Masalah pakaian wanita di dalam shalat disebutkan dalam beberapa hadits yang marfu’. Namun, kedudukan hadits-hadits tersebut diperbincangkan oleh ulama.
1. Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:
ﻻَ ﻳَﻘْﺒَﻞُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺻَﻼَﺓَ ﺣَﺎﺋِﺾٍ ﺇِﻻَّ ﺑِﺨِﻤَﺎﺭٍ
"Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haid (baligh) kecuali apabila ia mengenakan kerudung (dalam shalatnya).” (HR. Abu Dawud no. 641)
Al-Hafizh berkata dalam at-Talkhis al-Habir (2/460), "Hadits ini dianggap cacat oleh ad-Daraquthni karena mauquf-nya. Adapun al-Hakim menganggapnya mursal."
2. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Apakah wanita boleh shalat dengan mengenakan dira’ dan kerudung tanpa izar?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab,
ﺇِﺫَﺍ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﺪِّﺭْﻉُ ﺳَﺎﺑِﻐًﺎ ﻳُﻐَﻄِّﻲ ﻇُﻬُﻮْﺭَ ﻗَﺪَﻣَﻴْﻪِ
"(Boleh), apabila dira’nya itu luas/lapang hingga menutupi punggung kedua telapak kakinya.” (HR. Abu Dawud no. 640)
Al-Albani menerangkan dalam Tamamul Minnah (hlm. 161) bahwa hadits ini tidak sahih sanadnya, baik secara marfu’ maupun mauquf, karena hadits ini berporos pada ibunya Muhammad bin Zaid, padahal dia adalah rawi yang majhul.
Meski demikian, ada riwayat-riwayat yang sahih dari para sahabat dalam pemasalahan ini.
1. Ummul Hasan berkata, “Aku melihat Ummu Salamah istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat dengan mengenakan dira’ dan kerudung.” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abdurrazaq dalam al-Mushannaf dengan isnad yang sahih. Lihat: Tamamul Minnah, hlm. 162)
2. Ubaidullah al-Khaulani, anak asuh Maimunah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa Maimunah shalat dengan memakai dira’ dan kerudung tanpa izar. (Diriwayatkan oleh al-Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf dengan isnad yang sahih. Lihat: Tamamul Minnah, hlm. 162)
3. Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wanita shalat dengan mengenakan tiga pakaian yaitu dira‘, kerudung, dan izar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan isnad yang sahih. Lihat: Tamamul Minnah, hlm. 162)
Kesimpulannya, shalat dengan mengenakan dira’ dan kerudung sudah mencukupi bagi wanita untuk menutupi auratnya di dalam shalat. Apabila wanita itu ingin lebih sempurna dalam berpakaian ketika shalat, ia bisa menambahkan izar atau jilbab pada dira’ dan kerudungnya.
Ibnu Qudamah mengatakan, “Disenangi bagi wanita untuk shalat mengenakan dira’ —pakaian yang sama dengan gamis, namun lebar dan panjang sampai menutupi kedua telapak kaki— kemudian mengenakan kerudung yang menutupi kepala dan lehernya, dilengkapi dengan jilbab yang diselimutkan ke tubuhnya di atas dira’. Demikian yang diriwayatkan dari ‘Umar, putra beliau (Ibnu ‘Umar), ‘Aisyah, Abidah as-Salmani, dan ‘Atha. Ini juga merupakan pendapat al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau berkata, ‘Kebanyakan ulama bersepakat untuk pemakaian dira’ dan kerudung, apabila ditambahkan pakaian lain, itu lebih baik dan lebih menutup’.” (al-Mughni , 1/351)
Ibnu Taimiyah berkata, “Disenangi bagi wanita untuk shalat dengan mengenakan tiga pakaian: dira’, kerudung, dan jilbab yang digunakan untuk menyelubungi tubuhnya, kain sarung di bawah dira’, atau sirwal (celana panjang yang lapang dan lebar) karena lebih utama daripada sarung. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ‘Wanita shalat dengan mengenakan dira’, kerudung, dan milhafah.’ ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah shalat dengan mengenakan kerudung, izar, dan dira’. Ia memanjangkan izarnya untuk berselubung dengannya. Ia pernah berkata, ‘Wanita yang shalat harus mengenakan tiga pakaian apabila ia mendapatkannya, yaitu kerudung, izar, dan dira’." (Syarhul ‘Umdah, 4/322)
Diperbolehkan bagi wanita untuk shalat dengan hanya mengenakan satu baju/kain yang menutupi kepala dan seluruh tubuhnya kecuali wajah.
Mujahid dan ‘Atha pernah ditanya tentang wanita yang memasuki waktu shalat sementara ia tidak memiliki kecuali satu baju, apa yang harus dilakukannya? Mereka menjawab, “Ia berselimut dengannya.” Demikian pula yang dikatakan Muhammad bin Sirin. (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/226)
Ikrimah berkata, “Seandainya seorang wanita shalat dengan menutupi tubuhnya dengan satu pakaian/kain maka hal itu dibolehkan.” (Shahih al-Bukhari)
Al-Hafizh menyatakan, “Setelah menghikayatkan pendapat jumhur bahwa wajib bagi wanita untuk shalat memakai dira’ dan kerudung, Ibnul Mundzir berkata, ‘Yang diinginkan dengan pendapat tersebut adalah ketika shalat seorang wanita harus menutupi tubuh dan kepalanya. Seandainya pakaian yang dikenakan itu lapang/lebar lalu ia menutupi kepalanya dengan sisa/kelebihan pakaiannya maka hal itu dibolehkan.’ Ibnul Mundzir juga berkata, ‘Apa yang kami riwayatkan dari Atha’ bahwasanya ia berkata, [Wanita shalat dengan mengenakan dira’, kerudung, dan izar], demikian pula riwayat yang semisalnya dari Ibnu Sirin dengan tambahan milhafah, maka aku menyangka hal ini dibawa pemahamannya kepada istihbab (lebih disenangi).” (Fathul Bari, 1/602-603)
Mengenai bagian tubuh yang harus ditutupi oleh wanita di dalam shalatnya, para ulama berbeda pendapat.
Al-Khaththabi rahimahullah berkata,
“Ulama berbeda pendapat tentang bagian tubuh yang harus ditutup oleh wanita merdeka (bukan budak) dalam shalatnya.
Al-Imam asy-Syafi’i dan al-Auza’i berkata, ‘Wanita menutupi seluruh badannya ketika shalat kecuali wajah dan dua telapak tangannya.’
Diriwayatkan hal ini dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan ‘Atha rahimahullah.
Sedangkan Abu Bakr bin Abdirrahman bin al-Harits bin Hisyam radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Semua anggota tubuh wanita merupakan aurat, sampaipun kukunya.’
Al-Imam Ahmad sejalan dengan pendapat ini, beliau berkata, ‘Dituntunkan bagi wanita untuk melaksanakan shalat dalam keadaan tidak terlihat sesuatu pun dari anggota tubuhnya, tidak terkecuali kukunya’.” (Ma’alimus Sunan, 2/343)
Ibnu Taimiyah berpendapat seluruh tubuh wanita merdeka itu aurat (di dalam shalatnya) kecuali bagian tubuh yang biasa tampak darinya ketika di dalam rumahnya, yaitu wajah, dua telapak tangan, dan telapak kaki. (Majmu’ Fatawa, 22/109-120)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat, apabila ada laki-laki yang bukan mahramnya, ia menutup seluruh tubuhnya termasuk wajah. (asy-Syarhul Mumti’, 2/157)
Keterangan:
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti' (2/164-165) menerangkan makna dira' dan izar. Dira’ adalah pakaian lebar/lapang yang menutupi sampai kedua telapak kaki. Izar adalah milhafah (al-Qamushul Muhith, hlm. 309). Makna milhafah sendiri diterangkan dalam al-Qamush (hlm. 767) adalah pakaian yang dikenakan di atas seluruh pakaian sehingga menutup/menyelubungi seluruh tubuh seperti abaya dan jilbab.