Cari Blog Ini

Jumat, 10 Oktober 2014

Tentang MEMAKAN DAGING ANJING

Al-Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al-Atsary

Anjing adalah binatang yang menjijikan, sehingga para ‘ulama sepakat akan keharaman memakan dagingnya dan tidak ada perselisihan yang dapat dianggap dalam hal ini.
Adapun dalil-dalil tentang keharamannya adalah:

1. Keumuman hadits: “Tiap-tiap yang bertaring dari binatang buas, maka memakan (dagingnya) adalah haram.” (HR. Muslim no.1933 dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu)

2. Diriwayatkan dari Abuz Zubair Radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Saya bertanya kepada sahabat Jabir tentang uang hasil penjualan anjing, maka Beliau menjawab, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang keras dari hal tersebut.” (HR. Muslim no.1569)

3. Diriwayatkan dari sahabat Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan pada suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Allah haramkan pula atas mereka uang yang didapat dari hasil penjualannya.” (HR. Abu Daud no.3488)

Tentang MENJADIKAN GARIS SEBAGAI SUTRAH KETIKA SHALAT

Adapun sekadar garis di depan orang yang shalat tidaklah cukup sebagai sutrah. (Subulus Salam, 1/227)

Al-Qarafi mengatakan, “Ini adalah pendapat jumhur fuqaha.” (Adz-Dzakhirah, 2/154)

Al-Imam asy-Syafi`i berkata dalam Sunan Harmalah, "Seseorang yang shalat tidak cukup membuat garis di depannya untuk dijadikan sebagai sutrah kecuali bila di sana ada hadits yang tsabit."

Al-Imam Malik berkata dalam Al-Mudawwanah, "Garis yang digunakan sebagai sutrah adalah batil."

Al-Hafizh telah menukilkan dalam at-Tahdzib dari al-Imam Ahmad, di mana disebutkan beliau berkata, “Permasalahan garis yang digunakan sebagai sutrah, haditsnya dhaif.”

Hadits yang dimaksud adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad (2/255), Abu Dawud (no. 689), dan Ibnu Hibban (no. 2369) dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu:
ﺇِﺫَﺍ ﺻَﻠَّﻰ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻓَﻠْﻴَﺠْﻌَﻞْ ﺗِﻠْﻘَﺎﺀَ ﻭَﺟْﻬِﻪِ ﺷَﻴْﺌًﺎ، ﻓَﺈِﻥْ ﻟَـﻢْ ﻳَﺠِﺪْ ﺷَﻴْﺌًﺎ، ﻓَﻠْﻴَﻨْﺼَﺐْ ﻋَﺼًﺎ، ﻓَﺈِﻥْ ﻟـَﻢْ ﻳَﻜُﻦْ ﻣِﻦْ ﻋَﺼًﺎ ﻓَﻠْﻴَﺨُﻂَّ ﺧَﻄًّﺎ ﻭَﻻَ ﻳَﻀُﺮُّﻩُ ﻣَﺎ ﻣَﺮَّ ﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ
“Apabila salah seorang dari kalian shalat, hendaklah ia menjadikan sesuatu di hadapannya (sebagai sutrah). Bila ia tidak mendapatkan sesuatu hendaklah ia menancapkan tongkat. Bila tidak ada tongkat, hendaklah ia membuat sebuah garis dan tidak memudaratkannya apa yang lewat di hadapannya.”

Al-Albani berkata, " Dari kalangan ulama muta’akhirin yang mendhaifkan hadits ini adalah Ibnush Shalah, An-Nawawi, Al-’Iraqi, dan yang lainnya. Inilah pendapat yang benar karena hadits ini memiliki dua illat, yaitu idhthirab dan jahalah, yang menghalanginya untuk dihukumi hasan, terlebih lagi dihukumi shahih.” (Tamamul Minnah, hal. 300-301)

Al-Qarafi berkata menukil dari penulis kitab An-Nawadir, bahwa lubang dan sungai maupun segala sesuatu yang tidak tertancap dengan tegak, seperti garis misalnya, bukanlah termasuk sutrah.” (Adz-Dzakhirah, 2/155)

Tentang BERGESER KE ARAH SUTRAH KETIKA SHALAT

Al-Imam Malik berkata, “Apabila seseorang masbuq dalam shalatnya, sementara tiang masjid ada di sebelah kanan atau kirinya, maka boleh dia bergeser ke kanan atau ke kiri mengarah ke tiang itu untuk dijadikan sutrah, jika memang tiang itu dekat dengannya. Begitu pula jika tiang itu ada di depannya atau di belakangnya, dia boleh maju atau mundur sedikit ke arah tiang tersebut selama tidak jauh darinya. Adapun bila tiang itu jauh, maka dia tetap shalat di tempatnya dan berusaha mencegah segala sesuatu yang lewat di hadapannya semampunya.” (Al-Mudawwanatul Kubra, 1/202)

Al-Qarafi berkata, "Bergeser seperti ini dengan mencari sesuatu yang menghalanginya lebih ringan daripada mencegah orang yang lewat di hadapannya." (Adz-Dzakhirah, 2/156)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata:
المأموم لما سلم الإمام صار منفرداً فلا تكون سترة الإمام سترة له حتى الإمام الآن ليس بإمام؛ لأنه انصرف وذهب عن مكانه، لكن هل يشرع للمأموم بعد ذلك إذا قام يقضي ما فاته أن يتخذ سترة؟ الذي يظهر لي: أنه لا يشرع، وأن الصحابة رضي الله عنهم إذا فاتهم شيء قضوا بدون أن يتخذوا سترة، ثم لو قلنا: بأنه يستحب أن يتخذ سترة، أو يجب على قول من يرى وجوب السترة، فإن الغالب أنه يحتاج إلى مشي وإلى حركة لا نستبيحها إلا بدليل بين، فالظاهر أن المأموم يقال له: سترة الإمام انتهت معك وأنت لا تتخذ سترة؛ لأنه لم يرد اتخاذ السترة في أثناء الصلاة، وإنما تتخذ السترة قبل البدء في الصلاة
"Makmum ketika imam telah salam, maka ia menjadi munfarid/sendirian. Maka dalam keadaan ini, sutroh imam adalah sutroh baginya (makmum), tidak berlaku lagi, karena si imam saat ini bukan lagi imam, ia sudah berpindah dari posisinya sebagai imam.
Namun setelah itu jika makmum kembali berdiri meneruskan shalat, apakah disyari’atkan bagi makmum untuk mencari sutroh? Yang nampak bagiku, TIDAK DISYARIATKAN untuk mencari sutroh. Karena para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika mereka masbuk dan hendak menyelesaikan sisa shalatnya, mereka TIDAK LAGI MENCARI SUTROH. Lalu jika kita katakan bahwa sebaiknya mencari sutroh, atau bahkan wajib bagi yang berpendapat wajibnya sutroh, maka pada umumnya diperlukan melangkah dan gerakan yang tentunya tidak bisa kita bolehkan KECUALI DENGAN DALIL YANG TEGAS.
Maka yang nampak di sini, kita katakan kepada makmum bahwa sutroh anda sudah berakhir dengan berakhirnya imam dan ANDA TIDAK PERLU MENCARI SUTROH. KARENA TIDAK ADA DALIL MENGENAI MENCARI SUTROH DI TENGAH-TENGAH SHALAT. Yang ada dalilnya adalah mencari sutroh SEBELUM mulai shalat.”
(Liqa Babil Maftuh, kaset no. 155, fatwa no. 16, Al Mausu’ah Asy Syamilah)

Asy-Syaikh Bin Baz rahimahullah, ketika ditanya tentang sebagian pemuda yang jika imam shalat telah salam (selesai) dan tersisa untuk pemuda ini beberapa rakaat maka dia melangkah/berjalan beberapa langkah ke depan untuk mencegah orang yang lewat dari jamaah shalat yang lain, beliau berkata:
لا يضره إن شاء الله، خطوات يسيرة حتى يمر الناس من وراءه لا يضره ذلك إن شاء الله إن كان بقي عليه صلاة قضى، لكن كونه يبقى في مكانه ويصلي في مكانه الحمد لله، أولى من التقدم.
"Tidak memudharatkan/membatalkan shalatnya in syaa Allah. Melangkah sedikit sehingga orang-orang bisa lewat di belakang orang yang shalat, ini tidak membatalkan shalatnya, in syaa Allah. Jika masih ada raka’at yang tersisa, maka sempurnakanlah.
NAMUN jika ia TETAP pada tempatnya, shalat TETAP pada tempatnya, alhamdulillah, ini LEBIH UTAMA DARIPADA MELANGKAH.”
(binbaz[dot]org[dot]sa/mat/14420)

Tentang ETIKA MEMBUNUH BINATANG

Berkata asy-Syaikh al-‘Allamah Ibnu Utsaimin rahimahulloh:

Apabila engkau ingin membunuh seekor tikus, dan membunuhnya merupakan perkara yang disunnahkan, maka berbuat baiklah tatkala membunuhnya. Bunuhlah yang langsung membuatnya mati seketika itu. Jangan menyiksanya. Dan termasuk menyiksanya, apa yang dilakukan sebagian manusia, dengan memasang perangkap ataupun alat perekat, kemudian meninggalkannya begitu saja sampai mati kelaparan, kehausan. INI TIDAK BOLEH.

Maka apabila engkau memasang perangkap atau alat perekat, maka seringlah untuk dilihat sampai ketika engkau mendapatinya terperangkap, maka bunuhlah. Adapun engkau membiarkan perangkapnya sampai 2 hari atau 3 hari, kemudian ada tikus yang terperangkap kemudian mati dalam keadaan kelaparan dan kehausan, maka dikhawatirkan engkau akan masuk neraka dengan sebab itu. Dikarenakan Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺩﺧﻠﺖ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﺍﻣﺮﺃﺓ ﻓﻲ ﻫﺮﺓ ﺣﺒﺴﺘﻬﺎ ﺣﺘﻰ ﻣﺎﺗﺖ ﻻ ﻫﻲ ﺃﻃﻌﻤﺘﻬﺎ ﻭﻻ ﻫﻲ ﺃﺭﺳﻠﺘﻬﺎ ﺗﺄﻛﻞ ﻣﻦ ﺧﺸﺎﺵ ﺍﻷﺭﺽ
“Seorang perempuan dimasukan ke dalam an-Naar dengan sebab seekor kucing yang ia tahan sampai mati, ia tidak memberinya makan, tidak pula melepaskannya untuk makan dari binatang liar."‏

[Syarh Riyadhush Sholihin 4/596‏]

Alih bahasa : Ibrohim Abu Kaysa

Tentang PAKAIAN WANITA DI DALAM SHALAT

Masalah pakaian wanita di dalam shalat disebutkan dalam beberapa hadits yang marfu’. Namun, kedudukan hadits-hadits tersebut diperbincangkan oleh ulama.

1. Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:
ﻻَ ﻳَﻘْﺒَﻞُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺻَﻼَﺓَ ﺣَﺎﺋِﺾٍ ﺇِﻻَّ ﺑِﺨِﻤَﺎﺭٍ
"Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haid (baligh) kecuali apabila ia mengenakan kerudung (dalam shalatnya).” (HR. Abu Dawud no. 641)
Al-Hafizh berkata dalam at-Talkhis al-Habir (2/460), "Hadits ini dianggap cacat oleh ad-Daraquthni karena mauquf-nya. Adapun al-Hakim menganggapnya mursal."

2. Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Apakah wanita boleh shalat dengan mengenakan dira’ dan kerudung tanpa izar?” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab,
ﺇِﺫَﺍ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﺪِّﺭْﻉُ ﺳَﺎﺑِﻐًﺎ ﻳُﻐَﻄِّﻲ ﻇُﻬُﻮْﺭَ ﻗَﺪَﻣَﻴْﻪِ
"(Boleh), apabila dira’nya itu luas/lapang hingga menutupi punggung kedua telapak kakinya.” (HR. Abu Dawud no. 640)
Al-Albani menerangkan dalam Tamamul Minnah (hlm. 161) bahwa hadits ini tidak sahih sanadnya, baik secara marfu’ maupun mauquf, karena hadits ini berporos pada ibunya Muhammad bin Zaid, padahal dia adalah rawi yang majhul.

Meski demikian, ada riwayat-riwayat yang sahih dari para sahabat dalam pemasalahan ini.

1. Ummul Hasan berkata, “Aku melihat Ummu Salamah istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat dengan mengenakan dira’ dan kerudung.” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abdurrazaq dalam al-Mushannaf dengan isnad yang sahih. Lihat: Tamamul Minnah, hlm. 162)

2. Ubaidullah al-Khaulani, anak asuh Maimunah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa Maimunah shalat dengan memakai dira’ dan kerudung tanpa izar. (Diriwayatkan oleh al-Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf dengan isnad yang sahih. Lihat: Tamamul Minnah, hlm. 162)

3. Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata, “Wanita shalat dengan mengenakan tiga pakaian yaitu dira‘, kerudung, dan izar.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan isnad yang sahih. Lihat: Tamamul Minnah, hlm. 162)

Kesimpulannya, shalat dengan mengenakan dira’ dan kerudung sudah mencukupi bagi wanita untuk menutupi auratnya di dalam shalat. Apabila wanita itu ingin lebih sempurna dalam berpakaian ketika shalat, ia bisa menambahkan izar atau jilbab pada dira’ dan kerudungnya.

Ibnu Qudamah mengatakan, “Disenangi bagi wanita untuk shalat mengenakan dira’ —pakaian yang sama dengan gamis, namun lebar dan panjang sampai menutupi kedua telapak kaki— kemudian mengenakan kerudung yang menutupi kepala dan lehernya, dilengkapi dengan jilbab yang diselimutkan ke tubuhnya di atas dira’. Demikian yang diriwayatkan dari ‘Umar, putra beliau (Ibnu ‘Umar), ‘Aisyah, Abidah as-Salmani, dan ‘Atha. Ini juga merupakan pendapat al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau berkata, ‘Kebanyakan ulama bersepakat untuk pemakaian dira’ dan kerudung, apabila ditambahkan pakaian lain, itu lebih baik dan lebih menutup’.” (al-Mughni , 1/351)

Ibnu Taimiyah berkata, “Disenangi bagi wanita untuk shalat dengan mengenakan tiga pakaian: dira’, kerudung, dan jilbab yang digunakan untuk menyelubungi tubuhnya, kain sarung di bawah dira’, atau sirwal (celana panjang yang lapang dan lebar) karena lebih utama daripada sarung. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ‘Wanita shalat dengan mengenakan dira’, kerudung, dan milhafah.’ ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah shalat dengan mengenakan kerudung, izar, dan dira’. Ia memanjangkan izarnya untuk berselubung dengannya. Ia pernah berkata, ‘Wanita yang shalat harus mengenakan tiga pakaian apabila ia mendapatkannya, yaitu kerudung, izar, dan dira’." (Syarhul ‘Umdah, 4/322)

Diperbolehkan bagi wanita untuk shalat dengan hanya mengenakan satu baju/kain yang menutupi kepala dan seluruh tubuhnya kecuali wajah.

Mujahid dan ‘Atha pernah ditanya tentang wanita yang memasuki waktu shalat sementara ia tidak memiliki kecuali satu baju, apa yang harus dilakukannya? Mereka menjawab, “Ia berselimut dengannya.” Demikian pula yang dikatakan Muhammad bin Sirin. (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/226)

Ikrimah berkata, “Seandainya seorang wanita shalat dengan menutupi tubuhnya dengan satu pakaian/kain maka hal itu dibolehkan.” (Shahih al-Bukhari)

Al-Hafizh menyatakan, “Setelah menghikayatkan pendapat jumhur bahwa wajib bagi wanita untuk shalat memakai dira’ dan kerudung, Ibnul Mundzir berkata, ‘Yang diinginkan dengan pendapat tersebut adalah ketika shalat seorang wanita harus menutupi tubuh dan kepalanya. Seandainya pakaian yang dikenakan itu lapang/lebar lalu ia menutupi kepalanya dengan sisa/kelebihan pakaiannya maka hal itu dibolehkan.’ Ibnul Mundzir juga berkata, ‘Apa yang kami riwayatkan dari Atha’ bahwasanya ia berkata, [Wanita shalat dengan mengenakan dira’, kerudung, dan izar], demikian pula riwayat yang semisalnya dari Ibnu Sirin dengan tambahan milhafah, maka aku menyangka hal ini dibawa pemahamannya kepada istihbab (lebih disenangi).” (Fathul Bari, 1/602-603)

Mengenai bagian tubuh yang harus ditutupi oleh wanita di dalam shalatnya, para ulama berbeda pendapat.

Al-Khaththabi rahimahullah berkata,
“Ulama berbeda pendapat tentang bagian tubuh yang harus ditutup oleh wanita merdeka (bukan budak) dalam shalatnya.
Al-Imam asy-Syafi’i dan al-Auza’i berkata, ‘Wanita menutupi seluruh badannya ketika shalat kecuali wajah dan dua telapak tangannya.’
Diriwayatkan hal ini dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan ‘Atha rahimahullah.
Sedangkan Abu Bakr bin Abdirrahman bin al-Harits bin Hisyam radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Semua anggota tubuh wanita merupakan aurat, sampaipun kukunya.’
Al-Imam Ahmad sejalan dengan pendapat ini, beliau berkata, ‘Dituntunkan bagi wanita untuk melaksanakan shalat dalam keadaan tidak terlihat sesuatu pun dari anggota tubuhnya, tidak terkecuali kukunya’.” (Ma’alimus Sunan, 2/343)

Ibnu Taimiyah berpendapat seluruh tubuh wanita merdeka itu aurat (di dalam shalatnya) kecuali bagian tubuh yang biasa tampak darinya ketika di dalam rumahnya, yaitu wajah, dua telapak tangan, dan telapak kaki. (Majmu’ Fatawa, 22/109-120)

Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin berpendapat, apabila ada laki-laki yang bukan mahramnya, ia menutup seluruh tubuhnya termasuk wajah. (asy-Syarhul Mumti’, 2/157)

Keterangan:
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti' (2/164-165) menerangkan makna dira' dan izar. Dira’ adalah pakaian lebar/lapang yang menutupi sampai kedua telapak kaki. Izar adalah milhafah (al-Qamushul Muhith, hlm. 309). Makna milhafah sendiri diterangkan dalam al-Qamush (hlm. 767) adalah pakaian yang dikenakan di atas seluruh pakaian sehingga menutup/menyelubungi seluruh tubuh seperti abaya dan jilbab.