Cari Blog Ini

Selasa, 14 Oktober 2014

Tentang FILM KARTUN UNTUK ANAK-ANAK

Asy Syaikh Sholeh bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan hafizhohulloh

Pertanyaan: Apa hukum mengajari (mendidik) anak-anak dengan (media) FILM-FILM KARTUN, dengan tujuan yang bermanfaat dan mengajari mereka akhlak-akhlak yang terpuji?

Jawaban:
Alloh Ta’ala telah mengharamkan gambar-gambar (makhluk bernyawa), dan Alloh mengharamkan untuk
mengoleksinya. Lalu bagaimana kita akan mendidik anak-anak kita dengannya? Bagaimana kita mendidik anak-anak kita dengan sesuatu yang haram? Dengan gambar-gambar yang haram, gambar (patung-patung) bergerak yang bisa berbicara, yang ini menyerupai bentuk manusia. Ini lebih dari sekedar gambar, maka tidak boleh menjadikannya (untuk sarana) pendidikan anak-anak kita.

Ini yang dimaukan oleh orang-orang kafir, mereka menginginkan supaya kita melanggar apa yang Rasululloh Sholallohu ‘alaihi wasallam larang darinya. Dan Ar Rosul Sholallohu ‘alaihi wasallam melarang dari gambar-gambar (makhluk bernyawa), dari menggunakannya, mengoleksinya. Dan mereka (orang-orang kafir), menyebarkannya di kalangan pemuda, di kalangan kaum muslimin dengan dalih pendidikan.
INI PENDIDIKAN YANG MERUSAK.

Adapun pendidikan yang benar, adalah engkau mengajari mereka (anak-anak) apa-apa yang bermanfaat bagi mereka dari urusan agama ataupun dunia mereka.

[Taujihat Muhimmah lisy Syababil Ummah - hal. 51-52]

Alih bahasa : Ibrohim Abu Kaysa

Tentang SYARAT-SYARAT SHALAT, RUKUN-RUKUN SHALAT, DAN WAJIB-WAJIB SHALAT

Syarat-syarat shalat yang paling utama adalah:
- Islam.
- Berakal.
- Mumayyiz.
- Suci dari hadats.
- Menghilangkan najis.
- Menutup aurat.
- Menghadap kiblat.
- Telah masuk waktu shalat.
- Niat di dalam hati.

Rukun-rukun shalat ada 14, yaitu:
- Berdiri bila mampu.
- Takbiratul ihram.
- Membaca surat al-FAtihah.
- Ruku’.
- Bangkit dari ruku’.
- I’tidal.
- Sujud pada 7 anggota badan.
- Duduk di antara dua sujud.
- Tuma’ninah (tenang) dalam mengerjakan rukun-rukun di atas.
- Mengerjakan secara tertib/berurutan.
- Tasyahhud akhir.
- Duduk tasyahhud akhir.
- Bershalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
- Mengucapkan salam.

Kewajiban-kewajiban dalam shalat ada 8, yaitu:
- Seluruh takbir selain takbiratul ihram.
- Mengucapkan “subhana rabbiyal ‘adzim” ketika ruku’.
- Mengucapkan “sami’allahu liman hamidah” bagi imam dan munfarid.
- Mengucapkan “rabbana walakal hamd” bagi makmum dan munfarid.
- Mengucapkan “subhana rabbiyal a’la” ketika sujud.
- Mengucapkan “rabbigh firliy” ketika duduk di antara dua sujud.
- Tasyahhud awwal.
- Duduk tasyahhud awwal.

Diterjemahkan dari kitab Dalail At Tauhid karya Asy Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al Wushabi hafizhahullah

Alih bahasa:
Abduaziz Bantul
Ma'had Ibnul Qayyim Balikpapan

Tentang ACARA TAHLILAN

Para pembaca, kalau kita buka catatan sejarah Islam, maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, di masa para sahabatnya dan para Tabi’in maupun Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan ulama lainnya yang semasa dengan mereka ataupun sesudah mereka. Lalu dari mana sejarah munculnya acara tahlilan?

Awal mula acara tersebut berasal dari upacara peribadatan (baca: selamatan) nenek moyang bangsa Indonesia yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Namun acara tahlilan secara praktis di lapangan berbeda dengan prosesi selamatan agama lain yaitu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala agama lain dengan bacaan dari Al Qur’an, maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Islam menurut mereka.

Dari aspek historis ini kita bisa mengetahui bahwa sebenarnya acara tahlilan merupakan adopsi (pengambilan) dan sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain.

Acara tahlilan –paling tidak– terfokus pada dua acara yang paling penting yaitu:
Pertama: Pembacaan beberapa ayat/surat Al Qur’an, dzikir-dzikir dan disertai dengan do’a-do’a tertentu yang ditujukan dan dihadiahkan kepada si mayit.
Kedua: Penyajian hidangan makanan.
Dua hal di atas perlu ditinjau kembali dalam kaca mata Islam, walaupun secara historis acara tahlilan bukan berasal dari ajaran Islam.

Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan, mereka tiada memiliki argumentasi (dalih) melainkan satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan) dengan dalil-dalil yang umum sifatnya. Mereka berdalil dengan keumuman ayat atau hadits yang menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir ataupun berdoa dan menganjurkan pula untuk memuliakan tamu dengan menyajikan hidangan dengan niatan shadaqah.

1. Bacaan Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a yang ditujukan/dihadiahkan kepada si mayit

Memang benar Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganjurkan untuk membaca Al Qur’an, berdzikir dan berdoa. Namun apakah pelaksanaan membaca Al Qur’an, dzikir-dzikir, dan do’a-do’a diatur sesuai kehendak pribadi dengan menentukan cara, waktu dan jumlah tertentu (yang diistilahkan dengan acara tahlilan) tanpa merujuk praktek dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabatnya bisa dibenarakan?

Kesempurnaan agama Islam merupakan kesepakatan umat Islam semuanya, karena memang telah dinyatakan oleh Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya): “Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama Islam bagi kalian, dan telah Aku sempurnakan nikmat-Ku atas kalian serta Aku ridha Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah: 3)

Juga Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﺎ ﺑَﻘِﻲَ ﺷَﻲْﺀٌ ﻳُﻘَﺮِّﺏُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻭَﻳُﺒَﺎﻋِﺪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ ﺇِﻻَّ ﻗَﺪْ ﺑُﻴِّﻦَ ﻟَﻜُﻢْ
"Tidak ada suatu perkara yang dapat mendekatkan kepada Al Jannah (surga) dan menjauhkan dari An Naar (neraka) kecuali telah dijelaskan kepada kalian semuanya.” (H.R Ath Thabrani)

Ayat dan hadits di atas menjelaskan suatu landasan yang agung yaitu bahwa Islam telah sempurna, tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan semuanya telah dijelaskan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Suatu ketika Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mendengar berita tentang pernyataan tiga orang, yang pertama menyatakan: “Saya akan shalat tahajjud dan tidak akan tidur malam”, yang kedua menyatakan: “Saya akan bershaum (puasa) dan tidak akan berbuka”, yang terakhir menyatakan: “Saya tidak akan menikah”, maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam menegur mereka, seraya berkata: “Apa urusan mereka dengan menyatakan seperti itu? Padahal saya bershaum dan saya pun berbuka, saya shalat dan saya pula tidur, dan saya menikahi wanita. Barang siapa yang membenci sunnahku maka bukanlah golonganku.” (Muttafaqun alaihi)

Para pembaca, ibadah menurut kaidah Islam tidak akan diterima oleh Allah subhanahu wata’ala kecuali bila memenuhi dua syarat yaitu ikhlas kepada Allah dan mengikuti petunjuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Allah subhanahu wata’ala menyatakan dalam Al Qur’an (artinya): “Dialah Allah yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji siapa diantara kalian yang paling baik amalnya.” (Al Mulk: 2)

Para ulama ahli tafsir menjelaskan makna “yang paling baik amalnya” ialah yang paling ikhlash dan yang paling mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Tidak ada seorang pun yang menyatakan shalat itu jelek atau shaum (puasa) itu jelek, bahkan keduanya merupakan ibadah mulia bila dikerjakan sesuai tuntunan sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Atas dasar ini, beramal dengan dalih niat baik (istihsan) semata -seperti peristiwa tiga orang di dalam hadits tersebut- tanpa mencocoki sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, maka amalan tersebut tertolak.

Simaklah firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Maukah Kami beritahukan kepada kalian tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya. Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya”. (Al Kahfi: 103-104)

Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﻋَﻤِﻞَ ﻋَﻤَﻼً ﻟَﻴْﺲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃَﻣْﺮُﻧَﺎ ﻓَﻬُﻮَ ﺭَﺩٌّ
"Barang siapa yang beramal bukan di atas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)

Atas dasar ini pula lahirlah sebuah kaidah ushul fiqh yang berbunyi:
ﻓَﺎﻷَﺻْﻞُ ﻓَﻲ ﺍﻟْﻌِﺒَﺎﺩَﺍﺕِ ﺍﻟﺒُﻄْﻼَﻥُ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻘُﻮْﻡَ ﺩَﻟِﻴْﻞٌ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻷَﻣْﺮِ
"Hukum asal dari suatu ibadah adalah batal, hingga terdapat dalil (argumen) yang memerintahkannya.”

Maka beribadah dengan dalil istihsan semata tidaklah dibenarkan dalam agama. Karena tidaklah suatu perkara itu teranggap baik melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya baik dan tidaklah suatu perkara itu teranggap jelek melainkan bila Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya menganggapnya jelek.

Lebih menukik lagi pernyataan dari Al Imam Asy Syafi’i:
ﻣَﻦِ ﺍﺳْﺘَﺤْﺴَﻦَ ﻓَﻘَﺪْ ﺷَﺮَﻉَ
"Barang siapa yang menganggap baik suatu amalan (padahal tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah) berarti dirinya telah menciptakan hukum syara’ (syari’at) sendiri”.

Kalau kita mau mengkaji lebih dalam madzhab Al Imam Asy Syafi’i tentang hukum bacaan Al Qur’an yang dihadiahkan kepada si mayit, beliau di antara ulama yang menyatakan bahwa pahala bacaan Al Qur’an tidak akan sampai kepada si mayit. Beliau berdalil dengan firman Allah subhanahu wata’ala (artinya): “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh (pahala) selain apa yang telah diusahakannya”. (An Najm: 39) (Lihat tafsir Ibnu Katsir 4/329)

2. Penyajian hidangan makanan

Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali di dalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu –salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)

Sehingga acara berkumpul di rumah keluarga mayit dan penjamuan hidangan dari keluarga mayit termasuk perbuatan yang dilarang oleh agama menurut pendapat para sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan para ulama salaf. Lihatlah bagaimana fatwa salah seorang ulama salaf yaitu Al Imam Asy Syafi’i dalam masalah ini. Kami sengaja menukilkan madzhab Al Imam Asy Syafi’i, karena mayoritas kaum muslimin di Indonesia mengaku bermadzhab Syafi’i. Al Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata dalam salah satu kitabnya yang terkenal yaitu ‘Al Umm’ (1/248): “Aku membenci acara berkumpulnya orang (di rumah keluarga mayit) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka.” (Lihat Ahkamul Jana-iz karya Asy Syaikh Al Albani hal. 211)

Al Imam An Nawawi seorang imam besar dari madzhab Asy Syafi’i setelah menyebutkan perkataan Asy Syafi’i diatas didalam kitabnya Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 5/279 berkata: “Ini adalah lafadz baliau dalam kitab Al Umm, dan inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab Al Muhadzdzab (Asy Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah). Lalu apakah pantas acara tahlilan tersebut dinisbahkan kepada madzhab Al Imam Asy Syafi’i?

Malah yang semestinya, disunnahkan bagi tetangga keluarga mayit yang menghidangkan makanan untuk keluarga mayit, supaya meringankan beban yang mereka alami. Sebagaimana bimbingan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dalam hadistnya:
ﺍﺻْﻨَﻌُﻮﺍ ﻵﻝِ ﺟَﻌْﻔَﺮَ ﻃَﻌَﺎﻣًﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﺗَﺎﻫُﻢْ ﺃَﻣْﺮٌ ﻳُﺸْﻐِﻠُﻬُﻢْ
"Hidangkanlah makanan buat keluarga Ja’far, Karena telah datang perkara (kematian-pent) yang menyibukkan mereka.” (H.R Abu Dawud, At Tirmidzi dan lainnya)

Mudah-mudahan pembahasan ini bisa memberikan penerangan bagi semua yang menginginkan kebenaran di tengah gelapnya permasalahan.

Wallahu ‘a’lam.

Sumber: darussalaf[dot]or[dot]id

Tentang MENTALKIN ORANG YANG HENDAK MENINGGAL

Tidak ada yang mengingkari bahwa manusia tanpa terkecuali pasti akan mengalami kematian. Sebelum kematian tersebut terjadi, manusia akan mengalami saat terakhir yang sangat menentukan baik tidaknya kehidupan setelahnya. Inilah sakaratul maut yang setiap jiwa takut menghadapinya. Di saat inilah manusia di antara dua kemungkinan, keselamatan atau kebinasaan. Saat itu pula syaithan akan bekerja keras demi mengajak manusia untuk menjadi teman mereka di neraka kelak, naudzu billah min dzalika. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mengokohkan iman kita dalam menghadapi ujian ini. Amin.

Bagi kita yang menyaksikan seseorang dalam sakaratul maut, maka syariat ini mengajarkan kepada kita untuk men-talkin orang tersebut. Talkin adalah menuntun seseorang untuk mengucapkan kalimat tertentu. Perintah talkin ini adalah salah satu bentuk bantuan yang Allah syariatkan untuk menolong seseorang di saat ia sangat butuh tuntunan orang lain. Kita diperintahkan untuk menuntun seorang yang hendak meninggal untuk membaca kalimat tauhid laa ilaha illallah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Tuntunlah orang yang hendak meninggal di antara kalian dengan Laa ilaaha illallah.” (HR. Muslim, dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Karena kalimat ini adalah pembuka pintu surga. Kalimat ini adalah kunci bagi seorang untuk memasukinya. Maka, bila akhir ucapan seseorang adalah kalimat ini, diharapkan mati dalam keadaan husnul khatimah, dan termasuk orang yang kelak dapat masuk surga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang akhir ucapannya adalah Laa ilaaha illallah, ia akan masuk surga.” (HR. Al Hakim dari shahabat Muadz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Ahkamul Janaiz)

ADAB-ADAB TALKIN

1. Hendaknya dilakukan secukupnya tanpa perlu mengulang-ulang
Para ulama memakruhkan talkin yang dilakukan berulang-ulang dan terus menerus. Karena hal ini justru akan mengakibatkan seorang yang sedang sakaratul maut merasa tertekan dengan tuntunan itu. Padahal ia sedang merasakan penderitaan yang sangat. Sehingga ditakutkan akan munculnya ketidaksukaannya terhadap kalimat ini di dalam qalbunya. Bahkan bisa jadi akan ia ungkapkan dengan ucapannya, sehingga bukan ucapan tauhid yang ia ucapkan, justru celaan dan kebencian terhadap kalimat ini yang keluar dari mulutnya.

2. Cukup sekali, kecuali bila mengucap ucapan lainnya
Apabila orang yang sedang sakaratul maut telah mengucapkan kalimat ini, maka telah mencukupi dan tidak perlu di-talkin lagi. Namun, bila setelah ia mengucapkan kalimat ini ia mengucapkan kalimat lain, maka perlu kembali di-talkin, sehingga kalimat ini adalah kalimat akhirnya.

3. Talkin adalah mengingatkan bukan memerintahkan
Kadang kita dapati seorang men-talkin saudaranya dengan kalimat tauhid ini namun dengan cara memerintah. Padahal, talkin yang dilakukan saat seperti ini sifatnya sekadar mengingatkan. Sebab, selain dituntut untuk mengatakan kalimat tauhid, juga dituntut untuk meyakini kandungan kalimat ini. Nah, kalau talkin ini bersifat perintah, boleh jadi ia akan mengucapkannya karena tekanan perintah saja, sedangkan jiwanya mengingkarinya. Lalu apakah artinya ucapan ini bila tidak diyakini. Demikian yang dijelaskan oleh Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Syarh Riyadush Shalihin.

4. Talkin diperuntukkan kepada seluruh orang
Yakni tidak khusus diperuntukkan untuk seorang muslim saja. Namun juga dianjurkan bagi orang kafir untuk mengucapkan kalimat ini. Diharapkan, di akhir hidupnya termasuk orang yang bertauhid. Sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam men-talkin paman beliau Abu Thalib tatkala menghadapi kematian.

5. Talkin dengan lafadz Allah saja?
Sebagian orang berpendapat bahwa men-talkin boleh dengan lafadz Allah saja. Alasannya khawatir dengan kalimat yang panjang, laa ilaaha illallah, bisa jadi baru membaca laa ilaaha keburu mati. Sehingga maknanya justru sangat fatal, yaitu tidak ada sesembahan. Sehingga menurut mereka, orang semacam ini mati dalam keadaan tidak bertuhan. Pendapat ini tidak benar karena beberapa alasan. Di antaranya:
1. Dalam hadits secara tegas men-talkin dengan laa ilaaha illallah.
2. Lafadz Allah saja tidak menunjukkan tauhid orang yang mengucapkannya.
3. Allah mengangkat hukum (tidak memberikan beban) kepada siapa saja di luar kemampuannya. Seperti orang yang lupa atau terpaksa. Maka kondisi saat sekarat tentu lebih utama untuk dimaafkan. Apalagi orang tersebut tentunya meniatkan untuk melafadzkan secara utuh. Sedangkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, Rasulullah menjelaskan bahwa amalan itu sesuai dengan niatnya.
Allahu a’lam.

Penulis: Hammam

Referensi:
– Syarh Shahih Muslim, An Nawawi rahimahullah
– Aunul Ma’bud, Abu Thayyib Muhammad Syamsul Haqq rahimahullah
– Faidhul Qadir, Muhammad Abdur Rauf Al-Munawi rahimahullah

Sumber: Majalah Tashfiyah edisi 20 vol. 02 1433 H – 2012, hal. 38-40

Tentang MENYIKAPI PERSELISIHAN PENDAPAT DALAM PERKARA AGAMA

Al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Mu’thi, Lc.

Al-Khilaf (perselisihan pendapat) dalam perkara agama memang jamak terjadi bahkan di kalangan sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sekalipun. Namun demikian hal itu berbeda dengan yang selama ini dipahami banyak orang yang justru menjauh dari upaya mencari kebenaran dengan dalih “ini adalah masalah khilafiyah.”

Al-khilaf (perselisihan pendapat) di antara manusia adalah perkara yang sangat mungkin terjadi. Yang demikian karena kemampuan, pemahaman, wawasan dan keinginan mereka berbeda-beda. Namun perselisihan masih dalam batas wajar manakala muncul karena sebab yang masuk akal, yang bukan bersumber dari hawa nafsu atau fanatik buta dengan sebuah pendapat. Meski kita memaklumi kenyataan ini, namun (perlu diingat bahwa) perselisihan pada umumnya bisa menyeret kepada kejelekan dan perpecahan. Oleh karena itu, salah satu tujuan dari syariat Islam yang mudah ini adalah berusaha mempersatukan persepsi umat dan mencegah terjadinya perselisihan yang tercela. Tetapi, karena perselisihan merupakan realita yang tidak bisa dihindarkan dan merupakan tabiat manusia, Islam telah meletakkan kaidah-kaidah dalam menyikapi masalah yang diperselisihkan, berikut orang-orang yang berselisih, serta mencari cara yang tepat untuk bisa sampai kepada kebenaran yang seyogianya hal ini menjadi tujuan masing-masing pribadi. Para salaf (generasi awal) umat Islam telah terbukti sangat menjaga adab di saat khilaf, sehingga tidak menimbulkan perkara yang jelek, karena mereka selalu komitmen dengan adab-adab khilaf. (Kata pengantar Dr. Mani’ bin Hammad Al-Juhani terhadap kitab Adabul Khilaf hal. 5)

Macam-macam Khilaf

Adapun macam khilaf adalah sebagai berikut.
1. Ikhtilaf tanawwu’. Yaitu suatu istilah mengenai beragam pendapat yang bermacam-macam namun semuanya tertuju kepada maksud yang sama, di mana salah satu pendapat tidak bisa dikatakan bertentangan dengan yang lainnya. Semisal perbedaan ahli tafsir dalam menafsirkan Ash-Shirath Al-Mustaqim dalam surat Al-Fatihah. Ada yang menafsirkannya dengan Al-Qur`an, Islam, As-Sunnah, dan Al-Jama’ah. Semua pendapat ini benar dan tidak bertentangan maksudnya. Demikian pula orang yang membaca tasyahhud dengan yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu, dia memandang bolehnya membaca tasyahhud yang lain seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma dan lainnya. Perbedaan yang seperti ini tidak tercela. Namun bisa menjadi tercela manakala perbedaan seperti ini dijadikan sebab atau alat untuk menzalimi orang lain.
2. Ikhtilaf tadhad. Yaitu suatu ungkapan tentang pendapat-pendapat yang bertentangan di mana masing-masing pendapat orang yang berselisih itu berlawanan dengan yang lainnya, salah satunya bisa dihukumi sebagai pendapat yang salah. Misalnya dalam satu perkara, ada ulama yang mengatakan haram dan ulama yang lain mengatakan halal. Dalam perselisihan semacam ini tidak boleh bagi seseorang untuk mengambil pendapat tersebut menurut keinginan (hawa nafsu)nya, tanpa melihat akar masalah yang diperselisihkan dan pendapat yang dikuatkan oleh dalil.
3. Ikhtilaf afham. Yaitu perbedaan dalam memahami suatu nash. Hal ini boleh namun dengan beberapa syarat di antaranya: Ia harus berpijak di atas jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah, tidak banyak menyelisihi apa yang Ahlus Sunnah di atasnya, kembali kepada yang haq ketika terbukti salah, dan hendaknya ia termasuk orang yang telah memiliki kemampuan untuk berijtihad.
(Hujajul Aslaf, Abu Abdirrahman dan Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan, Muhammad Al-Imam)

Penyebab Perbedaan Pendapat di antara Ulama

Suatu hal yang telah kita ketahui bersama bahwa tidak ada seorang ulama pun –yang tepercaya keilmuan, amanah, dan ketaatannya– sengaja menyelisihi apa yang ditunjukkan oleh dalil Al-Qur`an dan As-Sunnah. Karena orang yang sejatinya alim, niscaya yang menjadi penunjuk jalannya adalah kebenaran. Namun para ulama bisa saja terjatuh ke dalam kesalahan saat menyebutkan suatu hukum syariat. Kesalahan pasti bisa terjadi, karena manusia pada dasarnya lemah ilmu dan pemahamannya. Pengetahuannya pun terbatas, tidak bisa meliputi seluruh perkara.

Sebab terjadinya perselisihan pendapat di kalangan ulama dalam suatu hukum sendiri di antaranya sebagai berikut:
1. Karena dalil belum sampai kepadanya.
Hal ini tidak hanya terjadi setelah zaman para sahabat. Bahkan di zaman mereka pun pernah terjadi. Seperti tersebut dalam Shahih Al-Bukhari bahwa Amirul Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu 'anhu melakukan safar menuju Syam. Di tengah perjalanan dikabarkan kepadanya bahwa di Syam tengah terjadi wabah tha’un. ‘Umar menghentikan perjalanannya dan bermusyawarah dengan para sahabat. Mereka berselisih pendapat. Ada yang mengusulkan untuk pulang dan ada yang berpendapat terus melanjutkan. Ketika mereka tengah bermusyawarah, datang Abdurrahman bin ‘Auf yang tadinya tidak ikut musyawarah karena ada suatu keperluan. Abdurrahman mengatakan: “Saya memiliki ilmu tentang ini. Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻤِﻌْﺘُﻢْ ﺑِﻪِ ﻓِﻲ ﺃَﺭْﺽٍ ﻓَﻼَ ﺗَﻘْﺪُﻣُﻮﺍ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻭَﻗَﻊَ ﻭَﺃَﻧْﺘُﻢْ ﻓِﻴْﻬَﺎ ﻓَﻼَ ﺗَﺨْﺮُﺟُﻮﺍ ﻓِﺮَﺍﺭًﺍ ﻣِﻨْﻪُ
“Jika kalian mendengar di suatu negeri ada tha’un maka janganlah kalian memasukinya. Dan jika terjadi di tempat yang kalian ada di sana maka janganlah keluar (dari daerah tersebut) untuk lari darinya.” (Lihat Shahih Al-Bukhari no. 5729)
2. Adakalanya hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia belum percaya (penuh) kepada yang membawa beritanya. Dia memandang bahwa hadits itu bertentangan dengan yang lebih kuat darinya. Sehingga dia mengambil dalil yang menurutnya lebih kuat.
3. Hadits telah sampai kepada seorang alim namun dia lupa.
4. Dalil telah sampai kepadanya namun ia memahaminya tidak sesuai dengan yang diinginkan. Misalnya kalimat “ ﺃَﻭْ ﻟَﺎﻣَﺴْﺘُﻢُ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀ ” artinya: Atau kalian menyentuh perempuan, dalam surat Al-Ma`idah ayat 6. Sebagian ulama mengatakan bahwa sekadar seorang lelaki menyentuh perempuan batal wudhunya. Sebagian lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan menyentuh di sini adalah jima’ (bersetubuh) sebagaimana pendapat Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma. Pendapat inilah yang benar, dengan landasan adanya riwayat bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mencium sebagian istrinya lalu berangkat menuju shalat dan tidak berwudhu.
5. Telah sampai dalil kepadanya dan dia sudah memahaminya, namun hukum yang ada padanya telah mansukh (dihapus) dengan dalil lain yang menghapusnya. Sementara dia belum tahu adanya dalil yang menghapusnya.
6. Telah datang kepadanya dalil namun ia meyakini bahwa dalil itu ditentang oleh dalil yang lebih kuat darinya, dari nash Al-Qur`an, hadits, atau ijma’ (kesepakatan ulama).
7. Terkadang sebabnya karena seorang alim mengambil hadits yang dhaif (lemah) atau mengambil suatu pendalilan yang tidak kuat dari suatu dalil.
(Diringkas dari risalah Al-Khilaf Bainal Ulama, Asbabuhu wa Mauqifuna minhu bersama Kitabul Ilmi karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)

Sikap Kita terhadap Perselisihan yang Ada

Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan khilaf yang memiliki bobot dan dianggap adalah perbedaan pendapat ulama yang tepercaya secara keilmuan dan ketaatannya. Bukan mereka yang dianggap atau mengaku ulama namun sebenarnya bukan ulama. Bukan pula khilaf antara ahlul bid’ah seperti Khawarij, Syi’ah, dan lainnya dengan Ahlus Sunnah.

Sikap kita terhadap perselisihan ulama adalah:
1. Kita yakin bahwa khilaf mereka bukan karena menyengaja menentang dalil, namun karena sebab-sebab yang sudah kita sebutkan di atas serta sebab lain yang belum disebutkan.
2. Kita mengikuti pendapat yang lebih kuat dari sisi dalil. Karena Allah tidaklah mewajibkan untuk mengikuti ucapan seseorang kecuali hanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, baik jiwa ini menyukainya atau tidak. Adapun selain Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, tidak ada jaminan terbebas dari kesalahan. Sehingga apa yang sesuai dengan hujjah dari pendapat mereka, itulah yang kita ambil dan ikuti. Sedangkan yang tidak sesuai dengan hujjah maka kita tinggalkan. Sebagaimana wasiat para imam untuk meninggalkan pendapat mereka yang menyelisihi dalil. Di sisi lain, meski kita dapatkan dari mereka adanya pendapat yang salah, ini bukanlah suatu celah untuk menjatuhkan mereka. Usaha untuk sampai kepada kebenaran telah mereka tempuh, namun mereka belum diberi taufiq untuk mendapatkannya. Jika mereka salah dengan pendapatnya –setelah usaha maksimal– maka tidak ada celaan atas mereka. Bahkan mereka mendapatkan satu pahala. Semestinya tertanam dalam jiwa kita sikap hormat dan memuliakan para ulama serta mendoakan rahmat dan ampunan bagi mereka.
(Lihat Kitabul ‘Ilmi karya Asy-Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin rahimahullah)

Bolehkah Mengingkari Pihak Lain dalam Permasalahan yang Sifatnya Khilafiyah?

Ada dua hal yang harus dibedakan yaitu, masalah-masalah khilafiyah dan masalah-masalah ijtihadiyah. Masalah khilafiyah lebih umum sifatnya daripada masalah ijtihadiyah. Karena masalah khilafiyah (perbedaan pendapat) ada yang sifatnya bertentangan dengan dalil dari Al-Qur`an, hadits, atau ijma’. Permasalahan khilafiyah yang seperti ini harus diingkari.

Berbeda dengan permasalahan ijtihadiyah yang memang tidak ada nash atau dalil dalam permasalahan tersebut. Dalam masalah ijtihadiyah (yakni yang muncul karena ijtihad pada masalah yang memang diperkenankan berijtihad padanya), seseorang memiliki keluasan padanya. Manakala dia mengambil suatu pendapat yang ia pandang lebih kuat, maka yang menyelisihinya tidak boleh mencela.

Sebagai misal dalam masalah khilafiyah -untuk membedakan antara keduanya- adalah pendapat sebagian ulama yang membolehkan pernikahan tanpa wali nikah. Pendapat ini salah karena bertentangan dengan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
ﻟَﺎ ﻧِﻜَﺎﺡَ ﺇِﻻَّ ﺑِﻮَﻟِﻲٍّ
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan lainnya. Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menshahihkannya dalam Al-Irwa` no. 1839)
Ini dinamakan masalah khilafiyah.

Adapun contoh masalah ijtihadiyah seperti bersedekap atau meluruskan tangan setelah bangkit dari ruku’, di mana tidak ada nash yang sharih (jelas) yang menunjukkan posisi tangan setelah ruku’. Wallahu a’lam.

Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan:
“Ucapan mereka (sebagian orang) bahwa masalah-masalah khilafiyah tidak boleh diingkari, ini tidaklah benar. Karena pengingkaran ada kalanya tertuju kepada ucapan atau pendapat, fatwa, atau amalan. Adapun yang pertama, jika suatu pendapat menyelisihi sunnah atau ijma’ yang telah menyebar maka wajib untuk diingkari menurut kesepakatan (ulama). Meskipun pengingkaran tidak secara langsung, namun menjelaskan lemahnya pendapat ini dan penyelisihannya terhadap dalil juga merupakan bentuk pengingkaran. Adapun masalah amalan jika ia menyelisihi sunnah atau ijma’ maka wajib diingkari sesuai dengan derajat pengingkaran. Bagaimana seorang ahli fiqih mengatakan bahwa tidak ada pengingkaran pada masalah yang diperselisihkan, padahal ulama dari semua golongan telah menyatakan secara tegas batalnya keputusan hakim jika menyelisihi Al-Qur`an atau As-Sunnah, meskipun keputusan tadi telah mengikuti atau mencocoki pendapat sebagian ulama?! Adapun bila dalam suatu permasalahan tidak ada dalil dari As-Sunnah atau ijma’ dan ada jalan (bagi ulama) untuk berijtihad dalam hal ini, (maka benar) tidak boleh diingkari orang yang mengamalkannya, baik dia seorang mujtahid atau yang mengikutinya.” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/252)

Permasalahan ijtihadiyah jangan sampai menjadi sebab perpecahan di tengah-tengah kaum muslimin, seberapapun besarnya permasalahan. Karena jika demikian, kaum muslimin justru akan bercerai berai, tidak punya kekuatan dan menjadi permainan setan dari kalangan jin dan manusia, serta menjadi umpan yang empuk bagi para musuh Islam. Sebagian orang tidak memerhatikan jenis ikhtilaf yang seperti ini, sehingga mereka menyangka bahwa setiap permasalahan yang diperselisihkan oleh ulama dijadikan dasar untuk memberikan loyalitas karenanya atau memusuhi yang menyelisihinya. Sikap yang seperti ini akan memicu berbagai kerusakan dan kebencian yang hanya Allah yang mengetahuinya. Hendaklah semboyan kita dalam permasalahan seperti ini adalah berlapang dada, yang mana salafus shalih berlapang dada padanya. Adalah Al-Imam Ahmad rahimahullah berpendapat keharusan berwudhu karena keluar darah dari hidung dan karena berbekam. Maka Al-Imam Ahmad ditanya: “Bagaimana jika seorang imam shalat lalu keluar darinya darah dan tidak berwudhu, apakah anda bermakmum di belakangnya?” Beliau menjawab: “Bagaimana saya tidak mau shalat di belakang Al-Imam Malik dan Sa’id bin Musayyib?!” Yakni bahwa Al-Imam Malik dan Sa’id rahimahumallah berpendapat tidak wajibnya berwudhu karena keluar darah.
(Adabul Khilaf, Hujajul Aslaf dan Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah)

Dianjurkan untuk Keluar dari Lingkup Perselisihan

Ulama fiqih menyebutkan suatu kaidah yang penting yang seyogianya dijadikan pegangan yaitu:
ﻳُﺴْﺘَﺤَﺐُّ ﺍﻟْﺨُﺮُﻭْﺝُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨِﻼَﻑِ
“Dianjurkan untuk keluar dari perselisihan.”

Puncak yang dicapai dari kaidah ini adalah kehati-hatian dalam beragama dan menumbuhkan sikap saling mencintai serta menyatukan hati, dengan cara melepaskan diri dari perselisihan pada perkara yang kemudaratannya ringan. Apabila meninggalkan sebagian hal yang disunnahkan akan menyampaikan kepada maslahat yang lebih dominan dan menutup pintu khilaf, maka perkara sunnah ditinggalkan.

Sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membatalkan rencana untuk memugar Ka’bah dan menjadikannya dua pintu. Karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memandang bahwa membiarkan Ka’bah seperti itu lebih besar maslahatnya, di mana banyak orang Quraisy yang baru masuk Islam dikhawatirkan akan punya anggapan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak menghormati kesucian Ka’bah. Dikhawatirkan nantinya mereka bisa murtad dari agama karenanya.

Demikian pula sahabat Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu mengingkari Khalifah ‘Utsman bin ‘Affan radhiallahu 'anhu di saat ia shalat dengan tetap seperti ketika bermukim (tidak qashar) dalam bepergian. Namun Ibnu Mas’ud tetap shalat di belakang ‘Utsman dengan tidak meng-qashar dan mengikuti khalifah. Ibnu Mas’ud radhiallahu 'anhu berkata: “Perselisihan itu jelek.”

Oleh karena itu sejak dahulu ulama telah sepakat tentang sahnya shalat orang yang bermazhab Syafi’i di belakang orang yang bermazhab Hanafi. Demikian pula sebaliknya, sekalipun mereka berselisih tentang batal atau tidaknya wudhu seseorang bila menyentuh perempuan.

Kemudian yang perlu diperhatikan, dalam perkara yang diperselisihkan keharamannya maka jalan keluarnya adalah dengan meninggalkannya. Sedangkan perkara yang diperselisihkan tentang wajibnya maka jalan keluarnya adalah dengan dikerjakan.

Namun tingkatan untuk dianjurkan keluar dari area khilaf berbeda-beda sesuai dengan kuat atau lemahnya dalil. Yang menjadi ukuran adalah kuatnya dalil yang menyelisihi. Jika dalil yang menyelisihi lemah maka tidak dianggap, terlebih jika menjaga kaidah ini (karena dalil yang lemah) bisa menyampaikan kepada meninggalkan sunnah yang telah kuat. Sebagai misal, bila ada yang mengatakan bahwa mengangkat tangan dalam shalat menjadikan batal shalatnya. Pendapat seperti ini tidak perlu dihiraukan karena bertentangan dengan hadits-hadits yang kuat dalam permasalahan ini.

Kemudian juga yang perlu diperhatikan bahwa jangan sampai karena menjaga kaidah ini kita menyelisihi ijma’. Jadi untuk bisa dijalankan kaidah tadi adalah dengan melihat kuatnya dalil orang yang khilafnya teranggap. Adapun bila khilafnya jauh dari dalil syariat atau merupakan suatu pendapat yang ganjil maka tidak dianggap. Orang yang pengambilan dalilnya kuat maka khilafnya dianggap meskipun derajatnya di bawah orang yang diselisihinya.

(Diringkas dari Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah karya Ali Ahmad An-Nadawi dari hal. 336-342)

Adab yang harus Diperhatikan untuk Mengobati Perselisihan yang Terjadi di Antara Ahlus Sunnah

Pertama:
Niatan yang tulus dan ingin mencari kebenaran. Seorang penuntut ilmu seharusnya bersikap obyektif. Ini mudah secara teori namun susah dalam praktik. Karena tidak sedikit orang yang lahiriahnya seolah menyeru kepada kebenaran, padahal sejatinya dia sedang mengajak kepada dirinya atau membela dirinya dan syaikhnya. Mungkin hal ini yang menjadikan sebagian orang ketika membantah dan berdiskusi tidak bisa ilmiah, namun semata ingin menjatuhkan lawannya (yang menyelisihinya) dengan mengangkat masalah pribadi dan menggunakan bahasa celaan. Hendaklah masing-masing menjadikan Al-Qur`an dan hadits sebagai hakim yang memutuskan di antara mereka.
Allah berfirman:
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa`: 59)

Kedua:
Bertanya kepada ulama Ahlus Sunnah. Allah berfirman:
“Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (Al-Anbiya`: 7)

Ketiga:
Menghindarkan perselisihan beserta penyulutnya semampu mungkin.

Hal ini bisa terwujudkan dengan:
1. Berbaik sangka terhadap ulama dan para penuntut ilmu serta mengutamakan ukhuwah Islamiah di atas segala kepentingan.
2. Apa yang dinyatakan/keluar dari mereka atau disandarkan kepada mereka dibawa kepada kemungkinan yang baik.
3. Bila keluar dari mereka sesuatu yang tidak bisa dibawa kepada penafsiran yang baik maka dicarikan alasan yang paling tepat. Hal ini bukan dimaksudkan untuk menyatakan bahwa ulama itu ma’shum atau tidak bisa salah, namun sebagai bentuk berbaik sangka kepada ulama.
4. Koreksi diri serta tidak memberanikan diri menyalahkan ulama kecuali setelah penelitian yang mendalam dan kehati-hatian yang panjang.
5. Membuka dada untuk menerima segala kritikan dari saudaramu dan menjadikannya sebagai acuan untuk ke depan yang lebih baik.
6. Menjauhkan diri dari perkara yang bisa menimbulkan fitnah dan huru-hara.
7. Komitmen dengan adab-adab Islam dalam memilih kata-kata yang bagus serta menjauhkan kata-kata yang tidak pantas.
(Lihat Adabul Khilaf, Dr. Shalih bin Abdullah bin Humaid hal. 44-47 dan An-Nushhul Amin Asy-Syaikh Muqbil)

Contoh Penerapan Adabul Khilaf di Masa Salaf

Di antara sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma dengan Zaid bin Tsabit radhiallahu 'anhu terjadi perselisihan pendapat tentang masalah yang berkaitan dengan hukum waris, di mana ia berpendapat bahwa kedudukan kakek itu seperti ayah, bisa menggugurkan saudara-saudara mayit dari mendapatkan warisan. Sementara sahabat Zaid radhiallahu 'anhu berpendapat bahwa saudara-saudara mayit tetap mendapat warisan bersama adanya kakek. Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma sangat yakin bahwa pendapat Zaid radhiallahu 'anhu salah, sampai-sampai Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkeinginan untuk menantangnya bermubahalah (saling berdoa agar Allah memberi laknat kepada yang salah) di sisi Ka’bah.

Pada suatu saat, Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma melihat Zaid radhiallahu 'anhu mengendarai kendaraannya. Maka dia pun mengambil kendali kendaraan Zaid dan menuntunnya.
Zaid radhiallahu 'anhu berkata: “Lepaskan, wahai anak paman Rasulullah!”
Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma menjawab: “Seperti inilah yang kita diperintahkan untuk melakukan (penghormatan) kepada ulama dan pembesar kita.”
Zaid radhiallahu 'anhu berkata: “Perlihatkan kepadaku tanganmu!” Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma mengeluarkan tangannya. Lalu Zaid radhiallahu 'anhu menciumnya, seraya mengatakan:
“Seperti inilah kita diperintahkan untuk menghormati keluarga Nabi.”

Ketika Zaid radhiallahu 'anhu meninggal dunia, Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Seperti inilah –yakni wafatnya ulama– (caranya) ilmu itu lenyap. Sungguh pada hari ini telah terkubur ilmu yang banyak.”
(Adabul Khilaf hal. 21-22)

Penutup

Telah terang atas kita rambu-rambu dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara ulama Ahlus Sunnah. Yang tak kalah pentingnya bahwa kita hendaknya selalu memohon kepada Allah untuk ditunjuki kepada kebenaran pada perkara yang diperselisihkan. Kita yakin bahwa kita lemah dalam segala sisinya. Hawa nafsu sering kita kedepankan sehingga jalan kebenaran seolah tertutup di hadapan kita. Kita menghormati para pendahulu kita yang telah mendahului kita dalam iman dan amal serta mendoakan kebaikan untuk mereka.
“Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah mendahului dengan keimanan, dan janganlah Engkau jadikan pada hati kami kedengkian kepada orang-orang yang beriman, wahai Rabb kami sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.” (Al-Hasyr: 10)

Wallahu a’lam.

Sumber: Asy Syariah Edisi 044

###

Asy-Syaikh Ahmad Bazmul hafizhahullah

Pertanyaan: Bagaimana sikap kita terhadap perbedaan para ulama dalam masalah fikih?

Jawaban:

Sikap kita berbeda-beda sesuai perbedaan keadaan dan kedudukan ilmiyah kita.
Sikap seorang ulama dan seorang penuntut ilmu yang mapan terhadap perbedaan para ulama dalam masalah fikih adalah berusaha mencari yang benar dan mengerahkan segenap kemampuan untuk sampai kepadanya serta tidak bersikap fanatik kepada siapa pun, bahkan yang wajib adalah mengikuti dalil dan mencari kebenaran.
Sedangkan sikap orang awam dan penuntut ilmu pemula serta siapa saja.yang belum mengetahui kebenaran dengan jelas adalah dengan bertanya kepada orang yang terpercaya ilmunya, agamanya, sikap wara’ (kehati-hatian), dan ketakwaannya.
Di sini ada beberapa peringatan:

Pertama: Masalah-masalah fikih yang padanya terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama tidak terlepas dari beberapa keadaan:
# Bisa jadi padanya terdapat dalil yang jelas dan tegas, maka wajib untuk kembali kepadanya dan tidak menoleh kepada pendapat siapa saja yang menyelisihinya. Karena sikap yang wajib adalah mengikuti Nabi shallallahu alaihi wasallam dan bukan selain beliau. Dalam masalah yang sifatnya seperti ini para ulama mengatakan: “Diingkari siapa saja yang menyelisihi kebenaran padanya.”
# Bisa jadi padanya terdapat dalil-dalil khusus namun bertentangan dengan dalil-dalil yang lain. Jadi dalil-dalil tersebut tarik menarik dan mengandung kemungkinan salah satu dari dua pendapat atau dari beberapa pendapat yang ada. Dalam masalah yang sifatnya seperti ini wajib untuk mencari yang benar dan berusaha sampai kepadanya, bukan mencari pendapat yang sesuai dengan hawa nafsu dan tidak pula bersikap fanatik. Dan masalah-masalah seperti ini padanya tidak boleh keluar dari nukilan yang berasal dari Salaf dalam memahami nash-nash yang ada.
# Bisa jadi dalil-dalil dalam masalah-masalah tersebut bersifat umum, maka dalam masalah-masalah seperti inilah yang dikatakan oleh para ulama: “Tidak ada pengingkaran dalam masalah-masalah yang diperselisihkan.”

Kedua: Sepantasnya untuk merujuk kepada para ulama besar dan bukan kepada selain mereka dalam masalah-masalah berikut:
# Masalah-masalah kontemporer yang muncul dan sifatnya insindentil (tiba-tiba) serta membutuhkan fatwa, dalam hal ini merujuknya kepada para ulama besar.
# Masalah-masalah penting yang berkaitan dengan nasib umat.
# Fatwa umum yang berkaitan dengan umat secara umum.
# Masalah-masalah yang pemerintah mempercayakannya kepada para ulama.
Tidak memperhatikan masalah-masalah ini akan menjerumuskan umat ke jurang perselisihan dan permusuhan.

Ketiga: Mentarjih (menguatkan) pendapat seorang ulama atas pendapat ulama yang lain bukan artinya mencela ulama tersebut, karena para ulama yang sampai pada tingkatan mujtahid jika benar maka dia mendapatkan dua pahala, dan jika keliru maka dia mendapatkan satu pahala.
Namun perlu diperhatikan bahwa seorang ulama yang mendapatkan satu pahala jika dia keliru adalah ulama yang berijtihad di samping memiliki kemampuan berijtihad. Adapun seseorang yang bukan ulama dan tidak pantas untuk berijtihad, maka orang semacam ini jika dia berijtihad dan keliru ijtihadnya, tidak bisa dikatakan bahwa dia mendapatkan satu pahala, bahkan dalam hal ini para ulama mengatakan, “Dia berdosa walaupun sesuai dengan pendapat yang benar, karena dia telah lancang berbicara dalam agama Allah tanpa ilmu.”
ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﺃَﻋْﻠَﻢُ ﻭَﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻋَﻠَﻰ ﻧَﺒِﻴِّﻨَﺎ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺁﻟِﻪِ ﻭَﺻَﺤْﺒِﻪِ ﺃَﺟْﻤَﻌِﻴْﻦَ
Sumber artikel:
albaidha .net

Alih bahasa: Abu Almass

###

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Allah Ta’ala berfirman:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيماً فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah jalan ini dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan yang lain yang akan menyebabkan kalian terpecah-pecah dari jalan-Nya, itulah yang Dia wasiatkan kepada kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al-An’am: 153)

Juga firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Ar-Rasul serta ulil amri kalian, lalu jika kalian berselisih dalam sebuah hal, kembalikanlah kepada Allah dan Ar-Rasul jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kiamat, hal itu lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa': 59)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Karena sesungguhnya barangsiapa yang berumur panjang di antara kalian maka dia akan melihat perselisihan yang banyak, maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan petunjukku dan petunjuk para khalifah yang mendapat hidayah dan lurus dan gigitlah petunjukku dengan gigi geraham.”
[HR. Abu Dawud (4607), At-Tirmidzy (2676) dan Ibnu Majah (43, 44) dan Ahmad (4/126) dengan lafazh yang mutaqarib dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullah di dalam Ash-Shahih Al-Musnad Mimma Laisa fi Ash-Shahihain (921) dan di dalam Al-Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa fi Ash-Shahihain (5/24-25) dan dicantumkan Asy-Syaikh Al-Albany rahimahullah di dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah (937)]

Demikianlah Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita ketika terjadi perselisihan di antara para ulama dalam sebuah masalah, yaitu hendaknya kita mengambil pendapat mereka yang sesuai dengan dalil dari Al-Kitab dan As-Sunnah dan kita tinggalkan yang menyelisihi dalil, karena ini merupakan tanda iman kepada Allah dan Hari Kiamat dan akibatnya yang terbaik buat kita. Dan jika kita mengambil pendapat yang menyelisihi dalil maka akan menyebabkan kita tercerai berai dari jalan Allah dan akan menjatuhkan kita ke jalan kesesatan. Hal ini sebagaimana yang telah Allah kabarkan tentang Yahudi dan Nashara bahwasanya mereka telah menjadikan para ulama dan rahib mereka sebagai rabb selain Allah. Dan ketika Adi bin Hatim radhiyallahu anhu salah dalam memahami apa yang dimaksud dengan menjadikan mereka sebagai rabb selain Allah, dijelaskan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwasanya sikap mereka menjadikannya sebagai rabb maknanya adalah dengan menaati mereka dalam menghalalkan apa-apa yang diharamkan oleh Allah dan dalam mengharamkan apa-apa yang dihalalkan oleh Allah.

Banyak manusia pada hari ini jika engkau melihatnya melakukan hal yang menyelisihi syariat dan engkau melarangnya, dia berdalih kepadamu: “Masalah ini padanya terdapat khilaf.” Jadi, dia menjadikan khilaf sebagai pembenaran baginya dalam melakukan hal yang dia yakini walaupun menyelisihi dalil. Lalu apa bedanya antara dia dengan keadaan Ahli Kitab yang telah menjadikan para ulama dan rahib mereka sebagai rabb selain Allah.

Maka yang wajib atas mereka adalah hendaknya mereka bertakwa kepada Allah dalam urusan mereka dan hendaklah mereka mengetahui bahwa adanya perbedaan dalam sebuah masalah tidaklah membolehkan mereka untuk menyelisihi dalil. Sampai-sampai banyak orang-orang bodoh yang berusaha mencari-cari pendapat-pendapat para ulama yang tersimpan di komputer yang dinukil dari kitab-kitab yang berisi perselisihan, lalu dia berfatwa dengan mengambil pendapat-pendapat tersebut yang mencocoki hawa nafsunya tanpa menyaring mana yang sesuai dengan dalil shahih dan mana yang tidak memiliki dalil. Bisa jadi karena kebodohan atau karena hawa nafsu. Dan orang yang bodoh tidak boleh baginya untuk berbicara dalam syariat Allah hanya berdasarkan apa yang dia baca dan yang dia lihat di data yang tersimpan dalam keadaan dia tidak mengetahui sejauh mana kebenarannya dan apa dasarnya dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan Allah tidak memerintahkan kita untuk hanya merujuk kepada sebuah kitab fikih tanpa memahaminya. Bahkan Allah memerintahkan kita agar bertanya kepada para ulama dengan firman-Nya:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada para ulama jika kalian tidak mengetahui.” (QS. An-Nahl: 43)

Orang yang suka mengikuti hawa nafsunya tidak boleh untuk menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan selain Allah dengan cara mengambil pendapat yang sesuai hawa nafsunya dan meninggalkan yang tidak dia sukai.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنْ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنْ اللَّهِ
“Dan siapakah yang lebih sesat dari orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah.” (QS. Al-Qashash: 50)
Juga firman-Nya:
أَرَأَيْتَ مَنْ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلاً
“Bagaimana pendapatmu terhadap orang yang menjadikan sesembahannya adalah hawa nafsunya, apakah engkau bisa menjadi pelindungnya.” (QS. Al-Furqan: 43)

Dan juga tidak boleh bagi siapa saja yang memiliki ilmu untuk mencari-carikan pendapat untuk manusia yang sesuai dengan hawa nafsu mereka sehingga dia akan menyesatkan mereka dari jalan Allah dengan alasan memberikan kemudahan. Kemudahan itu hanyalah dengan cara mengikuti dalil. Jangan sampai dia termasuk orang-orang yang Allah jelaskan sifat mereka:
لِيَحْمِلُوا أَوْزَارَهُمْ كَامِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَمِنْ أَوْزَارِ الَّذِينَ يُضِلُّونَهُمْ بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Agar mereka memikul dosa-dosa mereka secara sempurna pada Hari Kiamat nanti serta dosa-dosa orang-orang yang mereka sesatkan tanpa ilmu.” (QS. An-Nahl: 25)

Semoga Allah memberikan taufik kepada semua pihak agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan bisa beramal saleh.
وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه
Ditulis oleh: Shalih bin Fauzan Al-Fauzan

Sumber :
alfawzan .ws/node/13194
sahab .net/forums/index .php?showtopic=120826

Forum Salafy Indonesia

Tentang WAKTU UNTUK SHALAT DHUHA

Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari

Shalat dhuha dikerjakan pada siang hari. Waktunya yang utama/afdhal disebutkan dalam hadits di bawah ini:

Zaid bin Arqam Radhiyallaahu ‘anhu melihat orang-orang sedang shalat dhuha, maka ia berkata: Ketahuilah, orang-orang itu sungguh mengetahui bahwa shalat (dhuha) di selain waktu ini lebih utama. Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﺻَﻼَﺓُ ﺍﻟْﺄَﻭَّﺍﺑِﻴْﻦَ ﺣِﻴْﻦَ ﺗَﺮْﻣَﺾُ ﺍﻟْﻔِﺼَﺎﻝُ
“Shalatnya awwabin adalah tatkala anak unta merasakan kakinya kepanasan karena terbakar panasnya pasir.” (HR. Muslim no. 1743)

Waktu yang demikian itu, kata Al-Imam Ash-Shan’ani Rahimahullah adalah ketika matahari telah tinggi dan panasnya terasa. (Subulus Salam, 3/50)

Al-Imam An Nawawi Rahimahullah berkata, “Ar-Ramdha’ adalah pasir yang panasnya bertambah sangat karena terbakar matahari. Shalat awwabin adalah saat kaki-kaki anak unta yang masih kecil terbakar karena menapak/menginjak pasir yang sangat panas. Awwab adalah orang yang taat. Ada yang mengatakan awwab adalah orang yang kembali dengan melakukan ketaatan. Dalam hadits ini ada keutamaan shalat di waktu tersebut dan ia merupakan waktu yang paling utama untuk mengerjakan shalat dhuha, walaupun shalat dhuha boleh dikerjakan dari mulai terbitnya matahari sampai tergelincirnya.” (Al-Minhaj, 6/272)

Ucapan beliau Rahimahullah bahwa waktu shalat dhuha yaitu mulai terbitnya matahari sampai zawal (tergelincirnya matahari) tentunya tidak persis saat terbitnya matahari, karena adanya larangan yang datang dalam hadits lain untuk mengerjakan shalat di waktu tersebut seperti hadits berikut ini:

Dari Ibnu Umar Radhiyallaahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﻭَﻻَ ﺗَﺤَﺮَّﻭْﺍ ﺑِﺼَﻼَﺗِﻜُﻢ ﻃُﻠُﻮْﻉَ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲِ ﻭَﻻَ ﻏُﺮُﻭْﺑَﻬَﺎ، ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﺗَﻄْﻠُﻊُ ﺑِﻘَﺮْﻧَﻲْ ﺷَﻴْﻄَﺎﻥٍ
“Janganlah kalian memilih untuk mengerjakan shalat kalian ketika terbit matahari dan tidak pula ketika tenggelam matahari, karena matahari terbit di antara dua tanduk setan.” (HR. Al-Bukhari no. 582, 3272 dan Muslim no. 1922)

Uqbah bin Amir Radhiyallaahu ‘anhu.berkata:
ﺛَﻼَﺙُ ﺳَﺎﻋَﺎﺕٍ ﻛَﺎﻥَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﻳَﻨْﻬَﺎﻧَﺎ ﺃَﻥْ ﻧُﺼَﻠِّﻲَ ﻓِﻴْﻬِﻦَّ، ﺃَﻭْ ﺃَﻥْ ﻧَﻘْﺒُﺮَ ﻓِﻴْﻬِﻦَّ ﻣَﻮْﺗَﺎﻧَﺎ: ﺣِﻴْﻦَ ﺗَﻄْﻠُﻊُ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ ﺑَﺎﺯِﻏَﺔً ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺮْﺗَﻔِﻊَ
“Ada tiga waktu di mana Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi….” (HR. Muslim no. 1926)

Demikian pula hadits ‘Amr bin ‘Abasah Radhiyallaahu ‘anhu yang menyebutkan sabda Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam kepadanya:
ﺻَﻞِّ ﺻَﻼَﺓَ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢِ، ﺛُﻢَّ ﺃَﻗْﺼِﺮْ ﻋَﻦِ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓِ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻄْﻠُﻊَ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺮْﺗَﻔِﻊَ، ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﺗَﻄْﻠُﻊُ ﺣِﻴْﻦَ ﺗَﻄْﻠُﻊُ ﺑَﻴْﻦَ ﻗَﺮْﻧَﻲْ ﺷَﻴْﻄَﺎﻥٍ، ﻭَﺣِﻴْﻨَﺌِﺬٍ ﻳَﺴْﺠُﺪُ ﻟَﻬَﺎ ﺍﻟْﻜُﻔَّﺎﺭُ
“Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari….” (HR. Muslim no. 1927)

Adapun hadits Abud Darda’ dan Abu Dzar Radhiyallaahu ‘anhuma yang mengabarkan dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam, dari Allah Subhaanahu wa Ta’ala, bahwasanya Dia berfirman:
ﺍﺑْﻦَ ﺁﺩَﻡ، ﺍِﺭْﻛَﻊْ ﻟِﻲ ﺃَﺭْﺑَﻊَ ﺭَﻛَﻌَﺎﺕٍ ﻣِﻦْ ﺃَﻭَّﻝِ ﺍﻟﻨَّﻬَﺎﺭِ، ﺃَﻛْﻔِﻚَ ﺁﺧِﺮَﻩُ
“Wahai anak Adam, ruku’lah (shalatlah) untuk-Ku empat rakaat dari awal siang niscaya Aku akan mencukupimu pada akhir siangmu.” (HR. At-Tirmidzi no. 475, ia berkata, “Hadits ini hasan gharib.” Dishahihkan Al-Imam Al-Albani Rahimahullah dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Demikian juga dalam riwayat Ahmad (4/153) dari ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani Radhiyallaahu ‘anhu disebutkan dengan lafadz:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻳَﻘُﻮْﻝُ: ﻳَﺎ ﺍﺑْﻦَ ﺁﺩَﻡَ، ﺍﻛْﻔِﻨِﻲ ﺃَﻭَّﻝَ ﺍﻟﻨَّﻬَﺎﺭِ ﺑِﺄَﺭْﺑَﻊِ ﺭَﻛَﻌَﺎﺕٍِ، ﺃَﻛْﻔِﻚَ ﺑِﻬِﻦَّ ﺁﺧِﺮَ ﻳَﻮْﻣِﻚَ
“Sesungguhnya Allah berfirman: ‘Wahai anak Adam, cukupi Aku pada awal siang dengan empat rakaat niscaya Aku akan mencukupimu dengannya pada akhir harimu’.”

Maka yang dimaksud awal siang dalam dua hadits di atas bukan persis setelah shalat subuh, karena adanya hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:
ﻻَ ﺻَﻼَﺓَ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟﺼُّﺒْﺢِ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﺮْﺗَﻔِﻊَ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ ﻭَﻻَ ﺻَﻼَﺓَ ﺑَﻌْﺪَ ﺍﻟْﻌَﺼْﺮِ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻐِﻴْﺐَ ﺍﻟﺸَّﻤْﺲُ
“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)

Al-Imam Asy-Syaukani Rahimahullah menerangkan, “Ulama berbeda pendapat tentang waktu masuknya shalat dhuha. Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah dalam Ar-Raudhah meriwayatkan dari para pengikut mazhab Asy-Syafi’i bahwa waktu dhuha mulai masuk dengan terbitnya matahari, akan tetapi disenangi mengakhirkannya sampai matahari tinggi. Sebagian dari mereka berpendapat, waktunya mulai masuk saat matahari tinggi. Pendapat ini yang ditetapkan oleh Ar-Rafi’i dan Ibnu Ar-Rif’ah.” (Nailul Authar, 2/329)

Dalam Zadil Mustaqni’ disebutkan, “Waktu dhuha mulai dari selesainya waktu larangan shalat sampai sesaat sebelum zawal.”

Kata pensyarahnya, “Yakni dari naiknya matahari seukuran tombak sampai masuknya waktu larangan shalat dengan matahari berada di tengah langit. Waktunya yang paling utama adalah apabila panas matahari terasa menyengat.” (Ar-Raudhul Murbi’, 1/176)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah menyatakan bahwa ukuran satu tombak itu menurut penglihatan mata orang yang melihat dan ukurannya sekitar satu meter [1]. Kemudian beliau menyimpulkan bahwa waktu dhuha dimulai dari berakhirnya waktu larangan shalat di awal siang sampai datangnya waktu larangan di tengah siang (tengah hari). Mengerjakannya di akhir waktu lebih utama karena adanya hadits Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang shalat awwabin. (Asy-Syarhul Mumti’, 4/88)

Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam Mengerjakan Shalat Dhuha setelah Siang Meninggi
Dalam peristiwa Fathu Makkah, Ummu Hani radhiyallahu 'anha mengabarkan:
ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺃَﺗَﻰ ﺑَﻌْﺪَ ﻣَﺎ ﺍﺭْﺗَﻔَﻊَ ﺍﻟﻨَّﻬَﺎﺭُ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻔَﺘْﺢِ، ﻓَﺄُﺗِﻲَ ﺑِﺜَﻮْﺏٍ ﻓَﺴُﺘِﺮَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓَﺎﻏْﺘَﺴَﻞَ ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻡَ، ﻓَﺮَﻛَﻊَ ﺛَﻤَﺎﻧِﻲ ﺭَﻛَﻌَﺎﺕٍ
“Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam datang pada hari Fathu Makkah setelah siang meninggi, lalu didatangkan kain untuk menutupi beliau yang hendak mandi. (Seselesainya dari mandi) beliau bangkit untuk mengerjakan shalat sebanyak delapan rakaat….” (HR. Muslim no. 1665)

Keterangan:
[1] Al-Imam Al-Albani rahimahullah ketika ditanya tentang kadar rumh (satu tombak), beliau mengatakan dua meter bila dikiaskan dengan ukuran yang ada pada hari ini. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Muyassarah, 2/167)

Sumber: Asy syariah online

###

Rentang waktu bisa dilakukannya sholat Dhuha sejak 15 menit setelah terbit matahari hingga 10 menit sebelum masuk waktu Dzhuhur. (Fataawaa Nuurun alad Darb)

Namun, yang terbaik waktunya adalah saat anak unta mulai kepanasan, yaitu pertengahan waktu antara terbit matahari hingga masuk waktu Dzhuhur. (al-Majmu’ syarhul Muhadzzab lin Nawawiy)

Contoh, jika seandainya terbit matahari adalah jam 6 dan Dzhuhur adalah jam 12, maka waktu terbaik melakukan sholat Dhuha adalah sejak jam 9 pagi.

Di dalam hadis disebutkan:
صَلَاةُ الْأَوَّابِينَ حِينَ تَرْمَضُ الْفِصَالُ
Sholat awwabin (orang yang kembali kepada Allah) adalah pada saat anak unta mulai kepanasan. (H.R Muslim dari Zaid bin Arqom)

Tentang BACAAN PADA SHALAT WITIR

Ubay bin Ka’ab berkata, “Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membaca pada witir dengan Sabbihisma Rabbikal A’la, Qul Ya Ayyuhal Kafirun, dan Qul Huwallahu Ahad. Apabila beliau salam, belaiu berkata: Subhanal Malikil Quddus tiga kali.” (HR. Ahmad, dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/160-161)

‘Abdurrahman bin Abi Abza berkata, “Sesungguhnya beliau membaca pada witir dengan Sabbihisma Rabbikal A’la, Qul Ya Ayyuhal Kafirun, dan Qul Huwallahu Ahad. Apabila beliau salam, belaiu berkata: Subhanal Malikil Quddus, Subhanal Malikil Quddus, Subhanal Malikil Quddus, dan beliau mengangkat suaranya dengan itu.” (HR. Ahmad, dishohihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ Ash-Shohih 2/161)

Tentang PANJANG BACAAN PADA SHALAT MALAM DAN SHALAT TARAWIH

Berkata Syaikh Al-Albany dalam Qiyamu Ramadhan hal. 23-25:

Adapun bacaan dalam sholat lail pada Qiyam Ramadhan dan selainnya, maka Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam tidak menetapkan suatu batasan tertentu yang tidak boleh dilampaui dengan bentuk tambahan maupun pengurangan. Kadang beliau membaca pada setiap raka’at sekadar “Ya Ayyuhal Muzzammil” dan ia (sejumlah) dua puluh ayat dan kadang sekadar lima puluh ayat. Dan beliau bersabda:
“Siapa yang sholat dalam semalam dengan seratus ayat maka tidaklah ia terhitung dalam orang-orang yang lalai.”
“… dengan dua ratus ayat maka sungguh ia terhitung dari orang-orang yang qonit (khusyu’, panjang sholatnya) lagi ikhlash.”

Dan beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam pada suatu malam dan beliau dalam keadaan sakit membaca tujuh (surah) yang panjang, yaitu surah Al-Baqarah, Ali ‘Imran, An-Nisa`, Al- Ma`idah, Al-An’am, Al-A’raf dan At-Taubah.

Dan dalam kisah sholat Hudzaifah bin Al-Yaman di belakang Nabi ‘Alaihish Sholatu was Salam bahwa beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam membaca dalam satu raka’at Al-Baqarah kemudian An-Nisa’ kemudian Ali ‘Imran dan beliau membacanya lambat lagi pelan.

Dan telah tsabit (tetap) dengan sanad yang paling shohih bahwa ‘Umar radhiyallahu ‘anhu tatkala memerintah Ubay bin Ka’ab sholat mengimami manusia dengan sebelas raka’at dalam Ramadhan, maka Ubay radhiyallahu ‘anhu membaca dua ratus ayat sampai orang-orang yang di belakangnya bersandar di atas tongkat karena lamanya berdiri dan tidaklah mereka bubar kecuali pada awal-awal fajar.

Dan juga telah shohih dari ‘Umar bahwa beliau memanggil para pembaca Al-Qur`an di bulan Ramadhan kemudian beliau memerintah orang yang paling cepat bacaannya untuk membaca 30 ayat, orang yang pertengahan (bacaannya) 25 ayat dan orang yang lambat 20 ayat.

Dibangun di atas hal tersebut, maka kalau seseorang sholat sendirian dipersilakan memperpanjang sholatnya sesuai dengan kehendaknya, dan demikian pula bila ada yang sholat bersamanya dari kalangan orang yang sepakat dengannya (dalam memperpanjang), dan semakin panjang maka itu lebih utama. Akan tetapi jangan ia berlebihan dalam memperpanjang sampai menghidupkan seluruh malam kecuali kadang-kadang, dalam rangka mengikuti Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang bersabda:
“Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad (shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam).”

Dan apabila ia sholat sebagai imam maka hendaknya ia memperpanjang dengan sesuatu yang tidak memberatkan orang-orang di belakangnya, berdasarkan sabda beliau shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam:
“Apabila salah seorang dari kalian Qiyam mengimami manusia maka hendaknya ia memperingan sholatnya karena pada mereka ada anak kecil, orang besar, pada mereka orang lemah, orang sakit dan orang yang mempunyai keperluaan. Dan apabila ia Qiyam sendiri maka hendaknya ia memperpanjang sholatnya sesuai dengan kehendaknya."

Tentang PUASA DAUD DAN SHALAT DAUD ALAIHISSALAM

Dari Abdullah bin Amr radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺃَﺣَﺐَّ ﺍﻟﺼِّﻴَﺎﻡِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻِﻴَﺎﻡُ ﺩَﺍﻭُﺩَ ﻭَﺃَﺣَﺐَّ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓِ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَﺎﺓُ ﺩَﺍﻭُﺩَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡ ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻨَﺎﻡُ ﻧِﺼْﻒَ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ ﻭَﻳَﻘُﻮﻡُ ﺛُﻠُﺜَﻪُ ﻭَﻳَﻨَﺎﻡُ ﺳُﺪُﺳَﻪُ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﻳَﺼُﻮﻡُ ﻳَﻮْﻣًﺎ ﻭَﻳُﻔْﻄِﺮُ ﻳَﻮْﻣًﺎ
“Sesungguhnya puasa yang paling dicintai Allah adalah puasa Daud, sedangkan shalat yang paling disukai Allah adalah juga shalat Daud alaihissalam. Beliau tidur hingga pertengahan malam, kemudian bangun (untuk shalat lail) selama sepertiga malam, lalu kembali tidur pada seperenamnya (sisa malam). Dan beliau berpuasa sehari dan berbuka sehari.” (HR. Al-Bukhari no. 1131)