, kemudian dia pergi dan menyampaikan apa yang diucapkan kaum tersebut kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan dia mendapati wahyu telah turun mendahuluinya. Maka datanglah kaum tersebut kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk meminta maaf tatkala mereka mengetahui bahwa Rasullah shallallahu alaihi wasallam telah mengetahui apa yang terjadi pada majelis mereka. Dan berdirilah salah seorang dari mereka dan bergantungan di tali pelana onta Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam keadaan beliau mengendarainya, orang tersebut mengatakan: “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami hanya berbincang-bincang untuk menghilangkan keletihan dalam.perjalanan, kami tidak memaksudkan untuk memperolok-olok, kami hanya bersenda gurau,” dalam keadaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak menoleh sedikitpun kepadanya dan beliau hanya membacakan atasnya ayat ini:
ﻭَﻟَﺌِﻦْ ﺳَﺄَﻟْﺘَﻬُﻢْ ﻟَﻴَﻘُﻮﻟُﻦَّ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻛُﻨَّﺎ ﻧَﺨُﻮﺽُ ﻭَﻧَﻠْﻌَﺐُ ﻗُﻞْ ﺃَﺑِﺎﻟﻠَّﻪِ ﻭَﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺗَﺴْﺘَﻬْﺰِﺋُﻮﻥَ * ﻻ ﺗَﻌْﺘَﺬِﺭُﻭﺍ ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢْ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻜُﻢْ
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu) tentulah merela akan menjawab: ”Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah terhadap Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian berolok-olok? Tidak usah kalian meminta maaf, karena sungguh kalian telah kafir sesudah beriman.” (At Taubah: 65-66)

Perhatikanlah firman Allah subhanahu wata’ala:
ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢْ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻜُﻢْ
“Sungguh kalian telah kafir sesudah beriman.”
Ini menunjukkan bahwasanya sebelum ucapan ini mereka adalah orang-orang yang beriman, maka tatkala mereka mengucapkannya mereka menjadi murtad dari Islam. Padahal mereka mengatakan: “Ini hanya senda gurau,” karena perkara-perkara agama ini tidak boleh dibuat senda gurau dan main-main. Sungguh Allah telah mengkafirkan mereka setelah keimanan mereka. Kita memohon keselamatan kepada Allah.
Hal ini merupakan dalil bahwa barangsiapa mencela Allah, Rasul-Nya, Kitab-kitab-Nya atau sedikit saja dari Al-Qur’an atau Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka dia telah murtad dari Islam walaupun hanya senda gurau, lalu dimana orang-orang yang mengatakan: “Sesungguhnya dia tidak murtad melainkan apabila dia telah meniatkan dari hatinya? Seandainya ada orang yang mencela Allah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam atau Al-Qur’an, kita tidak boleh menghukuminya kecuali apabila dia meyakininya, kita tidak menghukuminya hanya semata-mata dengan ucapannya, lafadznya atau perbuatannya.”
Dari mana mereka mendatangkan ucapan semacam ini dan kertentuan ini?! Padahal Allah telah menghukumi mereka murtad sedangkan mereka mengatakan: “Kami hanya bersenda gurau dan bermain-main.” Mereka orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta bertauhid, akan tetapi tatkala mereka mengucapkan perkataan seperti ini Allah subhanahu wata’ala berfirman:
ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢْ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻜُﻢْ
“Sungguh kalian telah kafir sesudah beriman.”
Dan Allah tidaklah berfirman: “Jika kalian meyakini hal ini.” Kita memohon keselamatan kepada Allah.

Maka yang wajib adalah kita mendudukkan perkara-perkara pada tempatnya dan tidak boleh memasukkan padanya tambahan-tambahan atau pengurangan atau ketentuan-ketentuan dari diri kita sendiri. Allah tidak bertanya tentang keyakinan mereka dan tidak menyebutkan bahwa mereka meyakininya, tetapi Allah menghukumi mereka dengan kemurtadan setelah keimanan mereka,
ﻗَﺪْ ﻛَﻔَﺮْﺗُﻢْ ﺑَﻌْﺪَ ﺇِﻳﻤَﺎﻧِﻜُﻢْ
“Sungguh kalian telah kafir sesudah iman.”
Allah sebutkan kekafiran mereka akibat dari ucapan mereka dan pengolok-olokan mereka dan Allah tidak mengaitkannya dengan ketentuan-ketentuan ini (harus atas dasar keyakinan mereka). Seorang manusia apabila mengucapkan kalimat kekafiran dalam keadaan dia tidak dipaksa maka dihukumi murtad, adapun apabila dia dalam keadaan dipaksa maka tidak murtad.

Dinukil dari:
Sepuluh Pembatal Keislaman, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Penerjemah Al-Ustadz Abu Hamzah Abdul Majid, Penerbit Cahaya Ilmu Press, Yogyakarta

Tentang SUTRA SINTETIS

Al Lajnah Ad Daimah

Soal: Apakah hukum memakai sutra sintetis? Sebagaimana yang Anda ketahui bahwa banyak pakaian yang terbuat dari sutra sintetis semacam ini. Dan apakah sutra yang tidak boleh dipakai (oleh laki-laki) itu hanya sutra alami saja?

Jawab:
Tidak mengapa mengenakan apa yang disebut sebagai sutra sintetis, karena yang diharamkan adalah sutra alami yang berasal dari ulat sutra.
Wabillahit taufiq, semoga shalawat dan salam tercurah pada nabi kita Muhammad, sahabat dan para pengikutnya.

Al Lajnah Ad Daimah:
Ketua: Abdul Aziz bin Baaz
Wakil Ketua: Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah bin Ghudyaan

(Fatwa Al Lajnah Daimah no. 10656)

Tentang MEMANJANGKAN KUKU

Disebutkan dalam Shohih Bukhory dan Muslim dari hadits Abu Huroiroh, bahwasanya Rosululloh bersabda:
ﺍﻟْﻔِﻄْﺮَﺓُ ﺧَﻤْﺲٌ ﺃَﻭْ ﺧَﻤْﺲٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻔِﻄْﺮَﺓِ ﺍﻟْﺨِﺘَﺎﻥُ.ﻭَﺍﻻِﺳْﺘِﺤْﺪَﺍﺩُ ﻭَﻧَﺘْﻒُ ﺍﻹِﺑْﻂِ ﻭَﺗَﻘْﻠِﻴﻢُ ﺍﻷَﻇْﻔَﺎﺭِ ﻭَﻗَﺺُّ ﺍﻟﺸَّﺎﺭِﺏِ
“Al-fitroh itu ada lima (atau lima hal yang termasuk fitroh): khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan memotong kumis.” (HR. AL-BUKHORI no. 5889 dan MUSLIM no. 257)

Abu Bakr Ibnul Arabi ketika membicarakan tentang hadits di atas berkata, “Menurut pandangan saya bahwasanya kelima cabang yang disebutkan di dalam hadits ini semuanya wajib. Karena apabila seseorang meninggalkannya, niscaya tidak tersisa penampilannya sebagai seorang bani Adam, lalu mana mungkin ia (penampilannya) termasuk dari kalangan kaum muslimin.” (Fathul Bari, 10/417)

Anas radhiyallahu ‘anhu berkata:
وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفِ الْإِبِطِ، وَحَلْقِ الْعَانَةِ، أَنْ لَا نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً
“Waktu yang diberikan kepada kami untuk mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, memotong bulu kemaluan adalah tidak lebih dari empat puluh malam (sehingga tidak panjang).”
[HR. Muslim]

###

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Pertanyaan: Apakah hukum syariat terhadap orang yang memanjangkan seluruh kukunya atau sebagiannya?

Jawaban:
Memanjangkan kuku jika tidak haram, minimal hukumnya makruh, sebab Nabi shallallahu ’alaihi wasallam telah menentukan masa memotong kuku agar tidak membiarkannya lebih dari 40 hari. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda,
”Sesuatu yang ditumpahkan darahnya (disembelih) dan disebutkan nama Allah (padanya), maka makanlah ia. Bukan gigi dan kuku…
(hingga ucapan asy Syaikh)
Adapun gigi, maka ia termasuk tulang, sedangkan (memelihara) kuku adalah cara hidup orang-orang Habasyah (Ethiopia).” [Shahih Al Bukhari, Kitabu asy Syirkah (2507); Shahih Muslim, Kitabu al Adhahy (1968)]

Sumber: Kitab ad Da’wah, Vol V, dari Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, Jilid II, hal. 79, 80

###

Fatwa al-Lajnah ad-Daimah
(5/192-193)

Pertanyaan:
Apa hukum memelihara kuku, baik bagi wanita maupun pria? Apa hikmah pengharamannya jika memang hal itu haram hukumnya?

Jawaban:
Segala puji hanya milik Allah semata. Shalat dan salam semoga terlimpah kepada Rasul-Nya beserta keluarga dan shahabat beliau. Wa badu.
Memotong kuku adalah salah satu tuntutan fitrah, berdasarkan sabda nabi shallallahu alaihi wasallam:
Fitrah itu ada 5: khitan, mencukur bulu kemaluan, memangkas kumis, memotong kuku, dan mencabut bulu ketiak.
Hadits yang lain menyebutkan tuntutan fitrah ada 10, salah satunya (memotong kuku).
Dari Anas, beliau berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah memberi kami batas waktu dalam mencukur kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, yaitu tidak membiarkannya lewat dari 40 hari.
Maka dari itu barang siapa tidak memotong kukunya dia telah menyelisihi salah satu tuntutan fitrah.
Adapun hikmah tuntutan ini adalah kebersihan dan kesucian dari kotoran yang kadang-kadang ada di celah-celah kuku. Selain itu memotong kuku untuk menghindari tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang-orang kafir yang melakukannya dan menghindari tasyabbuh dengan binatang yang bercakar serta berkuku.
Wabillahit taufiq. Washallallahu ala nabiyyina Muhammad wa alihi washahbihi wasallam.

ummuyusuf .com

Tentang LAKI-LAKI MEMANJANGKAN RAMBUT, MEMAKAI KALUNG DAN GELANG

Asy Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Pertanyaan: Tren yang berbahaya telah menyebar di kalangan pemuda, yaitu membiarkan rambut mereka panjang dengan alasan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di mana dulunya beliau memanjangkan rambut, demikian juga sebagian mereka memakai kalung, gelang serta celana panjang ketat. Apakah Anda bisa memberi bimbingan dan nasehat kepada mereka?

Jawab:
Jika niat memanjangkan rambut itu tumbuh karena ingin mengikuti contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka sangat penting baginya untuk kembali ke hadits-hadits yang menyebutkan ini serta kembali pula kepada penjelasan para ulama. Hendaknya dia juga memanjangkan rambutnya sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah agar sesuai dengan pemahaman dan pengikutan yang benar.
Adapun para pria memakai kalung dan gelang, maka perkara ini tidak boleh karena di dalamnya terdapat perbuatan meniru kaum wanita, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang-orang laki-laki yang menyerupai perempuan.
Adapun laki-laki memakai celana, maka (dalam hal ini) ia harus mengikuti kebiasaan orang di negerinya [1], dan kami nasehatkan agar para lelaki untuk menjaga penampilannya yang maskulin dan menjaga dirinya agar tidak terjatuh pada penampilan feminim, meniru para wanita serta meniru orang-orang kafir.

Sumber:
Majalah ad-Da`wah – Q1, 23 Syawwal 1428

Catatan:
[1] Tentu saja selama kebiasaan di negerinya tidak bertentangan dengan syariat.

###

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Soal: Apa hukum mengenakan kalung sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian pria?

Jawab:
Mengenakan kalung sebagai perhiasan adalah perkara yang haram bagi laki-laki, karena perhiasan tersebut adalah khusus bagi wanita. Jadi ketika mengenakan kalung, seorang pria telah meniru kebiasaan khusus perempuan dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melaknat laki-laki yang meniru wanita.
Perbuatan ini menjadi semakin besar dosanya bila kalung tersebut terbuat dari emas, jadi terlarangnya dari dua sisi. Tambah besar lagi dosanya bila pada mata kalungnya ditatahkan gambar manusia, hewan, atau burung.
Dan semakin buruk lagi apabila ditatahkan gambar salib atau bentuk mata kalung itu sendiri adalah salib.
Dua perkara yang terakhir, yakni gambar manusia atau hewan dan bentuk salib terlarang baik bagi pria maupun wanita.
Wallahu a’lam.
(Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Fatawa Islamiyah Jilid 7 halaman 399 Penerbit Darussalam)

Tentang RESEPSI PERNIKAHAN DI GEDUNG

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz Rahimahulloh

Pertanyaan: Pesta pernikahan yang dilaksanakan di hotel-hotel yang membutuhkan biaya yang banyak, apakah ini termasuk bentuk isrof (berlebih-lebihan)? Apabila termasuk bentuk isrof, kami mengharapkan bimbingan dari Samahatusy Syaikh tentang masalah tersebut.

Jawaban:
Pesta pernikahan yang dilakasanakan di hotel-hotel, padanya ada beberapa kesalahan dan padanya pula ada sekian pelanggaran-pelanggaran. Di antaranya:
- Bahwa pada umumnya tindakan tersebut padanya ada unsur berlebih-lebihan dan tambahan yang tidak dibutuhkan.
- Yang demikian itu mengantarkan pada sikap takalluf dalam melaksanakan walimah, berlebih-lebihan dan hadir pula di sana orang yang tidak punya kepentingan.
- Seringnya akan menjerumuskan pada ikhtilath (campur baur) laki-laki dan perempuan (yang bukan mahram) dari para pekerja hotel dan yang selain mereka. Dan pada ikhtilath ini ada kejelekan dan kemungkaran.
- Begitu juga dengan gedung-gedung, yang harus disewa dengan biaya sewa yang besar.
Maka seyogyanya untuk ditinggalkan dan tidak memberat-beratkan dalam hal tersebut, memberi manfaat kepada manusia dan semangat untuk (menanamkan) sifat kesederhanaan tidak berlebih-lebihan dan tidak membuang-buang harta. Agar supaya mereka menjadi orang yang pertengahan ketika akan masuk dalam pintu pernikahan serta tidak memberat-beratkan diri. Apabila acara tersebut disaksikan oleh anak pamannya atau kerabatnya yang lain, kemudian dia ingin menirunya, maka ia pun akan memaksakan dirinya untuk berhutang, membelanjakan harta dengan berlebih-lebihan. Bisa jadi ia akan menunda, mengakhirkan menikah karena khawatir dari beban-beban ini. Maka nasihat saya untuk seluruh kaum muslimin, untuk tidak melangsungkan (pesta pernikahan) di hotel-hotel, tidak pula di gedung-gedung yang mahal. Maka laksanakanlah di gedung yang tidak terlalu mahal sewanya, atau di rumah-rumah maka ini tidak mengapa. Dan melaksanakannya di rumah, kalau itu memungkinkan maka ini yang lebih utama dan jauh dari sikap memberat-beratkan diri serta berlebih-lebihan.
Wallahul musta’an.

Sumber: Majmu Fatawa Ibnu Baaz (21/94)

Alih Bahasa: Ibrahim Abu Kaysa

Tentang MENJAGA HARTA SUAMI

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺧَﻴْﺮُ ﻧِﺴَﺎﺀِ ﺭَﻛِﺒْﻦَ ﺍْﻹِﺑِﻞ ﺻَﺎﻟِﺢُ ﻧِﺴَﺎﺀِ ﻓُﺮَﻳْﺶٍ: ﺃَﺣْﻨَﺎﻩُ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﻟَﺪٍ ﻓِﻲ ﺻَﻐِﻴْﺮِﻩِ , ﻭَﺃَﺭْﻋَﺎﻩُ ﻋَﻠَﻰ ﺯَﻭْﺝٍ ﻓِﻲ ﺫَﺍﺕِ ﻳَﺪِﻩِ
“Sebaik-baik wanita penunggang unta, wanita Quraisy yang baik, adalah yang sangat penyayang terhadap anaknya ketika kecilnya dan sangat menjaga suami dalam apa yang ada di tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5082 dan Muslim no. 2527)

Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wanita itu sangat menjaga dan memelihara harta suami dengan berbuat amanah dan tidak boros dalam membelanjakannya. (Fathul Bari, 9/152)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan keutamaan sifat kasih sayang (dari seorang ibu), tarbiyah yang baik, mengurusi anak-anak, menjaga harta suami, mengurusi dan mengaturnya dengan cara yang baik.” (Fathul Bari, 9/152)

Rasululloh bersabda, “Janganlah seorang istri mengeluarkan (harta) dari rumahnya sedikitpun kecuali dengan izin suaminya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasululloh, sekalipun makanan juga tidak boleh?” Rasululloh menjawab, “(Iya), karena makanan termasuk dari harta kita yang paling utama.” (HR. Ibnu Majah no. 2286, lihat Shahih Ibnu Majah no. 2286)

###

Fatwa Asy-Syaikh Ubaid bin Abdillah al-Jabiri حفظه الله تعالى 

Pertanyaan: 
بارك اللهُ فيكم شيخنا، السؤال الخامِس في هذا اللقاء؛ تقول السائِلة: هل يجوز للمرأة أن تتصدَّقَ بدونِ إذن زوجها؟
Semoga Allah memberkahi Anda. Wahai Syaikh kami, (ini adalah) pertanyaan ke-5 dalam pertemuan ini. Seorang wanita bertanya, “Bolehkah seorang wanita bersedekah tanpa seizin  suaminya?”

Jawaban:
إذا كانَ المالُ مالها هي فلا مانِع، ونوصيها إن كانَ زوجها من ذوي الحاجات أن تبدأ به
(Pertama), apabila harta yang disedekahkan itu adalah harta milik si wanita, tidak ada penghalang baginya untuk menyedekahkannya. Apabila suaminya termasuk orang yang membutuhkan, kami wasiatkan kepada si wanita untuk memulai bersedekah kepada suaminya (sebelum kepada pihak lain).
ثانيًا: إذا كان مالُ زوجها فلا يخلو الأمر من حالين
Kedua, apabila harta yang disedekahkan adalah milik suaminya. Dalam hal ini, urusannya tidak lepas dari dua keadaan:
الحالُ الأولى: أن تعلَمَ مِن خِلالِ خبرتها أثناء عشرتها له أنَّهُ مُحبٌّ للخير ولا يمنع فلا مانِع، ولكن لا تُسرِف، تتصدّق بما لا يَضُر
(1)  Dari pergaulannya dengan suami, istri mengetahui benar bahwa suami adalah orang yang mencintai kebaikan dan tidak akan melarang (istri bersedekah).
(Pada keadaan ini), tidak ada halangan bagi istri untuk bersedekah, hanya saja tidak boleh berlebihan. Istri menyedekahkan (harta dalam kadar) yang tidak memadaratkan.
الحالُ الثانية: إذا كانت تعلم أنهُ يُحاسبها، وأنهُ لا يرضى أن تتصرَّف إلَّا بإذنهِ، فلتستأذنهُ في التَّصَدُّقِ مِن مالِهِ فإن أذِنَ فلها مثل أجره بما أنفقت، وهو لهُ أجرهُ بما اكتسب في الحالين إن شاء الله- في هذه والتي قبلَها
(2)  Istri tahu bahwa suami akan menanyainya dan tidak ridha apabila istri berbuat terhadap harta tanpa seizinnya.
(Pada keadaan ini), hendaknya istri meminta izin kepada suami ketika akan bersedekah dari harta suami. Jika suami mengizinkan, istri mendapatkan pahala atas infak tersebut sebagaimana pahala yang didapat oleh suami.
Suami tetap mendapatkan pahala —in sya Allah— pada dua keadaan di atas, yaitu keadaan (yang kedua) ini dan yang sebelumnya.

Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/11126

Alih Bahasa:
Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang PERAN WANITA DI DALAM KELUARGA DAN MASYARAKAT

Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata:
“Islam menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki kewajiban yang khusus agar keduanya dapat menjalankan perannya, hingga sempurnalah bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yang sesuai baginya seperti mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka, merawat dan mengobati mereka dan pekerjaan yang semisalnya yang khusus bagi wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam rumahnya berarti ia menyia-nyiakan rumah berikut penghuninya. Hal tersebut berdampak terpecahnya keluarga baik secara hakiki maupun maknawi.” (Khatharu Musyarakatil Mar’ah lir Rijal fi Maidanil ‘Amal, hal. 5)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menyatakan:
“Perbaikan masyarakat dapat dilakukan dengan dua cara:
Pertama: Perbaikan secara dzahir, yang dilakukan di pasar-pasar, di masjid-masjid dan selainnya dari perkara-perkara yang dzahir. Ini didominasi oleh lelaki, karena merekalah yang biasa tampil di depan umum.
Kedua: Perbaikan masyarakat yang dilakukan dari balik dinding/tembok. Perbaikan seperti ini dilakukan di rumah-rumah dan secara umum hal ini diserahkan kepada kaum wanita. Karena wanita adalah pengatur dalam rumahnya sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yang ditujukan ketika itu kepada para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ﻭَﻗَﺮْﻥَ ﻓِﻲ ﺑُﻴُﻮْﺗِﻜُﻦَّ ﻭَﻻَ ﺗَﺒَﺮَّﺟْﻦَ ﺗَﺒَﺮُّﺝَ ﺍﻟْﺠَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔِ ﺍْﻷُﻭْﻟَﻰ ﻭَﺃَﻗِﻤْﻦَ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ ﻭَﺁﺗِﻴْﻦَ ﺍﻟﺰَّﻛَﺎﺓَ ﻭَﺃَﻃِﻌْﻦَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟَﻪُ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻳُﺮِﻳْﺪُ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟِﻴُﺬْﻫِﺐَ ﻋَﻨْﻜُﻢُ ﺍﻟﺮِّﺟْﺲَ ﺃَﻫْﻞَ ﺍﻟْﺒَﻴْﺖِ ﻭَﻳُﻄَﻬِّﺮَﻛُﻢْ ﺗَﻄْﻬِﻴْﺮًﺍ
“Tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan jangan kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliyyah yang pertama. Tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah hanyalah berkehendak untuk menghilangkan dosa dari kalian wahai ahlul bait dan mensucikan kalian dengan sebersih-bersihnya.” (Al-Ahzab: 33)
Kami yakin setelah ini bahwasanya tidak salah bila kami katakan perbaikan setengah masyarakat itu atau bahkan mayoritasnya tergantung pada wanita dikarenakan dua sebab berikut ini:
Pertama: Kaum wanita itu jumlahnya sama dengan kaum lelaki bahkan lebih banyak, yakni keturunan Adam mayoritasnya wanita sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh As-Sunnah An-Nabawiyyah. Akan tetapi hal ini tentunya berbeda antara satu negeri dengan negeri lain, satu zaman dengan zaman lain. Terkadang di satu negeri jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah laki-laki dan terkadang di negeri lain justru sebaliknya. Sebagaimana di satu masa kaum wanita lebih banyak daripada laki-laki namun di masa lainnya justru sebaliknya, laki-laki lebih dominan. Apapun keadaannya wanita memiliki peran yang besar dalam memperbaiki masyarakat.
Kedua: Tumbuh dan berkembangnya satu generasi pada awalnya berada dalam asuhan wanita. Dengan ini jelaslah tentang kewajiban wanita dalam memperbaiki masyarakat.”
(Daurul Mar’ah fi Ishlahil Mujtama’, Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)

Hendaklah dipahami oleh para wanita bahwa pekerjaan berkhidmat pada keluarga merupakan satu ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pekerjaan di dalam rumahnya bukanlah semata-mata gerak tubuhnya, namun pekerjaan itu memiliki ruh yang bisa dirasakan oleh orang yang mengerti tujuan kehidupan dan rahasia terwujudnya insan. (Daurul Mar’ah, hal. 3)

Beberapa pekerjaan yang bisa dilakukan wanita di dalam rumahnya, seperti:

Pertama: Ibadah kepada Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﻭَﻣَﺎ ﺧَﻠَﻘْﺖُ ﺍﻟْﺠِﻦَّ ﻭَﺍْﻹِﻧْﺲَ ﺇِﻻَّ ﻟِﻴَﻌْﺒُﺪُﻭْﻥِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz-Dzariyat: 56)
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Ummahatul Mukminin untuk berdiam di rumah mereka, Allah gandengkan perintah tersebut dengan perintah beribadah.
ﻭَﻗَﺮْﻥَ ﻓِﻲ ﺑُﻴُﻮْﺗِﻜُﻦَّ ﻭَﻻَ ﺗَﺒَﺮَّﺟْﻦَ ﺗَﺒَﺮُّﺝَ ﺍﻟْﺠَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔِ ﺍْﻷُﻭْﻟَﻰ ﻭَﺃَﻗِﻤْﻦَ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ ﻭَﺁﺗِﻴْﻦَ ﺍﻟﺰَّﻛَﺎﺓَ ﻭَﺃَﻃِﻌْﻦَ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟَﻪُ
“Dan tetaplah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj seperti tabarrujnya orang-orang jahiliyyah yang terdahulu, tegakkanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Al-Ahzab: 33)
Dengan menegakkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ini, akan sangat membantu seorang wanita untuk melaksanakan perannya dalam rumah tangga. Dan dengan ia melaksanakan ibadah disertai kekhusyuan dan ketenangan yang sempurna akan memberi dampak positif kepada orang-orang yang ada di dalam rumahnya, baik itu anak-anaknya ataupun selain mereka.

Kedua: Wanita berperan memberikan sakan (ketenangan dan ketenteraman) bagi suami dan juga bagi rumahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﻭَﻣِﻦْ ﺁﻳَﺎﺗِﻪِ ﺃَﻥْ ﺧَﻠَﻖَ ﻟَﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﺃَﻧْﻔُﺴِﻜُﻢْ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟًﺎ ﻟِﺘَﺴْﻜُﻨُﻮْﺍ ﺇِﻟَﻴْﻬَﺎ ﻭَﺟَﻌَﻞَ ﺑَﻴْﻨَﻜُﻢْ ﻣَﻮَﺩَّﺓً ﻭَﺭَﺣْﻤَﺔً
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan-pasangan (istri) dari diri-diri kalian agar kalian merasakan ketenangan padanya dan Dia menjadikan di antara kalian mawaddah dan rahmah.” (Ar-Rum: 21)
Seorang wanita tidak bisa menjadi sakan bagi suaminya sampai dia memahami hak dan kedudukan suami, kemudian ia melaksanakan hak-hak tersebut dalam rangka taat kepada Allah dengan penuh kesenangan dan keridhaan. Seorang wanita perlu mengetahui tentang besarnya hak suami terhadapnya, sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan seorang istri untuk sujud kepada suami.” (HR. Ahmad, 4/381, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no. 5295 dan Irwa-ul Ghalil no. 199)
Ketika suaminya telah meninggal pun ia diperintah untuk menahan dirinya dari berhias (ber-ihdad) selama 4 bulan 10 hari.
ﻻَ ﻳَﺤِﻞُّ ﻻﻣْﺮَﺃَﺓٍ ﺗُﺆْﻣِﻦُ ﺑِﺎﻟﻠﻪِ ﻭَﺍﻟْﻴَﻮْﻡِ ﺍْﻵﺧِﺮِ ﺃَﻥْ ﺗُﺤِﺪَّ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤَﻴِّﺖِ ﻓَﻮْﻕَ ﺛَﻼﺙٍ ﺇﻻ ﻋَﻠَﻰ ﺯَﻭْﺝٍ ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﺗُﺤِﺪُّ ﺃَﺭْﺑَﻌَﺔَ ﺃَﺷْﻬُﺮٍ ﻭَﻋَﺸْﺮًﺍ
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk berihdad atas mayit lebih dari tiga hari, kecuali bila yang meninggal itu adalah suaminya maka ia berihdad selama 4 bulan 10 hari.” (HR. Muslim no. 1486)
Seorang wanita bisa menjadi sakan bagi rumahnya bila ia menegakkan beberapa hal berikut ini:
1. Taat secara sempurna kepada suaminya dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah.
Taat ini merupakan asas ketenangan karena suami sebagai qawwam (pemimpin) tidak akan bisa melaksanakan kepemimpinannya tanpa ketaatan. Dan ketaatan kepada suami ini lebih didahulukan daripada melakukan ibadah-ibadah sunnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻻَ ﻳِﺤِﻞُّ ﻟِﻠْﻤَﺮْﺃَﺓِ ﺃَْﻥْ ﺗَﺼُﻮْﻡَ ﻭَﺯَﻭْﺟُﻬَﺎ ﺷَﺎﻫِﺪٌ ﺇِﻻَّ ﺑِﺈِﺫْﻧِﻪِ
“Tidak boleh seorang wanita puasa (sunnah) sementara suaminya ada di tempat kecuali setelah mendapatkan izin suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Larangan ini menunjukkan keharaman, demikian diterangkan dengan jelas oleh orang-orang dalam madzhab kami.” (Syarah Shahih Muslim, 7/115)
Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana disebutkan dalam Fathul Bari (9/356).
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga memberikan alasan dalam hal ini: “Sebabnya adalah suami memiliki hak untuk istimta’ (bermesraan) dengan si istri sepanjang hari, haknya dalam hal ini wajib untuk segera ditunaikan sehingga jangan sampai hak ini luput ditunaikan karena si istri sedang melakukan ibadah sunnah ataupun ibadah yang wajib namun dapat ditunda.” (Syarah Shahih Muslim, 7/115)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Hadits ini menunjukkan bahwa lebih ditekankan kepada istri untuk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yang hukumnya sunnah, karena hak suami itu wajib sementara menunaikan kewajiban lebih didahulukan daripada menunaikan perkara yang sunnah.” (Fathul Bari, 9/356)
“Wajib bagi wanita/istri untuk taat kepada suaminya dalam perkara yang ia perintahkan dalam batasan kemampuannya, karena hal ini termasuk keutamaan yang Allah berikan kepada kaum lelaki di atas kaum wanita, sebagaimana dalam ayat:
ﺍﻟﺮِّﺟَﺎﻝُ ﻗَﻮَّﺍﻣُﻮْﻥَ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ
“Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita.”
Dan ayat:
ﻭَﻟِﻠﺮِّﺟَﺎﻝِ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻦَّ ﺩَﺭَﺟَﺔٌ
“Dan bagi kaum lelaki kedudukannya satu derajat di atas kaum wanita.”
Hadits-hadits shahih yang ada memperkuat makna ini dan menjelaskan dengan terang apa yang akan diperoleh wanita dari kebaikan ataupun kejelekan bila ia mentaati suaminya atau mendurhakainya." Demikian dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Adabuz Zifaf, hal. 175-176.
2. Mengerjakan pekerjaan rumah yang dibutuhkan dalam kehidupan keluarga seperti memasak, menjaga kebersihan, mencuci dan semisalnya.
Seorang wanita semestinya melakukan tugas-tugas di atas dengan penuh kerelaan dan kelapangan hati dan kesadaran bahwa hal itu merupakan ibadah kepada Allah. Telah lewat teladan dari para sahabat dalam masalah ini. Mungkin kita masih ingat bagaimana kisah Fathimah bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menggiling gandum sendiri untuk membuat kue hingga membekaskan kapalan pada kedua tangannya. Ketika akhirnya ia meminta pembantu kepada ayahnya untuk meringankan pekerjaannya maka sang ayah yang mulia memberikan yang lebih baik bagi putri terkasih.
ﺃَﻻَ ﺃَﺩُﻟُّﻜُﻤَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺧَﻴْﺮِ ﻣِﻤَّﺎ ﺳَﺄَﻟْﺘُﻤَﺎﻧِﻲ؟ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺧَﺬْﺗُﻤَﺎ ﻣَﻀَﺎﺟِﻌَﻜُﻤَﺎ ﻓَﻜَﺒِّﺮَﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﺃَﺭْﺑَﻌًﺎ ﻭَﺛَﻼﺛِﻴْﻦَ , ﻭَﺍﺣْﻤَﺪَﺍ ﺛَﻼﺛًﺎ ﻭَﺛَﻼﺛِﻴْﻦَ , ﻭَﺳَﺒِّﺤَﺎ ﺛَﻼﺛًﺎ ﻭَﺛﻼﺛِﻴْﻦَ , ﻓَﺈِﻥَّ ﺫَﻟِﻚَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻜُﻤَﺎ ﻣِﻤَّﺎ ﺳَﺄَﻟْﺘُﻤَﺎﻩُ
“Maukah aku tunjukkan yang lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pembantu? Bila kalian berdua hendak berbaring di tempat tidur kalian, bertakbirlah 34 kali, bertahmidlah 33 kali dan bertasbihlah 33 kali. Maka yang demikian itu lebih baik bagi kalian daripada apa yang kalian minta.” (HR. Al-Bukhari no. 3113 dan Muslim no. 2727)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tidak mengingkari khidmat yang dilakukan putrinya dengan penuh kepayahan, padahal putrinya adalah wanita yang utama dan mulia. Bahkan beliau mengakui khidmat tersebut dan memberi hiburan kepada putrinya dengan perkara ibadah yang lebih baik daripada seorang pembantu.
3. Menjaga rahasia suami dan kehormatannya sehingga menumbuhkan kepercayaan suami secara penuh terhadapnya.
4. Menjaga harta suami.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺧَﻴْﺮُ ﻧِﺴَﺎﺀِ ﺭَﻛِﺒْﻦَ ﺍْﻹِﺑِﻞ ﺻَﺎﻟِﺢُ ﻧِﺴَﺎﺀِ ﻓُﺮَﻳْﺶٍ: ﺃَﺣْﻨَﺎﻩُ ﻋَﻠَﻰ ﻭَﻟَﺪٍ ﻓِﻲ ﺻَﻐِﻴْﺮِﻩِ , ﻭَﺃَﺭْﻋَﺎﻩُ ﻋَﻠَﻰ ﺯَﻭْﺝٍ ﻓِﻲ ﺫَﺍﺕِ ﻳَﺪِﻩِ
“Sebaik-baik wanita penunggang unta, wanita Quraisy yang baik, adalah yang sangat penyayang terhadap anaknya ketika kecilnya dan sangat menjaga suami dalam apa yang ada di tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 5082 dan Muslim no. 2527)
Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wanita itu sangat menjaga dan memelihara harta suami dengan berbuat amanah dan tidak boros dalam membelanjakannya. (Fathul Bari, 9/152)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan keutamaan sifat kasih sayang (dari seorang ibu), tarbiyah yang baik, mengurusi anak-anak, menjaga harta suami, mengurusi dan mengaturnya dengan cara yang baik.” (Fathul Bari, 9/152)
5. Bergaul dengan suami dengan cara yang baik.
Dengan memaafkan kesalahan suami bila ia bersalah, membuatnya ridha ketika ia marah, menunjukkan rasa cinta kepadanya dan penghargaan, mengucapkan kata-kata yang baik dan wajah yang selalu penuh senyuman. Juga memperhatikan makanan, minuman dan pakaian suami.
6. Mengatur waktu sehingga semua pekerjaan tertunaikan pada waktunya, menjaga kebersihan dan keteraturan rumah sehingga selalu tampak rapi hingga menyenangkan pandangan suami dan membuat anak-anak pun betah.
7. Jujur terhadap suami dalam segala sesuatu, khususnya ketika ada sesuatu yang terjadi sementara suami berada di luar rumah. Jauhi sifat dusta karena hal ini akan menghilangkan kepercayaan suami.

Ketiga: mendidik anak-anak (tarbiyatul aulad)
Tugas ini termasuk tugas terpenting seorang wanita di dalam rumahnya, karena dengan memperhatikan pendidikan anak-anaknya berarti ia mempersiapkan sebuah generasi yang baik dan diridhai oleh Rabbul Alamin. Dan tanggung jawab ini ia tunaikan bersama-sama dengan suaminya karena setiap mereka adalah mas’ul yang akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ﻳَﺎﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳْﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻗُﻮْﺍ ﺃَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻫْﻠِﻴْﻜُﻢْ ﻧَﺎﺭًﺍ
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (At-Tahrim: 6)

Keempat: mengerjakan pekerjaan lain di dalam rumah bila ada kelapangan waktu dan kesempatan, seperti menjahit pakaian untuk keluarga dan selainnya. Dengan cara ini ia bisa berhemat untuk keluarganya di samping membantu suami menambah penghasilan keluarga.

Apa yang disebutkan di atas dari tugas seorang wanita merupakan tugas yang berat namun akan bisa ditunaikan dengan baik oleh seorang wanita yang shalihah yang membekali dirinya dengan ilmu agama, ditambah bekal pengetahuan yang diperlukan untuk mendukung tugasnya di dalam rumah. Adapun bila wanita itu tidak shalihah, jahil lagi bodoh maka di tangannya akan tersia-siakan tugas yang mulia tersebut.
Wallahu ta’ala a’lam.

Sumber: Asy Syariah online

###

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Wahai para pelajar wanita yang mulia, waspadailah seruan-seruan yang menyesatkan yang menuduh bahwa Islam telah menzhalimi wanita. Sungguh mereka telah berdusta, karena Islam memuliakan wanita, melindunginya, dan menjamin hak-haknya. Yang sesungguhnya menzhalimi wanita adalah pihak yang menginginkan agar wanita meninggalkan adab-adab syari’at yang padanya terdapat penjagaan bagi kehormatannya dan merupakan kelembutan baginya, juga pihak yang ingin agar wanita muslimah berubah menyerupai wanita kafir Barat yang telah sampai pada puncak kehinaan dan kebobrokan moral dengan cara mengorbankan kehormatannya dengan harga yang rendah bersama orang-orang yang rendahan pula ketika masih muda. Kemudian setelah tua dia dicampakkan di panti-panti jompo atau hidup bersama gerombolan anjing (orang-orang bejat) yang dia merasa senang dengan mereka karena tidak memiliki anak dan keluarga.

Coba bandingkan dengan seorang wanita muslimah yang tinggal di rumah dalam keadaan terlindungi dan mengurusi rumah tangga suaminya dan mengelola hartanya serta mendidik generasi penerus umat ini, dan dia memiliki kedudukan yang mulia di tengah-tengah masyarakatnya. Sesungguhnya negara Barat kafir dan para pengekor mereka dari kalangan orang-orang yang tertipu dan suka hal-hal yang berbau Barat dari anak-anak kaum Muslimin, ketika mereka memahami dengan benar kedudukan wanita dalam masyarakat Islam dan tugasnya di dalam rumahnya yang tidak kalah pentingnya dengan tugas pria di luar rumah, dan bagaimana saling mendukungnya tugas wanita yang sesuai dengannya dengan tugas pria dalam memperbaiki keadaan masyarakat, ketika mereka mengetahui ini semua maka mereka pun menyusun berbagai program jahat untuk menelantarkan aturan rumah tangga yang baik ini. Maka mereka pun berusaha mengeluarkan wanita dari rumahnya untuk menangani pekerjaan pria sehingga pekerjaan rumah tangganya pun terbengkalai, padahal tidak ada yang bisa melakukannya dengan baik selain wanita, dan masyarakat tidak akan menjadi bangunan yang baik kecuali dengannya, dan akibatnya pria bisa menjadi pengangguran atau justru menangani pekerjaan wanita ketika dia meninggalkan rumahnya, padahal dia tidak bisa melakukan pekerjaan semacam itu dan memang tidak pantas baginya.

Jadi mereka menyibukkan para wanita dan membebani mereka dengan tugas-tugas yang sebenarnya mereka tidak mampu melakukannya, dan mereka menyebabkan para pria menjadi pengangguran sehingga masyarakat menjadi lumpuh yang akhirnya mendatangkan para tenaga wanita asing dan juga para prianya yang mereka ini membawa berbagai pemikiran rusak dan adat-adat yang menyimpang. Di samping itu belum tentu mereka selamat dari kerusakan akhlak dan akidah, perbuatan sihir, perdukunan, menyembah berhala, dan mencuri, yang semua ini akan memunculkan berbagai masalah yang akan menyibukkan masyarakat untuk mengatasinya dan memperburuk keadaan negeri.

Orang-orang yang tertipu dari para pengekor Barat berusaha menyibukkan wanita muslimah untuk menuntut agar diberi izin menyetir mobil dan kendaraan lainnya, senang bepergian dan sibuk dengan perdagangan dan menjalankan bisnisnya di dalam maupun di luar negeri, campur baur dengan pria di tempat kerja, berduaan dengan pria yang bukan mahram yang bisa menyeret kepada perbuatan yang rendah, duduknya wanita di samping pria di sekolah atau di bangku kuliah dan di berbagai acara, ikut menyelenggarakan seminar dan pertemuan yang diikuti oleh pria dan wanita, tampil di berbagai media dalam keadaan berdandan, tidak menutup wajab, menampakkan dada, lengan, dan betis, berhias dengan berbagai perhiasan yang menyolok, senang menyebarkan kebobrokan moral dan menyembelih rasa malu. Akibatnya generasi muda kaum Muslimin tumbuh dalam keadaan dikalahkan oleh keinginan untuk lepas dari aturan-aturan syari’at dan cenderung mengikuti budaya masyarakat Barat, dan inilah sesungguhnya yang diinginkan oleh musuh-musuh untuk kita melalui anak-anak kaum Muslimin sendiri yang memposisikan diri mereka sebagai calo atau marketing mereka.

Maka wahai saudaraku muslimah, hendaknya engkau mewaspadai apa yang diinginkan darimu dan tujuan jahat yang diarahkan kepadamu, dan jangan sampai engkau tertipu dengan jebakan atau tipuan dan seruan-seruan serta lolongan anjing bayaran itu. Hendaknya engkau berpegang teguh dengan agamamu dan terus menjaga akhlak Islam, dan mohonlah kepada Allah serta bersabarlah, karena sesungguhnya Allah senantiasa bersama orang-orang yang sabar.

Sumber: albaidha[dot]net

Alih Bahasa: Abu Almass

Tentang BERTAUBAT KETIKA DITIMPA BENCANA

Allah berfirman:
قُلْ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ اللهِ فَمَالِ هَؤُلاءِ الْقَوْمِ لا يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا *مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
"Katakanlah: Semuanya (datang) dari sisi Allah. Maka Mengapa orang-orang itu hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun? Nikmat apa saja yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan bencana apa saja yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri." [An-Nisa`: 78-79]

“(Dan) apa saja musibah yang menimpamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahanmu).” (asy-Syura: 30)

“Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah. Oleh karena itu, Allah merasakan atas mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (an-Nahl: 112)

Nabi Nuh alaihis salam berkata ketika mengingatkan kaumnya, sebagaimana firman Allah:
“Maka aku katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, membanyakkan harta dan anak-anakmu, serta mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai’.” (Nuh: 10—12)

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri.” (al-An’am: 42)

“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali (kepada ketaatan).” (as-Sajdah: 21)

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu ketika terjadi gempa bumi di masa beliau, beliau berkata, “Sesungguhnya Rabb kalian meminta dengan gempa ini, supaya kalian kembali kepada apa yang menjadi keridhaan-Nya.”

Al-’Abbas radhiallahu anhu ketika terjadi musim paceklik di masa kekhalifahan Umar, beliau berdoa:
“Ya Allah, sesungguhnya tidaklah turun bala` melainkan karena sebuah dosa dan tidak akan dihilangkan melainkan dengan bertaubat. Dan kaum itu telah mendatangiku untuk menyampaikan hajat mereka kepada-Mu karena kedudukan diriku di hadapan Nabi-Mu, dan ini tangan-tangan kami berlumuran dengan dosa dan ubun-ubun kami (mengiqrarkan) taubat. Turunkanlah kepada kami hujan."
(Lihat: Fathul Bari 2/571, cet. Darul Hadits, Mesir. Diriwayatkan oleh Az-Zubair bin Bakkar di dalam kitab Al-Ansab)

###

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
ﻭﺇﺫﺍ ﺭﺃﻳﺖ ﺍﻟﻌﺒﺪ ﻳﻘـــﻊ ﻓﻲ ﺍﻟﻨــﺎﺱ ﺇﺫﺍ ﺁﺫﻭﻩ، ﻭﻻ ﻳﺮﺟـــﻊ ﺇﻟﻰ ﻧﻔﺴـــﻪ ﺑﺎﻟﻠﻮﻡ ﻭﺍﻻﺳﺘﻐﻔـــﺎﺭ، ﻓﺎﻋﻠﻢ ﺃﻥ ﻣﺼﻴﺒﺘﻪ ﻣﺼـــﻴﺒﺔ ﺣﻘﻴﻘﻴـــﺔ. ﻭﺇﺫﺍ ﺗﺎﺏ ﻭﺍﺳﺘﻐﻔـــﺮ ﻭﻗــﺎﻝ: ﻫﺬﺍ ﺑﺬﻧﻮﺑﻲ، ﺻــــﺎﺭﺕ ﻓﻲ ﺣﻘـــﻪ ﻧﻌﻤـــﺔ
"Apabila kamu melihat seorang hamba Allah menceritakan orang-orang ketika mereka mengganggunya -sedang ia tidak mengembalikan (sebab gangguan itu) kepada dirinya dengan menyalahkan dirinya sendiri dan beristighfar- maka KETAHUILAH bahwa musibah kepadanya benar-benar musibah!
Adapun seandainya ia bertaubat dan beristighfar (ketika mendapat gangguan dari orang lain) seraya berkata: "INI SEBAB DOSA-DOSAKU!" Maka musibah itu berubah menjadi nikmat baginya."

Sumber: Jami'ul Masaail (1/ 169)

----
Catatan:
Musibah yang membuat seseorang tidak introspeksi DIRI bahkan menyalahkan orang lain maka musibah itu tidak memberikan kebaikan malah menjadi sebab ia MENGGUNJING orang lain. Sehingga musibah itu benar-benar musibah.
Adapun seseorang yang mendapat gangguan kemudian ia MUHASABAH (introspeksi diri) dan ia menganggap itu AKIBAT KELALIMAN DAN KEMAKSIATANNYA di waktu lalu yang berujung munculnya rasa takut kepada Allah SEHINGGA ia bertaubat dan memohon ampunan dari dosa-dosanya.
Orang ini telah menjadikan musibah berbuah nikmat dengan melakukan amalan sholih: TAUBAT dan ISTIGHFAR.
Dinukil dari: Majmu'ah Duruusil 'Ilmi

Al Ustadz Abu Yahya (Solo) Al Maidaniy -hafidzahullah- [FBF-5]

WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | www .alfawaaid .net

###

Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin berkata, "Sesungguhnya mayoritas manusia pada hari ini mengaitkan musibah yang terjadi —baik dalam hal perekonomian, keamanan, maupun politik— dengan sebab yang bersifat materi saja. Tidak diragukan, hal ini menunjukkan dangkalnya pemahaman, lemahnya keimanan, serta kelalaian mereka dari menelaah Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Sesungguhnya, di balik sebab-sebab tersebut ada sebab lain yang bersifat syar'i. Sebab yang syar'i ini lebih kuat dan lebih besar pengaruhnya daripada sebab-sebab yang bersifat materi. Namun, sebab yang bersifat materi terkadang menjadi perantara untuk terjadinya musibah atau azab karena adanya tuntutan dari sebab yang syar'i."

Allah berfirman: "Telah tampak kerusakan di daratan dan di lautan, disebabkan oleh perbuatan tangan manusia. Allah ingin merasakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)." (ar-Rum: 41)

Kehidupan manusia yang semakin jauh dari bimbingan agama mengakibatkan terbentuknya pola pikir yang senantiasa berorientasi kepada keduniaan dan materi semata. Berbagai bencana dan musibah yang terjadi sering dicermati sebatas kejadian (fenomena) alam dan keterkaitannya dengan materi, tanpa dihubungkan dengan kehendak Allah Yang Mahakuasa, kemudian disebabkan oleh perbuatan tangan (dosa, kesalahan) manusia.

Sesungguhnya, Allah telah menjadikan segala sesuatu memiliki sebab. Kebaikan memiliki sebab, demikian pula keburukan. Barang siapa menjalani sebab kebaikan, ia akan dekat untuk mencapai kebaikan. Sebaliknya, siapa yang menempuh jalan keburukan dan mengambil sebab-sebabnya, akan terjatuh padanya pula. Sebab-sebab yang disebutkan dalam syariat menjelaskan bahwa barang siapa yang terlibat dengannya, pantas diturunkan hukuman atasnya. Di antara perkara yang menjadi sebab terjadinya musibah adalah sebagai berikut:

1. Syirik dan Mendustakan (ajaran) para rasul

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata dalam nasihat beliau seputar masalah gempa bumi, "Abu Syaikh al-Ashbahani telah meriwayatkan dari Mujahid tentang tafsir ayat (al-An'am: 65):
Katakanlah: Dialah yang berkuasa untuk mengirimkan azab kepadamu, dari atas kamu,
Ia berkata: Yaitu suara keras yang mengguntur, batu dan angin.
atau dari bawah kaki kalian.
la berkata: Yaitu gempa bumi, dibenamkan ke dalam bumi (beserta segala sesuatu yang ada di atasnya).
Tidak diragukan bahwa gempa bumi yang terjadi pada hari-hari ini di berbagai tempat termasuk bagian dari tanda-tanda (kekuasaan Allah). Dengannya, Allah ingin menakut-nakuti para hamba-Nya. Segala yang terjadi di alam ini —baik gempa bumi maupun yang lain— yang membahayakan dan merugikan manusia serta menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya, kesusahan, kerugian, hal yang menyakitkan, semua itu terjadi karena kesyirikan dan kemaksiatan."
Adapun para rasul, Allah menguatkan kedudukan mereka melalui ayat-ayat yang hissi (indrawi) maupun maknawi (abstrak) dengan berbagai argumen yang mematahkan hujjah lawan, hujjah yang tak terbantahkan, baik yang tersebar di alam luas maupun yang terdapat di dalam jiwa manusia.
Allah berfirman: "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah benar." (Fushshilat: 53)
Allah menjanjikan kenikmatan yang tetap kepada orang-orang yang beriman kepada para rasul. Di sisi lain, Dia mengancam orang-orang yang menyelisihi (mereka) dengan azab dan siksaan di dunia dan akhirat.
Di antara ayat yang memberitakan tentang peristiwa yang menimpa umat yang terdahulu adalah:
"Maka mereka mendustakan Nabi Nuh. Kemudian Kami selamatkan dia dan orang-orang yang bersamanya di dalam kapal (bahtera) dan Kami tenggelamkan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang buta (mata hatinya)." (al-A'raf: 64)

2. Dosa dan Kemaksiatan

Allah berfirman: "Maka masing-masing Kami siksa disebabkan dosanya. Di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil. Di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur. Di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang Kami tenggelamkan. Dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri." (al-Ankabut: 40)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Di antara perkara yang dimaklumi bersama tentang sebagian tanda (kekuasan) Allah yang Dia tampakkan kepada kita di segala tempat, pada diri kita, dan apa yang dinyatakan oleh Allah dalam al-Qur'an adalah bahwa dosa dan kemaksiatan merupakan penyebab terjadinya musibah."
Ka'b berkata, "Gempa di bumi hanya terjadi apabila dilakukan kemaksiatan di sana."

3. Menyuburkan Riba, Memusnahkan Sedekah (zakat)

Dalam hadis disebutkan:
"Tidaklah suatu kaum menahan zakat, melainkan Allah menurunkan bencana musim paceklik." (HR. ath-Thabarani dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya)
"Dan tidaklah suatu kaum menahan zakat, melainkan Allah menahan dari mereka turunnya hujan." (HR. al-Hakim, Ibnu Majah dan aI-Baihaqi, dari sahabat Ibnu Umar)
Utsman bin Affan berkata, "Tidaklah satu kaum menghalalkan riba melainkan Allah menimpakan kefakiran dan kekurangan kepada mereka"
Ibnul Qayyim mengatakan, "Perhatikanlah hikmah Allah ketika menahan turunnya hujan kepada para hamba-Nya dan menimpakan kekeringan kepada mereka ketika mereka tidak mengeluarkan zakat serta menghalangi orang-orang miskin dari haknya. Bagaimana bisa mereka memandang boleh menahan hak orang-orang miskin yang ada pada mereka berupa makanan, dengan risiko Allah menahan materi yang menjadi sebab keluarnya makanan dan rezeki Allah menghalanginya dari mereka. Seakan-akan, Allah berfirman kepada mereka: Kalian telah menahan hak orang-orang miskin maka hujan pun ditahan dari kalian. Lalu mengapa kalian tidak meminta turunnya hujan dengan mengeluarkan milik Allah yang ada pada kalian?"

4. Ketika Umat Tidak Beramar Ma'ruf Nahi Mungkar

Apabila umat terdiam dan meninggalkan amar ma'ruf dan nahi mungkar, hal itu menjadi sebab hukuman bagi seluruhnya, termasuk orang-orang yang saleh di antara mereka.
Dalam sebuah riwayat dari jalan Qais bin Abi Hazim: Aku mendengarkan Abu Bakr berkata di atas mimbar:
"Wahai manusia, aku memerhatikan kalian menafsirkan ayat ini: Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu, tiadalah yang sesat itu memberi mudarat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. (al-Maidah: 105)
Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya, apabila kemaksiatan telah terjadi di tengah-tengah manusia dan tidak ada yang mengingkarinya, Allah akan menimpakan hukuman (musibah) yang merata kepada  mereka." (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, an-Nasa'i, al-Baihaqi, dan Ibnu Hibban)

5. Munculnya Kebid'ahan (Perkara Baru) dalam Agama

Ketika terjadi gempa bumi di Madinah pada masa kekhalifahan Umar bin al- Khaththab, beliau berkata: "Kalian telah mengada-adakan perkara baru dalam agama! Demi Allah, kalau ini kembali berulang, aku akan pergi dari tengah-tengah kalian."

6. Munculnya Berbagai Kekejian

Dari Abdullah bin Umar beliau berkata: Suatu ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menghadapkan wajahnya kepada kami, lalu bersabda:
"Wahai segenap kaum Muhajirin, ada lima perkara yang jika kalian diuji dengannya —dan aku berlindung kepada Allah agar kalian tidak sampai menjumpainya— tidaklah bermunculan perbuatan keji pada suatu kaum lalu mereka melakukannya terang-terangan melainkan akan menyebar di kalangan mereka penyakit tha'un dan kelaparan yang belum pernah terjadi pada pendahulu mereka di masa lalu." (HR. al-Hakim no. 8623 dan Ibnu Majah no. 4019)

7. Musik dan Minuman Keras

Dari Imran bin Hushain, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
bersabda:
"Pada umat ini akan ada azab berupa pembenaman (ke dalam bumi), pengubahan wujud mereka dan hujan batu." Salah seorang kaum muslimin bertanya, "Kapan itu terjadi, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Apabila bermunculan biduanita, alat-alat musik dan khamr banyak diminum." (HR. at-Tirmidzi no. 2212)

Wallahu a'lam bish shawaab.

(Dikutip dari tulisan al Ustadz Abu Ubaidah Syafruddin di Majalah asy Syariah edisi 069 dengan sedikit perubahan karena keterbatasan tempat)

Buletin Al Ilmu