Cari Blog Ini

Kamis, 13 November 2014

Tentang SUNNAH JIKA BERMIMPI BURUK

1. Berlindung kepada Allah dari kejahatan setan

2. Tidak menceritakan mimpi buruknya kepada orang lain

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Apabila dia bermimpi yang selain itu (yakni yang tidak disukai), maka itu datangnya dari setan. Hendaklah dia berlindung dari (kejahatan) setan dan jangan menceritakannya kepada orang lain karena hal itu tidak akan membahayakannya.” (Diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari no. 6985 dari shahabat Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu)

3. Meludah tiga kali ke arah kiri

Hal ini dijelaskan Rasululah shallallahu alaihi wasallam dalam sabda beliau dari shahabat Abu Qatadah diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari no. 6986 dan Muslim no. 2261:
“Hendaklah dia meludah sedikit tiga kali.”
Makna at-tafl adalah meniup disertai sedikit ludah, dan at-tafl lebih besar daripada an-nafts.

4. Mengubah posisi tidur

Dijelaskan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam riwayat Jabir bin Abdullah radhiallahu anhu, diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim no. 2261:
“Dan hendaklah dia berpindah dari posisi tidur sebelumnya.”

5. Shalat

Dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabda beliau sebagaimana dalam riwayat Abu Hurairah radhiallahu anhu, diriwayatkan Al-Imam Muslim no. 2263:
“Maka hendaklah dia shalat.”

Tentang WISATA RELIGI

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
وَلاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ، مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي
“Dan tidak boleh syaddur rihal kecuali tiga masjid, yaitu Masjidil Haram, Masjid Al-Aqsha, dan masjidku.” (HR. Al-Bukhari no. 1132 dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu anhu dan Muslim No. 1397 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)
Kata syaddur rihal adalah istilah agama yang memiliki makna mempersiapkan dengan matang untuk melakukan sebuah safar/perjalanan.

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Yang dimaksud dengan (وَلاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ) adalah larangan melakukan safar menuju selainnya (tiga masjid itu). Ath-Thibi rahimahullah berkata: ‘Larangan dengan kata ini lebih tinggi nilainya dari hanya kata larangan semata’.” (Fathul Bari 4/190)

Al-Qasthalani berkata: “Telah terjadi perselisihan tentang syaddur rihal kepada selain tiga masjid, seperti ziarah kepada orang shalih yang masih hidup atau yang telah meninggal, serta tempat-tempat yang memiliki keutamaan untuk bertabaruk padanya. Abu Muhammad Al-Juwaini mengatakan, diharamkan berdasarkan makna lahiriah  (tekstual) hadits. Pendapat ini dipilih oleh Al-Qadhi Husain. Demikian juga pendapat Al-Qadhi ‘Iyadh dan selain mereka. Yang shahih menurut Imam Al-Haramain dan selain beliau dari kalangan ulama Syafi’iyyah adalah membolehkan hal itu, sedangkan larangannya hanya dikhususkan dalam masalah i’tikaf pada selain tiga masjid. Namun saya berpendapat bahwa (pengkhususan pada i’tikaf ini) tidak memiliki dalil.” (Lihat ‘Aunul Ma’bud 4/417)

Nash yang menjelaskan adanya syaddur rihal dan arah tujuan yang dibolehkan telah jelas sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di atas. Yang menjadi persoalan adalah syaddur rihal juga dilakukan pada selain ketiga masjid tersebut, seperti ziarah kubur tertentu atau mendatangi tempat-tempat yang dikeramatkan. Tentunya hal ini akan menimbulkan pertanyaan: apakah syariat membolehkannya atau tidak?

Ibnu Jarir Ath-Thabari rahimahullah berkata: “Demikian juga, tidak boleh syaddur rihal kepada kuburan nabi, wali, atau semacamnya, karena hal itu merupakan sarana (wasilah) menuju kesyirikan, sementara wasilah itu hukumnya sama seperti hukum tujuannya. Oleh karena itu, kita menemukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengharamkan hal itu. Beliau bersabda: ‘Dan jangan ada syaddur rihal melainkan kepada tiga masjid yaitu Masjidil Haram, masjidku ini, dan Masjid Al-Aqsha.’ Ini maknanya bahwa safar tidak boleh dilakukan demi kuburan orang shalih, kuburan wali, atau selainnya. Benar bahwa kita mencintai Nabi shallallahu alaihi wasallam melebihi kecintaan kita pada diri, bapak, anak, keluarga dan harta. Kita juga mencintai sahabat, mencintai wali-wali Allah  yang shalih, dan kita mencintai orang yang mencintai mereka serta memusuhi orang yang memusuhi mereka. Kita juga mengetahui bahwa siapa saja yang memusuhi wali Allah maka Allah  mengumumkan perang terhadapnya. Namun apakah cinta kepada mereka menyebabkan kita menjadikan mereka sebagai tandingan (bagi Allah), lalu kita bertawassul dengan mereka, kita thawaf di kuburan mereka, dan kita bernadzar serta berkorban untuk mereka?” (Lihat Tawassul Al-Masyru’ wal Mamnu’, 1/14)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Contoh yang ketiga belas bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam melarang membangun masjid di atas kuburan dan melaknat orang yang melakukannya. Beliau juga melarang untuk mengapur kuburan, meninggikannya, dan menjadikannya sebagai masjid, shalat menghadapnya atau di sisinya. Beliau shallallahu alaihi wasallam melarang menyalakan lampu padanya dan memerintahkan untuk meratakannya, melarang menjadikannya sebagai ied (dikunjungi secara rutin), melarang untuk syaddur rihal kepadanya agar tertutup jalan untuk menjadikannya sebagai berhala dan kesyirikan, serta mengharamkan syaddur rihal bagi orang yang bermaksud demikian, ataupun bagi orang yang tidak bermaksud demikian dalam rangka menutup pintu kesyirikan.” (I’lamul Muwaqqi’in 3/139)

Al-Lajnah Ad-Da’imah (1/493 pertanyaan no. 4230) berfatwa: “Tidak boleh syaddur rihal kepada kuburan para nabi, orang-orang shalih, dan selain mereka. Bahkan ini merupakan kebid’ahan, dasarnya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: ‘Tidak boleh syaddur rihal kecuali kepada tiga masjid yaitu Masjidil Haram, masjidku ini, dan Masjid Al-Aqsha’. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: ‘Barangsiapa melakukan satu amalan yang bukan dari perintahku maka amalan tersebut tertolak.’ Adapun ziarah kubur tanpa syaddur rihal adalah sunnah berdasarkan hadits Nabi: ‘Ziarahlah kubur karena akan mengingatkan kepada kematian.’ (HR. Muslim)
Seseorang tidak boleh untuk syaddur rihal menuju kuburan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, karena hukumnya yang paling ringan adalah menyia-nyiakan harta. Sedangkan menyia-nyiakan harta adalah haram.” (lihat Durus wa Fatawa Al-Haramil Madani, 1/131)

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: “Adapun syaddur rihal untuk ziarah kubur maka tidak boleh. Yang disyariatkan syaddur rihal adalah ke tiga masjid secara khusus.” (Lihat Majmu’ Fatawa wa Maqalat, Ibnu Baz, 5/317)

Telah jelas dari ucapan para ulama di atas akan larangan syaddur rihal menuju kuburan. Hikmahnya adalah tertutupnya pintu-pintu kesyirikan dan berbagai kerusakan lainnya, seperti menjadikannya sebagai ied (dikunjungi secara rutin), atau akan menjatuhkan kepada sikap ghuluw (berlebihan) serta melampaui batas dalam memuji, sebagaimana kebanyakan orang telah terjatuh di dalamnya disebabkan keyakinan mereka tentang bolehnya syaddur rihal untuk menziarahi makam Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. (Lihat Majmu’ Fatawa wa Maqalat, Ibnu Baz, 1/71 dan Lihat Tawassul Al-Masyru’ wal Mamnu’, 1/14, karya Ibnu Jarir Ath-Thabari)

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah mengatakan: “Adapun berbagai hadits yang telah diriwayatkan dalam bab ini, yang dijadikan sebagai hujjah disyariatkannya syaddur rihal ke kuburan Nabi adalah hadits-hadits yang lemah sanad-sanadnya, bahkan maudhu’ (palsu), sebagaimana kelemahannya telah diingatkan oleh ulama huffazh (besar) dari ahli hadits seperti Ad-Daruquthni, Al-Baihaqi, Al-Hafizh Ibnu Hajar, dan selain mereka rahimahumullah. Maka tidaklah boleh dipertentangkan dengan hadits-hadits shahih yang menjelaskan tidak bolehnya syaddur rihal kecuali ke tiga masjid tersebut.” (Lihat Majmu’ Fatawa wa Maqalat Ibnu Baz, 1/71)

Di antara contohnya:
مَنْ زَارَنِي وَزَارَ أَبِي إِبْرَاهِيمَ فِي عَامٍ وَاحِدٍ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barangsiapa berziarah kepadaku dan kepada bapakku Ibrahim dalam tahun yang sama maka dia akan masuk surga.”
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan: “Hadits ini maudhu’ (palsu). Az-Zarkasyi rahimahullah berkata dalam kitab Al-La’ali Al-Mantsurah no. 156: Sebagian huffazh berkata: ‘Hadits ini maudhu’ dan tidak ada seorang pun dari ahli ilmu hadits meriwayatkannya.’ Demikian juga yang dikatakan Al-Imam An-Nawawi rahimahullah: ‘Maudhu’, tidak memiliki asal.’ Dibawakan juga oleh As-Suyuthi rahimahullah di dalam kitab Dzail Al-Ahadits Al-Maudhu’ah no. 119, Ibnu Taimiyah dan An-Nawawi rahimahumallah berkata: ‘Sesungguhnya haditsnya maudhu’ dan disepakati oleh Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah’.” (Lihat Silsilah Adh-Dha’ifah, 1/120)

Contoh lain adalah:
مَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَوْتِي، فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي
“Barangsiapa yang berziarah kepadaku setelah matiku maka dia seolah-olah menziarahiku semasa hidupku.”
Asy-Syaikh Albani rahimahullah berkata hadits ini adalah batil. (lihat Silsilah Adh-Dha’ifah 3/89)
Masih banyak lagi hadits-hadits dhaif dan maudhu’ yang dijadikan hujjah atas bolehnya syaddur rihal dalam ziarah kubur, karena terbatasnya tempat sehingga tidak memungkinkan untuk membawakan seluruhnya. Wallahu a’lam.

Sumber: Asy Syariah Edisi 048
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman)