Cari Blog Ini

Selasa, 15 Maret 2016

Suami Tidak Mengizinkan Istri Belajar

Suami Tidak Mengizinkan Istri Belajar

Oleh: Al-Ustadz Yunus Sragen

Pertanyaan:

Seorang istri bertanya. Pada saat suaminya masih hidup, dia ingin belajar, tetapi suaminya tidak setuju. Setelah suaminya meninggal, dia kembali berpikir untuk belajar. Namun, telah diketahui bahwa sang suami semasa hidupnya tidak meridhai hal ini. Bagaimana hukumnya?

Jawab:

Wanita tidak dilarang mempelajari sesuatu yang bermanfaat bagi agama dan dunianya, apabila dia memiliki kemudahan, dengan selalu menjaga rasa malu, menutupi aurat, dan tidak ikhtilath (bercampur baur antara pria dan wanita yang bukan mahram). Dia boleh belajar walaupun suami semasa hidupnya menghalangi dan tidak meridhainya. Karena telah meninggal, suami tidak lagi memiliki kekuasaan terhadap dirinya.

Wabillahit taufiq, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wasallam.

(Fatawa al-Lajnah ad-Daimah no. 17705)

Didukung oleh: WebMasterKHAS

http://salafymedia.com/blog/suami-tidak-mengizinkan-istri-belajar/

Tugas Rumah Atau Menuntut Ilmu

Tugas Rumah Atau Menuntut Ilmu

Oleh: Al-Ustadz Yunus Sragen

Pertanyaan:

Mana yang lebih utama bagi wanita muslimah, melaksanakan kewajiban rumah dan melayani suami, atau mencurahkan semua waktunya untuk menuntut ilmu dan mendatangkan seorang pembantu wanita untuk mengerjakan tugas rumah tangga? Berilah kami penjelasan. Jazakumullahu khairan. (semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan).

Jawab:

Ya, wanita muslimah wajib mempelajari agamanya sesuai dengan kemampuannya. Akan tetapi, melayani dan menaati suami serta mendidik anak-anaknya adalah kewajiban yang agung. Maka dari itu, hendaklah dia menyediakan kesempatan setiap hari untuk belajar, walaupun sedikit. Dia bisa mengikuti majelis meski sebentar atau menyediakan waktu untuk membaca setiap hari. Adapun semua waktu yang lain, dia gunakan untuk menyelesaikan pekerjaan harian. Sehingga, jangan sampai dia meninggalkan belajar agama, dan jangan pula dia meninggalkan pekerjaan rumah dan anak-anaknya, serta janganlah dia menyerahkan mereka (anak-anaknya) kepada pembantu wanita. Hendaklah dia seimbang dalam urusan ini. Dia menyediakan waktu untuk mengerjakan tugas rumah tangga dan tetap menyediakan waktu untuk belajar walaupun sebentar. Dengan demikian, dia tetap bisa mempelajari agama sekaligus mengerjakan tugas dan mendidik anak-anaknya.

(Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah no. 1348; jawaban Fadhilatusy Syaikh Shalih al-Fauzan)

Sumber :

http://qonitah.com/tugas-rumah-atau-menuntut-ilmu/

Didukung oleh: WebMasterKHAS

http://salafymedia.com/blog/tugas-rumah-atau-menuntut-ilmu/

Meremehkan Wanita Karena Hadits Menyebutkan Wanita Itu Kurang Akal Dan Agamanya ?

Makna Kurang Akal Dan Kurang Agama

Oleh: Al-Ustadz Yunus Sragen

Pertanyaan:

Kami sering mendengar hadits mulia (yang artinya), “Wanita adalah manusia yang kurang akal dan agamanya.” Ada pria yang menggunakan hadits ini untuk berbuat jahat kepada wanita. Kami mohon penjelasan Anda tentang makna hadits ini.

Jawab:

Makna hadits Rasulullah Sholallahu alaihi wa Sallam,

مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ. قُلْنَ: وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا، أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ؟ قُلْنَ: بَلَى. قَالَ: فَذَلِكِ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا

“Tidaklah aku mengetahui orang yang kurang akal dan agamanya, yang lebih mampu mengalahkan akal seorang pria yang berkemauan keras daripada salah seorang dari kalian.” Rasulullah ditanya, “Wahai Rasulullah, apa sisi kekurangan akal kami?” Beliau balik bertanya, ”Bukankah persaksian seorang wanita setengah persaksian seorang pria?” Kami menjawab, “Ya, benar.” Beliau bersabda, “Itulah kekurangan akalnya. Bukankah apabila sedang haid, dia tidak shalat dan tidak berpuasa?” Kami menjawab, “Ya, benar.” Beliau bersabda, ”Itulah kekurangan agamanya.” 

Beliau menjelaskan bahwa kekurangan akal wanita ada pada kelemahan hafalannya, dan persaksiannya harus dikuatkan dengan persaksian seorang wanita yang lain. Hal itu untuk memastikan persaksian tersebut. Karena sering lupa, dia akan sering menambah atau mengurangi keterangan dalam persaksian. Allah Ta’ala berfirman

( وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ )

“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antara kalian. Jika tidak ada dua orang lelaki, (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridhai, supaya jika seorang lupa, seorang yang lain mengingatkannya.” (al-Baqarah: 282)

Adapun kekurangan agamanya, ketika sedang haid atau nifas, dia harus meninggalkan shalat dan puasa, serta tidak bisa meng-qadha (mengganti) shalatnya. Ini kekurangan dalam hal agama.

Akan tetapi, wanita tidak boleh dicela karenanya. Kekurangan tersebut adalah sesuai dengan ketentuan syariat Allah. Allah lah yang mensyariatkannya sebagai bentuk kasih sayang dan kemudahan bagi wanita. Sebab, apabila dia harus berpuasa dalam keadaan haid atau nifas, hal ini akan membahayakannya. Maka dari itu, termasuk kasih sayang-Nya adalah Dia mensyariatkan agar wanita meninggalkan puasa ketika haid atau nifas dan dia menggantinya setelah itu.

Adapun shalat, pada diri wanita yang sedang haid ada sesuatu yang menghalangi kesuciannya. Maka dari itu, termasuk kasih sayang Allah  adalah Dia mensyariatkan agar wanita meninggalkan shalat. Demikian pula halnya ketika dia sedang nifas. Kemudian, Allah mensyariatkan agar dia tidak mengganti shalatnya karena hal itu sangat berat. Shalat berulang lima kali dalam sehari semalam. Sementara itu, haid kadang-kadang berlangsung sampai tujuh atau delapan hari, bahkan lebih, sedangkan nifas bisa sampai empat puluh hari. Oleh karena itu, termasuk kasih sayang Allah dan kebaikan-Nya kepada wanita, Dia mengugurkan kewajiban shalat, baik pelaksanaan maupun qadha-nya.

Hal itu tidak berarti wanita mesti kurang akal dan agamanya pada segala sisi. Rasulullah hanya menjelaskan bahwa kekurangan akalnya adalah pada sisi kelemahan persaksiannya, dan kekurangan agamanya pada sisi dia harus meninggalkan shalat dan puasa ketika sedang haid atau nifas. Hal ini juga tidak berarti wanita mesti lebih rendah daripada pria, dan pria mesti lebih mulia daripada wanita dalam segala hal.

Memang, secara umum, jenis pria lebih mulia daripada jenis wanita karena banyak alasan. Allah berfirman,

(الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ )

“Kaum pria adalah pemimpin bagi kaum wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (pria) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (pria) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (an-Nisa’: 34)

Akan tetapi, pada sebagian keadaan, wanita lebih unggul. Betapa banyak wanita yang melebihi pria dalam hal akal, agama, dan kekuatan (hafalan). Meskipun demikian, disebutkan oleh Nabi pada hadits ini bahwa jenis wanita lebih rendah daripada jenis pria dalam hal akal dan agama, yang keduanya telah dijelaskan oleh Nabi. Ada wanita yang mengerjakan banyak amal saleh sehingga melebihi banyak pria dalam hal amal saleh, ketakwaan kepada Allah, dan kedudukan di akhirat. Ada pula wanita yang memiliki perhatian terhadap bidang tertentu sehingga benar-benar menguasainya, melebihi kaum pria. Dia pun menjadi rujukan dalam bidang tarikh Islam dan bidang lainnya.

Atas dasar ini, kekurangan tersebut tidak menjadi penghalang bagi wanita untuk dijadikan sandaran dalam hal periwayatan. Demikian pula dalam hal persaksian, apabila didukung oleh wanita lain. Kekurangan tersebut juga tidak menghalanginya untuk menjadi hamba yang bertakwa kepada Allah dan menjadi hamba Allah yang terbaik, apabila agamanya lurus.

Demikianlah. Walaupun gugur darinya kewajiban puasa ketika haid dan nifas dan dia tetap menggantinya, walaupun gugur kewajiban shalat atasnya, baik pelaksanaan maupun qadha-nya; ini tidak mengharuskan wanita kurang dalam segala hal, dari sisi ketakwaannya kepada Allah, sisi pelaksanaan perintah-Nya, dan dari sisi penguasaan terhadap urusan-urusan yang dia perhatikan.

Jadi, kekurangan wanita adalah khusus pada akal dan agamanya, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Nabi. Maka dari itu, tidak sepantasnya seorang mukmin menuduh wanita memiliki kekurangan dalam segala hal dan kelemahan agama dari segala sisi. Kelemahan wanita hanya pada agama dan akalnya, dalam hal-hal yang berkaitan dengan kekuatan persaksian dan yang semisalnya. Oleh karena itu, masalah ini harus dijelaskan dan sabda Nabi n ini harus dipahami dengan sebaik-baiknya.

Wallahu ta’ala a’lam.

(Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah no. 1325; jawaban Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rohimahullah Ta’ala)

Didukung oleh: WebMasterKHAS

http://salafymedia.com/blog/meremehkan-wanita-karena-hadits-menyebutkan-wanita-itu-kurang-akal-dan-agamanya/

SIKAP LURUS (BENAR) JIKA DATANG JARH DARI SEORANG 'ALIM MU'TABAR

SIKAP LURUS (BENAR) JIKA DATANG JARH DARI SEORANG 'ALIM MU'TABAR

Asy Syaikh al fadhil Nizar bin Hasyim al 'Abbas hafizhahullah di tanya:

Apa yang seharusnya kita lakukan jika mendapati sebuah tahdzir yang tidak mufassar (rinci) dari seorang 'alim yang mulia terhadap salah seorang syaikh yang kita memandangnya dengan kebaikan.

🔺Apakah kami meninggalkannya ketika itu juga?
🔺Atau kita diam menunggu rincian baru kemudian kita tidak lagi mendengar darinya?

Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.

Kemudian beliau hafizhahullah menjawab:

Wa'alaikumus salam wa rohmatullAh wa barokatuh, semoga Allah memberkahi anda...

🔺Apabila tahdzir tersebut datang dari seorang 'alim yang MU'TABAR (yang memiliki hak dalam tahdzir), TSIQOH (terpercaya), MULIA dan TINGGI KEDUDUKANNYA...

Seperti
Syaikh Robi' bin Hadi,
Syaikh al 'allamah 'Ubaid al Jabiry,
Syaikh al 'allamah Muhammad bin Hadi,
Syaikh 'Abdulloh al Bukhory hafizhohumulloh
dan selainnya dari para ahlul 'ilmi...

Maka sikap menahan diri dan menjauhkan diri (dari orang yang ditahdzir) lebih utama dan lebih berhati-hati sebagai bentuk penjagaan terhadap kepercayaan (agama) kita.

🔺Yang demikian tersebut karena seorang yang menjarh (sebagaimana yang sudah diketahui) terkadang dia melihat sesuatu yang samar namun menyebabkan seorang itu jatuh sehingga dia menjarh dan mentahdzirnya karena hal tersebut secara umum dan tidak merincinya. Bukan karena tidak adanya rincian, tetapi karena adanya sebab-sebab lain yang terkadang dicari sebagai pembahasan tambahan, mendalami sesuatu dan pengikut (yang menjadi penguat) atau karena jarh tersebut berkaitan dengan buruknya muru'ah dia atau kehormatan dia, yang dikhawatirkan dengannya dia akan merusak selainnya. Sehingga hal tersebut butuh untuk disembunyikan, karena mungkin orang yang dijarh tersebut bisa menjauh darinya dan kembali bertaubat.
🔺Atau mungkin dia masih dalam proses dinasehati, sehingga sebagai bentuk amanah dan khawatir terhadap para pemuda muslimin (akan terpengaruh dengannya) maka seorang penjarh yang mengerti (mashlahat dan mafsadat) dia menjarh secara umum dan global, demi menjaga kemaslahatan yang bersifat umum dan mendahulukannya dari pada kemaslahatan orang yang dijarh secara khusus. Sampai jelas permasalahannya dan telah diputuskan perkaranya.

JIKA TELAH TERANGKAT/DICABUT JARH DARINYA
🔺maka orang tersebut kembali keadaannya (sebagaimana sebelum ditahdzir)
🔺dan kembali para tholabah boleh belajar darinya..

Jika Tidak
🔺maka jatuhlah hukum untuk menjauhinya secara utuh
🔺setelah sebelumnya dijauhi dalam bentuk kehati-hatian.

Dan inilah yang tampak jika kita melihat kepada dasar-dasar syari'at ini dan pokok-pokok serta ketentuan-ketentuan dalam bab ini yaitu (bab jarh wa ta'dil). wallAhu a'lam.

(22 Dzul hijjah 1436 H)

Sumber: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=147888

Kiriman dari:
Al Akh Zaki di Madinah

Alih bahasa:
Syabab Ashhabus Sunnah
――――――――――――
Untuk fawaid lainnya bisa kunjungi website kami: www.ittibaus-sunnah.net

أصحاب السنة
Ashhabus Sunnah

️___
Edisi: مجموعة الأخوة السلفية [-MUS-]
Klik "JOIN" http://bit.ly/ukhuwahsalaf

‪#‎Manhaj‬ ‪#‎aljarh_wa_ta_dil‬