Cari Blog Ini

Kamis, 19 November 2015

FIKIH MENGURUS JENAZAH

Boleh menangis dan bersedih, tetapi tidak boleh mengucapkan kata-kata yang tidak diridhoi Allah

“Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam masuk menemui Abu Saif al-Qain. Istrinya adalah ibu susu Ibrahim (putra Rasulullah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pun mengambil Ibrahim dan menciumnya. Kemudian kami mendatanginya lain waktu saat Ibrahim telah meninggal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pun meneteskan air mata. Melihat hal itu, ‘Abdurrahman bin ‘Auf rahimahullah bertanya, ‘Anda menangis, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Wahai Ibnu ‘Auf, ini tangisan kasih sayang.’ Beliau menangis lagi dan berkata, ‘Mata ini menangis dan hati ini bersedih, tetapi kami tidak mengucapkan kecuali kata-kata yang diridhai Rabb kami. Sungguh, karena perpisahan denganmu ini, wahai Ibrahim, kami sangat sedih’.” (HR. al-Bukhari no. 1220 dari Anas bin Malik)

Memandikan jenazah, dilakukan oleh sesama jenis, sebanyak tiga kali atau lima kali atau lebih, dengan air dan bidara, dan pada yang terakhir dicampur kapur barus

Ummu Athiyyah radhiyallahu 'anha berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam masuk ketika kami sedang memandikan jenazah puterinya, lalu beliau bersabda, ‘Mandikanlah tiga kali, lima kali, atau lebih dari itu. Jika kamu pandang perlu pakailah air dan bidara, dan pada yang terakhir kali dengan kapur barus (kamfer) atau campuran dari kapur barus.’ Ketika kami telah selesai, kami beritahukan beliau, lalu beliau memberikan kainnya pada kami seraya bersabda, ‘Pakaikanlah ia dengan kain ini (pakaian yang langsung bersentuhan dengan kulit, pent).’” (Muttafaq Alaihi)

Kapur diletakkan pada tempat-tempat anggota sujud

Ibnu Mas’ud berkata, “Kapur diletakkan pada tempat-tempat anggota sujud.” (Riwayat al-Baihaqy dalam as-Sunanul Kubra no. 6952 dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf)

Mendahulukan bagian-bagian yang kanan dan tempat-tempat wudhu ketika memandikan jenazah

Dalam suatu riwayat, “Dahulukan bagian-bagian yang kanan dan tempat-tempat wudhu.”

Memintal rambut dengan tiga pintalan dan diletakkan di belakangnya ketika memandikan jenazah wanita

Dalam suatu lafadz menurut al-Bukhari, “Lalu kami pintal rambutnya tiga pintalan dan kami letakkan di belakangnya.”

Mengafani jenazah dengan kain putih

“Pakailah pakaianmu yang putih karena ia adalah pakaianmu yang terbaik, dan jadikan ia sebagai kain kafan mayit-mayitmu.” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan al-Hakim dan al-Albani)

Mengafani jenazah dengan kain bergaris

“Jika salah seorang dari kalian meninggal dunia kemudian bisa didapati sesuatu (kelapangan), hendaknya dikafani dengan pakaian hibaroh (bergaris).” (HR. Abu Dawud, dishahihkan Al-Albani)

Mengafani jenazah dengan 3 lembar kain putih dari kapas, dan tidak mengafani jenazah dengan kain yang berjahit

Aisyah berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dikafani dengan tiga pakaian putih Suhuliyyah (jenis kain berasal dari suatu tempat di Yaman) dari kapas, tanpa ada gamis dan surban padanya.” (Muttafaq Alaihi)

Membaguskan dalam mengafani jenazah

“Apabila seseorang di antara kamu mengkafani saudaranya, hendaknya ia baguskan mengkafaninya.” (HR. Muslim)

Boleh mensalatkan jenazah di kuburan

Ada laki-laki atau wanita hitam yang menjadi tukang sapu di masjid, dan beliau meninggal. Lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam bertanya tentangnya dan para sahabat mengatakan tukang sapu itu sudah meninggal. Nabi pun bertanya kenapa beliau tidak diberitahu. “Tunjukkan aku kuburannya!” Rasul pun mendatangi kuburannya dan shalat di situ. (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah)

Perintah meratakan kuburan

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata kepada Abul Hayyaj Al-Asadi, “Maukah aku mengutusmu dengan apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku? Janganlah engkau membiarkan gambar kecuali engkau hapus dan tidak pula kubur yang ditinggikan kecuali engkau ratakan.” (HR. Muslim no. 2240)

Tidak boleh berkumpul-kumpul di rumah duka dan membuat makanan setelah penguburan

Jarir bin ‘Abdillah al-Bajali berkata, “Kami (para sahabat) menganggap perbuatan berkumpul-kumpul di rumah duka dan membuat makanan setelah penguburan sebagai perbuatan meratapi mayit (yang terlarang).” (HR. Ahmad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar