Cari Blog Ini

Jumat, 19 Desember 2014

Tentang IKHWANUL MUSLIMIN

IKHWANUL MUSLIMIN (IM)

Definisinya:
Kelompok para pengikut Hasan al-Banna. 

Sangat banyak kritik ilmiah terhadap manhaj mereka. Di antara poin kritik terpenting  terhadap kelompok Ikhwanul Muslimin (IM):

1. Menyepelekan permasalahan Tauhid Ibadah. Padahal itu merupakan permasalahan terpenting dalam Islam, dan tidak sah keislaman seseorang tanpa tauhid ibadah.

2. Mereka diam dan menyetujui manusia atas syirik akbar yang terjadi, berupa doa kepada selain Allah, thawaf di kuburan-kuburan, bernadzar kepada para penghuni kubur dan menyembelih atas nama mereka, dll.

3. Manhaj IM ini, pendirinya (yaitu Hasan al-Banna) adalah seorang penganut shufi, memiliki hubungan kuat dengan paham shufiyyah/sufisme. Yaitu dia telah berbaiat kepada ‘Abdul Wahhab al-Hushafi di atas tarekat sufi Hushafiyyah Syadziliyyah.

4. Menjamurnya bid’ah pada kelompok tersebut. Mereka beribadah dengan bid’ah-bid’ah tersebut. Bahkan pendiri kelompok manhaj IM ini menegaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadir dalam majelis dzikir mereka dan memberikan ampun untuk dosa-dosa mereka yang telah berlalu. Yaitu dalam ucapannya
صلى الإلهُ على النور الذي ظهرا 
للعالمين ففاق الشمس والقمرا
هذا الحبيب مع الأحباب قد حضرا
وسامح الكل فيما قد مضى وجرى
Allah bershalawat kepada sang Cahaya (yakni Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam) yang telah muncul
Di alam ini, maka dia melebihi matahari dan bulan
Inilah sang Habib (yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) bersama para habib lainnya TELAH HADIR
Dan memberikan maaf kepada semua atas dosa-dosa yang telah lalu dan lewat

5. Mengajak untuk mendirikan Khilafah. Ajakan ini adalah BID’AH. Karena para rasul dan para pengikutnya tidaklah ditugasi kecuali untuk berdakwah (mengajak) kepada Tauhid. Allah berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul, mendakwahkan: Ibadahilah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36)

6. Tidak ada prinsip al-Wala wa al-Bara di tengah-tengah mereka, atau sangat lemah. Hal ini tampak dengan jelas dari:
▪ dakwah (ajakan) mereka untuk mengadakan pendekatan antara Sunnah dan Syi’ah.
▪ pernyataan (semboyan/kaedah) sang pendiri kelompok IM:
نَتَعَاوَنُ فِيمَا اتَّفَقْنَا عَلَيْهِ، وَيَعْذُرُ بَعْضُنَا بَعْضًا فِيمَا اِخْتَلَفْنَا فِيهِ
Kita saling bekerja sama dalam perkara yang kita bersepakat padanya, dan kita saling memberikan udzur dalam perkara kita berbeda pendapat di dalamnya.

7. Mereka (IM) sangat tidak suka dan benci terhadap Ahli Tauhid dan orang-orang yang berjalan di atas manhaj Salafiyyah. Hal ini tampak jelas dari penilaian mereka terhadap Kerajaan Saudi ‘Arabia yang tegak di atas Tauhid, dan Tauhid dipelajari di sekolah-sekolah, ma’had-ma’had, dan universitas-universitas negeri tersebut. Tampak jelas juga dari aksi pembunuhan yang mereka lakukan terhadap asy-Syaikh Jamilurrahman al-Afghani, karena beliau senantiasa gigih mendakwahkan tauhid, di mana beliau memiliki madrasah yang di situ dipelajari tauhid.

8. Mereka (IM) terus mencari-cari kesalahan-kesalahan pemerintah dan mengomentari kejelekan-kejelekan penguasa – baik itu sesuatu yang benar ataupun dusta – serta menyebarkannya kepada para pemuda yang masih baru. Untuk memprovokasi mereka dan memenuhi hati mereka dengan kedengkian terhadap pemerintah.

9. Hizbiyyah tulen, yang mereka menisbahkan diri padanya dan berloyal penuh demi kelompoknya, serta siap bermusuhan demi membela kelompoknya. Mengambil bai’at untuk kegiatan kelompok Ikhwanul Muslimin, dengan 10 syarat yang disebutkan oleh pendirinya. 

Dan masih banyak berbagai kritik lain,  yang mungkin akan kita jelaskan pada kesempatan lain.

Sumber:
Kitab al-Fatawa al-Jaliyyah ‘an As-ilah al-Manahij ad-Da’wiyyah, asy-Syaikh Ahmad bin Yahya an-Najmi rahimahullah, hal. 101—113

WhatsApp Miratsul Anbiya Indonesia

Tentang BERPINDAH TEMPAT KETIKA HENDAK SALAT SUNAH SETELAH SALAT WAJIB

Hadits Nabi shollallahu alaihi wasallam:
لَا تُوصَلَ صَلَاةٌ بِصَلَاةٍ حَتَّى نَتَكَلَّمَ أَوْ نَخْرُجَ
Janganlah suatu salat disambung dengan salat (secara langsung) hingga kita berbicara atau keluar. (H.R Muslim, Abu Dawud, Ahmad)

Penjelasan:

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan:
فمثلا إذا صليت الظهر الظهر لها راتبة بعدها وأردت أن تصلي الراتبة لا تصل في مكانك قم في محل آخر أو اخرج إلى بيتك وهو أفضل أو على الأقل تكلم لأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى أن توصل صلاة بصلاة حتى يخرج الإنسان أو يتكلم ولهذا قال العلماء يسن الفصل بين الفرض وسنته بكلام أو انتقال من موضعه والحكمة من ذلك ألا يوصل الفرض بالنفل فليكن الفرض وحده والنفل وحده حتى لا يختلط هكذا
Sebagai contoh, jika engkau salat Zuhur yang Zuhur itu memiliki sunah rotibah (rawatib) setelahnya, dan engkau ingin salat sunah rotibah itu, janganlah salat di tempatmu (tempat melakukan salat Zuhur). Bangkitlah ke tempat lain atau keluarlah ke rumah (untuk dikerjakan di rumah) maka itu lebih utama. Atau paling tidak, engkau berbicara (sebagai pemisah antara salat wajib dengan sunah). Karena Nabi shollallahu alaihi wasallam melarang salat disambung (langsung) dengan salat hingga seorang keluar atau berbicara. Karena itu para Ulama berkata: Disunahkan memisahkan antara salat fardhu dengan salat sunahnya dengan ucapan atau berpindah tempat. Hikmahnya dalam hal itu adalah agar salat fardhu tidak disambung dengan salat sunah. Akan tetapi salat fardhu sendiri dan salat nafilah (sunah) sendiri. Sehingga tidak bercampur menjadi satu.
(Syarah Riyadhis Sholihin 1/1301)

Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah menyatakan:
وهذا دليل على أن الإنسان يصلي النافلة في مكان آخر غير المكان الذي صلى فيه الفريضة، وفائدة ذلك أن لا يصل فرضاً بنفل، ولتشهد له البقاع المتعددة التي يصلي فيها؛ لأن الأرض تشهد يوم القيامة على ما فعل على ظهرها من خير وشر، وهو معنى قول الله عز وجل: يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا؛ يعني: تخبر عما حصل على ظهرها من خير أو شر، فإذا صلى الإنسان في مكان آخر تعددت البقع التي صلى فيها، وتشهد له البقع المتعددة والأماكن المتعددة
Dan hadits ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa semestinya seseorang salat nafilah (sunah) di tempat lain, selain tempat yang digunakan untuk salat fardhu. Faidahnya adalah tidak menyambung fardhu dengan nafilah dan agar tanah yang berbeda-beda yang menjadi tempat salatnya akan menjadi saksi (nantinya). Karena bumi akan bersaksi pada hari kiamat terhadap perbuatan yang dilakukan di atasnya. Apakah itu perbuatan baik ataupun buruk. Itulah makna firman Allah Azza Wa Jalla: “Pada hari itu (bumi) menyampaikan kabar-kabarnya.” (Q.S az-Zalzalah ayat 4)
Yaitu, bumi mengabarkan kejadian yang terjadi di atasnya. Apakah perbuatan baik atau buruk. Jika seseorang salat di tempat lain, maka tanah yang menjadi tempat salatnya akan berada di tempat berbeda-beda. Sehingga tanah dan tempat-tempat yang berbeda-beda itu akan bersaksi untuknya (pada hari kiamat).
(Transkrip ceramah syarah Sunan Abi Dawud li Abdil Muhsin al-Abbad 6/416)

Ditulis oleh:
Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Salafy .or .id

###

Samahatu asy-Syaikh Al-‘Allamah ‘Abdul ‘Aziz bin Baz Rahimahullah

Tanya:
Apakah ada keterangan dalil yang menunjukkannya tentang anjuran berpindah tempat untuk melaksanakan shalat sunnah setelah shalat wajib?

Jawab:
Yang aku ketahui TIDAK ADA hadits shahih yang menjelaskan tentang masalah itu.
Namun dulu Ibnu ‘Umar Radhiyallahu 'anhuma dan banyak dari kalangan ‘ulama Salaf melakukan hal itu.
Sehingga masalah ini bersifat longgar. Alhamdulillah.
Dalam masalah ini terdapat sebuah hadits yang lemah, diriwayatkan oleh Abu Dawud Rahimahullah. Namun itu ditopang oleh perbuatan shahabat Ibnu ‘Umar dan oleh para Salafush Shalih yang melakukan perbuatan tersebut. Wallahu Waliyyu at-Taufiq.
(Majmu Fatawa Ibn Baz : 25/166)

Tanya:
Apakah hikmah dari seorang yang shalat apabila selesai dari shalat wajib, kemudian berdiri lagi untuk menunaikan shalat sunnah, maka dia dituntunkan untuk mengganti/berpindah ke tempat lain, bukan pada tempat yang dia melaksanakan shalat wajib tadi?

Jawab:
TIDAK ADA hadits shahih dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam tentang masalah berpindah tempat, menurut apa yang kami ketahui. Dalam masalah ini hanya ada beberapa hadits-hadits yang lemah.
Berdasarkan pendapat yang memandang disyari’atkannya hal tersebut, sebagian para ‘ulama menyebutkan hikmahnya, yaitu adanya persaksian tempat yang dia shalat di situ.
Wallahu Subhanahu A’lam. Dia Maha Bijak dan Maha Berilmu.
(Majmu Fatawa Ibn Baz : 25/167)

Majmu'ah Manhajul Anbiya