.
بسم الله الرحمن الرحيم
.
Kepada: Asy-Syaikh Al-Fadhil Al-Allamah Abdul Muhsin bin Hammad Al-Abbad Al-Badr yang mulia;
.
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
.
Wa ba’du:
Saudaraku; saya telah mendapat telepon darimu pada malam Kamis bertepatan 10 Jumadil Ula 1424 H, ketika itu engkau menegur saya dan engkau mengatakan bahwa engkau mendapatkan percakapan yang menceritakan percakapan yang lain, dan bahwasanya saya telah mengatakan kepada penanya bahwa; tidak ada yang menyebarkan kitab yang merupakan karyamu, yaitu “Rifqan Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah” kecuali seorang mubtadi’.
Saya katakan: Ilah-mu (Allah) mengetahui bahwa saya tidak memvonismu sebagai mubtadi’ dan saya juga tidak bermaksud memvonismu sebagai mubtadi’, karena sungguh saya menganggapmu termasuk Ahlus Sunnah yang berjihad dalam menyebarkan As-Sunnah. Tetapi saya menganggap usahamu menulis kitab ini menyakiti Ahlus Sunnah yang engkau masih senantiasa menyebarkan As-Sunnah dan mengajarkannya kepada manusia sejak dahulu, walaupun saya yakin pasti engkau tidak bermaksud untuk bersikap buruk kepada As-Sunnah.
Tetapi anggapanmu -menurut saya- yaitu ingin mendamaikan dua pihak: yaitu pihak yang terlalu semangat yang dengan semangatnya keluar dari sikap pertengahan dan pihak yang bersikap pertengahan, dan Allah yang lebih mengetahui. Hanya saja engkau telah berbuat buruk dengan tulisanmu berupa kitab ini yang nampak ingin menggembosi Salafiyyun agar tidak mencela ahlul bid’ah dan tidak mengkritik mereka.
Kedua: Nampak dari tulisanmu sikap menyalahkan Salafiyyun, mencela dan menghina mereka karena celaan mereka kepada ahlul bid’ah.
Ketiga: Celaan terhadap ahlul bid’ah yang merupakan qurbah (ibadah untuk mendekatkan diri) kepada Allah bahkan termasuk qurbah yang terbesar, engkau anggap salah satu kesalahan yang paling besar. Padahal Al-Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya: “Seseorang mengerjakan shalat, berpuasa serta membaca Al-Qur’an lebih baik mana dibandingkan dengan orang yang menjelaskan kesesatan ahlul bid’ah?” Maka beliau menjawab: “Seseorang yang mengerjakan shalat, berpuasa serta membaca Al-Qur’an maka manfaatnya hanya untuk dirinya sendiri, sedangkan orang yang menjelaskan kesesatan ahlul bid’ah manfaatnya untuk manusia karena mengingatkan mereka dari kesesatan ahlul bid’ah.”
Keempat: Ahlul bid’ah telah memanfaatkan sikapmu ini sehingga mereka menjadikan dirimu sebagai pembela mereka. Mereka pun mencopy kitabmu hingga ratusan bahkan ribuan dan membagi-bagikannya seperti yang beritanya sampai kepada kami. Maka lihatlah; siapakah yang engkau beri manfaat dan di barisan mana engkau berdiri dengan kitab ini?
Kelima: Dengan kitabmu itu engkau telah mengganti sesuatu yang paling baik dengan sesuatu yang paling buruk -engkau lebih mengetahui- yaitu; seharusnya engkau menolong Salafiyyun dan membela mereka, namun engkau justru menolong para mubtadi’ dan membela mereka, engkau merasa atau tidak, yang jelas hal itu telah terjadi. Maka lihatlah; siapa yang bergembira dengan kitabmu dan siapa yang merasa sedih?! Tidak diragukan lagi hizbiyyun-lah yang merasa senang dengannya dan membuat Salafiyyun bersedih. Oleh karena itulah Salafiyyun berdoa untukmu semoga Allah mengembalikanmu kepada kebenaran dengan cara yang baik, dan mereka memohon kepada-Nya agar menjadikanmu termasuk pembela As-Sunnah sebagaimana Dia telah menjadikanmu termasuk orang-orang yang menyebarkannya.
Keenam: Saya telah membaca kitabmu tentang takhrij hadits:
.
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِيْ فَوَعَاهَا وَأَدَّاهَا إِلَى مَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا
.
“Semoga Allah memuliakan siapa saja yang mendengar ucapanku lalu menghafalnya dan menyampaikannya kepada orang yang belum pernah mendengarnya.”
Ini sejak lebih dari 30 tahun yang lalu sehingga saya memuliakanmu dan bertambah kecintaanku kepadamu. Dan saya masih mendengar bahwa engkau mengajarkan hadits ini dan saya mendengar sebagian halaqah (majelis ilmu) di radio belum lama ini. Saya juga mendengar engkau mulai membahas biografi para perawi hadits sehingga saya pun ingin melakukan seperti yang engkau lakukan dan saya berharap agar Allah memberi taufik saya agar bisa menghafal para perawi hadits seperti yang engkau lakukan.
Ketujuh: dengan kitab ini engkau telah merendahkan dirimu ketika engkau menganggap bahwa membicarakan aib para mubtadi’ merupakan ghibah. Padahal engkau mengetahui bahwa ghibah adalah celaan murni yang tidak dimaksudkan untuk membela agama. Adapun yang dimaksudkan untuk membela agama maka hal itu bukan merupakan ghibah. Padahal engkau sendiri mau tidak mau harus mengatakan: “Si fulan Murji’ah atau tertuduh memiliki keyakinan Murji’ah, fulan memiliki keyakinan Khawarij, fulan memiliki keyakinan Qadariyah atau tertuduh memiliki keyakinan Qadariyah …” dan seterusnya.
Jika engkau mengatakan, “Ini merupakan ghibah dan ghibah haram hukumnya.” Maka, haram atas engkau menghibahi manusia dan memakan daging-daging mereka.”
Namun jika engkau mengatakan, “Ghibah boleh dilakukan jika tujuannya membela agama.” Maka, kami katakan: Kalau demikian kita boleh mengatakan: “Si fulan mubtadi’.” Dengan syarat bertujuan memperingatkan darinya dan agar bid’ahnya tidak menyebar.”
Kami sependapat denganmu bahwa barangsiapa tidak diketahui melakukan bid’ah maka tidak boleh mencelanya. Jika dia melakukan bid’ah dan telah dinasehati namun dia tidak mau menerima nasehat, maka dia diboikot dan ditinggalkan.
Kedelapan: dalil-dalil yang menunjukkan kebolehan ghibah jika bertujuan mentahdzir banyak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dan disepakati oleh Salaful Ummah dari kalangan Shahabat dan Tabi’in serta para ulama yang berpegang teguh dengan atsar setelah mereka.
Di antara dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
.
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ جَاهِدِ الْكُفَّارَ وَالْمُنَافِقِينَ وَاغْلُظْ عَلَيْهِمْ وَمَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ (٧٣)
.
“Wahai orang-orang yang beriman, berjihadlah kalian terhadap orang-orang kafir dan orang-orang munafik serta bersikap keraslah terhadap mereka, tempat mereka adalah Jahannam dan itu adalah tempat kembali yang paling buruk.” (QS. At-Taubah: 73)
Ini mencakup orang-orang munafik
Adapun dalil dari As-Sunnah adalah yang diriwayatkan oleh Al-Bukhary no. (6032) dari Aisyah radhiallahu ‘anha dia berkata: “Ada seorang laki-laki yang meminta ijin untuk menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ketika melihat orang itu, beliau mengatakan:
.
بِئْسَ أَخُوْ الْعَشِيْرَةِ
.
“Dia adalah teman bergaul yang paling buruk.”
Ketika orang itu duduk, beliau menampakkan wajah yang ceria dan tersenyum. Ketika orang itu telah pergi maka Aisyah bertanya, “Wahai Rasulullah, ketika melihat orang itu anda berkata seperti ini dan ini, namun setelah itu anda menampakkan wajah yang ceria dan tersenyum kepadanya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:
.
يَا عَائِشَةُ مَتَى عَهِدْتِنِي فَحَّاشًا إِنَّ شَرَّ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ اتِّقَاءَ شَرِّهِ
.
“Wahai A`isyah, kapankah engkau melihatku mengatakan perkataan keji? Sesungguhnya seburuk-buruk kedudukan manusia di sisi Allah pada hari kiamat adalah orang yang ditinggalkan oleh manusia karena takut keburukannya.”
Demikian juga hadits Fathimah bintu Qais radhiallahu ‘anha yang menjelaskan bahwa Abu Amr bin Hafsh mencerainya dengan talak bain ketika dia pergi, maka dia mengutus wakilnya kepada Fathimah untuk mengantarkan gandum (untuk nafkah), namun Fathimah marah. Maka wakilnya mengatakan: “Demi Allah, engkau sebenarnya sama sekali tidak memiliki hak atas kami.” Maka Fathimah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamlalu menceritakan kejadian itu kepada beliau. Maka beliau menjelaskan: “Engkau tidak memiliki hak nafkah atasnya.” Lalu beliau memerintahkannya untuk menghabiskan masa iddah di rumah Ummu Syarik. Kemudian beliau berkata: “Dia (Ummu Syarik) adalah wanita yang para shahabatku sering mengunjunginya, maka habiskanlah masa iddahmu di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena dia seorang buta sehingga engkau bisa dengan aman meletakkan pakaianmu, lalu kalau engkau sudah selesai masa iddahmu maka beritahukanlah kepadaku.”
Fathimah berkata: “Ketika masa iddahku telah selesai maka saya menceritakan kepada beliau bahwa Muawiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm telah melamar saya.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Adapun Abu Jahm maka dia seorang yang jarang meletakkan tongkatnya dari pundaknya (suka memukul), sedangkan Muawiyah adalah seorang yang miskin tidak punya harta, menikahlah saja dengan Usamah bin Zaid!” Fathimah berkata: “Saya tidak menyukainya, namun beliau tetap berkata: “Menikahlah dengan Usamah.” Akhirnya saya pun menikah dengan Usamah, lalu Allah menjadikan kebaikan pada pernikahanku sehingga banyak yang iri denganku.”
Juga yang semisal dengannya adalah hadits Aisyah radhiallahu ‘anha yang menceritakan: “Hindun bintu Utbah istri Abu Sufyan datang menemui RasulullahShallallahu ‘Alaihi wa Sallam lalu mengatakan: “Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang pelit, dia tidak memberiku nafkah yang cukup buat saya dan anak-anak saya, kecuali yang saya ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya, maka apakah hal itu merupakan dosa atas saya?” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Ambillah sebagian hartanya dengan cara yang baik yang mencukupi buat dirimu dan anak-anakmu!”
Juga hadits Abdullah bin Mughaffal radhiallahu ‘anhu ketika dia melihat seseorang mengetapel, dia berkata: “Jangan mengetapel, karena sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang ketapel atau beliau membenci ketapel dan beliau bersabda: “Sesungguhnya ketapel tidak bisa untuk mendapatkan buruan, tidak bisa untuk membunuh musuh, tetapi hanya bisa memcahkan gigi dan mencongkel mata!” Namun setelah itu Abdullah masih melihat orang itu tetap mengetapel, maka dia berkata kepadanya: “Saya sampaikan kepadamu sebuah hadits dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa beliau melarang ketapel atau beliau membenci ketapel, tetapi engkau tetap saja mengetapel, maka saya tidak akan berbicara denganmu sekian lama.” Yang semisal dengannya juga ada dari riwayat Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu.
Adapun yang datang dari Salaf maka itu sangat banyak. Diantaranya yang diceritakan dari Syu’bah bin Al-Hajjaj bahwa beliau berkata: “Mari kita menggibah karena Allah ‘Azza wa Jalla.”
Demikian juga yang diceritakan dari Ashim Al-Ahwal rahimahullah, beliau berkata: “Dahulu Qatadah mencela Amr bin Ubaid, maka saya duduk bersimpuh lalu saya katakan, “Wahai Abul Khaththab, apakah para ahli fikih sebagian mereka ada yang mencela sebagian yang lain?” Maka dia menjawab: “Wahai Ahwal, seseorang yang melakukan kebid’ahan lalu disebutkan keadaannya, itu lebih baik dibandingkan mendiamkannya.”
Al-Hasan bin Ar-Rabi’ berkata: “Ibnul Mubarak berkata: “Al-Ma’la bin Hilal dia begini dan begitu, hanya saja dia suka mendustakan hadits.” Maka sebagian orang-orang Shufi berkata: “Wahai Abu Abdirrahman, apakah Anda melakukan ghibah?” Beliau menjawab: “Diamlah engkau, Jika kita tidak menjelaskan, bagaimana kebenaran bisa dibedakan dari kebatilan?!”
Abdullah bin Ahmad berkata: “Saya berkata kepada ayahku: “Apa pendapat Anda tentang para ahli hadits yang datang kepada seorang syaikh yang dicurigai sebagai seorang Murji’ah atau Syi’ah atau memiliki sikap menyelisihi As-Sunnah, apakah saya boleh diam atau harus memperingatkan mereka darinya?” Maka ayahku menjawab: “Jika dia mengajak manusia kepada bid’ahnya dan merupakan imam yang mendakwahkannya, maka engkau harus memperingatkan manusia darinya.”
Al-Hasan Al-Bashry rahimahullah berkata: “Ghibah tidak berlaku terhadap ahli bid’ah.”
Affan rahimahullah berkata: “Kami pernah duduk di sisi Ismail bin Ulayyah, lalu ada seseorang meriwayatkan sebuah hadits dari orang lain, maka saya mengatakan: “Orang ini tidak kokoh hafalannya.” Orang itu berkata: “Engkau telah menghibahnya.” Maka Ismail berkata: “Dia tidak menghibahnya, tetapi dia hanya menjelaskan bahwa keadaan orang itu tidak kokoh hafalannya.”
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata sebagaimana disebutkan dalam Majmu’ Al-Fatawa (28/217): “Adapun jika seseorang menampakkan kemungkaran, maka wajib untuk mengingkarinya secara terang-terangan dan ghibah tidak berlaku terhadapnya sama sekali, dan wajib menghukumnya terang-terangan dengan hal-hal yang bisa menghentikannya dengan cara memboikotnya dan cara yang lainnya.”
Ibnul Jauzy berkata dalam kitab Manaqib Al-Imam Ahmad bin Hanbal hal. 185: “Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal karena kekokohan beliau dalam berpegang teguh terhadap As-Sunnah dan melarang dari bid’ah, beliau pernah mengkritik beberapa orang yang mulia jika muncul dari mereka sesuatu yang menyelisihi As-Sunnah, dan perkataan beliau itu dipahami sebagai nasehat bagi agama.”
Kesimpulannya: riwayat-riwayat dari Salaf sangat banyak, jawaban yang ringkas ini tidak memadai untuk memaparkannya. Dan di sana juga terdapat riwayat-riwayat dari mereka yang menyerukan untuk mengingkari siapa saja yang muncul darinya sesuatu yang menyelisihi syariat-syariat yang nampak, hal-hal yang bisa mengandung kemungkinan yang benar dan yang batil, serta tercampur aduknya antara As-Sunnah dan bid’ah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam kitabnya Dar’u Ta’arudhil Aql wan Naql (1/254): “Jalan yang ditempuh para salaf dan para imam yaitu mereka memperhatikan makna-makna yang benar yang diketahui dengan syariat dan akal, juga memperhatikan lafazh-lafazh syariat lalu mereka mengungkapkannya dengannya selama mereka mampu. Maka barangsiapa berbicara dengan hal-hal yang mengandung makna yang batil yang menyelisihi Al-Kitab dan As-Sunnah, maka mereka membantahnya. Dan barangsiapa yang berbicara dengan lafazh bid’ah yang mengandung kemungkinan makna yang benar dan batil, maka mereka pun menganggapnya sebagai bid’ah juga. Dan mereka berkata:
Dan beliau berkata sebagaimana disebutkan di dalam Al-Fatawa (28/22): “Pokok agama ada dua:
Pertama: Kita tidak beribadah kecuali kepada Allah saja.
Kedua: Kita beribadah dengan hal-hal yang Dia syariatkan, bukan dengan bid’ah. Hal ini sebagaimana firman Allah:
.
لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ (٢)
.
“Untuk menguji kalian siapakah di antara kalian yang paling baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2)
Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata: “Maksudnya adalah amal yang paling ikhlas dan paling benar.” Beliau ditanya: “Apa yang dimaksud dengan yang paling ikhlas dan paling benar?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya sebuah amal jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima, demikian juga jika dia benar namun tidak ikhlas maka tidak akan diterima pula, sampai amal itu ikhlas dan benar. Amal yang ikhlas adalah yang ditujukan untuk Allah, sedangkan yang benar adalah yang sesuai dengan As-Sunnah …” hingga perkataan beliau: “Maka jika para masyayikh dan para ulama terkadang pada keadaan dan perkataan ada yang ma’ruf dan ada yang mungkar, ada yang berupa petunjuk dan kesesatan, ada yang lurus dan menyimpang, maka wajib atas mereka untuk menimbangnya dengan Kitabullah dan sunnah Ar-Rasul, lalu mereka menerima apa yang diterima oleh Allah dan Rasul-Nya dan menolak apa yang ditolak oleh Allah dan Rasul-Nya.”
Perlu diketahui bahwa agama kita berdiri di atas 3 pondasi:
Pertama: Iman kepada Allah.
Kedua: Memerintahkan yang ma’ruf.
Ketiga: Melarang dari kemungkaran.
Allah Ta’ala berfirman:
.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
.
“Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan untuk manusia karena kalian memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran serta beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)
Dalam Shahih Muslim dari hadits Ubadah bin Al-Walid bin Ubadah bin Ash-Shamit, dari ayahnya dari kakeknya dia berkata:
.
بَايَعْنَا رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِيْ الْعُسْرِ وَالْيُسْرِ وَالْمَنْشَطِ وَالْمَكْرَهِ وَعَلَى أَثَرَةٍ عَلَيْنَا وَعَلَى أَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ وَعَلَى أَنْ نَقُوْلَ بِالْحَقِّ أَيْنَمَا كُنَّا لاَ نَخَافُ فِيْ اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ
.
“Kami berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mendengar dan taat dalam keadaan sulit dan mudah serta dalam keadaan semangat dan malas sekalipun terhadap para penguasa yang hanya mementingkan kepentingan mereka sendiri, dan kami tidak boleh merebut kekuasaan dari pemiliknya (memberontak) dan agar kami selalu mengatakan yang benar di manapun kami berada tanpa takut terhadap celaan orang yang suka mencela di dalam agama Allah.”
Dan di dalam riwayat lain setelah sabda beliau: “Dan kami tidak boleh merebut kekuasaan dari pemiliknya (memberontak).”
.
إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنْ اللهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
.
“Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki bukti dari Allah tentangnya.”
Berdasarkan dalil-dalil ini jelaslah bahwa Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan hamba-hamba-Nya agar memerintahkan yang ma’ruf dan melarang yang mungkar, serta mengatakan kebenaran di manapun mereka berada tanpa takut dalam menjalankan agama Allah terhadap celaan orang yang suka mencela.
Dan inilah yang mendorong saya untuk mengatakan kebenaran yang saya ketahui, yaitu dengan saya mengatakan: Sesungguhnya Asy-Syaikh Abdul Muhsin termasuk Ahlus Sunnah, kita tidak mempermasalahkannya sedikitpun. Hanya saja beliau telah berbuat buruk dengan menulis kitab ini. Oleh karena itulah ahli bid’ah merasa senang dengannya dan mereka menyebarkannya dengan jumlah yang banyak.
Kesembilan: Barangkali engkau akan mengatakan: Saya tidak bermaksud untuk diam terhadap kesesatan para mubtadi’ dan saya tidak meminta seorang pun untuk diam terhadap mereka, tetapi saya hanya mengurangi ketajaman tuduhan-tuduhan yang terjadi di antara para salafiyyun.
Saya katakan: Sesungguhnya wajib atas engkau dan selainmu dari orang-orang yang berbicara dalam perkara seperti ini untuk membedakan hukum antara salafiyyun dengan hizbiyyun hingga jelas hukum setiap kelompok secara tepat. Terlebih lagi orang-orang Khawarij di zaman ini menjadikan taqiyyah dan kemunafikan sebagai agama mereka, maka engkau melihat mereka sangat akrab dengan pemerintah, dan Allah saja yang mengetahui rahasia-rahasia mereka.
Kesepuluh: Engkau mengatakan: “Sikap Ahlus Sunnah terhadap seorang ulama jika dia melakukan kekeliruan maka dia mendapatkan udzur, sehingga tidak boleh dihukumi sebagai ahli bid’ah dan tidak boleh diboikot.”
Wahai Syaikh, engkau membawakan biografi 3 ulama terdahulu yaitu Al-Baihaqy, An-Nawawy dan Ibnu Hajar. Mereka terjatuh pada penakwilan terhadap sebagian sifat-sifat Allah. Mereka memiliki karya-karya tulis yang besar dan berfaedah. Oleh karena itulah Ahlus Sunnah memandang bahwa manusia sangat membutuhkan untuk mengambil faedah dari kitab-kitab mereka selain kebid’ahan yang mereka terjatuh padanya. Jadi para penuntut ilmu berhati-hati dari kebid’ahan mereka dan mengambil faedah dari kitab-kitab mereka selain pada kesalahan mereka. Adapun pernyataan bahwa mereka mendapatkan udzur, yaitu Ahlus Sunnah memberikan udzur bagi mereka pada penakwilan mereka terhadap sifat-sifat Allah dan memperingatkan tidak boleh menyebutkan kebid’ahan mereka sama sekali, maka saya tidak mengetahuinya.
Kemudian engkau membuat permisalan dari orang-orang di masa ini dengan Asy-Syaikh Al-Albany. Asy-Syaikh Al-Albany termasuk Ahlus Sunnah yang menyendiri dalam beberapa masalah berdasarkan ijtihad yang terkadang dikatakan bahwa beliau memilki pendapat yang syadz, padahal ijtihad tersebut dibangun berdasarkan dalil-dalil yang beliau merasa puas dengannya. Maka engkau membuat contoh dengan beliau merupakan sikap yang tidak pada tempatnya. Karena pembicaraan sedang membahas tentang pemboikotan seorang mubtadi’, padahal Al-Albany bukan seorang mubtadi’ dan alangkah jauhnya beliau dari kebid’ahan. Bahkan beliau merupakan tempat penyimpanan As-Sunnah dan atsar-atsar sepanjang malam dan siang dengan melakukan takhrij, kritikan, menshahihkan dan melemahkan. Barangkali engkau tidak menyebutkannya dalam pembahasanmu ini.
Kemudian engkau membawakan perkataan sebagian salaf secara umum dan engkau tidak memperhatikan hal-hal yang memenuhi kitab-kitab berupa pemboikotan terhadap seorang mubtadi’, padahal engkau pasti telah membaca kitab-kitab itu atau sebagiannya. Kitab-kitab tersebut adalah Al-Ibanah Al-Kubra karya Ibnu Baththah, Al-Ibanah As-Sughra karyanya juga, Syarhus Sunnah karya Al-Lalika’iy, kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi Ashim, Asy-Syari’ah karya Al-Ajurry dan kitab-kitab lain yang mencatat atsar-atsar dari salaf tentang pemboikotan seorang mubtadi’.
Dan saya katakan: Wahai Syaikh, sesungguhnya sikap diammu terhadap atsar-atsar itu akan menjadikanmu terhalang di hadapan Allah sebelum manusia. Apakah engkau lupa bahwa Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbal rahimahullah memerintahkan untuk memboikot Husain bin Ali Al-Karabisy dan tidak mengambil ilmu darinya. Maka dia pun ditinggalkan dan tidak ada seorang pun yang datang kepadanya walaupun ilmunya banyak. Dan beliau memerintahkan agar memboikot Sahl bin Abdillah At-Tustury yang terkenal dengan Sahl Al-Qashir, dan agar tidak membaca kitab-kitabnya. Maka ahli hadits pun meninggalkannya dan Dawud bin Ali Azh-Zhahiry tidak mau masuk menemuinya.
Ahlus Sunnah juga memboikot Al-Hasan bin Shalih bin Hayyi tatkala mereka mengetahui kebid’ahannya. Dan saya tidak mengetahui wahai Syaikh, apakah engkau lupa terhadap atsar-atsar ini atau melupakannya.
Dan sungguh saya menasehatimu wahai Syaikh, dan saya menasehati diri saya sendiri agar mengikuti atsar-atsar para salaf dan berjalan di atas manhaj dan jalan yang mereka tempuh. Dan engkau mengetahui bahwa kekeliruan yang muncul dari salah seorang syaikh pada hukum-hukum furu’ yang padanya diperbolehkan ijtihad, inilah yang diberi udzur orang yang mengatakannya, dia tidak dihukumi sebagai ahli bid’ah dan tidak diboikot. Sedangkan kesalahan pelakunya dihukumi sebagai ahli bid’ah dan diboikot adalah yang terjadi pada masalah akidah. Dan kita tidak mengetahui bahwa salaf memberi udzur kepada seseorang yang melakukan kebid’ahan dalam masalah akidah.
Kesebelas: Engkau mengatakan: “Sesungguhnya salafiyyun terpecah menjadi dua kelompok hanya gara-gara dua orang.”
Yang nampak bahwasanya yang engkau maksudkan dengan dua orang adalah Asy-Syaikh Rabi’ dan Abul Hasan As-Sulaimany Al-Ma’riby.
Saya katakan kepadamu: Sesungguhnya permasalahannya adalah masalah kebenaran yang harus ditolong dan dibela dan kebatilan yang harus dihancurkan dan dijelaskan kebatilannya. Dan ini merupakan tuduhanmu terhadap salafiyyun baik para ulamanya maupun para penuntut ilmu. Ini merupakan tuduhan darimu terhadap mereka dengan perbuatan para buruh dan fanatisme yang tercela. Fanatisme yang Allah telah menyelamatkan mereka darinya dengan firman-Nya:
.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى
.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang-orang yang selalu menegakkan persaksian dengan adil karena Allah, dan janganlah kebencian kepada suatu kaum mendorong kalian untuk bersikap tidak adil, bersikaplah yang adil karena hal itu lebih dekat kepada ketakwaan.” (QS. Al-Maidah: 8)
Dan dalam hadits Ubadah yang muttafaqun ‘alaihi disebutkan:
.
وَأَنْ نَقُوْلَ بِالْحَقِّ أَيْنَمَا كُنَّا لاَ نَخَافُ فِيْ اللهِ لَوْمَةَ لاَئِمٍ.
.
“Dan agar kami selalu mengatakan yang benar di manapun kami berada, tanpa takut di dalam agama Allah terhadap celaan orang yang suka mencela.”
Ini dan semisalnyalah yang mewajibkan kita untuk mengatakan kebenaran, walaupun dengan mengatakannya akan menimbulkan kemarahan sebagian pihak.
Wahai Syaikh Abdul Muhsin, apakah engkau melihat kami berjalan di atas manhaj orang-orang jahiliyah yang sebagian mereka ada yang mengatakan:
.
وهل أنا إلا من غزية إن غوت *** غويت وإن ترشد غزية أرشد
.
Tidaklah aku kecuali bagian dari Suku Ghaziyyah
Jika mereka menyimpang aku pun menyimpang
Dan jika mereka lurus jalannya maka aku pun ikut lurus
Dan sebagian mereka berkata kepada Musailamah ketika bertanya kepadanya: “Shahabatmu mendatangimu dalam keadaan bercahaya atau ketika gelap?” Dia menjawab: “Dalam kegelapan.” Maka orang itu berkata kepada Musailamah: “Demi Allah, sungguh engkau benar-benar seorang pendusta, dan sungguh pendusta dari Suku Rabi’ah lebih kami sukai dibandingkan orang yang jujur dari Suku Mudhar.”
Apakah engkau memandang kami seperti orang-orang yang dungu itu, padahal Allah telah menerangi hati kami dengan kitab-Nya dan sunnah Nabi-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam?! Celaka bagi siapa saja yang melakukan hal itu dan binasalah dia, kemudian celaka dan binasalah dia.
Kemudian dua orang yang karenanya Ahlus Sunnah terpecah menjadi dua kelompok -menurutmu- tidak mungkin keduanya sama-sama di atas kebenaran. Masing-masing dari keduanya pasti musuh bagi yang lainnya, dan hal itu konsekwensinya salah seorang dari keduanya di atas kebenaran dan yang lainnya di atas kebatilan. Dan kebatilan yang ada pihak yang lain itu bisa jadi kebatilan murni, atau kebatilan yang tercampuri dengan kebenaran. Dan telah diketahui bahwa Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita agar mengikuti kebenaran, menolongnya dan menolong orang-orang yang mengikutinya:
.
اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ (٣)
.
“Ikutilah apa yang diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian dan janganlah kalian menjadikan selain-Nya sebagai pemimpin, sedikit sekali dari kalian yang berfikir.” (QS. Al-A’raf: 3)
Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman:
.
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (١٥٣)
.
“Dan bahwa (yang kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan itu dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan akan itu mencerai beraikan kalian dari jalan-Nya, yang demikian itu Allah perintahkan agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
.
أُنْصُرْ أَخَاكَ ظَالِمًا أَوْ مَظْلُوْمًا
.
“Tolonglah saudaramu (seagama) baik yang zhalim ataupun yang dizhalimi!”
Maka ada bertanya: ”Ini kalau dia orang yang terzhalimi, tetapi bagaimana kami menolong orang yang zhalim?” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjelaskan:
.
تَرْدَعُهُ عَنْ ظُلْمِهِ
.
“Engkau tahan kedua tangannya dari melanjutkan kezhalimannya.”
Jadi Allah ‘Azza wa Jalla memerintahkan kita agar mengikuti syariat-Nya, karena kandungannya merupakan kebenaran yang murni dan bersih dari kerancuan. Hal itu karena Allah ‘Azza wa Jalla mencela kebatilan dan orang-orang yang mengikutinya serta melarang kita dari mencampur aduk kebenaran dengan kebatilan serta melarang dari menyembunyikan kebenaran. Dia berfirman:
.
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٤٢)
.
“Dan janganlah kalian mencampur aduk kebenaran dengan kebatilan dan jangan pula menyembunyikan kebenaran dalam keadaan kalian mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 42)
Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman:
.
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لِمَ تَلْبِسُونَ الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُونَ الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (٧١)
.
“Wahai ahli kitab, mengapa kalian mencampur aduk kebenaran dengan kebatilan dan kalian menyembunyikan kebenaran dalam keadaan kalian mengetahui.” (QS. Ali Imran: 71)
Dan barangsiapa yang mempelajari keadaan dua orang tersebut, akan jelaslah baginya hal-hal berikut:
Pertama: Asy-Syaikh Rabi’ dikenal dengan dakwahnya kepada As-Sunnah di samping pengetahuan beliau yang menyeluruh terhadapnya serta jihad beliau di dalam membelanya sejak waktu yang lama.
Kedua: Asy-Syaikh Rabi’ telah menulis sekian tulisan yang mayoritasnya tentang bantahan terhadap orang-orang yang menyelisihi As-Sunnah, beliau melakukannya dalam rangka membela As-Sunnah dan berjihad di jalannya. Dan kami tidak mengetahui beliau menyelisihi dalil-dalil dalam satu masalah pun, dan Al-Albany rahimahullah telah bersaksi tentang hal itu untuk beliau.
Adapun Abul Hasan maka dia adalah seorang pemuda yang tertipu yang masih minim pengalaman yang baru menulis satu atau dua kitab yang di dalamnya dia tidak murni dalam membela kebenaran yang disertai dalil-dalil, bahkan banyak kritikan padanya. Ini secara umum.
Adapun secara khusus yang muncul sejak dua tahun yang lalu, maka sesungguhnya kita mendapati Abul Hasan melemparkan keraguan terhadap pendalilan dengan hadits-hadits ahad jika shahih berdasarkan kaedah-kaedah ilmu musthalah hadits. Dan ini adalah menyelisihi prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan mengambil pendapat Mu’tazilah serta orang-orang yang sependapat dengan mereka.
Kesalahan kedua: dia berpendapat membawa perkataan ulama yang sifatnya umum kepada pengertian yang telah dijelaskan, dan ini juga menyelisihi pendapat salaf yang menyatakan bahwa perkataan yang sifatnya umum tidak boleh dibawa kepada pengertian yang telah dijelaskan kecuali pada perkataan Al-Musthafa (Rasulullah) Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Kesalahan ketiga: dia merendahkan dan melecehkan Ahlus Sunnah, namun sebaliknya memuji dan memuliakan para mubtadi’. Dia mensifati Ahlus Sunnah dengan “gembel jalanan” “orang-orang rendah” “orang-orang hina” “orang-orang kecil” dan ungkapan-ungkapan penghinaan lainnya. Adapun para mubtadi’ maka menurut dia mereka adalah gunung-gunung. Dan ketika dikatakan kepadanya tentang Al-Maghrawy, dia berkata: “Bagaimana mungkin aku akan melenyapkan gunung yang tinggi.”
Kesalahan keempat: dia memberi udzur bagi para mubtadi’. Sebagai contoh Sayyid Quthb yang di awal Surat Al-Hijr dia menyatakan bahwa umat Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah murtad dari agama secara keseluruhan dan bahwasanya tidak ada sebuah negeri Islam pun tidak pula masyarakat Islam yang di dalamnya syariat Allah sebagai prinsip muamalah. Dia mengatakan hal itu di juz 4 hal 2122 (Fii Zhilalil Qur’an, -pent). Dan di dalam Surat Yunus dia menyatakan bahwa masjid-masjid kaum Muslimin adalah tempat ibadah para penyembah berhala dan dia menafsirkan Surat Al-Ikhlash dengan pemahaman wihdatul wujud.
Kesalahan kelima: dia memberi udzur bagi Al-Maghrawy yang memiliki pemahaman takfir.
Kesalahan keenam: dia sering singgah di tempat para mubtadi’ dan para mubtadi’ pun menyambutnya dengan baik di setiap tempat yang dia singgahi, dan dia tidak merasa senang kecuali kepada mereka.
Kesalahan ketujuh: ketika dia ditanya tentang Al-Ikhwanul Muslimun, apakah mereka termasuk Ahlus Sunnah? Dia menjawab: “Ya.”
Kesalahan kedelapan: beberapa ulama yang terpercaya keilmuannya bersaksi bahwa mereka mendapatinya beberapa biasa berdusta dalam banyak perkara.
Inilah keadaan Abul Hasan. Maka bagaimana mungkin kita mengatakan bahwa Ahlus Sunnah terpecah menjadi dua golongan hanya gara-gara dua orang tersebut?! Karena dipahami dari ucapan yang engkau katakan ini pada percakapan telepon itu bahwasanya dua orang tersebut bersama Ahlus Sunnah. Maka apakah benar jika kita mengatakan bahwa Abul Hasan termasuk Ahlus Sunnah, padahal dia memiliki bencana-bencana yang besar seperti itu?! Jawabnya: tidak. Dan apakah benar bahwa para pengikutnya termasuk Ahlus Sunnah?! Jawabnya: tidak.
Maka jika engkau meyakini bahwa Abul Hasan dan para pengikutnya termasuk Ahlus Sunnah maka kami sangat sedih karenanya, dan kami menasehatimu untuk menarik ucapan semacam ini.
Engkau mengatakan di halaman ke 44: “Fitnah mengkritik dan memboikot yang dilakukan sebagian Ahlus Sunnah di masa ini, di zaman ini ada Ahlus Sunnah yang menyibukkan diri melakukan kritikan dan tahdzir terhadap sebagian yang lain yang hal itu mengakibatkan perpecahan dan perselisihan serta saling memboikot …”
Hingga perkataanmu: “Hal itu disebabkan oleh dua hal:
Pertama: diantara Ahlus Sunnah di masa ini ada yang agama dan kesibukannya mencari-cari kesalahan, baik dalam tulisan-tulisan maupun dalam kaset-kaset, kemudian mentahdzir dari orang yang darinya muncul sebagian kesalahan-kesalahan itu.”
Saya katakan: sesungguhnya ini merupakan keutamaan dan bukan perbuatan tercela. Jadi sungguh menjaga As-Sunnah merupakan keutamaan menurut salaf. Memang, para pemuda salafy memiliki semangat, jika mereka menjumpai penyelisihan terhadap As-Sunnah dalam sebuah tulisan atau dalam sebuah kaset, atau jika mereka melihat di antara Ahlus Sunnah ada yang berjalan bersama para mubtadi’, maka mereka mengingkarinya dan menasehatinya atau meminta kepada sebagian masyayikh untuk menasehatinya. Maka jika dia telah dinasehati namun tidak mengindahkan nasehat, mereka pun memboikotnya. Ini merupakan keutamaan mereka dan bukan celaan bagi mereka.
Kemudian engkau mengatakan: “Termasuk kesalahan-kesalahan tersebut yang karenanya seseorang dikritik dan diboikot adalah kerjasamanya dengan salah satu yayasan dengan menyelenggarakan ceramah atau bergabung dalam perkumpulan. Padahal yayasan ini dahulu Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz dan Asy-Syaikh Muhammad bin Utsaimin pernah menyampaikan ceramah melalui telepon yang diselenggarkan olehnya. Maka kenapa dicela perkara yang difatwakan oleh dua ulama yang mulia ini.”
Saya katakan: yayasan ini adalah Yayasan Ihyaut Turats di Kuwait yang dipimpin oleh Abdurrahman Abdul Khaliq yang memiliki banyak penyimpangan dan kesalahan.
Di antara ucapan dan celaan dia kepada salafiyyun: “Sesungguhnya kaum Muslimin hingga hari ini senantiasa dari masa ke masa ada diawasi oleh orang yang mengklaim menolong agama dan mengatakan kebenaran. Dia membiarkan para penyembah berhala dan orang-orang yang melakukan kesyirikan, orang-orang yang membolehkan segala sesuatu dan orang-orang kafir. Namun penanya justru menyerang kaum Muslimin. Bahkan kita jumpai di antara mereka ada orang yang tidak memiliki perhatian kecuali menyibukkan diri mengawasi para dai dan menghadang mereka dengan celaan dan menyebarluaskannya serta menulis risalah-risalah yang berisi tentang aib-aib mereka …”
Ini merupakan celaan terhadap salafiyyun dan jalan yang mereka tempuh dalam mengingkari para mubtadi’ dan yang dia maksud adalah para dai yang menyeru kepada agama Allah dengan ucapan dia: “Bahkan kita jumpai di antara mereka ada orang yang tidak memiliki perhatian kecuali menyibukkan diri mengawasi para dai.” Yang dia maksud adalah orang-orang Al-Ikhwanul Muslimun, Sururiyyun, Quthbiyyun, Takfiriyyun dan Khawarij yang menyiapkan diri untuk memberontak.
Dahulu mereka mengingkari jika kita mengatakan seperti ini. Adapun sekarang maka sungguh Allah telah membongkar kedok mereka dengan sebab berbagai pengeboman dan terbongkarnya perbekalan dan persiapan yang mereka siapkan untuk memberontak. Bahkan Abdurrahman Abdul Khaliq sebagian ucapannya ada yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang memiliki keyakinan takfir, yaitu ucapannya yang merupakan kelanjutan dari penggalan yang saya kutipkan: “Ini termasuk dosa terbesar dan termasuk pembatal terbesar dari pondasi Islam yang paling mendasar yaitu prinsip loyalitas.”
Jadi dia menganggap bahwa membicarakan penyimpangan para mubtadi’ merupakan pembatal Islam, dan ini merupakan pemahaman orang-orang takfir. Apa yang saya kutip ini berasal dari kitab “Al-Qudwat Al-Kibar Baina At-Ta’zhim wal Inbihar” karya Muhammad Musa Asy-Syarif hal. 66-67. Dan penulis telah menyandarkan penggalan yang saya nukilkan sebagiannya ini kepada risalah Abdurrahman Abdul Khaliq yang berjudul “Al-Wala’ wal Bara’”.
Yang terakhir wahai Syaikh Abdul Muhsin, saya katakan: sesungguhnya ceramah Asy-Syaikh Ibnu Baz dan Ibnu Utsaimin di yayasan ini pada zaman dulu BUKAN sebagai tazkiyah bagi yayasan ini. Karena bisa jadi beliau berdua menyampaikan ceramah sebelum mengetahui bahwa pada yayasan tersebut ada penyimpangan. Hanya Allah saja yang memberikan taufik.
Engkau juga berpendapat tidak adanya menguji manhaj seseorang dan engkau mengklaim hal itu sebagai bid’ah. Padahal ketahuilah -semoga Allah mengajarimu- bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah menguji seorang budak wanita dengan mengatakan kepadanya: “Di mana Allah?” Dia menjawab: “Di atas langit.” Beliau bertanya lagi: “Siapa saya?” Dia menjawab: “Anda adalah utusan Allah.” Maka beliau bersabda: “Bebaskanlah dia, karena sesungguhnya dia adalah seorang mu’minah!”
Sebagian salaf ada yang mengatakan:
.
عَلامَةُ أَهْلِ الْبِدْعَةِ الْوَقِيْعَةُ فِيْ أَهْلِ الْأَثَرِ.
.
“Ciri-ciri ahli bid’ah adalah mencela ahlul atsar (ahli hadits).”
Mereka juga mengatakan: “Jika engkau melihat orang dari Kufah mencela Sufyan At-Tsaury maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang Syi’ah, dan jika engkau melihat orang dari Marwa mencela Abdullah bin Al-Mubarak maka ketahuilah bahwa dia adalah seorang Jahmiyah.”
Mereka juga mengatakan:
.
مَنْ أَخْفَى عَنَّا بِدْعَتَهُ لَمْ تَخْفَ عَلَيْنَا أُلْفَتُهُ
.
“Barangsiapa yang menyembunyikan kebid’ahannya dari kami, tetap saja tidak akan tersembunyi dari kami keakrabannya.”
Maksudnya: dengan hal itu akan diketahui bahwa dia seorang mubtadi’ adalah dengan siapa dia berteman dan berdekatan, karena seseungguhnya seseorang itu tidak akan bersahabat dan berdekatan kecuali dengan orang-orang yang dia ridhai jalan mereka.
Terakhir, inilah nasehat ringkas dari seorang saudara kepada saudaranya. Saya ingin mengingatkanmu terhadap beberapa perkara. Dan saya memohon kepada Allah -Jalla sya’nuh- agar memperbaiki keadaan semua pihak dan meluruskan kita kepada hal-hal yang mengandung kebaikan di dunia dan akherat, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Dekat.
Kita juga memohon kepada Allah agar menjaga kita dari fanatisme yang tercela dan agar menjadikan amal kita ikhlash dalam rangka mengharap wajah-Nya dan menginginkan ridha-Nya.
.
وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه
.
Ditulis oleh:
Ahmad bin Yahya An-Najmy
Sumber: Al-Fatawa Al-Jaliyyah Anil Manahij Ad-Da’awiyyah (1/220-235)