Cari Blog Ini

Jumat, 29 Juli 2016

Buah Pahit Maksiat

Pembaca Rahimakumullah,

 

Tatkala seorang hamba bermaksiat kepada Allah, baik dengan ucapan, perbuatan, maupun amalan hati, jangan pernah dia merasa bahwa perbuatannya itu tiada berefek apa-apa,  bahkan jika dia mau sedikit saja merenungkan akibat perbuatannya tersebut, niscaya akan nampak jelas baginya kerusakan demi kerusakan yang ditimbulkan olehnya.

 

Al-Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah telah menyebutkan kerusakan-kerusakan tersebut secara ringkas dalam butir–butir kesimpulan dalam kitabnya yang terkenal “Al-Fawaid”, sebagai berikut:

 

1.       Minimnya taufik dan pendapat yang mencocoki kebenaran

 

2.       Menyamarkan al-haq bagi pelakunya

 

3.       Merusak hati

 

4.       Menjadikan pelakunya tidak dikenal

 

5.       Menyia-nyiakan waktu

 

6.       Membuat lari orang-orang di sekelilingnya

 

7.       Membuat pelakunya liar antara dirinya dengan Rabbnya

 

8.       Menghalangi terkabulnya do’a

 

9.       Menghilangkan berkah pada umur dan rizki

 

10.   Menghalangi pelakunya dari ilmu dan meliputkan pakaian kerendahan kepadanya

 

11.   Direndahkan musuh

 

12.   Menyempitkan dada

 

13.   Pelakunya akan diuji dengan teman-teman dekat yang jelek, yang merusak hati dan menyia-nyiakan waktu

 

14.   Lamanya rasa duka dan kesusahan yang diderita akibat kemaksiatan

 

15.   Mempersulit mata pencaharian

 

16.   Memperburuk keadaan hidup

 

Inilah, wahai pembaca sekalian, sekelumit efek negatif dan buah pahit yang akan menimpa pelaku kemaksiatan dan orang-orang yang lalai dari mengingat-Nya, sebagaimana kebakaran itu akibat dari api dan tumbuhnya tetumbuhan itu disebabkan oleh air, demikian pula buah-buah pahit ini akan dipanen pelaku kemaksiatan, wal ‘iyadzu billah.

 

Sebaliknya lawan dari hal tersebut di atas, buah-buah positif, akan terhasilkan dari ketaatan kita kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

 

Oleh karena itu, pikirkanlah matang-matang akibatnya sebelum berkata dan bertindak, sebelum menjadi penyesalan besar pada hari yang tiada bermanfaat lagi taubat dan penyesalan.

Wallahu a’lam bish shawab. Wabillahit taufiq.

The post Buah Pahit Maksiat appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/07/02/buah-pahit-maksiat/

Dahulukan Petunjuk Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam Daripada Selainnya

Allah Azza wa Jalla berfirman,

 

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau adzab yang pedih.” (An-Nur : 63)

 

Berkata Ibnu Rajab Rahimahullah :

 

“Sehingga wajib atas setiap orang yang telah sampai kepadanya perintah (ketetapan) Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan diapun telah memahaminya pula, untuk menjelaskan ketetapan tersebut kepada umat ini, menasehati mereka, serta memerintahkan mereka agar mengikuti ketetapan tersebut, meskipun harus menyelisihi/bertentangan dengan pendapat/ketentuan tokoh besar yang ada di tengah-tengah umat ini. Karena sesungguhnya ketetapan/perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam itu jauh lebih berhak untuk diagungkan dan diikuti daripada pendapat tokoh besar manapun yang menyelisihi ketetapan beliau dalam sebagian permasalahan, sengaja atau tidak sengaja. Dari sinilah para shahabat dan orang-orang sesudah mereka menegaskan bantahan mereka terhadap semua yang menyelisihi sunnah yang sahih, bahkan tidak jarang mereka bersikap keras dalam bantahan tersebut, bukan karena benci kepada pelakunya, tapi karena dia (yang salah itu) adalah orang yang dicintai di tengah-tengah mereka, diagungkan oleh jiwa-jiwa mereka. Akan tetapi Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam jauh lebih mereka cintai, dan perintah/ketetapan beliau jauh di atas semua perintah makhluk lainnya. Sehingga apabila perintah beliau bertentangan dengan perintah manusia selain beliau, maka perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam lebih utama untuk didahulukan dan diikuti. Dan penghormatan terhadap orang yang menyelisihi ketetapan beliau itu meskipun kesalahannya itu diampuni tidaklah menghalangi seseorang untuk lebih mengagungkan dan mengikiti perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam. Bahkan orang yang menyelisihi dan kesalahannya diampuni tersebut tidak akan marah bila seseorang menyelisihi ketentuannya, apabila sudah jelas ketetapan Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam yang bertentangan dengannya.

 

(Dinukil dari Ta’liq terhadap Iqamatul Himam hal 93)

 

Berkata Al-Imam Ahmad bin Hambal Rahimahullah:

 

“Janganlah kamu taqlid kepadaku, dan jangan pula taqlid kepada Malik, Asy–Syafi’i, Al–Auza’i  ataupun Ats–Tsauri. Ambillah dari sumber mana mereka mengambilnya.”

 

(HR. Ibnu Abi Hatim dalam Adab Syafi’i –hal 92-, Abul Qasim As Samarqandi dalam Al-Amali sebagaimana dalam Al-Muntaqa Abu Hafzh Al-Muaddid(234/1), Abu Nua’aim dalam Al-Hilyah (9/106) dan Ibnu ‘Asakir (15/10/1), dengan sanad yang shahih).

 

Berkata AlImam AsySyafi’i Rahimahullah:

 

“Apabila kamu lihat saya mengatakan satu pendapat, padahal yang shahih dari Nabi adalah menyelisihinya, maka ketahuilah bahwa akal saya sudah hilang.”

 

Allah Azza wa Jalla berfirman:

 

“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya, amat sedikit di antara kalian yang mengingat.“ (AlA’raf: 3)

 

Maka ayat di atas telah jelas bagi orang yang beriman kepada apa yang Allah turunkan dari langit-Nya berupa kitab suci yang tidak ada keraguan padanya, yang bisa mengobati seseorang dari penyakit-penyakit hati dari penyimpangan atau keraguan dan sebagai petunjuk menuju jalan yang lurus yaitu Al-Qur’an, terkandung padanya perintah untuk kembali kepada Al-Qur’an  dan mengikutinya dan larangan untuk mengedepankan ucapan selain darinya.

(Dikutip dari Terjemahan Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, Maktabah Al–Ghuraba’ dengan sedikit penambahan)

The post Dahulukan Petunjuk Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam Daripada Selainnya appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/07/03/dahulukan-petunjuk-nabi-shallallahu-alaihi-wasallam-daripada-selainnya/

Hukum Mengangkat Tangan Ketika Takbir Shalat Id

Para ulama berbeda pendapat, apakah mengangkat tangan ketika takbir-takbir tambahan (selain takbiratul ihram) dalam shalat ‘id itu termasuk sunnah atau bukan.

Pendapat Pertama

Disyari’atkan mengangkat kedua tangan ketika takbir.

Ini adalah pendapat jumhur ulama, di antaranya Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, dan salah satu pendapat dari madzhab Maliki.

Dan di antara ulama yang memilih pendapat ini adalah An-Nawawi, Al-Juzajani, Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, Ibnul Qayyim, Ath-Thahawi, Asy-Syaikh bin Baz, Asy-Syaikh Al-Fauzan, dan juga Al-Lajnah Ad-Da’imah.

Dalilnya:

Al-Imam Ahmad, Ibnul Mundzir, Al-Baihaqi, dan yang lainnya berdalil dengan hadits dari Ibnu ‘Umar, bahwa dia berkata:

كان رسول الله -صلى الله عليه وسلم- إذا قام إلى الصلاة رفع يديه حتى إذا كانتا حذو منكبيه كبر ، ثم إذا أراد أن يركع رفعهما حتى يكونا حذو منكبيه ، كبر وهما كذلك ، فركع ، ثم إذا أراد أن يرفع صلبه رفعهما حتى يكونا حذو منكبيه، ثم قال سمع الله لمن حمده ، ثم يسجد ، ولا يرفع يديه في السجود ، ويرفعهما في كل ركعة وتكبيرة كبرها قبل الركوع حتى تنقضي صلاته

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika hendak shalat, beliau mengangkat kedua tangannya, sampai ketika keduanya sejajar dengan pundaknya, beliau bertakbir. Kemudian ketika hendak ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar pundaknya, dan beliau pun bertakbir dalam keadaan kedua tangannya tetap pada posisi demikian. Kemudian beliau ruku’. Kemudian ketika hendak bangkit dari ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar kedua pundaknya, kemudian mengatakan : sami’allahu liman hamidah. Kemudian beliau sujud, dan beliau tidak mengangkat kedua tangannya ketika sujud. Dan beliau mengangkat kedua tangannya pada setiap rakaat dan takbir yang dilakukan sebelum rukuk sampai selesai shalat beliau.”

[HR. Ahmad dalam Musnadnya, Abu dawud dalam Sunannya, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa’, Ibnul Mundzir Ad-Daraquthni dalam sunannya, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, dan yang lainnya, sanadnya shahih].

Adapun sisi pendalilannya adalah keumuman lafzah:

Dan beliau mengangkat kedua tangannya pada setiap rakaat dan takbir yang dilakukan sebelum rukuk sampai selesai shalat beliau

Dan takbir-takbir tambahan (pada shalat ‘id) dilakukan sebelum rukuk.

Qiyas bahwasanya takbir-takbir tersebut dilakukan ketika berdiri, maka ini seperti takbiratul ihram dan takbir ketika hendak ruku’.

Atsar dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau mengangkat kedua tangannya ketika takbir-takbir shalat jenazah dan shalat id. [HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra(III/293)].

Atsar dari ‘Abdullah bin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beliau dahulu juga mengangkat kedua tangannya ketika takbir-takbir shalat jenazah.

Adapun sisi pendalilan dari atsar ini adalah bahwa takbir-takbir shalat id diqiyaskan dengan takbir-takbir shalat jenazah.

Atsar dari ‘Atha’ bin Abi Rabah rahimahullah, bahwa dahulu beliau juga mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir dan orang-orang yang di belakangnya (para makmum) juga mengangkat tangan-tangan mereka.

Al-Imam Maliki bin Anas berkata: “Angkat kedua tanganmu pada setiap takbir.”

Yahya bin Ma’in berkata: “Aku berpendapat (disyari’atkannya) mengangkat kedua tangan pada setiap takbir.”

Ibnu Qudamah berkata: “Jadi kesimpulannya adalah disukai untuk mengangkat kedua tangan.”

Ibnul Qayyim berkata: “Ibnu ‘Umar yang beliau adalah seorang yang benar-benar berupaya untuk mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir.”

Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata tentang hadits Ibnu ‘Umar tersebut: “Cukuplah hadits tersebut sebagai dalil disyari’atkannya mengangkat kedua tangan.”

 Pendapat Kedua,

Tidak disyari’atkan mengangkat kedua tangan ketika takbir.

Ini adalah pendapat dari madzhab Maliki, Ibnu Hazm Azh-Zhahiri.

Dalilnya:

Tidak ada sunnah yang shahihah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyebutkan beliau mengangkat kedua tangannya pada setiap takbir.

Al-Imam Malik berkata: “Tidak disyari’atkan mengangkat kedua tangan sekalipun pada setiap takbir shalat idul fithri dan idul adha kecuali pada takbir yang pertama (yakni takbiratl Ihram).”

Asy-Syaikh Al-Albani mendha’ifkan atsar yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau dahulu juga mengangkat kedua tangannya ketika takbir-takbir shalat jenazah.

Beliau berkata ketika menyanggah pendapat yang menshahihkan atsar tersebut: “Adapun penshahihan sebagian ulama yang mulia terhadap atsar yang menyebutkan diyari’atkannya mengangkat kedua tangan sebagaimana dalam ta’liq beliau terhadap Fathul Bari [III/190] adalah merupakan kesalahan yang nyata sebagaimana hal ini tidak tersamarkan lagi di kalangan orang yang mengetahui bidang ini (ilmu hadits).”

Beliau juga berkata: “Tidak disunnahkan mengangkat kedua tangan karena yang demikian tidak pernah disebutkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan apa yang diriwayatkan dari ‘Umar dan anaknya (Ibnu ‘Umar) tidak menjadaikan amalan ini sebagai amalana yang sunnah.”

Beliau juga berkata: “Kami tidak mendapatkan dalam sunnah satu dalil pun yang menunjukkan disyari’atkannya mengangkat kedua tangan selain dari takbir pertama (takbiratul ihram), dan ini adalah madzhab Al-Hanifiyyah, dan pendapat yang dipilih oleh Asy-Syaukani, dan Ibnu Hazm juga memilih madzhab ini.”

Asy-Syaikh ‘Abdul Muhsin Al-‘Abbad berkata: “Aku tidak mendapati satu dalil pun yang menunjukkan disyari’atkan mengangkat kedua tangan pada takbir-takbir shalat id.”

 Apa yang harus kita lakukan?

Jawabannya adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Shalih Al-Luhaidan:

إن رفع فلا حرج وإن لم يرفع فلا حرج

“Jika mengangkat kedua tangan, maka ini tidak mengapa. Dan jika tidak mengangkat kedua tangan, maka inipun juga tidak mengapa.” (Durus Al-Haram Al-Makki 1424 H)

Wallahu a’lam bish shawab.

The post Hukum Mengangkat Tangan Ketika Takbir Shalat Id appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/07/05/hukum-mengangkat-tangan-ketika-takbir-shalat-id/

Badr, Saksi Bisu Ketabahan Prajurit Tak Kenal Gentar

Para pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah ta’ala, Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh berkah lagi keistimewaan yang melimpah.

Di antara keistimewaan bulan ini adalah Allah subhanahu wata’ala menurunkan pertolongan-Nya kepada kaum muslimin pada Perang Badr Kubra atas musuh-musuh mereka (kaum musyrikin). Hari tersebut dikenal dengan Yaumul Furqan (hari pembeda). Karena dengannya Allah subhanahu wata’ala memisahkan antara hak dan batil.

Allah subhanahu wata’ala menolong rasul-Nya dan kaum muslimin serta menghinakan kaum kufar musyrikin pada hari tersebut.

Semua itu terjadi pada Bulan Ramadhan.

Sebab pertempuran ini adalah sampainya kabar kepada Rasul shallallahu alaihi wasallam bahwa Abu Sufyan telah kembali dari Syam dengan membawa iring-iringan kafilah dagang Quraisy. Sehingga Rasul shallallahu alaihi wasallam memanggil para sahabat untuk bersama-sama menghadang kafilah dagang tersebut dan mengambil barang dagangan mereka. Yang demikian itu adalah hal yang wajar karena beberapa sebab. Di antaranya,

- Quraisy memerangi Rasul shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat.
- Tidak ada perjanjian damai antara kaum muslimin dengan kaum musyrikin.
- Kaum musyrikin telah mengeluarkan kaum muhajirin dari Mekah dan merampas harta meraka.
- Musyrikin Quraisy bangkit melawan dakwah Rasul shallallahu alaihi wasallam.

Sebab-sebab ini sudah cukup membuat Quraisy pantas menerima sesuatu yang direncanakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para sahabat untuk merampas barang dagangan mereka.

Berangkatlah Nabi shallallahu alaihi wasallam bersama lebih dari 300 sahabat dengan membawa 2 kuda dan 70 unta. Mereka saling bergantian mengendarainya. 70 orang dari kalangan Muhajirin. Adapun sisanya dari kaum Anshar. Tujuan mereka adalah merampas barang dagangan Quraisy, bukan untuk bertempur. Akan tetapi dengan kehendak Allah subhanahu wata’ala, Abu Sufyan mengetahui rencana mereka. Sehingga dengan segera ia mengirim utusan kepada Quraisy yang ada di Mekah, meminta bala bantuan untuk melindungi barang dagangan mereka. Abu Sufyan mengambil jalur pantai, tidak melewati jalur biasanya.

Ketika utusan Abu Sufyan datang, Quraisy berangkat disertai para tokoh mereka dan 1000 prajurit yang terdiri dari 100 kavaleri dan 700 unta.

Setelah Abu Sufyan mengetahui keberangkatan pasukan tersebut, ia mengirim utusan untuk mengabarkan lolosnya mereka dari hadangan pasukan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan memberi isyarat tersirat kepada Quraisy agar kembali dan tidak melanjutkan peperangan. Tetapi mereka enggan. Berkatalah Abu Jahl, ”Kami tidak akan kembali sampai kami menginjakkan kaki di Bumi Badr, menetap di sana selama 3 hari, menyembelih unta, berpesta pora, dan mabuk-mabukan agar seluruh bangsa Arab mengetahui siapa kita. Niscaya mereka senantiasa segan kepada kita.”

Di sisi lain, ketika sampai berita kepada Rasul shallallahu alaihi wasallam tentang keberangkatan pasukan Quraisy, beliau pun mengumpulkan para sahabat yang bersamanya untuk bermusyawarah. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadaku salah satu dari 2 golongan; kafilah dagang atau pasukan perang.”

Bangkitlah salah seorang dari kalangan Muhajirin bernama Miqdad bin Al Aswad seraya berkata, “Wahai Rasulullah, lakukanlah apa yang Allah subhanahu wata’ala perintahkan kepadamu. Demi Allah, kami tidak akan berucap sebagaimana yang pernah diucapkan Bani Israil kepada Musa alaihissalam-pergilah engkau bersama Rabb-mu dan berperanglah kalian berdua. Kami duduk di sini menunggumu-. Sesungguhnya kami akan berperang bersamamu di sebelah kanan dan kirimu serta di arah depan dan belakangmu.”

Kemudian berdirilah seseorang dari kalangan Anshar yang bernama Sa’ad bin Muadz (pemuka Aus). Dia berujar, “Wahai Rasulullah, sepertinya engkau khawatir orang-orang Anshar tidak lagi membantumu selain di negeri mereka (Madinah). Berangkatlah sekehendakmu, sambunglah tali persaudaraan dengan siapapun yang engkau inginkan, dan putuskan tali kekerabatan dengan orang-orang yang engkau kehendaki. Ambillah harta kami sesukamu dan tinggalkan untuk kami sesukamu. Apapun yang engkau ambil dari harta kami lebih kami cintai daripada yang engkau sisakan. Segala kebijakan yang engkau tetapkan akan kami ikuti. Seandainya engkau membawa kami ke dalam sumur yang gelap niscaya kami akan ikut bersamamu. Kami tidak enggan untuk bertemu musuh esok hari. Kami akan tabah ketika berperang dan jujur ketika bertemu musuh. Semoga Allah memperlihatkan kepadamu apapun yang membuatmu percaya kepada kami.”

Nabi shallallahu alaihi wasallam pun senang dengan perkataan kaum Muhajirin da Anshar –semoga Allah meridhai mereka-. Beliau pun memberikan komando, “Berangkatlah kalian dan bergembiralah seakan-akan aku melihat tempat jatuhnya kepala-kepala mereka (kaum musyrikin).”

Kemudian beliau shallallahu alaihi wasallam berangkat bersama pasukan menuju Badr dan singgah di mata air yang rendah di daerah tersebut. Berdirilah Al Hubab bin Al Mundzir dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah Allah yang menentukan tempat ini atau strategimu? Karena peperangan adalah tipu daya.”

Nabi shallallahu alaihi wasallam mejawab, “Ini adalah strategiku. Bahkan peperangan adalah strategi dan tipu daya.”

Al Hubab pun memberi saran agar terus bergerak dan berhenti di tempat yang paling dekat jaraknya dengan sumber air dibanding posisi musuh. Sehingga kaum muslimin bisa membuat satu kolam yang cukup menampung air untuk kebutuhan mereka dan menutup sumber air lainnya, tinggallah musuh dalam kondisi tidak memiliki persediaan air. Rasul shallallahu alaihi wasallam menganggap baik usulan cerdas tersebut dan melaksanakannya.

Setelah itu kaum muslimin mendirikan tenda untuk tempat tinggal, mendirikan satu markas komando bagi Nabi shallallahu alaihi wasallam, dan menentukan para pengawal yang dikomandani oleh Sa’ad bin Muadz radhiyallahu anhu.

Wallahua’lambishshawab

The post Badr, Saksi Bisu Ketabahan Prajurit Tak Kenal Gentar (bagian 1) appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/07/09/badr-saksi-bisu-ketabahan-prajurit-tak-kenal-gentar-bagian-1/