Cari Blog Ini

Senin, 12 September 2016

Tentang SIDIK JARI, GARIS TANGAN, dan GOLONGAN DARAH

HUKUM MEMPELAJARI FINGER PRINT

PERTANYAAN
Bismillah, afwan ustadz mau bertanya
Apa hukumnya mempelajari ''Finger Print" ?
Mempelajari sifat sifat seseorang dari sidik jari, yang "katanya" sidik jari adl dari penelitian yg ilmiyyah, seperti yg dipelajari di psikologi dan kepolisian..
Mohon pencerahannya

JAWABAN
Penggunaan fingerprint dalam kepolisian utk penyidikan dan pembuktian, insyaAllah tidak mengapa karena tiap orang memiliki fingerprint yg berbeda. Terbukti dalam banyak kasus, penyelidikan dgn menggunakan fingerprint bisa dgn izin Allah mengungkap tindakan kriminal.

Fingerprint utk pengamanan thd akses komputer, sebagai pengganti pengetikan password, cukup meletakkan fingerprint. Mempelajari cara membuat aplikasinya, atau konsep pattern recognition dalam ilmu komputer, adalah suatu hal yg mubah.

Adapun analisis fingerprint secara psikologi dgn memperkirakan bakat dan potensi anak, ini dikhawatirkan masuk dalam bentuk tathoyyur yg merupakan kesyirikan. Hampir mirip dgn analisis lekuk garis pada telapak tangan yg banyak dipakai para peramal.

Hal itu karena tidak ada hubungan sebab akibat langsung secara Qodari antara sidik jari seseorang dgn potensi yg ada pada dirinya. Penelitian ttg itu pun di lingkungan internal psikolog masih diperdebatkan. Mereka tidak menyebutnya sebagai science (ilmu pengetahuan), tapi disebut pseudo science (ilmu pengetahuan yg semu). Sehingga sebaiknya dijauhi utk keperluan tsb.

Itu sebatas yg ana pahami sejauh ini.

Wallaahu A'lam.

PERTANYAAN
Begitu pula golongan darah dgn karakter manusia termasuk tatoyur? Soalnya di.medsos bnyak yang demikiran

JAWABAN
Kaidah yg dijelaskan para Ulama:

menetapkan sesuatu sebagai penyebab, padahal hal itu bukanlah penyebab syar'i atau qodari, maka ia telah menjadikan hal itu sebagai sekutu bagi Allah (kesyirikan). Sebagaimana pernah kita bahas dalil2nya dlm pembahasan Kitabut Tauhid.

_________________
Jawaban oleh Al Ustadz Abu 'Utsman Kharisman hafizhahullah via WA Al I'tishom

Read full article at http://walis-net.blogspot.com/2016/09/hukum-mempelajari-finger-print.html

NASEHAT TERKAIT MENJULUKI DAI-DAI HIZBIYUN DENGAN NAMA-NAMA "PLESETAN"

NASEHAT TERKAIT MENJULUKI DAI-DAI HIZBIYUN DENGAN NAMA-NAMA "PLESETAN"

📚 Pertanyaan:

Banyak dijumpai di grup WA ikhwah salafiyyin yang menyebutkan nama2 da'i semisal da'i dari radio rodja dengan menggunakan nama2 yang terkadang "diplesetkan" seperti

Abdul hakim abdat menjadi abdul hakim 'ngadat'. Abduh tuasikal menjadi abduh 'tuasial'. Pembela radio rodja menjadi 'rodjali'. Dan yang semisalnya,

Apa nasehat ustadz tentang hal demikian.. barakallahufiikum

'Afwan bukan ana melakukan pembelaan terhadap da'i-da'i rodja, tapi apakah hal tersebut merupakan adab yang baik dan tidak mengapa memanggil dengan sebutan-sebutan demikian? barakallahufiikum.

🔐 Jawaban :
(di jawab oleh al Ustadz Abu Utsman Kharisman)

Sebaiknya dihindari cara-cara demikian.

Cukup jelaskan keadaan mereka, dan bentuk-bentuk penyimpangannya. Itu adalah bagian dari anNashihah dalam Dien.

Kita jelaskan semisal:

Abdul Hakim Abdat dan Abduh Tuasikal tidaklah berdakwah di atas manhaj Salaf. Banyak penyimpangan manhaj yg mereka lakukan.

Kemudian bisa dijelaskan bentuk-bentuk penyimpangan mereka berdua.

Abdul Hakim Abdat bukanlah pakar hadits seperti yg dielu-elukan penggemarnya. Justru ia arogan dan tidak jarang menggunakan kekerasan kepada pihak yg berseberangan pendapat dengannya. Seperti yg pernah disampaikan saksi hidup yg pernah satu majelis dgn dia.

Abduh Tuasikal berdakwah pada politik, dgn mengajak orang memilih Prabowo sebagai Presiden saat pemilu lalu.

Itu hanya sepintas dari sekian banyak bentuk penyimpangan mereka.

Tentunya tidak ada seorang pun yg luput dari kesalahan. Menjadi tidak bermasalah, jika kesalahan itu ditebus dengan taubat dan penjelasan rujuknya.

Namun, penyimpangan dalam manhaj yg tetap diperjuangkan oleh orang tsb membuat orang-orang itu tidak bisa diambil ilmunya. Demikian teladan Salaf (pendahulu kita yg shalih). Bisa kita baca dari karya para Ulama terdahulu, di antaranya Muqaddimah Shahih Muslim.

*Sumber*:  Tanya - Jawab di grup WA al I'tishom

*****
🗃 Arsip WALIS »
🗳 Kritik dan saran » http://goo.gl/d0M01P
🕰 Faedah Lain » http://walis.salafymedia.com/

•┈┈┈┈•◈◉✹❒📚❒✹◉◈•┈┈┈┈•

•••••••
📲 *Majmu'ah AL ISTIFADAH*
🌍 http://bit.ly/tentangwalis
🔵 Telegram http://bit.ly/alistifadah JOIN
📲 مجموعة الاستفادة

•┈┈┈┈•◈◉✹❒📚❒✹◉◈•┈┈┈┈•

Read full article at http://walis-net.blogspot.com/2016/09/nasehat-terkait-menjuluki-dai-dai.html

Tentang SUNNAH TIDAK MAKAN SEBELUM SALAT IDUL ADHA

PENJELASAN TENTANG SUNNAH TIDAK MAKAN SEBELUM SHALAT IEDUL ADHA

Pertanyaan titipan, Ustadz:
Apakah sunnah untuk tidak makan berlaku ketika bangun tidur atau setelah shalat subuh sebelum berangkat ke masjid?

JAWABAN

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ : كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَلاَ يَطْعَمُ يَوْمَ اْلأَضْحَى حَتَّى يُصلِّيَ

Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya beliau berkata: Nabi shollallahu alaihi wasallam tidaklah keluar pada hari Iedul Fithri sampai makan (terlebih dahulu) dan tidak makan pada hari Iedul Adha sampai sholat (H.R atTirmidzi, dishahihkan al-Hakim dan disepakati adz-Dzahaby dan al-Albany) 

Yang nampak  secara dzhahir adalah berlaku sejak terbit fajar. Karena dari sejak itulah berlaku lafadz "yaum" (hari). Sedangkan sebelum terbit fajar masih terhitung malam (lail).

Wallaahu A'lam

alMubaarokfuriy dalam Tuhfatul Ahwadzi menjelaskan:

وقد خصص أحمد بن حنبل استحباب تأخير الأكل في عيد الأضحى بمن له ذبح

Ahmad bin Hanbal mengkhususkan disunnahkannya mengakhirkan makan pada Iedul Adha hanya utk orang yg punya binatang kurban (yang akan dikurbankan)

______________
Dijawab oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman hafizhahullah

Read full article at http://walis-net.blogspot.com/2016/09/penjelasan-tentang-sunnah-tidak-makan.html

Bolehkah Mempersaksikan Seorang Kafir Sebagai Penghuni Neraka?

Pertanyaan:

Fadhilatusy Syaikh, Anda pernah menyebutkan bahwa orang yang meninggal di atas kekafiran dan tidak pernah sama sekali mengucapkan Laa Ilaaha Illallah Muhammad Rasulullah, bahwa ia kafir. Akan tetapi kita tidak mempersaksikan bahwasanya dia kekal di Neraka. Ini menimbulkan musykilah (kerancuan memahami) bagi kami.

Jawaban Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah :

Tidak menjadi musykilah bagi Anda. Semoga Allah memberkahi anda. Aisyah pernah bertanya kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam tentang Abdullah bin Judaan (kafir, pent) yang dulunya suka memberi makan, memuliakan tamu, melakukan banyak kebaikan (kepada sesama makhluk, pent). Apakah perbuatan-perbuatan itu bermanfaat baginya di akhirat? Nabi shollallahu alaihi wasallam bersabda: Hal itu tidak bermanfaat bagi dia.

Demikian juga dengan 2 orang laki-laki yang datang kepada Nabi shollallahu alaihi wasalam dan mengkhabarkan kepada beliau bahwasanya ibu keduanya dulu suka menyambung silaturrahmi, memuliakan tamu, melakukan kebaikan-kebaikan. Apakah perbuatan baik ibunya (yang kafir, pent) itu bermanfaat (di akhirat)? Nabi menyatakan : Tidak.

Perbuatan baik (di dunia) tidak akan bermanfaat bagi orang kafir di akhirat. Jika Allah Azza Wa Jalla menghendaki agar kebaikannya itu bermanfaat, Allah berikan balasan baginya di dunia (saja). Sedangkan di akhirat, orang-orang kafir tidak akan mendapatkan bagian (pahala/ Surga).

Sedangkan terkait persaksian terhadap kekafiran (seseorang), di dunia kita mempersaksikan bahwa orang yang kafir ini yang mengumumkan kekafirannya dan menganggap ia mulia dengan kekafiran itu, kita mempersaksikan bahwa ia kafir. Kita juga mempersaksikan bahwasanya ia meninggal di atas kekafiran selama tidak nampak bagi kita bahwa ia bertaubat. Akan tetapi (apakah dia masuk) Neraka, kita tidak bisa mempersaksikan (memastikan) untuknya. Karena hal itu terkait amal yang ghaib (tidak nampak). Mungkin saja di akhir hidup ia sempat beriman, dan kita tidak mengetahuinya.

Akan tetapi, apakah jika kita tidak mempersaksikan untuknya (kepastian masuk Neraka), apakah hal itu bermanfaat bagi dia dan menghalanginya masuk Neraka? Tidak bermanfaat (persaksian kita) baginya. Jika dia memang (berhak masuk) Neraka, maka ia pasti masuk Neraka. Sama saja apakah kita memberikan persaksian atau tidak memberi persaksian.

Karena itu, tidak ada faidahnya kita mengatakan: Apakah dia di Neraka atau tidak di Neraka. Hanyalah kita menetapkan berdasarkan hukum (dzhahir) di dunia bahwasanya dia kafir. Hingga seandainya ada yang menyatakan bahwasanya ia berbuat baik, di melakukan ini dan ini, ini (semua) tidak bermanfaat bagi dia (di akhirat). Terutama jika ia melakukan itu dengan nama selain agama Islam. Misalkan: ia berbuat baik pada manusia, sedangkan di dadanya tergantung salib. Apakah maknanya ini? Apakah ia berbuat baik dalam rangka mengajak manusia pada agama Nashrani dan berkata: Ini perbuatan Nashara? Ataukah ia berbuat baik karena Allah? Secara dzhahir yang nampak adalah yang pertama. Sesungguhnya dia berbuat baik demikian tujuannya agar orang beribadah secara Nashara.

Alhamdulillah, jika kita katakan: Sesungguhnya dia meninggal di atas kekafiran, kita tidak mendoakan rahmat untuknya, dan tidak meminta kepada Allah agar mengampuni dia. Ini sudah cukup. Adapun kita katakan bahwa ia di Neraka atau bukan di Neraka, maka ini tidak (bisa kita pastikan). Karena itu, termasuk jalan (ajaran prinsip) Ahlussunnah wal Jamaah adalah bahwasanya mereka tidak mempersaksikan terhadap orang tertentu dengan Surga dan tidak juga dengan Neraka. Kecuali orang yang telah dipersaksikan (kepastiannya) oleh Nabi shollallahu alaihi wasallam.
Sekarang, sebagai contoh: Kita mempersaksikan bahwa setiap orang beriman akan (masuk) Surga. Bukankah demikian? Ya. Tapi, apakah mungkin kita mempersaksikan bahwa fulan yang meninggal di atas Islam, kita mengetahui bahwa mungkin saja ia meninggal saat sholat, kemudian kita katakan: Dia (pasti) di Surga? Tidak (Tidak bisa dipastikan, pent). Akan tetapi kita mengharapkan bahwa ia termasuk penghuni Surga.

Sedangkan orang yang meninggal di atas kekafiran, kita mempersaksikan bahwa ia kafir. Tapi kita tidak mempersaksikan bahwasanya ia di Neraka. Apakah manfaat dari kita bersaksi atau tidak bersaksi? Dia (orang kafir) itu jika (berhak masuk) Nereka, maka ia akan berada di Neraka, sama saja apakah kita bersaksi atau tidak bersaksi.

Penanya: Jika persaksian dari Allah telah mendahului orang ini (yang kita anggap) mati di atas kekafiran, apakah maknanya ia bertaubat kepada Allah dan memohon ampunan kepada Allah (sebelum meninggal, pent)?

Jawaban Syaikh Ibnu Utsaimin: Mungkin saja (itu terjadi) di masa akhir (kehidupannya). Kita tidak mengetahuinya. Kita tidak mengetahui. Intinya: Apakah faidahnya sekarang? Maksudnya, mengapa kita memaksakan diri berkata: Orang ini di Neraka. Tidak ada hal yang mengharuskan demikian.

Penanya: Wahai Syaikh, apa yang disebutkan dalam atsar bahwasanya jika kalian melewati kuburan orang kafir.?

Jawaban Syaikh: Ini khusus bagi Ahlul Fatroh dari kalangan Quraisy. Karena Ahlul Fatroh dari kalangan Quraisy meski nenek moyang mereka belum mendapatkan peringatan sebagaimana firman Allah :

{ مَا أَتَاهُمْ مِنْ نَذِيرٍ مِنْ قَبْلِكَ } [القصص:46]

…belum pernah datang pemberi peringatan sebelummu (Q.S al-Qoshosh ayat 46)

Akan tetapi Rasul telah mempersaksikan bahwa mereka penduduk Neraka (Liqoo al-Baab al-Maftuuh (165/11))

http://islamport.com/w/ftw/Web/2447/4650.htm

Penerjemah: Abu Utsman Kharisman

Read full article at http://salafy.or.id/blog/2016/08/23/mempersaksikan-seorang-kafir-sebagai-penghuni-neraka-boleh-ataukah-tidak/

KEUTAMAAN SEPULUH HARI PERTAMA BULAN DZULHIJJAH

(Muhadharah Asy-Syaikh Dr. Shalih Al-Fauzan hafizhahullah)

 

Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam selalu tercurah kepada hamba dan Rasul-Nya yaitu nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, keluarga, dan shahabat beliau semuanya.

 

Amma ba’du,

 

Sesungguhnya kita berada di ambang pintu hari-hari yang penuh barakah, yaitu sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah yang telah Allah subhanahu wata’ala berikan keutamaan dan Allah letakkan padanya kebaikan yang banyak bagi hamba-hamba-Nya. Tidak diragukan lagi bahwa kehidupan seorang muslim seluruhnya adalah baik jika dimanfaatkan untuk beribadah kepada Allah ta’ala dan amal shalih. Seluruhnya adalah baik sejak dia mencapai umur dewasa sampai Allah wafatkan dia, jika Allah memberi dia taufik untuk bisa memanfaatkan masa hidupnya untuk beramal shalih yang dengannya akan sejahtera kehidupan akhiratnya.

 

Maka barangsiapa yang menjaga kehidupan dunianya ini dalam ketaatan kepada Allah, maka Allah akan menjaga kehidupan akhiratnya, dan dia akan mendapati buah kebaikan yang telah dia usahakan di sisi Allah dan kebaikan itu terus berlipat ganda. Dan barangsiapa yang menyia-nyiakan dunianya, maka akan hilang (kebahagiaan) akhiratnya, dia akan merugi di dunia dan akhirat, itulah kerugian yang nyata.

 

Seluruh kehidupan seorang muslim adalah baik. Namun barangsiapa yang Allah ‘azza wajalla beri keutamaan padanya, dia akan memanfaatkan waktu-waktu yang memiliki keutamaan melebihi hari-hari yang lain itu untuk menambah amalan-amalan shalih, sehingga dia mendapatkan pahala yang berlipat ganda. Ada bulan Ramadhan yang penuh dengan barakah dan kebaikan, amalan-amalan shalih dilipatgandakan pahalanya. Dan pada bulan Ramadhan ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan yaitu Lailatul Qadar.

 

Dan ada pula sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah yang Allah jalla wa’ala telah bersumpah dengannya di dalam Al-Qur’an:

وَالْفَجْرِ وَلَيَالٍ عَشْرٍ

“Demi fajar, dan demi malam-malam yang sepuluh” [Al-Fajr: 1-2]

 

‘Malam-malam yang sepuluh’ adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah sebagaimana telah masyhur di kalangan ulama. Allah ta’ala bersumpah dengannya karena kemuliaan dan keutamaan padanya, karena sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala bersumpah  dengan makhluk-Nya sesuai dengan kehendak-Nya, dan tidaklah Allah bersumpah kecuali kepada sesuatu yang memiliki keagungan dan kemuliaan, yang hamba-hamba ini akan memberikan perhatian kepadanya. Allah bersumpah dengan (sepuluh hari pertama Dzulhijjah) ini karena kemuliaan dan keutamaan yang ada padanya, agar hamba-hamba ini lebih memperhatikannya.

 

Dan dikatakan juga bahwasanya ini adalah sepuluh hari yang Allah sempurnakan untuk Nabi Musa ‘alaihissalam:

وَوَاعَدْنَا مُوسَى ثَلاثِينَ لَيْلَةً وَأَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ

“Dan Kami janjikan pada Musa setelah malam tiga puluh dan kami sempurnakan baginya (dengan tambahan) sepuluh malam” [Al-A’raf: 142]

Mereka (sebagian ulama) berkata: Wallahu a’lam bahwa sepuluh hari itu adalah sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah.

 

Dan Allah subhanahu wata’ala berfirman:

وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الأَنْعَامِ

“Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan atas rizqi yang telah Allah berikan kepada mereka berupa binatang ternak.” [Al-Hajj: 28]

Ini adalah hari-hari yang telah di tentukan.

 

Adapun hari-hari yang telah dihitung sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya ta’ala:

واذكروا الله في أيام معدودات

“Dan sebutlah Allah dalam hari-hari yang telah dihitung” [Al-Baqarah: 203]

maka itu adalah hari-hari Tasyriq.

 

Berdzikir (menyebut) Nama Allah pada hari-hari yang telah di tentukan, akan disebutkan nanti apa saja yang diucapkan dari dzikir-dzikir pada hari-hari itu.

 

Dan di antara keutamaan sepuluh hari pertama Dzulhijjah adalah bahwasanya pada hari-hari itu terdapat hari ‘Arafah yaitu hari yang kesembilan. Suatu hari yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sabdakan (tentang puasa di hari itu):

أحتسب على الله أن يكفر السنة الماضية، والسنة المستقبلة

“Aku berharap kepada Allah agar mengampuni dosa (orang yang berpuasa ‘Arafah) pada tahun yang lalu dan tahun yang akan datang.”

 

Dan di hari itu pula ada penunaian dari rukun haji yang paling besar yaitu wukuf di Arafah. Ini adalah hari yang agung, pada hari itu kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, baik timur maupun barat terkumpul di satu tempat saja yaitu di padang ‘Arafah untuk menunaikan rukun terbesar dari rukun-rukun haji mereka pada hari itu.

Hari Arafah merupakan hari yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengabarkan bahwasanya Allah turun ke langit dunia dan membanggakan orang-orang yang wukuf di Arafah kepada para malaikat dan berfirman:

انظروا إلى عبادي شعثا غبرا أتوني من كل فج عميق، يرجون رحمتي، ويخافون عذابي، أشهدكم أني قد غفرت لهم

“Lihatlah kalian kepada hamba-hamba-Ku, kusut masai dan berdebu, mereka mendatangi-Ku dari segala penjuru, mengharapkan rahmat-Ku dan takut akan adzab-Ku, maka persaksikanlah sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka.”

 

Dan pada hari kesepuluh adalah hari haji akbar, yaitu hari an-nahr, kaum muslimin pada hari itu menunaikan manasik haji: thawaf, sa’i, menyembelih hewan hadyu, dan menggundul atau memendekkan rambut. Keempat rangkaian manasik haji ini mulai ditunaikan pada hari itu. Oleh sebab itulah Allah menamakan hari itu dengan hari haji akbar, karena pada hari itu ditunaikannya sebagian besar dari rangkaian manasik haji. Dan ada pula yang disebut dengan haji ashghar, yaitu umrah.

 

Pada hari itu Allah subhanahu wata’ala mengkhususkannya dengan keutamaan ini, para jama’ah haji menunaikan rangkaian manasiknya pada hari itu. Orang-orang selain mereka (selain jama’ah haji) melakukan shalat ‘Id dan menyembelih hewan kurban untuk mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala. Sepuluh hari yang penuh barakah ini terkandung di dalamnya keutamaan-keutamaan tersebut.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan yang lainnya:

ما من أيام العمل أحب من هذه الأيام العشر ، قالوا يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله، قال: ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك بشئ

“Tidak ada hari-hari yang amal itu lebih dicintai Allah daripada hari-hari yang sepuluh ini” Para shahabat berkata: “Wahai Rasulullah walaupun itu jihad fi sabilillah?” beliau berkata: “Walau jihad fi sabilillah, kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya lalu tidak kembali darinya sedikitpun.”

 

Maka pada hari-hari yang sepuluh ini, amalan-amalan yang dilakukan di dalamnya lebih dicintai oleh Allah dari pada amalan-amalan yang dilakukan di waktu yang lain walaupun itu jihad fi sabilillah yang merupakan amal yang paling utama. Amalan pada hari-hari yang sepuluh ini lebih baik daripada jihad fi sabilillah kecuali yang telah dikecualikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu orang yang keluar berjihad dengan jiwa dan hartanya dan tidak ada yang kembali darinya sedikitpun.

Hari-hari (yang sepuluh) ini memiliki keutamaan-keutamaan yang besar dan disyari’atkan di dalamnya amal ibadah yang banyak, yaitu:

 

 

Berpuasa pada hari-hari ini[1], dan hukumnya adalah sunnah, serta berpuasa pada hari yang kesembilan bagi selain jama’ah haji, adapun orang-orang yang berhaji maka mereka tidak berpuasa pada hari kesembilan agar tubuh mereka kuat ketika mengerjakan wukuf di Arafah. Sedangkan orang-orang yang tidak berhaji, puasa mereka pada hari itu akan mendapatkan balasan dari Allah berupa ampunan dosa mereka pada tahun yang lalu dan yang akan datang. Ini adalah keutamaan yang besar dari Allah subhanahu wata’ala.

 

Disebutkan dalam hadits dari Hafshah radhiyallahu ‘anha:

أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- كان يصوم هذه العشرة

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa pada hari-hari yang sepuluh” [HR. Abu Dawud dan yang selainnya dengan sanad la ba’sa bihi].

Adapun yang dikatakan oleh ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha:

أن النبي-صلى الله عليه وسلم- لم يصم هذه العشر

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tidak berpuasa pada hari-hari yang sepuluh ini”

maka ini adalah konteks penafian (peniadaan), dan hadits Hafshah menetapkan adanya puasa tersebut. Maka (dalam kaidah disebutkan bahwa) penetapan sesuatu lebih didahulukan daripada peniadaannya, dan Hafshah menetapkan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa di hari-hari itu, adapun ‘Aisyah meniadakannya sebatas apa yang beliau ketahui. Sehingga Hafshah (dalam permasalahan ini) mengetahui sesuatu yang belum diketahui oleh ‘Aisyah.

 

Dan di antara amalan-amalan yang juga dikerjakan pada hari-hari yang sepuluh ini adalah bertakbir, dimulai dari awal masuknya bulan Dzulhijjah. Ketika diketahui masuknya bulan Dzulhijjah, maka takbir dimulai pada siang dan malam hari-hari yang sepuluh ini, dan agar setiap muslim memperbanyak membaca takbir dengan mengucapkan:

الله اكبر، الله اكبر، لا اله الا الله، الله اكبر، ولله الحمد

dan diulang-ulang terus takbir ini dengan mengeraskan suaranya, sebagaimana para shahabat dahulu mengeraskan suaranya ketika bertakbir di hari-hari yang sepuluh ini.

Dan ini adalah takbir yang dikhususkan bagi hari-hari ini saja, yang disebut dengan takbir mutlak dilakukan pada malam dan siang.

 

Dan disyari’atkan pula pada hari-hari ini untuk memperbanyak amalan ketaatan seperti shadaqah kepada yang membutuhkan, atau shadaqah fi sabilillah.

 

– Begitu juga dengan shalat-shalat sunnah pada selain waktu-waktu yang di larang, terlebih lagi adalah shalat malam.

 

Begitu pula agar hendaknya seorang muslim tidak bosan-bosan untuk berdzikir mengingat Allah pada hari-hari itu dengan membaca Al-Qur’an, mengucapkan tasbih dan tahlil.

menyibukkan dirinya dengan amalan ketaatan, baik yang berupa ucapan dan perbuatan, memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengerjakan kebaikan dan tidak menyia-yiakannya.

Amalan tersebut dilakukan dengan berpuasa pada siang harinya dan shalat pada waktu malamnya, membaca Al-Qur’an, bertakbir, bertahlil, dan bertasbih, menyibukkan lisannya dengan berdzikir kepada Allah dan menyibukkan badannya dengan puasa dan shalat malam. Ini adalah suatu kebaikan yang banyak pada hari-hari yang sepuluh ini, yang amal-amal shalih pada hari-hari itu lebih dicintai oleh Allah dari pada hari-hari yang lain. Walaupun setiap amal shalih pasti dicintai oleh Allah jalla wa’ala pada seluruh waktu-waktunya, akan tetapi Allah memberikan keutamaan pada sebagian makhluk-makhluk-Nya atas sebagian yang lain, dan Dia mengutamakan hari-hari yang sepuluh ini melebihi hari-hari yang lain.

 

Demikian pula termasuk yang disyari’atkan pada hari-hari yang sepuluh ini adalah bahwa barangsiapa yang ingin menyembelih kurban untuk (atas nama) dirinya sendiri atau dirinya dan orang lain, maka jika telah masuk bulan Dzulhijjah, dia tidak boleh mengambil sedikitpun dari rambut dan kukunya sampai dia menyembelih hewan kurbannya tadi, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan yang demikian dalam hadits yang shahih.

 

Pada hari an-nahr disyari’atkan menyembelih hewan, baik hadyu (untuk orang-yang berhaji) maupun adhahi (kurban, yakni untuk selain orang yang berhaji), dan hadyu ini sama saja apakah itu hadyu yang wajib sebagai rangkaian manasiknya seperti hadyu  ketika melakukan haji tamattu’ dan qiran tamattu’ maupun hadyu yang sunnah, yang seorang muslim menyembelih hewan sebagai hadiah kepada Baitullah Al-‘Atiq (Ka’bah) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala. Hari pertama dilakukan penyembelihan adalah pada hari ‘Id, ini bagi jama’ah haji.

 

Adapun untuk selain orang-orang yang berhaji, maka mereka menyembelih hewan qurban (udh-hiyah), dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wata’ala, dan merupakan sunnah nabawi yang dituntunkan oleh ayah kita Nabi Ibrahim ‘alaihish shalatu wassalam dan dihidupkan kembali sunnah itu oleh Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga menyembelih hewan kurban merupakan ibadah agung yang dengannya seorang muslim mendekatkan diri kepada Allah.

 

Sebagian ulama berpendapat wajibnya menyembelih hewan kurban. Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah berpendapat bahwa menyembelih hewan kurban adalah wajib bagi yang mampu. Adapun jumhur ulama menyatakan itu adalah sunnah mu’akkadah (yang di tekankan), dan bukan suatu hal yang wajib. Apapun hukumnya, menyembelih hewan udh-hiyah ataupun hadyu pada hari itu dan hari setelahnya menunjukkan keutamaan hari tersebut atas selainnya, inilah yang dimaksud dari firman Allah ta’ala:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah.” [Al-Kautsar: 2]

 

Shalatlah ‘Id, sembelihlah hewan hadyumu, dan sembelihlah udh-hiyahmu pada hari itu. Pada hari itu sebagaimana yang telah dijelaskan merupakan hari ditunaikannya rangkaian manasik haji, thawaf ifadhah, sa’i antara shafa dan marwah, melempar jumrah, yaitu jumrah ‘aqabah, menyembelih hadyu bagi orang-orang yang berhaji, dan hewan kurban udh-hiyah bagi yang tidak berhaji. Dan di antara keutamaan yang Allah berikan adalah diperpanjangnya waktu penyembelihan ini sampai tiga hari setelah ‘Id, sehingga waktu penyembelihan adalah empat hari, hari ‘Id dan tiga hari setelahnya.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أيام التشريق أيام أكل وشرب وذكر لله عز وجل

“Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari makan, minum, dan berdzikir kepada Allah ‘azza wajalla.”

 

Inilah sepuluh hari yang penuh barakah, yang diberikan kepada kaum muslimin dengan kebaikan-kebaikan dan barakah-barakahnya dari Allah, baik bagi kaum muslimin yang berhaji maupun yang tidak berhaji, dan termasuk kebaikan di dalamnya adalah amalan-amalan yang mulia ini.

 

Terkait dengan hadyu dan udh-hiyah, ada hukumnya tersendiri sebagaimana disebutkan oleh ulama, seperti dari sisi umur dan tidak cacat. Hewan udh-hiyah maupun hadyu belum mencukupi kecuali telah melewati batas umur yang ditentukan secara syar’i, untuk dha’n (kambing kibas) batasan umurnya adalah setelah sempurna enam bulan, ma’iz (kambing jawa/kacang) setelah satu tahun, sapi setelah dua tahun, dan onta setelah lima tahun, ini dari sisi umur pada hewan udh-hiyah dan hadyu, syarat ini juga ditetapkan pada hewan untuk aqiqah.

 

Begitu juga disyaratkan selamat atau bebas dari cacat, seperti matanya buta sebelah, kaki pincang, sakit, kurus, atau tidak sempurnanya anggota tubuh karena terpotong, atau putus hidungnya, atau yang selainnya. Yang jelas hewan kurban itu harus terbebas dari cacat yang membuat dia kurang sempurna dibanding dengan hewan lain.

Adapun tentang daging kurban, baik itu hadyu maupun udh-hiyah, maka Allah ta’ala telah berfirman:

فكلوا منها وأطعموا القانع والمعتر

“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” [Al-Hajj: 36]

Dan firman-Nya:

فكلوا منها وأطعموا البائس الفقير

“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” [Al-Hajj: 28]

Dan disukai untuk membagi hewan kurban menjadi tiga bagian, sepertiga untuk dia dan keluarganya, sepertiga untuk dishadaqahkan kepada orang-orang yang membutuhkan, dan sepertiga untuk dihadiahkan kepada teman-teman dan tetangganya, dan perlu diketahui bahwasanya tidak boleh menjual sedikitpun dari hewan kurban, walaupun kulitnya, juga tidak boleh di jual. Begitu juga tidak boleh memberikan upah kepada tukang jagalnya dari sebagian daging hewan hadyu maupun udh-hiyah, sesuai dengan yang telah disyari’atkan oleh Allah subhanahu wata’ala untuk memakannya, bershadaqah dengannya, dan memberikannya sebagai hadiah. Ini termasuk syi’ar-syi’ar yang difirmankan oleh Allah subhanahu wata’ala:

ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ

“Demikianlah (perintah dari Allah) dan barang siapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” [Al-Hajj: 32]

Dan salah satu (syi’ar)-Nya adalah penyembelihan hewan hadyu dan udh-hiyah, yang seorang muslim hendaknya mempersembahkan sesuatu yang paling berharga dan paling bagus dari apa yang dia miliki, karena itu merupakan syi’ar dan upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah jalla wa’ala:

لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” [Al-Hajj: 37]

 

Semua amalan tersebut berporos pada niat, walaupun demikian hendaknya tidak mempersembahkan sesuatu yang kurang, atau sedikit manfaatnya, dan tidak pula mempersembahkan sesuatu dari penghasilan yang haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إن الله طيب ولا يقبل الا طيبا قال: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنَ الأَرْضِ وَلا تَيَمَّمُوا الْخَبِيثَ مِنْهُ تُنْفِقُونَ

“Sesungguhnya Allah itu baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik” Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman berinfaklah dari sebagian hartamu yang baik-baik dan sebagian dari apa-apa yang kami keluarkan dari bumi untukmu dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk, lalu kamu nafkahkan daripadanya.[Al-Baqarah: 267]

 

Al-Khabits adalah sesuatu yang jelek dan buruk, maka janganlah bershadaqah dengan sesuatu yang buruk, baik berupa makanan, pakaian, dan segala sesuatu yang bermanfaat. Jangan memberi sesuatu yang jelek, dan jangan pula bershadaqah dari hasil yang haram, tetapi hendaknya bershadaqah dari penghasilan yang baik. Karena sesungguhnya Allah baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik, dan segala kebaikan adalah milik Allah subhanahu wata’ala.

 

Kesimpulannya bahwa hari-hari yang sepuluh ini memiliki keutamaan yang agung, maka sudah sepantasnya bagi seorang muslim untuk menyambutnya dengan gembira, penuh keceriaan, dan senang dengan kedatangannya, dan agar hendaknya menyibukkan diri dengan amalan yang disyari’atkan oleh Allah ta’ala, sehingga hal itu menjadi bekal baginya di sisi Allah subhanahu wata’ala yang akan dia petik di hari ketika dia menghadap Allah subhanahu wata’ala.

 

Sebagaimana telah kami sebutkan bahwasanya seluruh kehidupan seorang muslim adalah baik jika disibukkan dengan ketaatan kepada Allah, lebih dikhususkan lagi pada hari-hari atau waktu-waktu yang Allah beri keutamaan di dalamnya agar bertambah perhatiannya dan bertambah kesungguhannya. Akan tetapi sangat disayangkan bahwa sebagian besar manusia, berlalu umur-umur mereka, berlalu atas mereka hari-hari yang penuh keutamaan dan waktu-waktu yang penuh kemuliaan, ternyata mereka tidak bisa mengambil manfaat darinya, berlalu dari mereka dengan sia-sia. Kadang-kadang tidak cukup dengan hanya tidak bisa mengambil manfaat darinya, bahkan mereka menyibukkan diri kepada hal-hal yang haram, maksiat, kejelekan, terkhusus pada zaman ini, yang tersebar berbagai hal yang menyibukkan (melalaikan) dan permainan seperti surat kabar, perkataan yang tidak ada gunanya, internet, pasar-pasar, perdagangan, pekerjaan di kantor, atau yang selainnya. Dan ini, walaupun adalah sesuatu yang diharapkan dari seorang muslim bahwa ia harus mencari rizqi, akan tetapi itu semua tidak boleh menyibukkannya dari memanfaatkan waktu ini, maka hendaknya digabungkan antara mencari rizqi dan memanfaatkan waktu ini.

Allah jalla wa’ala tidak melarang kita untuk beramal duniawi sebatas apa yang kita butuhkan. Akan tetapi kita dilarang untuk lebih menyibukkan diri dalam urusan dunia daripada akhirat. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah harta dan anak kalian melalaikan kalian dari mengingat Allah. Barangsiapa berbuat demikian, maka mereka adalah orang-orang yang merugi.” [Al-Munafiqun: 9]

Allah subhanahu wata’ala juga berfirman:

فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ

“Maka carilah rizqi di sisi Allah dan beribadahlah kepada-Nya.” [Al-Ankabut: 17]

Yaitu carilah rizqi dari Allah dan beribadahlah kepada-Nya. Maka janganlah tersibukkan dengan mencari rizki dengan meninggalkan ibadah, atau beribadah dengan meninggalkan mencari rizqi sehingga berakibat menelantarkan orang lain. Yang terbaik adalah dengan menggabungkan antara yang satu dengan yang lainnya. Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ* فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

“Wahai orang-orang yang beriman, jika dipanggil untuk shalat pada hari jum’at, maka bersegeralah untuk berdzikir mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, dan yang seperti itu lebih baik jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan shalat itu, maka menyebarlah di muka bumi guna mencari keutamaan dari Allah dan ingatlah Allah dengan banyak agar engkau beruntung.” [Al-Jumu’ah: 9-10]

 

Dan ketika Allah menyebutkan tentang masjid-masjid dan orang-orang memakmurkannya:

يُسَبِّحُ لَهُ فِيهَا بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ رِجَالٌ لا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلا بَيْعٌ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ

“Bertasbihlah bagiNya setiap pagi dan sore, seorang yang tidak terlalaikan oleh perdagangan ataupun jual-beli dari berdzikir kepada Allah,  mengerjakan shalat dan menunaikan zakat.” [An-Nur: 36-37]

 

Sehingga seorang muslim hendaknya menggabungkan dua hal ini, antara mencari rizqi pada waktunya dan melaksanakan ibadah pada waktunya. Pada waktu tertentu ibadah itu bisa membantu dalam mencari rizqi. Allah berfirman:

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ

“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, maka Dia akan menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rizqi dari jalan yang tidak disanka-sangka.” [Ath-Thalaq: 2-3]

 

Dan firman-Nya:

وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلا عَلَى الْخَاشِعِينَ

“Minta tolonglah dengan sabar dan shalat, sesungguhnya shalat itu adalah suatu yang berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu.” [Al-Baqarah: 45]

 

Dan firman-Nya juga:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman minta tolonglah dengan sabar dan shalat, karena sesungguhnya Allah bersama dengan orang-orang yang sabar.” [Al-Baqarah: 153]

 

Seorang muslim tidak akan menyia-nyiakan agamanya, begitu pula dia tidak akan menyia-nyiakan dunianya, dan sudah seharusnya bagi dia untuk menggabungkan antara kebaikan agama dan dunianya, inilah seorang muslim. Bagaimana dia bisa menyia-nyiakan waktunya dalam senda gurau dan bermain-main, menebarkan gosip, sandiwara, perkataan yang tidak berguna, nyanyian, olah raga yang tidak bermanfaat, perlombaan-perlombaan, menyia-nyiakan waktunya dalam masalah-masalah seperti ini. Dan yang mengherankan adalah mereka tidak bosan dari begadang, tidak merasa lelah dengan hal-hal yang bisa memudharatkannya, justru sebaliknya mereka merasa lelah untuk melakukan keta’atan dan beribadah, kecuali orang-orang yang dirahmati oleh Allah subhanahu wata’ala.

 

Kesimpulannya bahwa seorang muslim harus memperhatikan dirinya dan memperhatikan waktu-waktu yang memiliki keutamaan sebelum dia mengatakan (dengan penuh penyesalan sebagaimana yang Allah ta’ala sebutkan dalam ayat-Nya):

يَا حَسْرَتَى عَلَى مَا فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ وَإِنْ كُنْتُ لَمِنَ السَّاخِرِينَ

“Sungguh merugi atas apa yang aku lalaikan dari apa-apa yang di sisi Allah dan dulunya aku adalah orang yang mencemooh hal itu.” [Az-Zumar: 56]

 

Dan juga sebelum merasakan sebagaimana yang Allah ta’ala sebutkan tentang penghuni neraka ketika dilemparkan ke dalamnya, mereka mengatakan:

قالوا ربنا أخرجنا نعمل صالحا غير الذي كنا نعمل

“Mereka berkata: ‘Wahai Rabb kami keluarkanlah kami, agar kami bisa beramal shalih berlainan dari yang dahulu telah kami lakukan.” [Fathir: 37]

Maka Allah jalla wa’ala berfirman:

أولم نعمركم ما يتذكر فيه من تذكر وجاءكم النذير فذوقوا فما للظالمين من نصير

“Bukankah Kami telah memanjangkan umur kalian dalam masa yang cukup supaya bisa untuk berfikir bagi orang-orang yang mau berfikir dan (bukankah) telah datang pada kalian sang pemberi peringatan? Maka rasakanlah (adzab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang zhalim yang menolong.” [Fathir: 37]

 

Maka barangsiapa yang menyia-nyiakan waktunya dan hidupnya, inilah tempat kembali untuknya, laa haula walaa quwwata illa billah.

 

Maka perhatikanlah diri-diri kita dan juga yang lainnya, agar menjaga waktunya dan memanfaatkan waktu-waktu yang memiliki keutamaan sebelum terlewatkan, karena itu adalah modal utama yang menjadi bekal ketika keluar dari kehidupan dunia ini.

إذا أنت لم ترحل بزاد من التــقى

ولاقيت يوم العرض من قد تزودا

ندمت على ألا تكون كمثلـــــه

وانك لم ترصد كما كان ارصــدا

Apabila engkau belum berangkat dengan bekal ketakwaan.

Dan menghadapi hari yang ditampakkan amalan seorang yang membawa perbekalan.

Engkau akan menyesal dan ingin bisa seperti dirinya.

Karena sesungguhnya engkau tidak bersiap sebagaimana dia telah bersiap.

 

Pastilah seseorang akan menempati ke tempat kembalinya, apabila engkau tidak mempersiapkan untuk akhiratmu, kamu pasti menyesal di saat penyesalan itu tidaklah berguna. Maka wajib bagi kita untuk lebih perhatian dan juga mengingatkan saudara-saudara kita, dan mengagungkan hari-hari ini dengan ketaatan kepada Allah subhanahu wata’ala, serta menjaganya agar tidak sia-sia, dan menjaganya dari sesuatu yang dapat menyibukkan diri kita kepada sesuatu yang memudharatkan dan menyebabkan dosa.

 

Semoga Allah memberikan taufiq kepada semuanya untuk mendapatkan ilmu dan amalan yang bermanfaat. Sesungguhnya Dia Maha mendengar, Maha Dekat, lagi Maha mengabulkan do’a.

وصلى الله على نبينا محمد، وعلى آله، وأصحابه أجمعين .

Diterjemahkan dari: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=95411 dengan tambahan catatan kaki dari tim redaksi.

 

 

[1] Yakni tanggal 1 sampai 9 Dzulhijjah, adapun tanggal 10 adalah hari ‘id yang diharamkan puasa.

The post Keutamaan Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijjah appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/09/04/keutamaan-sepuluh-hari-pertama-bulan-dzulhijjah/

Tentang PERTANDINGAN OLAHRAGA BERHADIAH

▶️ Al Ustadz Abu Utsman Kharisman Hafidzahullah.

Pertanyaan ke-4 pada Fatwa no 16342 :

Pertanyaan:

Dalam pertandingan olahraga, diberikan hadiah piala bagi kelompok yg menang. Apakah hukumnya dalam Islam? Sebagaimana diketahui, sejumlah uang telah dipungut dari klub yg ikut bertanding dan uang tsb dikumpulkan untuk membeli piala.

Jawaban al-Lajnah adDaaimah:

⛔️ Tidak boleh mengambil harta untuk pertandingan olahraga. Berdasarkan sabda beliau shollallaahu alaihi wasallam :

لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ فِي حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ

Tidak (boleh) ada (hadiah perlombaan) kecuali pada hewan yg memiliki tapak kaki (unta), atau haafir (semacam kuda, keledai, atau bighal), dan memanah (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, anNasaai, Ahmad).

Karena perlombaan pada ketiga jenis ini melatih jihad, berbeda dgn pertandingan olahraga. Tidak demikian. Maka tidak boleh mengambil hadiah/upah untuknya. Yang dimaksud dgn 3 perlombaan (yg dibolehkan mengambil hadiah) adalah unta, kuda, dan senjata.

Teks Arab

السؤال الرابع من الفتوى رقم ( 16342 )س4: في المسابقات الرياضية تقدم جوائز للفريق الفائز – كأس – ما حكمه في الإسلام؟ علمًا بأن الدراهم تؤخذ من الفرق المشاركة في الدورة ويتم بهذه الدراهم شراء الكأس.ج 4: لا يجوز أخذ المال على المسابقات الرياضية؛ لقوله صلى الله عليه وسلم:  لا سبق إلا في نصل أو خف أو حافر  ؛ لأن المسابقات على هذه الثلاث فيها تدريب على الجهاد، بخلاف المسابقات الرياضية، فليست كذلك، فلا يجوز أخذ العوض عليها، والمراد بالثلاث المذكورة بالحديث: الإبل والخيل والسلاح

Sumber: http://www.alifta.net/Fatawa/fatawaDetails.aspx?BookID=3&View=Page&PageNo=1&PageID=5596.

=====================

 

Read full article at http://salafy.or.id/blog/2016/09/07/hukum-pertandingan-olahraga-berhadiah/

ADAB-ADAB DI HARI ‘IEDUL ADHA

*☄ADAB-ADAB DI HARI ‘IEDUL ADHA ☄*

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan kepada kita adab-adab di hari raya, baik terkait dengan shalat ‘ied maupun lainnya.

➡ 1. Disunnahkan mandi Sebelum Berangkat Shalat dengan tata cara seperti mandi junub.

➡ 2. Memperbanyak takbir.

Takbir hari raya Idul Adha ada dua bentuk, yaitu muthlaq dan muqoyyad, adapun takbir Idul Fitri hanya muthlaq saja.

🔘 Muthlaq artinya umum tanpa terkait waktu, hendaklah memperbanyak takbir kapan dan di mana saja, kecuali di tempat-tempat yang terlarang melafazkan dzikir, yaitu di WC dan yang semisalnya. Takbir muthlaq Idul Adha dimulai sejak awal Dzulhijjah sampai akhir hari Tasyr.

🔘 Muqoyyad artinya terkait dengan sholat lima waktu, yaitu bertakbir setiap selesai sholat lima waktu, dimulai sejak ba’da Shubuh hari Arafah sampai ba’da Ashar di akhir hari Tasyriq. 

🔘 Disunnahkan mengeraskan takbir bagi laki-laki dan dipelankan bagi wanita, dan disunnahkan bertakbir di perjalanan ketika menuj sholat ‘Ied.

Adapun kalimat-kalimat takbir maka terdapat beberapa atsar dari sahabat, di antaranya:

📎 Dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu :

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ، وَاللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وَللهِ الْحَمْدُ. 

Ini juga yang teriwayatkan dari Umar dan Ali Radhiallahu ‘anhuma.

📎 Dalam salah satu riwayat dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu :

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ، وَلله ِالْحَمْدُ.

📎 Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘anhuma:

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وَللهِ الْحَمْدُ، اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ، اللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا

📎 Dari Salman Radhiyallahu anhu :

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ كَبِيراً

➡ 3. Memakai pakaian terbaik dan minyak wangi. Untuk wanita dilarang memakai wewangian dan hanya boleh dipakai untuk suaminya.

➡ 4. Pada hari raya Idul Adha disunnahkan untuk tidak makan terlebih dahulu sebelum pelaksanaan sholat.

➡ 5. Pergi menuju lapangan tempat pelaksanaan shalat Ied. Lebih utama melaksanakan sholat Ied di tanah lapang ketimbang di masjid. Karena Rasulullah tidak pernah melaksnakan sholat Ied di dalam masjid kecuali saat hujan. Dibolehkan untuk melakukannya di masjid bila tidak menemukan tanah lapang.

➡ 6. Bagi kaum wanita untuk keluar menuju sholat dan khutbah Ied dengan tanpa tabarruj (menampakan kecantikan) dan tampa mengenakan wewangian. Wanita Haidh tetap pergi kelapangan untuk mendengarkan khutbah. namun ditempatkan terpisah.

➡ 7. Dianjurkan juga bagi anak-anak untuk ikut keluar menuju tempat sholat dan khutbah ‘Ied.

➡  8. Melaksanakan Sholat Ied.

➡ 9. Mendengarkan khutbah

➡ 10. Mengambil Jalan Lain Ketika Berangkat dan pulang. Diantara hikmahnya adalah untuk menampakkan syiar Islam di hari raya.

➡ 11. Dianjurkan berjalan kaki sampai ke tempat shalat dan tidak memakai kendaraan kecuali jika ada hajat.

➡ 12. Tidak disunnahkan sholat sunnah apa pun sebelum dan sesudah sholat ‘Ied, kecuali apabila sholat ‘Ied dilaksanakan di masjid maka disunnahkan sholat tahiyyatul masjid apabila sholat ‘Ied belum dimulai.

➡ 13. Bagi yang tertinggal shalat ‘Id bersama jama’ah, maka hendaknya dia mengqadha’ (mengganti)nya, dengan tata cara yang sama sebanyak dua rakaat.

➡ 14. Menyembelih hewan kurban setelah selesai mengerjakan sholat 'Ied.

➡ 15. Seseorang yang telah menyembelih kurbannya boleh memotong kuku dan rambutnya,baik rambut itu tumbuh di kepala, kumis, sekitar kemaluan maupun di ketiak.

➡ 16. Mengucapkan selamat hari raya.

“taqabbalallahu minna wa minka” / "taqabbalallahu minna wa minkum".

Menjawab ucapan selamat idul Adha dengan ucapan yang sama :

“taqabbalallahu minna wa minka” / "taqabbalallahu minna wa minkum".

➡ 17. Bersenang-senang dan bergembira dengan mengadakan pesta atau permainan yang halal/mubah di hari raya dan diizinkan bagi anak kecil perempuan yang belum baligh untuk menyanyi dengan menggunakan satu-satunya alat musik yang dibolehkan dalam syari’at, yaitu rebana.

➡ 18. Hindari ikhtilat (bercampur baur) atau berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram.

Tentang TERLAMBAT SALAT ID

💐📗Bagaimana Jika Terlambat Sholat Ied?

Kita tentunya berusaha dan berharap tidak terlambat sholat Ied. Namun jika qoddarallah terjadi keterlambatan, maka kita mengganti kekurangan sholat kita seperti tata cara sholat yg dilakukan Imam (termasuk takbir tambahan). Hal ini sebagaimana dijelaskan para Ulama seperti Syaikh al-Albaniy dan Syaikh Sholih al-Fauzan dalam fatwanya.

Para Ulama menjelaskan bahwa takbir tambahan itu adalah Sunnah (bukan rukun ataupun wajib). Sehingga kalaupun tidak dilakukan, sholatnya tetap sah namun terlewatkan dari keutamaan.

Orang yg tertinggal dari sholat Ied tersebut ada pilihan utk mengerjakan sendiri atau berjamaah (al-Mughniy libni Qudamah)

Wallaahu A'lam bisshowaab

(Abu Utsman Kharisman)

💡💡📝📝💡💡

WA al I'tishom

BOLEHKAH BERPUASA AROFAH ATAU BERPUASA ASYURO BAGI YANG MASIH BERHUTANG RAMADHAN

📗🚩 *BOLEHKAH BERPUASA AROFAH BAGI YANG MASIH BERHUTANG RAMADHAN* ?❓

🍃🍂🍃🍂🍃🍂🍃🍂
#puasa_arofah
#qodho_ramadhan
#muhammad_firkaus
➖➖➖➖➖➖➖➖

Syaikh Muhammad Ali Firkaus alJazairy _hafidzahullah_ dalam cuplikan fatwa beliau setelah menyebutkan dalil tidak bolehnya berpuasa sunnah 6 hari di bulan syawwal bagi yang belum menyelesaikan qodho' ramadhan, beliau menyimpulkan perbedaannya dengan puasa _tathowwu'_ selainnya:

"Adapun semua jenis puasa sunnah yang lainnya, seperti puasa hari arofah, atau asyuro, atau ayyamulbidh (hari ke13,14,15 dari bulan qomariyyah), dan semisalnya maka menurut pendapat paling benar dari sekian pendapat ahlul 'ilm: *BOLEH MELAKSANAKAN IBADAH SUNNAH (tathowwu') SEBELUM PENUNAIAN QODHO' RAMADHAN*, yang merupakan pendapat madzab Hanafiyyah, Syafi'iyyah dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad, karena tidak diperoleh dalil syariat yang melarangnya.
Bahkan telah termaktub dalam Nash alQuran yang mengandung faedah bahwa waktu qodho' (ramadhan) disebut secara mutlak (tidak dibatasi) pada Firman Allah Ta'ala:
﴿ﻓَﻌِﺪَّﺓٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﺃُﺧَﺮَ﴾
"... maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, *pada hari-hari yang lain* ..."
Dimana nash ayat mengakomodir bolehnya mengakhirkan (qodho') ramadhan bagi yang sempat terlewatkan puasa, secara mutlak tanpa mempersyaratkan untuk bersegera menggantinya pada kesempatan pertama. Dan pemutlakan (tidak membatasi) pengganti (qodho') ramadhan adalah pendapat mayoritas (ulama) terdahulu dan era akhir.

Sebagaimana yang juga menunjukkan hal itu, pengakuan nabi _shollallahu 'alaihi wasallam_ terhadap perbuatan 'Aisyah _radhiyallahu 'anha_, yang beliau katakan:
‏« ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻋَﻠَﻲَّ ﺍﻟﺼَّﻮْﻡُ ﻣِﻦْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﻓَﻤَﺎ ﺃَﺳْﺘَﻄِﻴﻊُ ﺃَﻥْ ﺃَﻗْﻀِﻲَ ﺇِﻟَّﺎ ﻓِﻲ ﺷَﻌْﺒَﺎﻥَ ‏»
"Dulu aku pernah menanggung (qodho') puasa ramadhan yang tidak bisa aku tunaikan kecuali setelah di bulan Sya'ban" 4)

Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
"Dan pada hadits ini terdapat dalil diperbolehkannya mengakhirkan penggantian (qodho') ramadhan secara mutlak, baik karena ada udzur atau tanpa udzur. Karena tambahan sebagaimana telah kami jelaskan, adalah mudroj (sisipan ucapan periwayat hadits). 5)
Kalaupun (hadits tersebut) tidak sampai derajat diakui rasulullah (marfu'), pembolehan tetap berlaku dengan sebab darurat. (Walau yang  benar) hadits itu berhukum rofa' (diakui Nabi), karena yang tampak, tentu Nabi shollallahu 'alaihi wasallam telah mengetahuinya. Ditambah kebutuhan para istri beliau untuk bertanya kepada beliau tentang perkara syariat. Jika seandainya yang demikian tidak diperbolehkan, tidak mungkin A'isyah melestarikannya."6)

--------------

4) Riwayat alBukhori dalam _kitab Ashshoum Bab Mata Yuqdho Qodho' Ramadhan_ no. 1950, dan Muslim dalam _kitab AshShiyam_ no. 1146.
5) Maksud beliau, riwayat yang menyebut alasan diakhirkannya penunaian qodho' hingga masuk Sya'ban dikarenakan sibuk melayani Nabi shollallahu 'alaihi wasallam (inilah yang mudroj-pent.)
6) Fathul Bariy karya Ibnu Hajar (alAsqolaniy) rahimahullah 4/191

📚📚📚📚📚📚📚📚

ﺃﻣَّﺎ ﺻﻴﺎﻡ ﺳﺎﺋﺮ ﺍﻟﺘﻄﻮُّﻋﺎﺕ ﺍﻷﺧﺮﻯ ﻛﺼﻴﺎﻡ ﻋﺮﻓﺔ ﺃﻭ ﻋﺎﺷﻮﺭﺍﺀ ﺃﻭ ﺃﻳَّﺎﻡ ﺍﻟﺒﻴﺾ ﻭﻧﺤﻮﻫﺎ ﻓﺈﻧﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﺤﻴﺢ ﻣِﻦ ﺃﻗﻮﺍﻝ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻳﺠﻮﺯُ ﺍﻻﺷﺘﻐﺎﻝ ﺑﺎﻟﺘﻄﻮُّﻉ ﻗﺒﻞ ﻗﻀﺎﺀ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻭﻫﻮ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻷﺣﻨﺎﻑ ﻭﺍﻟﺸﺎﻓﻌﻴﺔ ﻭﺭﻭﺍﻳﺔٌ ﻋﻦ ﺃﺣﻤﺪ ، ﺇﺫ ﻟﻢ ﻳَﺮِﺩْ ﻓﻲ ﺍﻟﺸﺮﻉ ﺩﻟﻴﻞٌ ﻳﻤﻨﻊ ﻣِﻦ ﺫﻟﻚ، ﺑﻞ ﻭﺭﺩ ﻣِﻦ ﺍﻟﻨﺺِّ ﺍﻟﻘﺮﺁﻧﻲِّ ﻣﺎ ﻳﻔﻴﺪ ﺃﻥَّ ﻭﻗﺖ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ ﻣُﻄﻠﻖٌ ﻓﻲ ﻗﻮﻟﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ : ﴿ﻓَﻌِﺪَّﺓٌ ﻣِﻦْ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﺃُﺧَﺮَ﴾ ‏[ ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ : ١٨٤، ١٨٥ ‏] ، ﺣﻴﺚ ﻳﺪﻝُّ ﻧﺺُّ ﺍﻵﻳﺔ ﻋﻠﻰ ﺟﻮﺍﺯ ﺗﺄﺧﻴﺮ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻟﻤﻦ ﺃﻓﻄﺮ ﻣُﻄﻠﻘًﺎ ﻣِﻦ ﻏﻴﺮ ﺍﺷﺘﺮﺍﻁ ﺍﻟﻤﺒﺎﺩﺭﺓ ﺑﺎﻟﻔﻌﻞ ﺑﻌﺪ ﺃﻭَّﻝ ﺍﻹﻣﻜﺎﻥ، ﻭﻣُﻄﻠﻘﻴَّﺔُ ﻭﻗﺖ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀ ﻫﻮ ﻣﺬﻫﺐُ ﺟﻤﺎﻫﻴﺮ ﺍﻟﺴﻠﻒ ﻭﺍﻟﺨﻠﻒ،
ﻛﻤﺎ ﻳﺪﻝُّ ﻋﻠﻴﻪ ـ ﺃﻳﻀًﺎ ـ ﺇﻗﺮﺍﺭُ ﺍﻟﻨﺒﻲِّ ﺻﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠَّﻢ ﻟﻔﻌﻞ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﺎ ﻗﺎﻟﺖ : ‏« ﻛَﺎﻥَ ﻳَﻜُﻮﻥُ ﻋَﻠَﻲَّ ﺍﻟﺼَّﻮْﻡُ ﻣِﻦْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﻓَﻤَﺎ ﺃَﺳْﺘَﻄِﻴﻊُ ﺃَﻥْ ﺃَﻗْﻀِﻲَ ﺇِﻟَّﺎ ﻓِﻲ ﺷَﻌْﺒَﺎﻥَ ‏» ‏( ٤ ‏) ، ﻗﺎﻝ ﺍﺑﻦ ﺣﺠﺮٍ ـ ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ـ : ‏« ﻭﻓﻲ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﺩﻻﻟﺔٌ ﻋﻠﻰ ﺟﻮﺍﺯ ﺗﺄﺧﻴﺮ ﻗﻀﺎﺀ ﺭﻣﻀﺎﻥ ﻣُﻄﻠﻘًﺎ، ﺳﻮﺍﺀٌ ﻛﺎﻥ ﻟﻌُﺬْﺭٍ ﺃﻭ ﻟﻐﻴﺮ ﻋُﺬﺭٍ ؛ ﻷﻥَّ ﺍﻟﺰﻳﺎﺩﺓ ﻛﻤﺎ ﺑﻴَّﻨَّﺎﻩ ﻣﺪﺭﺟﺔٌ ‏( ٥ ‏) ، ﻓﻠﻮ ﻟﻢ ﺗﻜﻦ ﻣﺮﻓﻮﻋﺔً ﻟﻜﺎﻥ ﺍﻟﺠﻮﺍﺯ ﻣُﻘﻴَّﺪًﺍ ﺑﺎﻟﻀﺮﻭﺭﺓ؛ ﻷﻥَّ ﻟﻠﺤﺪﻳﺚ ﺣُﻜْﻢَ ﺍﻟﺮﻓﻊ، ﻷﻥَّ ﺍﻟﻈﺎﻫﺮ ﺍﻃِّﻼﻉُ ﺍﻟﻨﺒﻲِّ ﺻﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠَّﻢ ﻋﻠﻰ ﺫﻟﻚ، ﻣﻊ ﺗﻮﻓُّﺮ ﺩﻭﺍﻋﻲ ﺃﺯﻭﺍﺟﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ ﻣﻨﻪ ﻋﻦ ﺃﻣﺮ ﺍﻟﺸﺮﻉ، ﻓﻠﻮﻻ ﺃﻥَّ ﺫﻟﻚ ﻛﺎﻥ ﺟﺎﺋﺰًﺍ ﻟﻢ ﺗﻮﺍﻇِﺐ ﻋﺎﺋﺸﺔُ ﻋﻠﻴﻪ ‏» ‏( ٦ ‏)
ــــــــــــ
٤ ‏) ﺃﺧﺮﺟﻪ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ ﻓﻲ ‏« ﺍﻟﺼﻮﻡ ‏» ﺑﺎﺏ : ﻣﺘﻰ ﻳُﻘﻀﻰ ﻗﻀﺎﺀُ ﺭﻣﻀﺎﻥ ‏( ١٩٥٠ ‏) ، ﻭﻣﺴﻠﻢ ﻓﻲ ‏« ﺍﻟﺼﻴﺎﻡ ‏» ‏( ١١٤٦ ‏) .
‏( ٥ ‏) ﻣﻘﺼﻮﺩُﻩ ﺍﻟﺮﻭﺍﻳﺔُ ﺍﻟﺘﻲ ﺃﺧَّﺮﺕْ ﻓﻴﻬﺎ ﺍﻟﻘﻀﺎﺀَ ﺇﻟﻰ ﺷﻌﺒﺎﻥ ﻟﻤﺎﻧﻊ ﺍﻟﺸﻐﻞ ﺑﺎﻟﻨﺒﻲِّ ﺻﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠَّﻢ .
‏( ٦ ‏) ‏« ﻓﺘﺢ ﺍﻟﺒﺎﺭﻱ ‏» ﻻﺑﻦ ﺣﺠﺮ ‏( ٤ / ١٩١ ‏)

http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=154755

➖➖➖➖➖➖➖➖
📋Fatwa senada juga didapatkan dari para ulama, seperti sebagian fatwa Syaikh Abdul Aziz Bin Baz, Syaikh Shalih al'Utsaimin dan Syaikh Shalih alFauzan _rahimahullah man tawaffa mknhum wa hafidza man baqiya_
rujuk link berikut:
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=133106

📝Abu Abdirrahman Sofian

WA al I'tishom | Kraksaan | 9 Dzulhijjah 1437 H|

Hukum berkurban dengan Kerbau

📌سئل العلامة عبدالمحسن العباد -حفظه الله -

س:ماحكم الأضحية بالجاموس؟

🍂الجواب:الجاموس من البقر.

شرح سنن الترمذي للعباد شريط (172

Asy syaikh Abdul muhsin al abbad حفظه الله ditanya;
Apa hukum berqurban dg kerbau?
🌴jawab; kerbau adalah termasuk jenis sapi.

(Syarah sunan tirmidzi lil abbaad dlm bentuk kaset : 172.)

✍🏻 Ustadz Adi Abdullah

Read full article at http://walis-net.blogspot.com/2016/09/apa-hukum-berqurban-dg-kerbau.html

Hukum menjuluki orang yang berhaji dengan "Haji"

⚠ *Hukum menjuluki orang yang berhaji dengan "Haji"* ⚠

💺Lembaga Tetap Untuk Pembahasan Ilmiah dan Fatwa

Pertanyaan:

❓Apa hukum memanggil sebagian orang dengan (panggilan) "Haji"?

📌 Jawaban:

Adapun memanggil orang yang menunaikan ibadah haji dengan (panggilan) "Haji", maka yang lebih utama adalah meninggalkannya. Karena penunaian kewajiban-kewajiban syari'ah tidaklah (berkonsekuensi adanya) pemberian nama atau laqab (julukan). Bahkan (yang diharapkan) adalah ganjaran dari Allah Ta'ala bagi orang yang diterima (ibadahnya). Maka wajib atas seorang muslim agar tidak menggantungkan dirinya dengan perkara-perkara semacam ini. Agar niatnya menjadi niat yang murni mengharap Wajah Allah Ta'ala

📚 Fatwa Lajnah Daimah 1/21718

✅ Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullah telah ditanya-sebagaimana dalam Majmu' Fatawa war Rasail (24/204):

Di mayoritas negara-negara Islam, pada saat kembalinya jama'ah haji dari tanah suci setelah menunaikan kewajiban (haji), orang yang menunaikan kewajiban itu dijuluki dengan julukan "Haji" dan julukan itu selalu membayanginya tak terpisahkan darinya  selamanya. Apa hukum masalah ini?

Jawaban beliau:

❌Ini adalah sebuah kesalahan. Sebab di dalam (julukan/laqab itu) paling tidak terdapat riya'. Maka jangan berlaqab dengan hal itu. Dan tidak pantas memanggil orang dengan panggilan tersebut. Karena tidak ada orang di masa Rasulullah ﷺ memanggil orang yang menunaikan ibadah haji "engkau haji."

🍏 Thuwailibul 'Ilmisy Syar'i (TwIS)

🔎 Muraja'ah:al-Ustadz Kharisman hafizhahullah

🗓 Situbondo, Kamis 6 Dzulhijjah 1437 H/8 September 2016

=============================

🇸🇦 Arabic

ﺣﻜﻢ ﺗﻠﻘﻴﺐ ﻣﻦ ﺣﺞ ﺑـ ‏« ﺍﻟﺤﺎﺝ ‏» ؟
ﺔﻨﺠﻠﻟﺍ️ ﺍﻟﺪﺍﺋﻤﺔ ﻟﻠﺒﺤﻮﺙ ﺍﻟﻌﻠﻤﻴﺔ ﻭﺍﻹﻓﺘﺎﺀ :
ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ : ﻣﺎ ﺣﻜﻢ ﻣﻨﺎﺩﺍﺓ ﺑﻌﺾ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑـ ‏« ﺍﻟﺤﺎﺝ ‏» ؟
ﺍﻟﺠﻮﺍﺏ : ﺃﻣﺎ ﻣﻨﺎﺩﺍﺓ ﻣـﻦ ﺣـﺞ ﺑـ : ‏« ﺍﻟﺤﺎﺝ ‏» ﻓﺎﻷﻭﻟﻰ ﺗﺮﻛﻬﺎ؛ ﻷﻥ ﺃﺩﺍﺀ ﺍﻟﻮﺍﺟﺒﺎﺕ ﺍﻟﺸﺮﻋﻴﺔ ﻻ ﻳﻤﻨﺢ ﺃﺳﻤﺎﺀ ﻭﺃﻟﻘﺎﺑﺎ، ﺑﻞ ﺛﻮﺍﺑﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻟﻤﻦ ﺗﻘﺒﻞ ﻣﻨﻪ، ﻭﻳﺠﺐ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺃﻻ ﺗﺘﻌﻠﻖ ﻧﻔﺴﻪ ﺑﻤﺜﻞ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﺷﻴﺎﺀ، ﻟﺘﻜﻮﻥ ﻧﻴﺘﻪ ﺧﺎﻟﺼﺔ ﻟﻮﺟﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ .
‏[ ﻓﺘﺎﻭﻯ ﺍﻟﻠﺠﻨﺔ ﺍﻟﺪﺍﺋﻤﺔ ‏( 21718/1 [(

ﻭﺳﺌﻞ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﺑﻦ ﻋﺜﻴﻤﻴﻦ - ﺭﺣﻤﻪ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ - ﻛﻤﺎ ﻓﻲ ﻣﺠﻤﻮﻉ ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻯ ﻭﺍﻟﺮﺳﺎﺋﻞ ‏( /24 204 ‏) :
ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ : ﻓﻲ ﻣﻌﻈﻢ ﺍﻟﺪﻭﻝ ﺍﻹﺳﻼﻣﻴﺔ ﻓﻮﺭﻋﻮﺩﺓ ﺍﻟﺤﺠﻴﺞ ﻣﻦ ﺍﻷﺭﺍﺿﻲ ﺍﻟﻤﻘﺪﺳﺔ ﺑﻌﺪ ﺃﺩﺍﺀ ﺍﻟﻔﺮﻳﻀﺔ ﻳﻠﻘﺐ ﻣﻦ ﺃﺩﻯ ﺍﻟﻔﺮﻳﻀﺔ ﺑﻠﻘﺐ ﺣﺎﺝ ﻭﺗﻈﻞ ﻣﻼﺯﻣﺔ ﻟﻪ ﺩﺍﺋﻤﺎً ﻓﻤﺎ ﺣﻜﻢ ﺫﻟﻚ؟
ﻓﺄﺟﺎﺏ ﻓﻀﻴﻠﺘﻪ ﺑﻘﻮﻟﻪ :
ﻫﺬﺍ ﺧﻄﺄ؛ ﻷﻥ ﻓﻴﻪ ﻧﻮﻋﺎً ﻣﻦ ﺍﻟﺮﻳﺎﺀ، ﻻ ﻳﺘﻠﻘﺐ ﺑﺬﻟﻚ ﻭﻻ ﻳﻨﺒﻐﻲ ﺃﻥ ﻳﺪﻋﻮﻩ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﺬﻟﻚ؛ ﻷﻧﻪ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻲ ﻋﻬﺪ ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ - ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ - ﻳﻘﻮﻟﻮﻥ ﻟﻠﺤﺎﺝ ﺃﻧﺖ ﺣﺎﺝ .

http://dorarsunnia.blogspot.co.id/2016/09/blog-post_6.html?m=0

SEDIKIT BINGKISAN ILMU MENYAMBUT HARI ARAFAH

💐📝 SEDIKIT BINGKISAN ILMU MENYAMBUT HARI ARAFAH

✅Mulai Takbir Muqoyyad Selepas Sholat 5 Waktu Sejak Ba'da Subuh Hari Arafah

Mengucapkan Takbir: << Allaahu Akbar Allaahu Akbar Laa Ilaaha Illallah, Wallaahu akbar allaahu akbar wa lillaahil hamd >> selepas sholat 5 waktu dari sejak bada Subuh Hari Arafah (9 Dzulhijjah) hingga selesai Ashar akhir hari tasyriq (13 Dzulhijjah)

عَنْ عَلِيٍّ ؛ أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ مِنْ صَلاَةِ الْفَجْرِ يَوْمَ عَرَفَةَ إِلَى صَلاَةِ الْعَصْرِ مِنْ آخِرِ أَيَّامِ التَّشْرِيق

Dari Ali (bin Abi Thalib) bahwasanya beliau bertakbir dari sejak (setelah sholat) Subuh hari Arafah hingga sholat Ashar di akhir hari tasyriq (riwayat Ibnu Abi Syaibah)

عَنْ شَرِيكٍ ،قَالَ قُلْتُ لأَبِي إِسْحَاقَ : كَيْفَ كَانَ تَكْبِيرُ عَلِيٍّ ، وَعَبْدِ اللهِ ؟ فَقَالَ : كَانَا يَقُولاَنِ : اللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ

Dari Syarik beliau berkata: Aku berkata kepada Abu Ishaq: Bagaimana takbir Ali dan Abdullah (bin Mas’ud)? Beliau berkata: Keduanya mengucapkan: Allaahu Akbar Allaahu Akbar Laa Ilaaha Illallah, Wallaahu akbar allaahu akbar wa lillaahil hamd (riwayat Ibnu Abi Syaibah).

✅Berpuasa di Hari Arafah Bagi Kaum Muslimin yang Tidak Berada di Arafah (Selain Jamaah Haji)

وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ

Dan Nabi ditanya tentang puasa pada hari Arafah, beliau menyatakan: itu menghapus (dosa) setahun lalu dan setahun yang akan datang (H.R Muslim dari Abu Qotadah)

Apakah maksud menghapus dosa setahun yang akan datang? Maksudnya adalah ada 2 kemungkinan makna:
Pertama: ia diberi taufiq untuk tidak mengerjakan dosa.
Kedua: jika ia terjatuh dalam suatu dosa, ia diberi taufiq untuk melakukan hal-hal yang bisa menghapus dosa itu
(Penjelasan al-Imam as-Shonaaniy dalam Subulus Salam syarh Bulughil Maram (2/166)).

Sedangkan bagi para Jamaah Haji yang sedang wukuf di Arafah, tidak disunnahkan bagi mereka berpuasa, karena Nabi saat wukuf di Arafah tidak berpuasa.

عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ بِنْتِ الْحَارِثِ أَنَّ نَاسًا تَمَارَوْا عِنْدَهَا يَوْمَ عَرَفَةَ فِي صِيَامِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَ صَائِمٌ وَقَالَ بَعْضُهُمْ لَيْسَ بِصَائِمٍ فَأَرْسَلْتُ إِلَيْهِ بِقَدَحِ لَبَنٍ وَهُوَ وَاقِفٌ عَلَى بَعِيرِهِ بِعَرَفَةَ فَشَرِبَهُ

Dari Ummul Fadl bintil Haarits – semoga Allah meridhainya- bahwasanya manusia berselisih pendapat di sisinya pada hari Arafah tentang apakah Rasulullah shollallahu alaihi wasallam berpuasa (atau tidak)? Sebagian mereka berkata: Beliau berpuasa. Sebagian lagi berkata: Beliau tidak berpuasa. Kemudian aku mengirimkan kepada beliau segelas susu pada saat beliau sedang berdiri di atas unta beliau di Arafah, kemudian beliau meminumnya (H.R Muslim)

✅Memperbanyak Dzikir dan Doa pada Hari Arafah

خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

Doa yang terbaik adalah doa pada hari Arafah dan sebaik-baik ucapanku dan ucapan para Nabi sebelumku adalah : Laa Ilaaha Illallah wahdahu laa syariika lah lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘alaa kulli syai-in qodiir (H.R atTirmidzi, dihasankan Syaikh al-Albaniy)

Memperbanyak doa terutama di akhir siang hari Arafah (sejak Dzhuhur hingga terbenam matahari), karena itu adalah saat-saat mustajabahnya doa.

Memperbanyak dzikir dengan lafadz tersebut dalam hadits itu dan berdoa di hari Arafah berlaku bagi kaum muslimin yang melaksanakan haji ataupun yang tidak melaksanakan haji, sebagaimana dijelaskan dalam fatwa Syaikh Sholih al-Fauzan.

(Abu Utsman Kharisman)

💡💡📝📝💡💡

WA al I'tishom