Cari Blog Ini

Rabu, 14 September 2016

Tentang HARI ARAFAH

Bagi jama’ah haji, hari Arafah adalah saat yang sangat istimewa. Karena pada hari itulah puncak pelaksanaan manasik haji ditunaikan, yaitu wukuf di padang Arafah. Pada saat itulah Allah subhaanahu wa ta’aalaa memuji dan membanggakan mereka di hadapan para malaikat-Nya. Dan pada hari itulah, banyak hamba-hamba Allah subhaanahu wa ta’aalaa yang dibebaskan dari api neraka. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنْ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمْ الْمَلَائِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلَاءِ

“Tidak ada hari yang padanya Allah bebaskan hamba dari api neraka yang lebih banyak daripada hari Arafah, dan sesungguhnya Allah akan mendekat dan kemudian membanggakan mereka di hadapan para malaikat dan berfirman: apa yang mereka inginkan?” (HR. Muslim)

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/09/11/hari-arafah-hari-pembebasan-api-neraka/

Tentang PUASA ARAFAH

Puasa Arafah bisa menghapus dosa yang dilakukan hamba selama satu tahun yang lalu dan satu tahun yang akan datang. Sebagaimana sabda Rasulullah, ketika beliau ditanya tentang puasa Arafah, beliau menjawab,

يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

“(Puasa Arafah) bisa menggugurkan dosa selama setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim)

An-Nawawi rahimahullah menjelaskan:

Yang dimaksud dosa di sini adalah dosa-dosa kecil. Kalau tidak memiliki dosa kecil, diharapkan puasa Arafah bisa meringankan beban  akibat dosa besarnya. Jika tidak, maka diharapkan akan mengangkat derajat orang yang berpuasa ‘Arafah tersebut. (Syarh Shahih Muslim)

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/09/10/puasa-arafah-penghapus-dosa-setahun-lalu-dan-setahun-kemudian/

Berkurban Atas Nama Orang Yang Telah Meninggal

Disunnahkan kurban itu dari orang yang hidup bukan dari orang yang mati. Oleh karena itulah itu, Nabi shallallahu alaihi wasallam tidak pernah berkurban atas nama seorang pun yang telah mati, tidak atas nama istrinya, Khadijah yang paling beliau cintai, tidak pula atas nama Hamzah, paman yang paling beliau cintai, atau atas nama putra-putri beliau yang telah wafat semasa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, padahal mereka adalah bagian dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya berkurban atas nama beliau sendiri dan keluarganya.

Barangsiapa yang berkurban dengan memasukkan orang yang meninggal itu pada keumuman atas nama keluarga maka hal itu masih bisa ditolerir, karena berkurban atas nama si mayit di sini bersifat mengikut saja bukan berdiri sendiri. Tidaklah disyariatkan berkurban atas nama orang yang telah mati secara tersendiri, karena tidak teriwayatkan secara shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Asy-Syarhul Mumti’, 3/423-424)

Namun ada dua keadaan di mana berkurban atas nama si mayit diperbolehkan, yaitu:

1. Karena nadzar. Sang mayit pernah bernadzar untuk menyembelih hewan kurban sebelum wafatnya namun belum terlaksana sampai dia meninggal. Maka ahli warisnya menunaikan nadzarnya, karena termasuk nadzar ketaatan.

2. Karena wasiat. Sang mayit pernah berwasiat sebelum wafatnya, maka wasiat tersebut ditunaikan dengan syarat tidak melebihi dari 1/3 harta warisnya. (Lihat Syarah Bulughul Maram 6/87-88)

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/09/10/berkurban-nama-orang-telah-meninggal/

SYARAT-SYARAT HEWAN KURBAN

Syarat-syarat hewan kurban ada empat, yaitu;

Syarat pertama:

hewan kurban harus dari jenis hewan yang telah ditetapkan dalam syari’at untuk dijadikan kurban, yaitu unta, sapi, dan kambing. Oleh karenanya, jika berkurban berupa kuda, maka kurban tersebut tidak sah. Hal ini karena kuda bukan dari jenis yang ditetapkan syari’at sebagai hewan kurban, walaupun bisa jadi harganya lebih mahal dari unta, sapi, atau kambing. Dalilnya adalah sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan yang tidak ada padanya perintah dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”

Syarat kedua:

hewan kurban telah mencapai batasan umur minimal yang ditetapkan syari’at. Jika kambing jenis domba, maka telah mencapai usia setengah tahun. Jika kambing kacang/jawa (ma’iz) telah genap berumur setahun, sedangkan sapi telah genap berumur dua tahun, dan unta telah genap berumur lima tahun. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Janganlah kalian menyembelih hewan kurban, kecuali bila hewan tersebut telah mencapai usia musinnah (unta berumur lima tahun, sapi berumur dua tahun, kambing berumur satu tahun). Namun jika kalian kesulitan, maka silahkan menyembelih domba yang telah berumur enam bulan (jadza’ah).”

Syarat ketiga: hewan kurban tersebut selamat dari cacat yang membuatnya tidak layak untuk dikurbankan. Hal ini telah disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa Sallam: “Empat bentuk cacat yang tidak boleh ada pada hewan kurban: buta sebelah matanya yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas pincangnya dan kurus yang tidak bersumsum.” (HR. Abu Dawud)

Keempat cacat tersebut menghalangi keabsahan hewan kurban. Bila seseorang menyembelih hewan kurban berupa kambing yang matanya buta sebelah dan jelas butanya, maka kurbannya tidak diterima. Bila ia menyembelih hewan kurban berupa kambing yang sakit yang jelas sakitnya, maka kurbannya tidak diterima. Bila ia menyembelih hewan kurban berupa kambing yang pincang yang jelas pincangnya, maka kurbannya tidak diterima. Bila ia menyembelih hewan kurban berupa kambing yang kurus sekali (yang tidak bersumsum), maka kurbannya tidak diterima. Begitu pula yang lebih parah dari cacat yang telah disebutkan di atas, seperti buta kedua matanya, putus kakinya, tertimpa sesuatu yang menjadi penyebab kematiannya seperti induk yang kesulitan dalam melahirkan anak –kecuali bila melahirkan dengan selamat–. Begitu pula dengan yang tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk/tertusuk benda tajam, atau digigit hewan buas. Bila seseorang berkurban dengan hewan kurban yang semisal ini, maka kurbannya tidak diterima. Karena yang demikian itu lebih tidak pantas/tidak layak untuk dipersembahkan sebagai kurban. Adapun cacat-cacat lain yang lebih ringan dari yang disebutkan di atas, seperti telinganya terpotong, tanduknya patah, ekornya putus, maka berkurban dengan hewan kurban seperti ini masih diterima. Meskipun padanya terdapat sedikit cela/cacat. Tidak ada perbedaan antara yang terpotong, patah, atau putus sedikit ataupun banyak. Sampai-sampai seandainya tanduk hewan kurban tersebut patah keseluruhannya pun masih diterima/sah bila berkurban dengannya. Begitu pula dengan telinga atau ekornya. Namun, semakin sempurna hewan kurban tersebut, semakin afdhal (utama) untuk dipersembahkan sebagai hewan kurban.

Syarat yang keempat:

Penyembelihan hewan kurban tersebut harus dilaksanakan di waktu yang telah ditentukan Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam, yakni dari setelah shalat Idul Adha sampai akhir hari tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah–red). Batas waktunya selama 4 (empat) hari, yaitu mulai setelah shalat Idul Adha dan tiga hari setelahnya. Barangsiapa menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat Id, maka kurbannya tidak sah, walaupun ia seorang yang belum mengerti tentang waktu sahnya penyembelihan kurban. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam saat beliau berkhutbah: “Barangsiapa menyembelih hewan kurban sebelum shalat Id, maka kurbannya tidak sah.” Kemudian berdirilah seorang pria yang bernama Abu Burdah bin Niyar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berkurban/menyembelih hewan kurbanku sebelum shalat Id,” maka beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab: “Kambingmu itu kambing sembelihan biasa,” beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda: “Barangsiapa menyembelih hewan kurban sebelum shalat, maka kurbannya tidak sah,” dan beliau Shalallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda: “maka hendaklah ia menyembelih yang lain sebagai gantinya (di waktu yang sah untuk menyembelih–red).” Barangsiapa menyembelih hewan kurban setelah berakhirnya hari tasyriq, maka kurbannya tidak sah. Hal itu karena ia menyembelih diluar waktunya.

Diringkas dari Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin dalam Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh

The post Syarat-Syarat Hewan Kurban appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/09/10/syarat-syarat-hewan-kurban/

Tentang BACAAN KETIKA THAWAF

Seorang dari Mesir bertanya tentang sebatas mana tingkat keshahihan (keabsahan) doa ketika thawaf saat haji atau umrah dengan lafazh:

أخرجني من الظلمات إلى النور

“Keluarkan diriku dari kegelapan menuju cahaya.”

Dan apakah ketika thawaf maupun sai dalam ibadah haji ada doa tertentu sebagaimana dalam buku (panduan) yang dibaca oleh jamaah haji atau umrah, ataukah doa dengan lafazh yang shahih dari ayat maupun hadits -tanpa pembatasan doa tertentu- itu lebih utama? Berikan fatwa kepadaku semoga Anda mendapatkan balasan pahalanya.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjawab:

Disyariatkan ketika doa, dzikir, thawaf, dan sai dengan lafazh yang Allah mudahkan baginya berupa dzikir-dzikir yang disyariatkan maupun doa-doa yang baik yang tidak ada larangan padanya. Doa dan dzikir tidak ada batasan lafazh tertentu, kecuali ketika di akhir setiap putaran thawaf disukai (disunnahkan) membaca doa yang sudah dikenal yaitu (sebagaimana dalam ayat):

وِمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (Al-Baqarah: 201)

Doa ini dibaca ketika sedang berjalan di antara dua rukun: rukun Yamani dan rukun Hajar Aswad, hal ini berdasarkan tuntunan yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Sebagaimana disyariatkan juga bertakbir ketika memegang dan mencium Hajar Aswad, atau melambaikan tangan kepadanya tatkala tidak mampu memegangnya. Demikian pula disyariatkan bagi seorang yang thawaf ketika memegang rukun Yamani dengan membaca:

بسم الله والله أكبر

Disyariatkan ketika berada di Shafa dan Marwah membaca seluruh dzikir dan doa yang dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sambil mengangkat kedua tangan dan menghadap Ka’bah serta membaca Firman Allah ta’ala ketika akan memulai sai:

“Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi’ar Allah.” (Al-Baqarah: 158)

Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketika memulai sai, beliau membaca:

إن الصفا والمروة من شعائر الله” نبدأ بما بدأ الله به

“Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Kami memulai dengan sesuatu yang Allah memulai dengannya.”

Wallahu waliyyut Taufiq.

Terjemahan dari http://www.binbaz.org.sa/mat/740

Kesimpulannya bahwa tidak ada lafazh doa atau dzikir tertentu dan khusus yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika thawaf maupun sai. Kecuali pada beberapa keadaan dan tempat yang memang ada tuntunannya, seperti ketika sedang berada di antara rukun Yamani dan Hajar Aswad, saat memegang, mencium, atau melambaikan tangan kepada Hajar Aswad, saat memulai sai maupun ketika sedang berada di Shafa dan Marwah. Wallahu a’lam.

The post Bacaan Ketika Thawaf appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/09/07/doa-ketika-thawaf/