Cari Blog Ini

Minggu, 29 November 2015

FIKIH PUASA

Syarat sah puasa wajib adalah berniat sebelum fajar

“Barangsiapa yang tidak menginapkan niat sebelum fajar (maka tidak ada puasa baginya).” (HR. Abu Dawud)

Boleh berniat setelah fajar bila ingin puasa sunah

Nabi shallallahu alaihi wasallam di suatu pagi bertanya kepada Aisyah, “Apakah ada makanan?” Aisyah menjawab, “Tidak ada.” Kemudian Nabi menyatakan, “Kalau begitu aku berpuasa.” (HR. Muslim)

FIKIH BERKURBAN

Meniatkan berkurban untuk Allah

“Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu, dan sembelilah hewan kurban.” (Al-Kautsar: 2)

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, kurbanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagiNya. Dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (Al-An’am: 162-163)

“…dan Allah melaknat siapa yang berkurban untuk selain Allah….” (HR. Muslim no. 1978 dan an-Nasa’ai no. 4434)

Berkurban bagi yang memiliki kelapangan rezeki

Abu Hurairah berkata, “Barangsiapa memiliki kelapangan (rizki) sementara dia tidak berkurban maka jangan sekali kali mendekati tempat shalat kami.” (HR. Ahmad no. 8496 dan Ibnu Majah no. 3123, al-Albani menyatakannya sebagai hadits marfu’)

Tidak boleh memotong rambut dan kuku sejak masuk bulan dzulhijjah jika hendak berkurban sampai dia menyembelih hewan kurbannya

“Jika telah tiba sepuluh (hari pertama dzulhijjah) dan salah seorang dari kalian hendak berkurban, maka janganlah mencukur rambut atau memotong kuku sedikitpun.” (HR. Muslim)

Berkurban dengan seekor hewan kurban mencukupi untuk dirinya dan keluarganya

Zainab binti Humaid radhiyallahu ‘anha berkata, “Dahulu Rasulullah berkurban dengan seekor kambing untuk seluruh keluarganya.” (HR. al-Bukhari no. 6784)

Abu Ayub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata, “Dahulu seseorang itu berkurban dengan seekor kambing untuk dirinya beserta keluarganya, mereka memakan (dari hewan kurban) dan juga memberikan (kepada yang lain).” (HR. at-Tirmidzi no. 1587 dan Ibnu Majah no. 3267)

Berkurban dengan hewan kurban yang sudah cukup umur

Rasulullah membagi-bagikan hewan-hewan kurban kepada para shahabatnya, maka aku mendapat seekor jadza’ah (hewan kurban yang sudah cukup umur). Aku berkata, “Wahai Rasulullah sekarang aku memilki seekor jadza’ah.” Lalu Rasulullah bersabda, “Berkurbanlah dengannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hewan yang buta sebelah, hewan yang sakit, hewan yang pincang, dan hewan yang sangat kurus tidak bisa dijadikan hewan kurban

“Empat jenis yang tidak bisa dijadikan hewan kurban; hewan yang matanya buta sebelah dan kebutaannya itu nampak jelas, hewan yang jelas-jelas sakit, yang jelas-jelas pincangnya dan pecah kakinya yang tidak memiliki sumsum.” (HR. Ashabus Sunan, dishahihkan al-Albani)

Menyembelih hewan kurban setelah salat idul adha, dan tidak sah jika menyembelihnya sebelum salat

“Barangsiapa yang menyembelih hewan kurban sebelum shalat maka hendaknya dia mengulangi lagi dengan hewan lain yang semisalnya, dan barangsiapa yang belum menyembelih hewan kurban hendaknya dia menyembelih hewan kurban.” (HR. al-Bukhari no. 5242 dan Muslim no. 1960)

“Barangsiapa shalat seperti shalat kita dan melaksanakan penyembelihan kurban seperti kita, berarti telah mendapatkan pahala berkurban. Dan barangsiapa menyembelih kurban sebelum shalat maka itu hanyalah kambing yang dinikmati dagingnya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Menyembelih yang sesuai syariat adalah mengalirkan darah hewan yang akan disembelih, menyembelih dengan menyebut nama Allah (membaca bismillah), dan tidak menyembelihnya dengan gigi atau kuku

“Selama mengalirkan darah dan telah disebut nama Allah maka makanlah, asal tidak menggunakan gigi dan kuku.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Bersikap baik terhadap hewan kurban dengan membuatnya senang dan menajamkan pisau yang akan dipakai untuk menyembelihnya

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan supaya selalu bersikap baik terhadap setiap sesuatu, jika kamu membunuh maka bunuhlah dengan cara yang baik, jika kamu menyembelih maka sembelihlah dengan cara yang baik, tajamkan pisaumu dan senangkanlah hewan sembelihanmu.” (HR. Muslim)

Akan tetapi tidak boleh mengasah pisau di hadapan hewan yang akan disembelih

Ibnu Umar berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengasah pisau, tanpa memperlihatkannya kepada hewan.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dishahihkan al-Albani)

Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati seseorang yang meletakkan kakinya di leher kambing, kemudian dia menajamkan pisaunya, sementara binatang itu melihatnya. Lalu beliau bersabda (artinya): “Mengapa engkau tidak menajamkannya sebelum ini! Apakah engkau ingin mematikannya sebanyak dua kali!” (HR. Ath-Thabrani dengan sanad sahih)

Berkurban dengan domba putih bertanduk, dan lebih utama jika menyembelihnya sendiri, dan menyembelihnya dengan membaca basmalah dan takbir, dan disyariatkan meletakkan kaki di dekat pangkal leher kambing/domba kurban ketika menyembelihnya

Anas berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pernah berkurban dengan dua domba putih yang bertanduk, beliau menyembelih dengan tangannya sendiri sambil menyebut (nama Allah) dan bertakbir, dengan meletakkan kaki beliau dekat pangkal leher domba tersebut.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Berkurban dengan onta, dan menyembelihnya dengan posisi kaki kiri bagian depan diikat dan berdiri dengan tiga kaki sisanya

“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya menyembelih onta dengan posisi kaki kiri bagian depan diikat dan berdiri dengan tiga kaki sisanya.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan al-Albani)

Memakan sebagian dari daging hewan kurban dan menyedekahkan sisanya kepada fakir miskin, baik yang meminta-minta maupun yang tidak meminta-minta

“Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.” (Al-Hajj: 28)

“Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (Al-Hajj: 36)

Abu Ayub al-Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata, “Dahulu seseorang itu berkurban dengan seekor kambing untuk dirinya beserta keluarganya, mereka memakan (dari hewan kurban) dan juga memberikan (kepada yang lain).” (HR. at-Tirmidzi no. 1587 dan Ibnu Majah no. 3267)

Boleh untuk menyimpan daging hewan kurban tanpa ada batas waktu

“Dahulu aku melarang kalian untuk menyimpan daging hewan kurban lebih dari tiga hari, maka sekarang simpanlah selama jelas bagimu manfaatnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Makan dan minum (menikmati daging hewan kurban) dan berzikir (bertakbir bertahlil dan bertahmid) pada hari-hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 dzulhijjah)

“Tidaklah masuk surga, melainkan jiwa yang tunduk. Dan sesungguhnya hari-hari ini (hari tasriyq) adalah hari makan dan minum serta berdzikir kepada Allah.” (Dishahihkan oleh Syaikh Muqbil dalam Al Jami’ As Shahih 4/246)

Sabtu, 28 November 2015

ADAB-ADAB BUANG AIR

Tidak boleh menghadap kiblat saat buang air, tidak boleh cebok dengan tangan kanan, tidak boleh cebok dengan batu kurang dari tiga buah, dan tidak boleh cebok dengan kotoran hewan atau tulang

Salman radhiyallahu ‘anhu ditanya, “(Apakah) Nabi kalian telah mengajarkan segala sesuatu hingga adab beristinja?” Salman menjawab, “Ya. Sungguh dia telah melarang kami untuk menghadap kiblat saat buang air besar, buang air kecil, beristinja' dengan tangan kanan, beristinja' dengan batu kurang dari tiga buah, atau beristinja' dengan kotoran hewan atau tulang.” (HR. Muslim)

Tidak boleh kencing di air yang diam (tidak mengalir)

“Janganlah sekali-kali kalian kencing di air yang diam (tidak mengalir).” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

“Janganlah sekali-kali kalian kencing di air yang diam kemudian mandi darinya.” (HR. Muslim)

Boleh kencing sambil berdiri

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi area persampahan suatu kaum, lalu beliau kencing sambil berdiri. (Sahih, diriwayatkan dari Hudzaifah radhiyallahu anhu)

ADAB-ADAB DALAM BERDAKWAH

Skala prioritas dalam berdakwah: Yang terpenting adalah Tauhid, kemudian salat, kemudian zakat, kemudian baru yang lainnya

Tatkala Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengutus Mu’adz ke Yaman, beliau berpesan, “Sesungguhnya engkau mendatangi kaum dari ahli kitab, hendaklah yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah agar mereka beribadah (mentauhidkan) hanya kepada Allah subhanahu wata’ala. Jika mereka telah mengenal Allah, maka kabarkan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu pada setiap hari dan malam. Jika mereka telah melakukan itu maka kabarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka lalu diserahkan kepada orang-orang miskin mereka. Jika mereka telah menaatinya, maka ambillah dari mereka dan berhati-hatilah dari harta yang sangat berharga milik mereka.” (Muttafaq ‘alaihi)

Jumat, 27 November 2015

BERMUAMALAH DENGAN ORANG KAFIR

Menjawab salam dari orang kafir dengan wa alaikum

“Jika ahli kitab mengucapkan salam atas kalian, maka jawablah, ‘Wa 'alaikum (dan juga atas kalian)’.” (HR. Bukhari 6258 dan Muslim 2163)

“Jika kaum Yahudi mengucapkan salam kepada kalian, sesungguhnya salah seorang mereka hanyalah mengatakan, ‘Assaamu alaika (kematian atasmu).’ Maka jawablah, ‘Wa 'alaik (dan juga atasmu)’.” (HR. Bukhari 6257)

Dari Aisyah bahwa kaum Yahudi mengatakan kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, “As-saamu 'alaik.” Maka Beliau menjawab, “Wa 'alaik (dan juga atasmu).” (HR. Bukhari 6256)

ADAB-ADAB BERTEMAN

Tidak berteman dengan orang yang sesat

“Lalu sebagian mereka (penghuni surga) menghadap sebagian yang lain sambil bercakap-cakap. Berkatalah salah seorang di antara mereka, ‘Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) memiliki seorang teman. Temanku itu pernah berkata, ‘Apakah kamu sungguh-sungguh termasuk orang yang membenarkan hari berbangkit? Apakah bila kita telah meninggal dan kita telah menjadi tanah dan tulang belulang, kita benar-benar akan dibangkitkan untuk diberi pembalasan.’
Berkata pulalah ia, ‘Maukah kalian meninjau temanku itu?’ Maka ia meninjaunya, ternyata ia melihat temannya itu di tengah-tengah neraka yang menyala-nyala.
Ia pun berucap, ‘Demi Allah! Sungguh kamu benar-benar hampir mencelakakanku. Jikalau tidak karena nikmat Rabbku pastilah aku termasuk orang-orang yang diseret ke neraka.’” (Ash-Shaffat: 50-57)

“Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (al-A’raaf: 199)

Tatkala Abu Thalib menjelang wafatnya, datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau dapati di sisi pamannya ada Abu Jahl bin Hisyam dan Abdullah bin Abi Umayyah ibnil Mughirah. Berkatalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai pamanku, ucapkanlah Laa ilaaha illallah, kalimat yang dengannya aku akan membelamu di sisi Allah.’ Namun kata dua teman Abu Thalib kepadanya, ‘Apakah engkau benci dengan agama Abdul Muththalib?’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terus menerus meminta pamannya mengucapkan kalimat tauhid. Namun dua teman Abu Thalib terus pula mengulangi ucapan mereka, hingga pada akhirnya Abu Thalib tetap memilih agama nenek moyangnya dan enggan mengucapkan Laa ilaaha illallah. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Selektif dalam memilih teman dekat

“Seseorang itu menurut agama teman dekat/sahabatnya, maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat dengan siapa ia bersahabat.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi, dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 927)

Hanya duduk (bermajelis) bersama orang-orang yang senantiasa berzikir mengingat Allah

“Tidak ada satu kaum pun yang bangkit dari sebuah majelis yang mereka tidak berzikir kepada Allah ta’ala dalam majelis tersebut melainkan mereka bangkit dari semisal bangkai keledai-keledai dan majelis tersebut akan menjadi penyesalan bagi mereka.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 77)

Kamis, 26 November 2015

ADAB MAKAN DAN MINUM

Makan dan minum secukupnya dan tidak berlebihan

“Tidak ada bencana yang yang lebih buruk yang diisi oleh manusia daripada perutnya sendiri. Cukuplah seseorang itu mengkonsumsi beberapa suap makanan yang dapat menegakkan tulang sulbinya (tulang punggung). Kalau terpaksa, maka ia mengisi sepertiga perutnya dengan makanan, sepertiga untuk minuman, sepertiga untuk nafasnya.” (HR. Ahmad 4/132 dan yang lainnya)

Boleh makan sambil berjalan dan minum sambil berdiri

Ibnu Umar berkata, “Dahulu di zaman nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kami makan dalam keadaan kami berjalan, dan kami minum dalam keadaan berdiri.” (HR. at-Tirmidzi dan beliau menshahihkannya)

Boleh menyajikan makanan di atas meja, boleh (halal) memakan daging ad-dhab, boleh menolak makanan jika tidak doyan atau merasa jijik untuk memakannya

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika berada di sisi Maimunah dan bersama beliau ada al-Fadhl bin Abbas dan Khalid bin al-Walid dan seorang wanita lain, pada saat itu didekatkan pada mereka khuwan (meja dari kayu) yang di atasnya terdapat daging. Nabi shallallahu alaihi wasallam sudah akan mengambil makanan tersebut, Maimunah berkata kepada beliau, “Sesungguhnya itu adalah daging ad-dhab (sejenis biawak yang hidup di padang pasir).” Maka Nabi menahan diri (tidak jadi makan). Kemudian beliau bersabda, “Ini adalah daging yang aku belum pernah memakannya.” Kemudian beliau berkata kepada para Sahabat, “Makanlah!” Maka makanlah al-Fadhl, Khalid bin al-Walid, dan seorang wanita. (HR. Muslim)

Boleh makan secara bersama-sama, dan boleh juga makan secara sendiri-sendiri

“Tidak ada dosa bagi kalian makan bersama-sama atau sendiri-sendiri.” (an-Nur: 61)

Halal memakan bangkai binatang laut

“Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah)

Pada hari Jumat, makan siang dilakukan setelah salat Jumat

Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu berkata, “Biasanya kami tidaklah beristirahat siang dan tidak pula makan siang kecuali setelah menunaikan shalat Jum'at pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

ADAB MEMBACA AL QURAN

Memperindah suara ketika membaca Al Quran

“Perindahlah Al Qur’an dengan keindahan suara kalian. Karena suara yang indah dapat menambah keindahan Al Qur’an.” (HR. Al Hakim, lihat Shahihul Jami’ no. 3581)

Boleh membaca Al Quran dalam keadaan berhadats kecil

Adalah Ibnu Umar dan Ibnu Abbas mereka berdua membaca Alquran dalam keadaan mereka tidak di atas wudhu. (Diriwayatkan Abu Nu'aim dari jalan Said bin Jubair dan beliau mensahihkan sanadnya)

Rabu, 25 November 2015

BERMUAMALAH DENGAN PEMERINTAH

Taat kepada pemerintah

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemerintah) di antara kalian.” (an-Nisaa: 59)

“Barangsiapa yang menaatiku maka sungguh dia telah menaati Allah dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa yang menaati pemimpinnya maka sungguh dia telah menaatiku dan barangsiapa yang bermaksiat (tidak taat) kepada pemimpinnya maka sungguh dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

“Wajib atas kalian mendengar dan taat (kepada pemerintah) baik dalam keadaan sulitmu dan mudahmu, dalam keadaan semangatmu dan terpaksamu, dan mereka merampas hak-hakmu.” (HR. Muslim)

Taat kepada pemerintah selama tidak diperintah dengan perintah yang menyelisihi perintah Allah dan Rasul-Nya

“Tidak ada ketaatan di dalam kemaksiatan apapun. Hanyalah ketaatan itu di dalam perkara yang baik.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

“Wajib bagi seorang muslim untuk mendengar dan taat selama tidak diperintah di dalam kemaksiatan. Jika dia diperintah di dalam kemaksiatan maka tidak boleh mendengar dan taat.” (Muttafaqun ‘Alaihi)

Memberikan masukan dan kritikan kepada pemerintah secara sembunyi-sembunyi

“Barangsiapa yang hendak menasihati penguasa, maka janganlah menampakkan nasihat tersebut terang-terangan. Namun hendaknya ia mengambil tangannya kemudian menyampaikam nasihat tersebut secara sembunyi-sembunyi. Jika (penguasa) mau menerima nasihatnya, maka itu yang diharapkan. Jika tidak, maka sungguh ia telah menunaikan kewajiban yang menjadi tanggungannya.” (HR. Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah no. 1096 dengan sanad yang sahih)

Selasa, 24 November 2015

FIKIH SALAT JUMAT

Mandi pada hari Jumat

“Mandi pada hari Jum’at adalah wajib atas setiap yang sudah baligh.” (HR. al-Bukhari no. 879)

“Barangsiapa berwudhu pada hari Jum’at, dia telah bagus. Dan barangsiapa yang mandi, mandi itu lebih baik.” (HR. an-Nasai)

Mandi sebelum berangkat salat Jumat

“Jika salah seorang dari kalian hendak berangkat shalat Jum'at, maka mandilah terlebih dahulu.” (Lihat: As Silsilah Ash Shahihah no. 3971)

“Apabila salah seorang dari kalian mendatangi Jum’atan hendaknya dia mandi.” (HR. al-Bukhari no. 877)

Tidak boleh menyuruh saudaranya pergi lantas menduduki tempat duduknya, namun hendaknya berkata kepadanya: Luaskanlah tempat dudukmu

“Janganlah sekali-kali salah seorang dari kalian (di majelis sidang Jum'at, pen.) menyuruh saudaranya berdiri lantas menduduki tempat duduknya, akan tetapi hendaknya berkata kepadanya: Luaskanlah tempat dudukmu.” (Lihat: As Silsilah ash Shahihah no. 1302)

Salat sunah empat rakaat setelah salat Jumat

“Barangsiapa yang shalat setelah shalat jum’at, hendaknya dia shalat empat raka’at.” (HR. Muslim)

Sabtu, 21 November 2015

ADAB-ADAB MEMINTA HUJAN

Manusia mengeluhkan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam kondisi tidak ada hujan sama sekali. Maka beliau memerintahkan untuk disiapkan mimbar, kemudian diletakkan di Mushalla untuk beliau, seraya beliau menjanjikan hari tertentu agar mereka keluar pada hari tersebut. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam keluar (pada hari yang dijanjikan, pen) ketika mulai tampak cahaya matahari. Beliau pun duduk di atas mimbar. Lalu beliau Shallallahu 'alaihi wa Sallam bertakbir dan memuji Allah ‘'Azza wa Jalla (bertahmid), kemudian beliau bersabda, “Kalian mengeluhkan negeri kalian yang mengalami kekeringan dan terlambatnya hujan dari awal waktunya. Allah telah memerintahkan kalian untuk berdo’a kepada-Nya dan menjanjikan kepada kalian bahwa Dia pasti mengabulkannya.” Lalu Nabi berdo’a,
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ مَلِكِ يَوْمِ الدِّينِ، لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، يَفْعَلُ مَا يُرِيدُ، اللَّهُمَّ أَنْتَ اللَّهُ، لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ الْغَنِيُّ وَنَحْنُ الْفُقَرَاءُ، أَنْزِلْ عَلَيْنَا الْغَيْثَ، وَاجْعَلْ مَا أَنْزَلْتَ لَنَا قُوَّةً وَبَلَاغًا إِلَى حِينٍ
“Segala puji hanya bagi Allah Penguasa Alam semesta. Ar-Rahman ar-Rahim, Raja pada hari pembalasan. Tidak ada yang berhaq diibadahi kecuali Allah. Dia melakukan apa yang Dia kehendaki. Ya Allah, Engkaulah Allah, tidak ada ada ilah yang haq kecuali Engkau, Yang Maha Kaya, dan kami adalah fuqara (makhluk yang fakir/sangat butuh kepada-Mu). Turunkanlah kepada kami hujan yang menghilangkan berbagai kegentingan, dan jadikanlah hujan yang Engkau turunkan sebagai kekuatan bagi kami dan bekal yang mencukupi kami dalam waktu yang lama.”
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya, dan beliau terus mengangkatnya hingga terlihat putih kedua ketiak beliau. Lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam beliau menghadapkan punggungnya ke arah manusia (berarti beliau menghadap kiblat, pen), kemudian beliau membalik/memindah posisi rida’ (baju luar)nya, dan beliau masih tetap mengangkat kedua tangannya. Kemudian beliau kembali menghadap ke arah manusia dan turun (dari mimbar, pen). Lalu beliau shalat dua raka’at. Tak lama setelah itu, Allah jadikan awan, dengan guntur dan kilat, kemudian turunlah hujan dengan izin Allah. Tidak beliau mendatangi masjid beliau kecuali air telah mengalir dari berbagai penjuru. Ketika beliau melihat mereka cepat-cepat masuk rumah, Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam pun tertawa hingga tampak gigi-gigi gerahamnya, seraya beliau bersabda, “Aku bersaksi bahwa Allah Maha Mampu atas segala sesuatu, dan bahwa aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Abu Dawud 1173, dishahihkan oleh Ibnu Hibban, dihasankan sanadnya oleh An-Nawawi)

“Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam memindahkan/mengubah letak rida’-nya agar kekeringan juga berganti.” (Diriwayatkan ad-Daraquthni dan al-Hakim dari Muhammad bin ‘Ali al-Baqir secara mursal)

Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berjalan menuju tempat shalat dengan penuh ketundukan dan kerendahan hati hingga tiba ditempat shalat. Lalu beliau berkhutbah tidak sebagaimana biasanya, beliau tidak henti-hentinya berdoa, merendah, bertakbir dan melaksanakan shalat dua raka’at sebagaimana beliau melakukan shalat ‘led. (HR. at-Tirmidzi)

Jumat, 20 November 2015

ADAB-ADAB DALAM PENGOBATAN

Berobat dengan minum madu, berbekam, dan kay, namun tidak disukai berobat dengan kay

“Pengobatan itu ada pada 3 hal: minum madu, sayatan bekam dan kay (dengan besi panas). Akan tetapi aku melarang umatku dari kay.” (HR. Bukhari)
Dan dalam hadits lain, “Aku tidak suka melakukan pengobatan dengan kay.” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Setiap kali aku melewati sekelompok orang pada malam Isra' malaikat berkata, ‘Ya Muhammad, perintahkan umatmu untuk berbekam’.” (HR. Ibnu Majah, dishahihkan Albani dalam Silsilah Shahihah no. 2263)
Dalam riwayat lain, “Hendaknya kalian berbekam, Ya Muhammad.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan Albani dalam Silsilah Shohihah no.1847)

“Pengobatan terbaik bagi kalian adalah bekam dan al-fashdu (mengeluarkan darah kotor).”
Dalam riwayat lain, “Obat terbaik adalah bekam dan al-fashdu.” (HR. Abu Nu'aim dalam Thibbun Nabawi hal. 182, dilemahkan Albani)
Dalam riwayat lain, dengan tanpa penyebutan lafadz al-fashdu. (HR. Bukhari dan Muslim)

Boleh mengambil upah ketika membekam

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas,
bahwa Rasululloh pernah berbekam dan memberi upah pada tukang bekamnya. (HR. Bukhari 2279 dan 5691, Muslim 1202, 65 dan 76)

Diriwayatkan dari Anas, bahwa Rasululloh pernah dibekam oleh Abu Thayyibah, maka Nabi memerintahkan agar ia diberi dua sha' (sekitar 5 kg) bahan makanan. Beliau perintahkan pada budak-budaknya untuk meringankan beban orang tersebut, lalu beliau berkata pada para Sahabat, “Sebaik-baik cara pengobatan bagi kalian adalah bekam.” (HR. Bukhari no. 2102, 2210, 2277, 2696 dan Muslim no.1577 dan 62)

Dalam Jami' At-Tirmidzi diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas memiliki 3 orang budak yang pandai membekam. Dua di antaranya biasa mengambil upah dari beliau dan keluarganya ketika membekam. Sementara seorang di antaranya biasa membantu beliau dan keluarganya dengan kepandaian bekamnya. Ibnu Abbas berkata, “Nabi bersabda, ‘Orang yang paling baik adalah seorang tukang bekam, karena ia mengeluarkan darah kotor, meringankan otot kaku dan mempertajam pandangan mata orang yang dibekamnya.’ Sesungguhnya Rasulullah saat mi'raj setiap kali melewati sekelompok malaikat, setiap itu pula mereka berkata, ‘Hendaknya engkau membiasakan diri berbekam’.”
Ibnu Abbas menambahkan, “Waktu terbaik untuk berbekam adalah tanggal 17, 19 dan 21.”

Berobat dengan gurah hidung, ladud, berbekam, dan berjalan kaki

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya pengobatan terbaik bagi kalian adalah sa'uth (gurah hidung), ladud (memasukkan obat dari samping mulut), bekam dan jalan kaki.” Rasululloh pernah melakukan ladud. Beliau berkata, “Siapa yang bisa melakukan ladud terhadapku?” Mereka semua diam. Yang tinggal di sini serta bisa melakukan ladud hanya Al Abbas. (HR. Ibnu Majah)

Berbekam pada bagian bahu dan pelipis

Anas bin Malik berkata, “Rasulullah pernah berbekam pada bagian bahu dan dua pelipis beliau.” (HR. Abu Dawud 3860, Ibnu Majah 3483, dan Ahmad 3/119)

Dalam Sunan Ibnu Majah diriwayatkan bahwa Jibril pernah turun menemui Rasulullah untuk mengajarkan bekam pada dua pelipis dan bahu beliau.

Berbekam pada bagian kepala

Rasulullah pernah berbekam saat beliau sedang ihram pada bagian kepala karena pusing yang diderita beliau. (HR. Bukhari dan Muslim)

Berbekam pada bagian pinggul

Rasulullah pernah berbekam pada pinggulnya karena pegal-pegal yang dideritanya. (HR. Abu Dawud 3863 dan An Nasai 5/193)

Berbekam pada Al Akhdain dan Kaahil

Anas berkata, “Rasulullah biasa melakukan pembekaman pada Al Akhdain dan Kaahil. Beliau biasa melakukannya pada tanggal 17, 19, atau 21.” (HR. Abu Dawud)

Rasulullah pernah berbekam sebanyak tiga kali, sekali pada kahil-nya dan dua kali pada kedua pelipisnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Berbekam di titik qomahduah di bagian tengkuk

“Hendaknya kalian melakukan bekam di titik qomahduah di bagian tengkuk, karena itu dapat menyembuhkan lima macam penyakit, di antaranya adalah lepra.” (HR. Ath-Thabari dalam Al Kabir 8/36/7306, didhaifkan Al Albani)

“Hendaknya kalian melakukan bekam di titik qomahduah di bagian tengkuk, karena itu dapat menyembuhkan 72 macam penyakit.” (HR. Tirmidzi no. 2053, Ibnu Majah no. 3478 dan Hakim IV/212)

Berbekam pada tanggal 17, 19, dan 21

“Sesungguhnya waktu terbaik bagi kalian melakukan bekam adalah pada tanggal 17, 19, 21.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi, disahihkan al Albani. Lihat Shahih Targhib wa Tarhib no. 3463)

“Barangsiapa ingin berbekam, hendaknya memilih hari ke 17, 19, atau 21. Jangan sampai mengalami pemuncakan darah, karena itu bisa mematikan.” (HR. Ibnu Majah, disahihkan Al Albani)

“Barangsiapa melakukan bekam pada tanggal 17, 19 atau 21, maka itu menjadi obat segala penyakit.” (HR. Abu Dawud no. 3861, lihat Shahih Abu Dawud Syaikh Albani no. 3271)

Batalnya puasa orang yang membekam dan dibekam

“Orang yang membekam dan dibekam sama-sama batal puasanya.” (HR. Ahmad 22371, 22382, 22410, 22430, Abu Dawud 2367, Ibnu Majah 1680. Lihat Irwaul Gholil 931, dan dirojihkan Syaikh Albani bahwa hadits tersebut mansukh/dihapus)

Berobat dengan cara memotong urat dan kay

Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah mengutus seorang tabib kepada Ubay bin Ka'ab. Tabib itu memotong urat dan melakukan kayy. (HR. Muslim 73/2207)

Mengobati luka dengan kay

Ketika Sa'ad bin Mu'adz terpanah pada suatu peperangan di pundaknya, Nabi shallallahu alaihi wasallam melakukan kayy terhadapnya. Kemudian lukanya membengkak sehingga Beliau shallallahu alaihi wasallam mengulangi kayy untuk yang kedua kalinya. (HR. Muslim 75/2208)
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melakukan kayy pada Sa'ad bin Mu'adz di bagian kahil dengan belati panas. Kemudian Sa'ad bin Mu'adz ganti melakukan kayy terhadap beliau shallallahu alaihi wasallam -atau mungkin dilakukan oleh sahabat beliau yang lain-.
Dalam riwayat lain disebutkan, ada seorang laki-laki Anshar yang terpanah di pundaknya, lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam menyuruhnya agar diterapi dengan kayy.

Nabi shallallahu alaihi wasallam pernah mengobati As'ad bin Zurarah yang tertusuk duri dengan kayy. (HR. Tirmidzi no. 2050, Abu Ya'la dalam Musnadnya no. 3582, dan Ibnu Hibban dalam Shohihah no. 6080)

Berobat dengan kay dan dengan batu yang dipanaskan

Seorang lelaki pernah dibawa ke hadapan beliau shallallahu alaihi wasallam untuk dilakukan kayy. Kemudian beliau shallallahu alaihi wasallam berkata, “Terapi dia dengan kayy atau dengan batu panas.” (HR. Abdurrazzaq dalam Al Mushonif no. 19517, Ibnu Abu Syaibah dalam Al Mushonif no.23617, Ahmad 3701, dan Al Hakim dalam Al Mustadrak 3/416)

Larangan mengobati penyakit dengan kay

“Kalau kita sakit kemudian diterapi dengan kayy, maka kita pun akan merugi dan tidak akan sembuh.”
Dalam riwayat lain disebutkan, “Kami dilarang menggunakan kayy. Dikatakan, karena dengan itu kita tidak akan beruntung dan tidak akan sembuh.” (HR. Ahmad no. 19831, 19864, 20004, Abu Dawud 3865, Tirmidzi no. 2049, dan Ibnu Majah no. 3490)

Kay di bagian kahil

Jabir berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah menerapinya dengan kayy di bagian kahil. (HR. Muslim no. 75/2208)

Kay di bagian pinggang

Anas berkata bahwa ia pernah diterapi dengan kayy di bagian pinggang, padahal Nabi shallallahu alaihi wasallam masih hidup. (HR. Bukhari no. 5719-5721)

Mengobati orang yang terkena penyakit ain dengan ruqyah

Nabi shallallahu alaihi wasallam memberi rukhshah kepada keluarga Hazm untuk meruqyah ular, dan beliau shallallahu alaihi wasallam bertanya kepada Asma` binti Umais, “Mengapa saya melihat tubuh anak-anak saudaraku kurus-kurus, apakah mereka sakit?” Asma` menjawab, “Tidak, tapi mereka terkena 'ain (mata jahat).” Beliau shallallahu alaihi wasallam berkata, “Ruqyahlah mereka.” Berkata Asma`, “Maka aku tunjukkan kepada beliau.” Maka beliau shallallahu alaihi wasallam berkata, “Ruqyahlah mereka.” (HR. Muslim no. 5726)

Jibril menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Muhammad, engkau sakit?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Ya.” Jibril lalu berkata,
بِسْمِ اللهِ أَرْقِيكَ، مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيْكَ، مِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنٍ حَاسِدٍ، اللهُ يَشْفِيكَ، بِسْمِ اللهِ أَرْقِيكَ
“Dengan nama Allah aku meruqyahmu, dari segala yang menyakitimu, dari kejelekan setiap jiwa atau ‘ain (pandangan mata yang jahat) yang dengki. Semoga Allah menyembuhkanmu. Dengan nama Allah aku menruqyahmu.” (HR. Muslim)

Mengobati demam dengan air

“Sesungguhnya demam itu, atau demam yang berat itu dari uap api neraka. Maka dinginkanlah dengan air.” (HR. Bukhari 3264, 5723, dan Muslim 2209)

Kamis, 19 November 2015

ADAB BERPAKAIAN DAN BERPENAMPILAN

Meninggikan pakaian sampai di pertengahan betis

Ibnu Umar berkata, “Aku pernah bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan kain sarungku turun. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegur, ‘Wahai Abdullah, tinggikan kain sarungmu!’ Aku pun mengangkatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap mengatakan, ‘Naikkan lagi!’ Aku pun mengangkatnya lebih tinggi. Setelah itu, aku selalu menjaga kain sarungku dalam posisi seperti itu.” Ada yang bertanya, “Sampai batas mana?” Ibnu Umar menjawab,  “Sampai pertengahan betis.” (HR. Muslim no. 2086)

Ubaid bin Khalid al-Muharibi berkata, “Saat aku berjalan di kota Madinah, tiba-tiba seseorang berkata dari belakangku, ‘Angkatlah pakaianmu! Sungguh, itu bisa menambah takwamu’.” Ternyata, orang tersebut adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku menjawab, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, hanya sekadar burdah putih.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah engkau tidak ingin meneladani diriku?” Aku pun memerhatikan sarung beliau, ternyata sampai di pertengahan betis. (HR. at-Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyah dan dinyatakan sahih oleh al-Albani no. 97)

Abu Ishaq berkata, “Aku pernah melihat beberapa orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka menggunakan sarung sampai di tengah betis, di antaranya Ibnu Umar, Zaid bin Arqam, Usamah bin Zaid, dan al-Bara’ bin ‘Azib.” (Majma’ az-Zawaid)

Boleh menurunkan pakaian sampai di bawah pertengahan betis, namun tidak boleh menurunkannya sampai di mata kaki

Hudzaifah bin al-Yaman bercerita, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memegang otot betisku dan bersabda, ‘Di sinilah letak sarung. Jika engkau tidak ingin, bisa di bawahnya sedikit. Jika engkau masih juga tidak ingin, tidak ada hak untuk sarung berada tepat pada mata kaki’.” (HR. at-Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyah dan dinyatakan sahih oleh al-Albani no. 99)

“Angkat sarungmu hingga pertengahan betis. Apabila engkau enggan, sampai (atas) mata kaki. Waspadalah engkau dari isbal sarung, karena hal itu adalah kesombongan, dan Allah Subhanahu wata’ala tidak menyukai kesombongan.” (HR. Abu Dawud no. 4084 dan Ahmad 5/63)

“Sarung seorang muslim sampai pertengahan betis dan tak mengapa antara itu dan kedua mata kaki. Adapun yang di bawah mata kaki tempatnya di neraka. Barang siapa yang menjulurkan (isbal) sarungnya karena sombong maka Allah Subhanahu wata’ala tidak akan melihat dia.” (HR. Abu Dawud no. 4093)

Menaikkan kembali pakaiannya jika turun menutupi mata kaki

Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh, salah satu bagian pakaianku selalu turun, namun aku selalu menjaganya agar tidak turun.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak termasuk yang melakukannya karena sikap sombong.” (HR. al- Bukhari no. 5447)

Beberapa saat sebelum Umar bin al-Khaththab meninggal dunia, seorang pemuda datang menjenguk untuk mendoakan dan menghibur Umar. Ketika pemuda itu mohon izin, Umar melihat pakaiannya menutupi mata kaki. Umar pun menegur, “Wahai anak saudaraku, angkatlah pakaianmu. Itu lebih bersih dan bisa menambah takwa kepada Allah Subhanahu wata’ala!” (HR. al-Bukhari no. 3424)

Mengenakan pakaian warna putih, terutama saat salat Jumat

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik pakaian kalian ialah pakaian putih. Kalian shalat Jum'at mengenakannya dan mengkafani jenazah-jenazah kalian dengannya.“ (Faedah dari Syaikh Ubaid al-Jabiri)

“Pakailah pakaianmu yang putih karena ia adalah pakaianmu yang terbaik, dan jadikan ia sebagai kain kafan mayit-mayitmu.” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan al-Hakim dan al-Albani)

Tidak boleh bagi laki-laki memakai cincin dari emas dan cincin dari besi, akan tetapi boleh bagi laki-laki memakai cincin dari perak

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat salah seorang shahabatnya memakai cincin dari emas. Maka beliau berpaling darinya. (Melihat hal itu), maka shahabat tersebut membuangnya dan menggantinya dengan cincin dari besi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini lebih jelek (dari cincin emas), ini merupakan perhiasan penduduk neraka.” Sahabat tadi kembali membuang cincinnya dan menggantinya dengan cincin dari perak, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkomentar tentangnya. (HR. Ahmad 2/163, 2/179, dan al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 1021)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melihat sebuah cincin emas di tangan seorang laki-laki. Lalu beliau mencopot cincin tersebut dan langsung melemparnya seraya bersabda, “Salah seorang di antara kalian menginginkan bara api neraka dan meletakkannya di tangannya?” Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pergi, seseorang berkata kepada laki-laki itu, “Ambilah cincin itu untuk kamu ambil manfaat darinya.” Lelaki tersebut menjawab, “Tidak, Demi Allah. Aku tidak akan mengambil cincin itu selamanya, karena cincin itu telah dibuang oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah memakai cincin emas, kemudian beliau membuangnya sambil bersabda, “Saya tidak akan memakainya lagi selama-lamanya.” Maka orang-orang pun ikut membuang cincin yang mereka kenakan. (HR. Al-Bukhari)

Memotong kumis dan membiarkan jenggot

“Potonglah kumis, dan biarkanlah jenggot.” (HR. al-Bukhari dari Ibnu Umar)

“Berbedalah dengan orang-orang musyrikin, potonglah kumis dan biarkanlah jenggot.” (HR. Muslim dari Ibnu Umar)

“Potonglah kumis, biarkanlah jenggot. Berbedalah dengan orang-orang Majusi.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Seorang Majusi datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam keadaan orang itu telah membiarkan kumisnya dan memotong jenggotnya. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam bertanya, “Siapa yang memerintahkan engkau hal ini (membiarkan kumis dan memotong jenggot)?” Orang Majusi itu berkata, “Rabbku (pemimpinku).” Nabi bersabda, “Akan tetapi Rabbku (Tuhanku) memerintahkan aku agar kumisku dipotong dan jenggotku dibiarkan.” (HR. Ibnu Sa’ad dalam at-Thabaqat al-Kubra dengan sanad yang shahih namun mursal dari Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah, dikuatkan jalur lain marfu’ dari Abu Hurairah dengan sanad yang lemah riwayat Ibnu Bisyran dalam Amaliy, juga dikuatkan dari jalur riwayat at-Thabari dalam Tarikh al-Umam wal Muluk secara mursal. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Jamil Zainu)

Wanita tidak boleh menampakkan perhiasannya di hadapan orang lain selain suaminya

“Janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami-suami mereka.” (An-Nur: 31)

FIKIH MENGURUS JENAZAH

Boleh menangis dan bersedih, tetapi tidak boleh mengucapkan kata-kata yang tidak diridhoi Allah

“Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam masuk menemui Abu Saif al-Qain. Istrinya adalah ibu susu Ibrahim (putra Rasulullah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pun mengambil Ibrahim dan menciumnya. Kemudian kami mendatanginya lain waktu saat Ibrahim telah meninggal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pun meneteskan air mata. Melihat hal itu, ‘Abdurrahman bin ‘Auf rahimahullah bertanya, ‘Anda menangis, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Wahai Ibnu ‘Auf, ini tangisan kasih sayang.’ Beliau menangis lagi dan berkata, ‘Mata ini menangis dan hati ini bersedih, tetapi kami tidak mengucapkan kecuali kata-kata yang diridhai Rabb kami. Sungguh, karena perpisahan denganmu ini, wahai Ibrahim, kami sangat sedih’.” (HR. al-Bukhari no. 1220 dari Anas bin Malik)

Memandikan jenazah, dilakukan oleh sesama jenis, sebanyak tiga kali atau lima kali atau lebih, dengan air dan bidara, dan pada yang terakhir dicampur kapur barus

Ummu Athiyyah radhiyallahu 'anha berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam masuk ketika kami sedang memandikan jenazah puterinya, lalu beliau bersabda, ‘Mandikanlah tiga kali, lima kali, atau lebih dari itu. Jika kamu pandang perlu pakailah air dan bidara, dan pada yang terakhir kali dengan kapur barus (kamfer) atau campuran dari kapur barus.’ Ketika kami telah selesai, kami beritahukan beliau, lalu beliau memberikan kainnya pada kami seraya bersabda, ‘Pakaikanlah ia dengan kain ini (pakaian yang langsung bersentuhan dengan kulit, pent).’” (Muttafaq Alaihi)

Kapur diletakkan pada tempat-tempat anggota sujud

Ibnu Mas’ud berkata, “Kapur diletakkan pada tempat-tempat anggota sujud.” (Riwayat al-Baihaqy dalam as-Sunanul Kubra no. 6952 dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf)

Mendahulukan bagian-bagian yang kanan dan tempat-tempat wudhu ketika memandikan jenazah

Dalam suatu riwayat, “Dahulukan bagian-bagian yang kanan dan tempat-tempat wudhu.”

Memintal rambut dengan tiga pintalan dan diletakkan di belakangnya ketika memandikan jenazah wanita

Dalam suatu lafadz menurut al-Bukhari, “Lalu kami pintal rambutnya tiga pintalan dan kami letakkan di belakangnya.”

Mengafani jenazah dengan kain putih

“Pakailah pakaianmu yang putih karena ia adalah pakaianmu yang terbaik, dan jadikan ia sebagai kain kafan mayit-mayitmu.” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan al-Hakim dan al-Albani)

Mengafani jenazah dengan kain bergaris

“Jika salah seorang dari kalian meninggal dunia kemudian bisa didapati sesuatu (kelapangan), hendaknya dikafani dengan pakaian hibaroh (bergaris).” (HR. Abu Dawud, dishahihkan Al-Albani)

Mengafani jenazah dengan 3 lembar kain putih dari kapas, dan tidak mengafani jenazah dengan kain yang berjahit

Aisyah berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dikafani dengan tiga pakaian putih Suhuliyyah (jenis kain berasal dari suatu tempat di Yaman) dari kapas, tanpa ada gamis dan surban padanya.” (Muttafaq Alaihi)

Membaguskan dalam mengafani jenazah

“Apabila seseorang di antara kamu mengkafani saudaranya, hendaknya ia baguskan mengkafaninya.” (HR. Muslim)

Boleh mensalatkan jenazah di kuburan

Ada laki-laki atau wanita hitam yang menjadi tukang sapu di masjid, dan beliau meninggal. Lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam bertanya tentangnya dan para sahabat mengatakan tukang sapu itu sudah meninggal. Nabi pun bertanya kenapa beliau tidak diberitahu. “Tunjukkan aku kuburannya!” Rasul pun mendatangi kuburannya dan shalat di situ. (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah)

Perintah meratakan kuburan

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata kepada Abul Hayyaj Al-Asadi, “Maukah aku mengutusmu dengan apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku? Janganlah engkau membiarkan gambar kecuali engkau hapus dan tidak pula kubur yang ditinggikan kecuali engkau ratakan.” (HR. Muslim no. 2240)

Tidak boleh berkumpul-kumpul di rumah duka dan membuat makanan setelah penguburan

Jarir bin ‘Abdillah al-Bajali berkata, “Kami (para sahabat) menganggap perbuatan berkumpul-kumpul di rumah duka dan membuat makanan setelah penguburan sebagai perbuatan meratapi mayit (yang terlarang).” (HR. Ahmad)

ADAB MENUNTUT ILMU

Menuntut ilmu untuk mencari ridho Allah Subhanahu wataala, bukan untuk mendapatkan harta benda dunia

“Barang siapa mempelajari ilmu yang (seharusnya) dicari dengannya wajah Allah Subhanahu wata’ala, (namun) ia tidaklah mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan harta benda dunia, ia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan dinyatakan sahih sanadnya oleh an-Nawawi)

Ibnu Mubarak berkata, “Tidaklah ada sesuatu yang lebih utama dibanding menuntut ilmu karena Allah, dan tidak ada sesuatupun yang paling dimurkai oleh Allah dibanding menuntut ilmu karena selain Allah.” (Al-Adab Asy-Syariah)

Tidak bersantai-santai dalam menuntut ilmu

Abdurrahman bin Hatim berkata, “Ilmu itu tidak akan dapat diraih dengan jasad yang bersantai-santai.” (Syiar a’lam an-Nubala’)

Tidak mencari ilmu hanya dengan membaca kitab

Al Imam Asy Syafi’i berkata, “Barangsiapa belajar dari perut-perut kitab, dia akan menyia-nyiakan hukum-hukum.”
Sebagian mereka berkata, “Termasuk musibah yang paling besar menjadikan lembaran (kitab) sebagai syaikh (guru), yaitu orang-orang yang belajar dari lembaran-lembaran.” (Tadzkirotus Sami’ wal Mutakallim, hlm. 87)

Al Imam Sa’id bin ‘Abdil ‘Aziz at-Tanukhi berkata, “Janganlah kalian memikul ilmu dari orang-orang yang mengambilnya dari lembaran-lembaran. Dan janganlah mengambil Al-Qur’an dari orang yang mempelajarinya dari mushaf.” (Tashhifat Al-Muhadditsin lil ‘Askariy, 1/6-7)

Mencari ilmu dari ulama-ulama yang berumur tua lagi amanah

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat bila ilmu dicari dari orang-orang shighor.”

Ibnu Mas’ud berkata, “Manusia terus berada dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang kabir mereka, orang-orang yang amanah di antara mereka, dan dari ulama-ulama mereka. Apabila mereka mengambil ilmu dari orang-orang shighor mereka dan orang-orang terburuk mereka, maka mereka akan binasa.”

Selektif memilih guru

Ibrahim An-Nakha'i berkata, “Mereka kaum salaf dahulu apabila mereka mendatangi seseorang untuk mengambil ilmu darinya, maka mereka akan melihat kepada shalatnya dulu dan melihat kepada sunnah-sunnah yang dia jalankan dan kepada bentuk pengamalannya. Baru setelah itu dia akan mengambil ilmu darinya.” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi 1/397. Lihat Ushul Ad-Da'watu As-Salafiyah Syaikh Abdussalam bin Barjas, hlm. 33)

Rajin menulis

“Ikatlah ilmu dengan menulis.” (HR. Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Taqyidul Ilmi dan Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi no. 395, dishahihkan Al-Albani dalam footnote Kitabul ‘Ilmi karya Ibnu Abi Khaitsamah no. 55)

Tidak malu untuk bertanya

Ummu Sulaim bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari al-haq. Apakah wanita diwajibkan mandi apabila dia ihtilam?” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Ya, apabila si wanita melihat air.” (HR. al-Bukhari no. 282 dan Muslim no. 710)

Mengamalkan ilmu

Abud Darda’ radhiallahu anhu
berkata, “Engkau tidak akan menjadi seorang alim hingga engkau menjadi orang yang belajar. Dan engkau tidak dianggap alim tentang suatu ilmu, sampai engkau mengamalkannya.” (Lihat: ‘Awa’iq Ath-Thalab, hal. 17-18)

Ali radhiallahu anhu berkata, “Ilmu membisikan untuk diamalkan, kalau seseorang menyambut (maka ilmu itu akan bertahan bersama dirinya). Bila tidak demikian, maka ilmu itu akan pergi.” (Lihat: ‘Awa’iq Ath-Thalab, hal. 17-18)

Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Seseorang alim senantiasa dalam keadaan bodoh hingga dia mengamalkan ilmunya. Bila dia sudah mengamalkannya, barulah dia menjadi alim.” (Lihat: ‘Awa’iq Ath-Thalab, hal. 17-18)

Waki' berkata, “Dulu kami menjadikan pembantu untuk menghafal hadits dengan mengamalkannya.” (Dari kitab At-Ta'shil fi Thalab al-Ilm, usul ke-6)

Imam Ahmad berkata, “Tidaklah aku menulis sebuah hadits, kecuali aku mengamalkannya (terlebih dahulu). Hingga aku melewati sebuah hadits dimanan Nabi berbekam kemudian memberikan upah satu dinar kepada Abu Thaibah, maka akupun memberikan satu dinar kepada tukang bekam ketika aku berbekam.” (Dari kitab At-Ta'shil fi Thalab al-Ilm, usul ke-6)

Menuntut ilmu sampai mati

Pada suatu hari ada seorang yang melihat Imam Ahmad sedang membawa tinta, orang tersebut  berkata, “Wahai Abu Abdillah, engkau telah sampai derajat seperti ini, engkau adalah imam muslimin, namun engkau membawa tinta bersamamu.” Maka beliau menjawab, “Bersama tinta sampai kuburan.” (Faedah dari Ustadz Abdurahman Mubarak)

Ketika ditanyakan kepada Abdullah bin al-Mubarak, “Sampai kapan engkau belajar ilmu?” Beliau menjawab, “Sampai meninggal insya Allah.” (Faedah dari Ustadz Abdurahman Mubarak)

Menuntut ilmu sedikit demi sedikit

Ibnu Syihab berkata kepada Yunus bin Yazid, “Wahai Yunus, janganlah engkau sombong terhadap ilmu, karena sesungguhnya ilmu itu beberapa lembah. Lembah mana saja yang kau tempuh, niscaya lembah itu akan memutuskanmu sebelum engkau sampai kepadanya. Akan tetapi tempuhlah lembah itu seiring perjalanan hari dan malam. Dan janganlah engkau mengambil ilmu itu sekaligus, karena ilmu itu akan hilang pula darinya sekalihus. Akan tetapi, ambillah sedikit demi sedikit sesuai perjalanan hari dan malam.” (At Ta'shil Fi Tolabil Ilmi, Usul ke-6)

Selasa, 17 November 2015

FIKIH DARAH WANITA

Menentukan suatu darah apakah istihadhah atau haid berdasarkan kebiasaan lamanya haid wanita yang bersangkutan

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada Ummu Habibah binti Jahsy, “Berdiamlah sesuai kadar (masa) haidmu, kemudian mandilah.” (HR. Muslim)

Menentukan suatu darah apakah istihadhah atau haid dengan cara melihat sifat darahnya

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada Fathimah bintu Abi Hubaisy, “Jika darah haid, itu kehitam-hitaman dan telah dikenal. Jika demikian, tahanlah (berhentilah) dari sholat. Jika (cirinya) lain, maka wudhulah dan sholatlah. Karena itu adalah urat (yang terputus sehingga mengeluarkan darah, pent).” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai, dishahihkan Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Albani)

Menentukan suatu darah apakah istihadhah atau haid berdasarkan kebiasaan lamanya haid kebanyakan para wanita, yaitu 6 atau 7 hari

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda kepada Hamnah bintu Jahsy, “Maka (hitunglah) haid selama 6 atau 7 hari dalam ilmu Allah kemudian mandilah hingga engkau melihat telah suci dan bersih sholatlah 23 atau 24 hari dan malam dan berpuasalah karena yang demikian itu mencukupimu. Demikianlah kau berbuat pada setiap bulan sebagaimana wanita (lain) mengalami (masa) haid dan suci mereka.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, dihasankan oleh al-Bukhari)

Darah yang keluar dalam periode 40 hari setelah melahirkan adalah darah nifas

“Para wanita nifas di masa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk (berdiam tidak sholat) setelah nifas (masa melahirkan) selama 40 hari atau 40 malam.” (HR. Abu Dawud dari Ummu Salamah, dishahihkan al-Hakim disepakati adz-Dzahabi, dihasankan an-Nawawi disepakati Ibnu Hajar dan al-Albani)

Melaksanakan salat zuhur dan asar apabila wanita suci sebelum matahari terbenam, dan melaksanakan salat magrib dan isya apabila wanita suci sebelum terbit fajar

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Para ulama bersepakat -seperti Imam Malik, asy-Syafi'i dan Ahmad- mereka mengatakan: Apabila wanita yang haidh suci diakhir siang, dia tetap melaksanakan shalat dzuhur dan ashar, dan jika suci diakhir malam, maka dia tetap melaksanakan shalat maghrib dan isya.” (Al Mulakhosul Fiqh 1/59 cet. Darul Aqidah)

FIKIH SALAT BERJAMAAH

Membangun masjid, dan menjaga kebersihan dan kewangian masjid

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membangun masjid di pemukiman-pemukiman, membersihkannya, dan memberi wewangian.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan at-Tirmidzi)

Menghilangkan bau tidak sedap sebelum ke masjid

Amirul Mukminin Umar bin al-Khattab berkata, “Wahai manusia kalian memakan dua tumbuhan yang tidaklah aku melihat keduanya melainkan suatu yang khabits (tidak enak baunya) yakni bawang merah dan bawang putih ini, saya telah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam jika mendapati bau keduanya dari seseorang di masjid, beliau memerintahkan untuk mengeluarkannya ke Baqi', maka barangsiapa makan keduanya hendaklah memasaknya sampai matang.”

“Barang siapa makan sesuatu dari tumbuhan yang berbau busuk ini maka sekali-kali janganlah mendekati masjid.” Lalu orang-orang pun berkata: haram, haram. Maka sampailah hal itu kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Wahai manusia sesungguhnya bukanlah hakku mengharamkan apa yang Allah ta'ala halalkan untukku, namun dia tumbuhan yang dibenci baunya.” (HR. Muslim)

“Barang siapa makan sayur ini (bawang putih) maka jangan sekali-sekali mendekati masjid kami sampai hilang baunya.”
Dalam lafazh yang lain, “Jangan sekali-kali datang ke masjid-masjid.” (HR. Muslim)

Makan dulu sebelum melaksanakan salat jika makanan telah dihidangkan, dan buang air dulu sebelum melaksanakan salat bagi yang menahan buang air

“Tidak ada shalat ketika makanan telah dihidangkan, begitu pula tidak ada shalat bagi yang menahan (kencing atau buang air besar).” (HR. Muslim no. 560)

“Jika salah seorang di antara kalian ingin membuang hajat padahal shalat (jama’ah) telah ditegakkan, maka hendaklah ia membuang hajatnya (terlebih dahulu).” (HR. Abu Dawud)

Ketika mendengar azan, mengucapkan seperti apa yang muazin ucapkan, kemudian bersalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, kemudian berdoa meminta wasilah untuk Nabi shallallahu alaihi wasallam

“Jika kalian mendengar mu’adzin, maka ucapkanlah seperti apa yang dia ucapkan lalu bershalawatlah kalian kepadaku. Karena sesungguhnya barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali, maka Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali. Lalu mintalah kepada Allah wasilah untukku karena (wasilah) itu adalah satu kedudukan (yang tertinggi -red) dalam jannah yang tidak sepantasnya (dimiliki) kecuali bagi seorang hamba diantara hamba-hamba Allah. Dan aku berharap (hamba) itu adalah aku. Maka siapa yang memintakan wasilah tersebut untukku, maka halal baginya syafa’atku.” (HR. Muslim)

Mengucapkan sebagaimana ucapan muazin ketika azan berkumandang kemudian berdoa setelah selesai azan

Seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya para muadzin telah mendahului kami dalam keutamaan.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ucapkan sebagaimana ucapan mereka (para muadzin), dan jika telah selesai (adzan), maka berdoalah, niscaya engkau akan diberi (oleh Allah).” (HR. Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Hibban, dinyatakan hasan shahih oleh al-Albani)

“Dua doa yang tidak akan ditolak: doa ketika adzan dan ketika turunnya hujan.” (HR. al-Hakim, dihasankan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ 3078)

Membaguskan/menyempurnakan wudu apabila hendak mendatangi salat berjamaah

Dari Abu Rouh dari Dzil Kalaa’ dari seorang laki-laki (Sahabat Nabi) bahwasanya ia sholat Subuh bersama Nabi shollallahu alaihi wasallam. Beliau shallallahu alaihi wasallam membaca surat ar-Rum kemudian beliau mengulang-ulang satu ayat (karena ada yang terlupa, pent). Ketika selesai sholat beliau bersabda, “Sesungguhnya tersamarkan padaku (bacaan) al-Quran. Sesungguhnya kaum di antara kalian ada yang sholat bersama kami tidak menyempurnakan wudhu. Barangsiapa yang sholat bersama kami hendaknya memperbaiki wudhu’nya.” (HR. Ahmad, dihasankan Ibnu Katsir dan al-Albani)

Berwudhu di rumah, menyempurnakan wudhunya, dan berangkat ke masjid dengan berjalan kaki

“Bahwa seseorang jika berwudhu di rumahnya dan menyempurnakan wudhu'nya kemudian keluar dari rumahnya menuju masjid, tidaklah dia keluar dari rumahnya kecuali untuk shalat, niscaya tidaklah satu langkahnya kecuali Allah angkat satu derajat baginya, dan menghapus satu dosanya, dan jika dia masuk masjid kemudian shalat maka sesungguhnya para malaikat bershalawat kepadanya selama dia masih tetap di tempat shalatnya, Malaikat berdoa: Yaa Allah berilah keselamatan atasnya, Yaa Allah ampunilah dia, Yaa Allah rahmatilah dia.” (Mutafaqun alaihi)

Larangan berwudu dan mendatangi salat berjamaah dengan tergesa-gesa 

Dari Abdullah bin Abi Qotadah dari ayahnya beliau berkata, “Ketika kami sholat bersama Nabi shollallahu alaihi wasallam tiba-tiba terdengar gerakan kaki para lelaki (tergesa-gesa). Setelah selesai sholat beliau bertanya, ‘Ada apa dengan kalian?’ Para Sahabat menyatakan, ‘Kami tergesa-gesa menuju sholat.’ Nabi menyatakan, ‘Janganlah demikian. Jika kalian mendatangi sholat, hendaknya kalian tenang. Apa yang kalian dapati maka sholatlah, apa yang terluput, maka sempurnakanlah.’” (HR. al-Bukhari dan Muslim)   

“Barangsiapa yang berwudhu kemudian menyempurnakan wudhu’nya kemudian berangkat (ke masjid), di sana ia dapati manusia telah selesai sholat, Allah Azza Wa Jalla akan memberikan kepadanya pahala seperti orang yang hadir dan sholat, tidaklah dikurangi dari pahalanya sedikitpun.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan al-Hakim dan disepakati adz-Dzahabi dan al-Albani)

Bersalawat untuk Nabi shallallahu alaihi wasallam dan berdoa ketika masuk masjid

Adalah Rasulullah bila masuk masjid bershalawat untuk diri beliau sendiri dan berkata,
رَبِّ اغْفِرْلِي ذَنْبِيْ وَافْتَحْ لِي أَبْوَابَ رَحْمَتِكَ
“Wahai Rabbku ampunilah dosa-dosaku dan bukakanlah bagiku pintu-pintu rahmat-Mu.” (HR. At-Tirmidzi 2/314, dishahihkan Al Albani)

Larangan meninggalkan masjid saat sudah dikumandangkan azan kecuali jika ada keperluan 

“Tidaklah ada yang mendengar adzan di masjidku kemudian keluar darinya kecuali karena ada keperluan, kemudian tidak kembali kecuali ia adalah munafiq.” (HR. at-Thabrani, dinyatakan oleh al-Haitsami bahwa para perawinya adalah para perawi dalam as-Shahih)

Dari Abusy Sya’tsa’ beliau berkata, “Kami sedang duduk di masjid bersama Abu Hurairah kemudian muadzin mengumandangkan adzan. Tiba-tiba seorang laki-laki berdiri dari masjid berjalan pergi. Kemudian Abu Hurairah mengikuti dengan pandangannya hingga laki-laki itu keluar masjid. Maka Abu Hurairah berkata, ‘Orang ini telah bermaksiat kepada Abul Qosim (Nabi Muhammad) shollallahu alaihi wasallam.’” (HR. Muslim) 

Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam keluar (menuju masjid) dan telah dikumandangkan iqomat sholat serta shaf telah ditegakkan, hingga ketika beliau telah berdiri di tempat sholatnya dan kami menunggu takbir beliau. Beliau berpaling dan menyatakan, “Tetaplah di tempat kalian.” Maka kami diam tetap dalam keadaan kami itu hingga beliau keluar menuju kami kepalanya meneteskan air (menunjukkan bahwa beliau) telah mandi. (HR. al-Bukhari)

Jika salat berjamaah dengan satu makmum laki-laki dan satu makmum wanita maka makmum laki-laki berdiri sejajar di sebelah kanan imam sedangkan makmum wanita di belakang mereka

Dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengimami beliau dan seorang wanita di antara mereka. Kemudian beliau menjadikan Anas di sebelah kanan beliau dan seorang wanita di belakang itu. (HR. Abu Dawud, Ahmad, dishahihkan al-Albani) 

Merapatkan dan meluruskan shaf serta menyempurnakan shaf terdepan sebelum shaf berikutnya

“Sungguh-sungguh kalian luruskan shaf-shaf kalian atau Allah akan mencerai beraikan wajah (hati) kalian.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

“Rapatkan shaf-shaf kalian dan dekatkan antar shaf dan luruskan antar leher. Demi Allah yang jiwaku berada di Tangan-Nya sungguh aku melihat syaitan masuk di celah-celah shaf bagaikan anak kambing kecil.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan Ibnu Khuzaimah dan Al-Albani)

“Tegakkan shaf-shaf, dan luruskan antar bahu dan tutuplah celah, lunakkan tangan saudara kalian dan janganlah meninggalkan celah-celah bagi syaithan. Barangsiapa yang menyambung shaf maka Allah akan menyambungnya (dengan pahala) dan barangsiapa yang memutus shaf maka Allah akan memutusnya.” (HR. Abu Dawud, dishahihkan Al-Albani) 

“Sempurnakan shaf pertama kemudian yang setelahnya. Jika ada kekurangan (jumlah jamaah yang memenuhi shaf, pent) hendaknya di shaf paling akhir.” (HR. Abu Dawud dan an-Nasai, dishahihkan Ibnu Khuzaimah dan Al-Albani) 

Shaf laki-laki yang paling utama adalah yang paling depan, dan shaf wanita yang paling utama adalah yang paling belakang

“Sebaik-baik shaf para lelaki adalah di depan dan seburuk-buruknya adalah di akhir, dan sebaik-baik shaf para wanita adalah di akhir sedangkan yang terburuk adalah di paling depan.” (HR. Muslim)

Pada salat berjamaah perempuan yang diimami oleh seorang perempuan, maka posisi imam berada di tengah-tengah shaf makmum yang terdepan

Dari Raithah al-Hanafiyyah bahwasanya Aisyah mengimami mereka (para wanita) pada salat wajib dan beliau (Aisyah) berdiri di tengah-tengah mereka. (HR. Abdurrazzaq, ad-Daraquthni, al-Baihaqi, dishahihkan sanadnya oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’)

Dari Ummu Salamah bahwasanya beliau mengimami mereka (para wanita) dan berdiri di tengah-tengah mereka. (HR. Abdurrazzaq, ad-Daraquthni, al-Baihaqi) 

Imam salat ditetapkan oleh pemerintah, dan muazin ditunjuk oleh imam salat, dan hendaknya imam menyesuaikan panjang pendeknya salat dengan keadaan makmum, dan hendaknya muazin tidak mengambil upah dari azannya

Utsman bin Abi Al-'Ash berkata, “Wahai Rasulullah, jadikanlah saya sebagai imam kaumku!” Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Kamu adalah imam mereka, dan perhatikanlah orang-orang yang lemah di antara mereka (dalam panjang dan pendeknya shalat), dan tunjuklah seorang muadzin yang tidak mengambil upah dari adzannya.”

Yang paling berhak menjadi imam salat adalah yang paling banyak hafalannya, yang lebih dahulu hijrah, dan yang paling tua umurnya

“Orang yang menjadi imam (sholat) suatu kaum adalah lebih (banyak hafalan) al-Qurannya. Jika dalam hal bacaan sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika dalam hal hijrah sama, maka yang lebih tua usianya. Dan tidak boleh seseorang mengimami orang lain dalam keluarga atau dalam kekuasaanya.” (HR. Muslim)

Ketika kaum Muhajirin yang pertama tiba di Quba’ sebelum kedatangan Rasulullah shallallahu alaihi wasalam, yang menjadi imam mereka adalah Salim maula Abu Hudzaifah yang paling banyak (hafalan) Qurannya. (HR. al-Bukhari)

Boleh bagi orang yang kurang utama menjadi imam bagi orang yang lebih utama 

Abu Bakr sholat (menjadi imam) bagi manusia sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berada di shaf. (HR. Ahmad, an-Nasa'i, dishahihkan Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Albani) 

Al-Mughiroh berkata, “Maka aku datang bersama beliau (Rasulullah, sepulang dari perang Tabuk, pent), hingga kami mendapati manusia telah menjadikan Abdurrohman bin Auf sebagai imam, maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mendapati salah satu rokaat, beliau sholat bersama manusia rokaat terakhir. Ketika Abdurrohman bin Auf mengucapkan salam, Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bangkit menyempurnakan sholatnya.” (HR. Muslim) 

Makmum salat mengikuti imam, baru bertakbir setelah imam bertakbir

"Seseorang dijadikan sebagai imam untuk diikuti. Jika ia takbir maka (segera) bertakbirlah kalian." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Tidak boleh mendahului gerakan imam ketika salat

“Tidakkah salah seorang dari kalian takut apabila mengangkat kepalanya mendahului imam bahwa Allah akan mengubah kepalanya menjadi kepala keledai atau mengubah wujudnya menjadi wujud keledai?” (HR. al-Bukhari)

Makmum salat sambil duduk jika imam salat sambil duduk

Rasulullah shollallahu alaihi wasallam sholat di rumahnya ketika sakit dalam keadaan duduk. Maka para Sahabat sholat di belakang beliau dengan berdiri. Maka beliau memberikan isyarat agar para makmum duduk. Setelah selesai sholat beliau bersabda, “Sesungguhnya imam dijadikan untuk diikuti. Jika ia rukuk, maka rukuklah. Jika ia bangkit maka bangkitlah. Jika ia sholat dengan duduk, maka sholatlah dengan duduk.” (HR. al-Bukhari) 

Makmum tetap salat sambil berdiri jika memulai salat sambil berdiri walaupun imam salat sambil duduk di tengah-tengah salat

Nabi shollallahu alaihi wasallam merasa berat (mengerjakan sholat karena sakit) kemudian beliau bertanya, “Apakah manusia sudah sholat?” Kami mengatakan, “Tidak. Mereka menunggu anda.” Nabi bersabda, “Letakkan untukku air dalam bejana.” Maka kami lakukan hal itu. Kemudian beliau mandi. Saat akan bangkit beliau pingsan. Kemudian beliau siuman. Kemudian Nabi bertanya, “Apakah manusia sudah sholat?” Kami berkata, “Tidak. Mereka menunggu anda wahai Rasulullah.” Nabi bersabda, “Letakkan untukku air di bejana.” Kemudian beliau duduk dan mandi. Saat akan bangkit beliau pingsan. Kemudian beliau tersadar. Kemudian bertanya, “Apakah manusia sudah sholat?” Kami berkata, “Tidak. Mereka menunggu anda wahai Rasulullah.” Nabi bersabda, “Letakkan untukku air di bejana.” Kemudian beliau duduk dan mandi. Saat akan bangkit beliau pingsan. Kemudian beliau siuman. 
Kemudian beliau bertanya, “Apakah manusia sudah sholat?” Kami berkata, “Tidak. Mereka menunggu anda wahai Rasulullah.” Manusia diam di masjid menunggu Nabi shollallahu alaihi wasallam untuk sholat Isya. Kemudian Nabi mengutus orang untuk memerintahkan Abu Bakr agar sholat bersama manusia (sebagai imam). Kemudian utusan itu datang dan berkata (kepada Abu Bakr), “Sesungguhnya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam memerintahkan engkau untuk sholat bersama manusia.” Abu Bakr adalah seseorang yang lembut. Ia berkata kepada Umar, “Wahai Umar, sholatlah bersama manusia (sebagai imam).” Umar berkata kepada beliau, “Engkau lebih berhak untuk itu.” Maka Abu Bakr menjadi imam pada hari-hari itu. Kemudian (setelah beberapa hari) Nabi merasa agak baikan. Kemudian beliau keluar dipapah dua orang salah satunya Abbas untuk sholat Dzhuhur. Pada saat itu Abu Bakr sedang mengimami manusia. Ketika Abu Bakr melihat Nabi, beliau mundur. Nabi memberi isyarat agar Abu Bakr tidak mundur (tetap di tempat). Nabi berkata, “Dudukkan aku di sampingnya (Abu Bakr).” Maka beliau didudukkan di samping Abu Bakr, sehingga Abu Bakr bermakmum kepada Nabi shollallahu alaihi wasallam dan manusia mengikuti Abu Bakr, dalam keadaan Nabi shollallahu alaihi wasallam sholat duduk. (HR. al-Bukhari) 

Imam salat dengan ringan namun tetap menjaga kesempurnaan salat

Anas bin Malik berkata, “Aku tidak pernah shalat di belakang imam yang lebih ringan dan sekaligus lebih sempurna shalatnya daripada Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam. Pernah beliau mendengar tangisan anak kecil, maka beliau ringankan shalat karena khawatir tangisan itu akan mengganggu konsentrasi ibu si anak.” (HR. al-Bukhari no. 667)

Imam menunjuk salah satu makmum untuk menggantikannya mengimami salat jika imam tidak mampu untuk melanjutkan salat

Sebagaimana Umar bin al-Khotthob ketika ditikam pada sholat Subuh, beliau memegang tangan Abdurrahman bin Auf untuk menggantikan beliau sebagai imam. (HR. al-Bukhari)

Demikian juga Ali bin Abi Tholib pernah terkena mimisan di hidungnya, kemudian beliau memilih salah satu makmum untuk menjadi imam menggantikannya. (Riwayat Said bin Manshur)

Jika selesai salat imam baru sadar bahwa ia ternyata berhadats, maka imam mengulangi salat sedangkan makmum tidak mengulangi salat

Umar sholat bersama manusia dalam keadaan junub, kemudian ia mengulangi sholat dan tidak memerintahkan mereka (makmum) untuk mengulangi sholat. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf) 

Dari Ibnu Umar bahwasanya ia sholat bersama mereka (para makmum) sholat Subuh kemudian beliau baru ingat bahwa beliau sholat tanpa berwudhu’, maka beliau mengulangi sedangkan mereka (para makmum) tidak mengulangi. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf)

Utsman sholat bersama manusia dalam keadaan junub kemudian beliau mengulang sholat dan mereka (para makmum) tidak mengulang sholat. (Riwayat al-Baihaqi dalam Ma’rifatus Sunan wal Atsar)

Ali berkata, “Jika seorang junub sholat bersama suatu kaum menjadi imam bagi mereka, maka aku perintahkan ia untuk mandi dan mengulang sholatnya dan aku tidak memerintahkan mereka (para makmum) untuk mengulang (sholatnya).” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf) 

Boleh bagi imam dan makmum segera beranjak dari tempat salat setelah salam jika ada keperluan, walaupun dengan melangkahi pundak orang-orang

Uqbah berkata, “Aku sholat Ashar di belakang Nabi shallallahu alaihi wasallam di Madinah. Kemudian beliau salam kemudian bangkit dengan cepatnya. Beliau melangkahi pundak-pundak manusia berjalan menuju kamar-kamar sebagian istrinya. Manusia merasa kaget dengan cepatnya langkah beliau. Setelah itu beliau keluar menuju manusia dan melihat para Sahabat heran dengan perbuatan beliau, kemudian beliau bersabda, ‘Aku ingat sesuatu berupa biji emas di sisi kami (yang harus dibagikan), aku tidak suka jika hal itu akan menahanku, maka aku perintahkan untuk (segera) dibagikan’.” (HR. al-Bukhari) 

Wanita yang ikut salat berjamaah di masjid segera beranjak keluar dari masjid setelah salam, dan imam diam sebentar setelah salam sebelum berpaling menghadap jamaah agar para wanita segera beranjak dari masjid

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam jika salam (dari sholat) beliau diam sebentar. Hal itu beliau lakukan agar para wanita segera beranjak (dari tempat sholat) sebelum para laki-laki. (HR. Abu Dawud, dishahihkan al-Albani)

Setelah salam dan berdiam sejenak, imam berpaling dari kanannya atau kirinya kemudian menghadap ke makmum 

As-Suddi berkata, “Aku bertanya kepada Anas bagaimana aku berpaling jika selesai sholat. Dari kanan atau dari kiri? Beliau berkata, ‘Aku kebanyakan melihat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam berpaling dari kanannya’.” (HR. Muslim) 

Ibnu Mas’ud berkata, “Janganlah kalian menjadikan sesuatu bagi syaithan dalam sholatnya. Ia menganggap bahwa yang benar tidaklah berpaling kecuali dari kanan. Sungguh aku telah melihat Nabi shallallahu alaihi wasallam kebanyakan berpaling dari kirinya.” (HR. al-Bukhari) 

Samurah bin Jundub berkata, “Nabi shallallahu alaihi wasallam jika selesai sholat menghadapkan wajahnya ke arah kami.” (HR. al-Bukhari)

Mengeraskan bacaan zikir setelah salat wajib berjamaah

Ibnu ‘Abbas berkata, “Sesungguhnya mengeraskan suara ketika berdzikir ketika jama’ah selesai menunaikan shalat wajib (setelah salam, pen) merupakan kebiasaan yang dilakukan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
Ibnu ‘Abbas berkata, “Dahulu aku bisa mengetahui bahwa mereka (para jama’ah shalat, pen) telah selesai mengerjakan shalat, apabila aku mendengarnya (mendengar suara dzikir yang dikeraskan setelah shalat, pen).” (HR. al-Bukhari 841, Muslim 583)

Tetap di tempat salat setelah selesai salat

“Bahwa seseorang jika berwudhu di rumahnya dan menyempurnakan wudhu'nya kemudian keluar dari rumahnya menuju masjid, tidaklah dia keluar dari rumahnya kecuali untuk shalat, niscaya tidaklah satu langkahnya kecuali Allah angkat satu derajat baginya, dan menghapus satu dosanya, dan jika dia masuk masjid kemudian shalat maka sesungguhnya para malaikat bershalawat kepadanya selama dia masih tetap di tempat shalatnya, Malaikat berdoa: Yaa Allah berilah keselamatan atasnya, Yaa Allah ampunilah dia, Yaa Allah rahmatilah dia.” (Mutafaqun alaihi)

Teranggap mendapatkan salat berjamaah bersama imam jika mendapatkan minimal satu rakaat bersama imam

“Barangsiapa yang mendapatkan satu rakaat shalat, maka ia telah mendapati shalat (bersama imam).” (HR. Bukhari dan Muslim)

“Barangsiapa mendapatkan satu rakaat pada shalat Jum'at,  hendaklah ia menambah satu rakaat lagi. Dengan demikian, sempurnalah shalat Jum'atnya.” (HR. an-Nasa'i)

Mengadakan salat berjamaah lagi di masjid bagi yang terlambat mendatangi salat berjamaah

Dari Abu Said al-Khudri, bahwa seorang laki-laki masuk ke masjid saat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam telah sholat bersama para Sahabatnya. Maka Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang (mau) bershodaqoh untuk satu orang ini sehingga sholat bersamanya?” Maka berdirilah satu orang laki-laki kemudian sholat (berjamaah bersama orang yang terlambat, pent).” (HR. Ahmad) 

Dari Abu Utsman beliau berkata, “Anas mendatangi kami (di masjid) saat kami telah sholat. Maka beliau (menyuruh) adzan, iqomat, dan sholat bersama para Sahabatnya.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi, dan disebutkan secara ta’liq oleh al-Bukhari dalam Shahih-nya)

Dari Salamah bin Kuhail, bahwasanya Ibnu Mas’ud masuk ke masjid yang telah ditegakkan sholat (berjamaah), maka beliau kemudian berjamaah dengan Alqomah, Masruq, dan al-Aswad. (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih)

Pulang dan salat berjamaah bersama keluarganya di rumah bagi yang terlambat mendatangi salat berjamaah

Dari Abu Bakrah, bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam datang dari pinggiran Madinah hendak sholat, ternyata beliau dapati manusia telah selesai sholat. Maka kemudian beliau kembali ke rumahnya, mengumpulkan keluarganya, dan sholat bersama mereka. (HR. at-Thabrani, dinyatakan para perawinya terpercaya oleh al-Haitsami) 

Senin, 16 November 2015

DOA-DOA DI DALAM AL-QURAN DAN AS-SUNNAH

Berdoa meminta ampunan untuk kedua orang tua
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ
“Wahai Rabbku! Ampunilah aku dan ibu bapakku.” (Nuh: 28)

Berdoa meminta rahmat untuk kedua orang tua
رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (Al Isra 23-24)

Berdoa meminta ampunan dan rahmat
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنفُسَنَا وَإِن لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Wahai Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Al-A’raf: 23)
رَبِّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي فَاغْفِرْ لِي
“Wahai Rabbku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri karena itu ampunilah aku.” (Al-Qashash: 16)

Doa meminta dijauhkan dari fitnah
رَبَّنَا لَا تَجْعَلْنَا فِتْنَةً لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Wahai Rabb kami, janganlah Engkau jadikan kami sasaran fitnah bagi kaum yang zalim.” (Yunus: 85)

Doa meminta kebaikan di dunia dan di akhirat
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka.” (Al-Baqarah: 201)

Doa meminta istri dan keturunan yang saleh dan salihah
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa.” (al-Furqan: 74)
رَبِّ هَبْ لِي مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Wahai Rabb-ku, anugerahkanlah kepadaku dari sisi-Mu seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (Ali ‘Imran: 38)
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Wahai Rabb-ku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (ash-Shaffat: 100)
رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلَاةِ وَمِنْ ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاءِ
“Wahai Rabbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang-orang yang tetap mendirikan shalat, Wahai Rabb kami, perkenankanlah doaku.” (Ibrahim: 40)

Doa meminta kepada Allah agar diterima amalannya
رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيم
“Ya Rabb kami terimalah dari kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Doa meminta diberikan akhlak yang baik
اللَّهُمَّ اهْدِنِى لأَحْسَنِ الأَخْلاَقِ لاَ يَهْدِى لأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ وَاصْرِفْ عَنِّى سَيِّئَهَا لاَ يَصْرِفُ عَنِّى سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ
“Ya Allah tunjukilah aku kepada akhlak yang paling baik karena sesungguhnya tidak ada yang dapat menunjukkanku padanya kecuali Engkau, dan palingkanlah aku dari kejelekan akhlak karena tidak ada yang memalingkannya kecuali Engkau.” (HR. Muslim)

Doa meminta dipilihkan antara hidup dan mati
اللهُمَّ بِعِلمِكَ الْغَيْبَ وَ قُدْرَتِكَ على الْخَلْقِ أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الحَيَاةَ خَيْرًا لي وَتَوَفَّنِي إَذَا كَانَتِ الوَفَاةُ خَيْرًا لي
“Ya Allah dengan ilmu-Mu tentang yang ghaib dan kekuasaan-Mu terhadap makhluk-Mu, hidupkanlah aku yang Engkau telah ketahui bahwa hidup itu lebih baik bagiku dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku.” (HR. an-Nasa’i dan al-Hakim, dishahihkan al-Albani dalam Shahih an-Nasa’i no. 1304)

Doa berlindung dari kesyirikan
اللّٰهٌمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَُشْرِكَ بِكَ وَ أَنَا أَعْلَمُ وَ أَسْتَغْفِرٌكَ لِمَا لا أَعْلَمُ
“Ya Allah, Aku Berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dalam keadaan aku mengetahuinya. Dan aku memohon ampun kepada-Mu pada apa yang tidak aku mengetahuinya.” (HR. Al-Bukhori dalam Al-Adabul Mufrod, disahihkan Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrod)

Doa berlindung dari empat kejelekan
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُبِكَ مِنْ عِلْمٍ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ يُسْتَجَابُ لَهَا
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusyuk, jiwa yang tidak merasa kenyang (puas), dan dari doa yang tidak dikabulkan.” (HR. Muslim no. 2722)

FIKIH HARI RAYA

Memperbanyak takbir dan tahlil

“Dahulu Ibnu 'Abbas radhiyallahu anhuma bertakbir dengan mengatakan,
الله أكبر ،الله أكبر ،الله أكبر ،لا إله إلا الله ،والله أكبر ،الله أكبر ،ولله الحمد
(Diriwayatkan al-Baihaqi, disahihkan al-Albani dalam al-Irwa' 3/125)

“Dahulu Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu bertakbir pada hari-hari tasyriq,
الله أكبر، الله أكبر، لا إله إلا الله، والله أكبر، الله أكبر، ولله الحمد
(Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, disahihkan al-Albani dalam al-Irwa' 3/125)

Bertakbir dan bertahlil dengan mengangkat suara

Ibnu 'Umar radhiyallahu anhuma berkata, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam apabila keluar untuk melakukan shalat id beliau mengangkat suara seraya bertahlil dan bertakbir.”

Menambahkan tahmid dan tasbih ketika bertakbir

“Apakah penambahan dalam takbir,
الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا
sah dan sahih?”
Syaikh Bin Baz berkata, “Tsabit (sah), diriwayatkan oleh al-Imam Muslim di dalam Shahih-nya.” (Majmu' Fatawa Ibnu Bazz 25/243)

ADAB-ADAB BERDOA

Menghadirkan hati dan khusyuk dalam berdoa

“Ketahuilah bahwasanya Allah tidak akan menerima do’a dari hati yang lalai dan kosong.” (HR. At-Tirmidzi, dishahihkan Al-Albani)

Mengangkat tangan ketika berdoa

“Sesungguhnya Rabb kalian tabaraka wa ta'ala Maha Pemalu dan Maha Pemurah. Dia malu dari hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya (memohon) kepada-Nya lalu menurunkan keduanya dalam keadaan kosong (tidak mendapatkan rahmat-Nya).” (HR. Abu Daud 1488 dan at-Tirmidzi 3566)

Berdoa dengan terus menerus dan dengan suara yang lembut

“Berdo’alah kepada Rabb kalian dengan terus menerus dan suara lembut. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Al A’raf: 55)

Berdoa ketika safar, berdoa dengan mengucapkan Yaa Rabb… atau Rabbi… atau Rabbana… di awal doa, mengulang-ulang doanya, dan mencari rezeki dengan cara yang baik lagi halal

“Sesungguhnya Allah Ta’ala itu Maha berbuat baik. Dia tidak akan menerima sesuatu melainkan yang baik pula. Dan sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin sebagaimana Dia memerintahkannya kepada para rasul-Nya dengan firmannya, “Wahai Para Rasul makanlah yang baik-baik dan beramal shalihlah.” Dan Dia berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman makanlah yang baik-baik dari apa yang Kami rizkikan kepada kalian.” Kemudian beliau menceritakan tentang seseorang yang melakukan perjalan jauh dalam keadaan kumal dan berdebu. Dia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berkata, ‘Wahai Rabbku, wahai Rabbku.’ Padahal makanannya dari barang yang haram, minumannya dari yang haram, pakaiannya dari yang haram dan kebutuhannya dipenuhi dari sesuatu yang haram, maka (jika begitu keadaannya) bagaimana doanya akan dikabulkan.” (HR. Muslim)

Berdoa dengan mengucapkan Yaa Allah… atau Allahumma di awal doa, dan menangis ketika berdoa

Nabi shallallahu alaihi wasallam membaca firman Allah Azza Wa Jalla tentang Ibrahim, “Wahai Tuhanku, sesungguhnya mereka telah menyesatkan kebanyakan manusia. Barangsiapa yang mengikutiku sesungguhnya ia termasuk (golongan)ku.” (Ibrahim: 36)
Dan Isa ‘alaihissalam berkata, “Jika Engkau mengadzab mereka, sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu. Dan jika Engkau ampuni mereka, sesungguhnya Engkau adalah Yang Maha Perkasa lagi Maha Hikmah.” (al-Maaidah: 118)
Kemudian Nabi mengangkat kedua tangannya dan berdoa, “Ya Allah, umatku… umatku….” Kemudian beliau menangis. Allah berfirman, “Wahai Jibril pergilah ke Muhammad –dan Tuhanmu Maha Mengetahui– dan tanyakan kepadanya mengapa dia menangis.” Kemudian Jibril alaihissalam mendatangi Nabi dan bertanya kepada beliau, lalu beliau mengkhabarkan kepada Jibril. Kemudian Allah berfirman kepada Jibril, “Wahai Jibril pergilah ke Muhammad dan katakan bahwa Kami akan membuatmu ridha terhadap umatmu dan tidak akan berbuat buruk terhadapmu.” (HR. Muslim)

Berdoa dengan tawasul dengan nama-nama Allah yang baik dan sifat-sifat-Nya yang tinggi

“Dan hanya milik Allah nama-nama yang baik. Maka berdo’alah kalian dengan (wasilah) nama-nama tersebut.” (Al A’raaf: 180)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajarkan sebuah doa,
اللهُمَّ بِعِلمِكَ الْغَيْبَ وَ قُدْرَتِكَ على الْخَلْقِ أَحْيِنِي مَا عَلِمْتَ الحَيَاةَ خَيْرًا لي وَتَوَفَّنِي إَذَا كَانَتِ الوَفَاةُ خَيْرًا لي
“Ya Allah dengan ilmu-Mu tentang yang ghaib dan kekuasaan-Mu terhadap makhluk-Mu, hidupkanlah aku yang Engkau telah ketahui bahwa hidup itu lebih baik bagiku dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku.” (HR. An Nasa’i dan Al Hakim serta dishohihkan Al Albani dalam Shohih An Nasa’i no. 1304)

Berdoa dengan tawasul dengan amalan saleh yang pernah dilakukannya

Rasulullah mengkisahkan cerita panjang tentang tiga orang dari kaum terdahulu terperangkap di sebuah gua karena tertutup batu besar. Salah satu di antara mereka bertawasul dengan amalan berbakti kepada kedua orang tuanya. Yang kedua bertawasul dengan terjaganya kehormatan dia dari perbuatan zina dan yang ketiga bertawasul dengan penunaian amanahnya. (Muttafaqun alaihi)

Berdoa dengan tawasul dengan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya

Allah berfirman,
رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادَيًا يُنَادِي لِلإِيْمَانِ أَنْ آمِنُوْا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْلَنَا ذُنُوْبَنَا وَ كَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَ تَوَفَّنَا مَعَ الأَبْرَارِ
“Wahai Rabb kami sesungguhnya kami telah mendengar seruan orang yang menyeru (Muhammad) kepada keimanan yaitu: Berimanlah kalian kepada Rabb kalian. Maka kami pun beriman. Wahai Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami, hapuskanlah kesalahan-kesalahan kami dan wafatkanlah kami bersama orang-orang yang baik.” (Ali Imran: 193)

Berdoa dengan tawasul dengan keadaannya yang sangat membutuhkan sesuatu kepada Allah

Nabi Zakariya berdoa,
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ الْعَظْمُ مِنِّي وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْ أَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا
“Wahai Rabbku sesungguhnya tulangku telah melemah, rambutku telah ditumbuhi uban dan aku belum pernah kecewa dalam berdo’a kepada-Mu, wahai Rabbku.” (Maryam: 4)

Tawasul dengan doa orang yang saleh kepada Allah

Anas bin Malik menceritakan tentang tawasul orang Arab Badui dengan do’a Nabi agar Allah menurunkan hujan ketika terjadi kekeringan dan menahan hujan ketika terjadi banjir. (Muttafaqun alaihi)

Umar bin Khatthab pernah bertawasul dengan do’a Abbas bin Abdul Mutthalib agar Allah menurunkan hujan. (Diriwayatkan al Bukhari dalam Shahih-nya)

Menutup doa dengan bersalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam

“Setiap doa tertutup hingga bershalawat kepada nabi.” (HR. Ad Dailami, dan dihasankan Al Albani)

Berdoa setelah selesai azan

Seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya para muadzin telah mendahului kami dalam keutamaan.” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ucapkan sebagaimana ucapan mereka (para muadzin), dan jika telah selesai (adzan), maka berdoalah, niscaya engkau akan diberi (oleh Allah).” (HR. Abu Dawud, an-Nasai, Ibnu Hibban, dinyatakan hasan shahih oleh al-Albani)

Berdoa di akhir tasyahud (ketika salat)

“Jika salah seorang kalian shalat, maka hendaklah dia memulai dengan memuji Allah dan mengagungkan-Nya, kemudian bershalawat atas Nabi, lalu berdoa dengan apa yang dia kehendaki.” (HR. At Tirmidzi, Abu Dawud, An Nasai, dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Muqbil dalam Al Jami’ Ash Shahih, 2/124)

Berdoa ketika turun hujan

“Dua doa yang tidak akan ditolak: doa ketika adzan dan ketika turunnya hujan.” (HR. al-Hakim, dihasankan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ 3078)

Berdoa di waktu lapang

“Barangsiapa yang senang Allah mengabulkan doanya ketika ditimpa kesulitan dan kesusahan, maka perbanyaklah berdoa ketika di waktu lapang.” (HR. at-Tirmidzi)