Cari Blog Ini

Selasa, 11 Oktober 2016

Kembali Menengok Surat Tentang Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah

DARS USTADZ LUQMAN BA’ABDUH HAFIZHAHULLAH  10 MUHARRAM 1438 H/10 OKTOBER 2016 M (MAGHRIB-ISYA’) DI MASJID MA’HAD AS SALAFY

Masih tentang syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah.

Untuk kembali menjelaskan bagaimana sebenarnya akidah beliau rahimahullah, apakah benar tuduhan-tuduhan yang dilemparkan kepada beliau bahwa beliau seorang takfiri (orang yang suka mengkafirkan kaum muslimin) atau  tidak. Berikut surat/risalah dari al Allamah Abdul Latif bin Abdirrahman bin Hasan rahimahullah, putra dari penulis kitab Fathul Majid (artinya), “Aku kabarkan pada kalian, bahwa Syaikh (Muhammad bin Abdil wahhab rahimahullah) berlepas diri dari akidah takfiri dan prinsip takfiri (prinsip takfiri yang serampangan). Dan bahwasanya beliau tidak mengkafirkan kecuali pada suatu perkara yang para ulama’ bersepakat atasnya bahwa pelaku perbuatan tersebut dihukumi kafir, contohnya orang yang terjatuh pada syirik besar, mengingkari ayat-ayat Allah dan Rasul-Nya setelah ditegakkan hujjah (penjelasan) padanya dan hujah yang sampai padanya benar-benar hujjah yang muktabar (tepat dan benar)… ”

Syaikh Rabi’ hafizhahullah menyebutkan: Risalah ini ditulis untuk mengingkari sebagian manusia yang berbicara seputar permasalahan takfir secara serampangan dan tanpa didasari ilmu. Salah satu dari mereka adalah Abdul Aziz bin Khatib.

Betapa besarnya permasalahan takfir atau hukum murtad ini, sehingga setiap kelompok dari madzhab yang empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) menulis pembahasan ini pada bab-bab khusus, mereka menyebutkan di dalamnya hukum-hukum kemurtadan, konsekuensi kemurtadan dan sebagainya.

Ibnu Hajar Ahmad bin Ahmad bin Ali bin Hajar al Makki al Haitsami yang notabene-nya adalah seorang yang memiliki beberapa penyimpangan pun menulis suatu kitab Al I’lam bi Qowati’il Islam yang berisi pembahasan hukum murtad. Terlebih ulama’-ulama’ lainnya dari madzhab yang empat?!

Asy Syaikh Sulaiman bin Sahman ad Dhiya’ rahimahullah berkata (artinya), “Barang siapa mengingkari takfir secara umum maka dia terbantah dengan al Qur’an dan as Sunnah. Kami tidaklah mengkafirkan seorang pun hanya karena sebuah dosa dibawah dosa syirik besar yang mana para ulama’ bersepakat atas kafirny pelaku dosa tersebut jika telah tegak hujjah atasnya. Sungguh lebih dari satu orang telah menyebutkan adanya kesepakatan ulama’ tentang hal itu seperti yang dihikayatkan oleh Ibnu Hajar al Haitsami dalam kitabnya al I’lam”.

Asy Syaikh Sulaiman rahimahullah juga menyebutkan bahwasanya permasalahan takfirul muslim (mengkafirkan kaum muslimin) sudah ada sejak dulu, ulama’telah bersepakat diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul qayyim al Jauziyah dan lainnya rahimahumullah bahwa Jahil (orang yang tidak tahu) dan Mukhthi’ (orang yang tidak sengaja melakukan kesalahan) dari ummat ini, jika melakukan amalan kesyirikan maka pelakunya diberi udzur karena kejehilan dan kesalahannya yang tidak disengaja, hingga benar-benar sampai padanya penjelasan yang gamblang.

Saudara-saudaraku, pada hari-hari ini muncullah sekelompok manusia yang berada di sisi pemerintah kita, yang membisikkan berita-berita dusta kepada pemerintah dengan menyebut salafiyun atau wahhabi sebagai kelompok yang suka mengkafirkan kaum muslimin. Bahkan ia berkata bahwa akidah takfir (mengkafirkan orang yang sebelumnya islam) muncul pertama kali di masa Ibnu Taimiyah rahimahullah.

Kita katakan ini adalah kedustaan yang besar. Kita tidak mengkafirkan saudara-saudara semuslim kita, bahkan kita katakan bahwa saudara-saudara kita adalah kaum muslimun yang wajib untuk diberikan hak-haknya, ditebarkan salam kepada mereka dan lain-lain dari hak seorang muslim atas muslim lainnya.

Kita dapati, bahwa kelompok yang paling ihtimam (bersungguh-sungguh) menunaikan hak tebar salam kepada kaum muslimin adalah salafy, yang mereka anggap sebagai kaum takfiri wahhabi. Sungguh ini keanehan yang nyata?!

Meski begitu, kita tidak mengataka bahwa orang muslim yang telah mengucapkan kalimat La Ilaha Ilallah tidak boleh dikafirkan secara mutlak. Lihatlah Musailamah al Kadzzab yang mengaku sebagai nabi setelah Rasulullah shallallahualaihi wasallam, ia mengucapkan kalimat La Ilaha Ilallah, bahkan mengakui kenabian Rasulullah shallallahualaihi wasallam. Bersamaan dengan itu Abu Bakr, Umar, Utsman dan para sahabat lainnya ridwanullahi alaihim bersepakat atas kafirnya dia dan para pengikutnya yang meyakini kenabiannya, serta bersepakat untuk memeranginya hanya karena kesalahan mengaku sebagai nabi.

The post Kembali Menengok Surat Tentang Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab rahimahullah appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/11/kembali-menengok-surat-syaikh-muhammad-bin-abdil-wahhab-rahimahullah/

Hidupkan Shalat Tathawwu’

Shalat tathawwu’ adalah shalat di luar shalat wajib 5 waktu (subuh, zhuhur, ashar, maghrib dan isya’) baik shalat itu hukumnya wajib atau tidak. Shalat wajib tathawwu’ misalnya shalat jenazah. Shalat sunnah tathawwu’ misalnya tahiyyatul masjid, shalat sunnah wudhu dll.

Ditinjau dari jenisnya, shalat tathawwu’ terbagi menjadi 2:

1. Tahawwu’ mutlak: Shalat yang mana syariat tidak memberikan batasan padanya.
Contoh: Bolehnya kita untuk shalat tathawwu’ 2 rakaat di siang atau malam hari tanpa ada batasan waktu (kecuali pada 3 waktu larangan shalat).

2. Tathawwu’ muqayyad: Shalat yang memiliki batasan-batasan dalam syariat.
Contoh: Shalat ratibah sebelum subuh, siapa yang hendak melakukan shalat tersebut, maka shalatnya belum terealisasi kecuali dengan melakukan shalat 2 rakaat tersebut sebelum melaksanakan shalat subuh dan ketika telah masuk waktunya, dengan niat shalat sunnah ratibah.

Dan diantara keutamaan shalat tathawwu’:

1. Shalat tathawwu’ menyempurnakan shalat faridhah (shalat wajib 5 waktu). Amalan pertama seorang hamba yang akan dihisab (dihitung) adalah amalan shalat. Jika ada kekurangan pada ibadah shalat seorang hamba, maka shalat tathawwu’ akan menyempurnakannya, barulah setelah itu amalan-amalan yang lain dihitung.
Hal ini sebagaimana hadits Nabi shallalahualaihi wasallam tentang amalan pertama yang akan dihisab (artinya), “…. dan jika ada kekurangan pada amalan shalatnya, Allah berkata: lihatlah apakah hambaku ini memiliki amalan tathawwu’? jika ia memilikinya, Allah berkata lagi: sempurnakanlah amalan shalat wajib hambaku ini dengan amalan tathawwu’nya. Kemudian barulah amalan-amalan yang lainnya dihisab”. (HR. Ahmad: 2/290 dan Abu Dawud: 864)

2. Shalat (baik shalat wajib atau pun tathawwu’) merupakan amalan yang akan memudahkan hamba menuju Jannah. Ketika Rabi’ah bin Ka’b radhiyallahu anhu  meminta kepada Rasulullah shallallahualaihi wasallam untuk mendo’akannya agar menjadi pendamping beliau di Jannah. Beliau pun berkata (artinya), “Bantulah aku untuk memenuhi keinginanmu itu, dengan memperbanyak sujud (shalat)”. (HR. Muslim: 489 dan An Nasa’i: 2/227)

Diringkas dengan sedikit penambahan dari kitab Bugyatul Mutathawwi’ Fi Shalatit Tathawwu’ karya syaikh Muhammad bin Umar Bazmul hafizhahullah.

The post Hidupkan Shalat Tathawwu’ appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/11/hidupkan-shalat-tathawwu/