Cari Blog Ini

Kamis, 19 November 2015

ADAB MENUNTUT ILMU

Menuntut ilmu untuk mencari ridho Allah Subhanahu wataala, bukan untuk mendapatkan harta benda dunia

“Barang siapa mempelajari ilmu yang (seharusnya) dicari dengannya wajah Allah Subhanahu wata’ala, (namun) ia tidaklah mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan harta benda dunia, ia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan dinyatakan sahih sanadnya oleh an-Nawawi)

Ibnu Mubarak berkata, “Tidaklah ada sesuatu yang lebih utama dibanding menuntut ilmu karena Allah, dan tidak ada sesuatupun yang paling dimurkai oleh Allah dibanding menuntut ilmu karena selain Allah.” (Al-Adab Asy-Syariah)

Tidak bersantai-santai dalam menuntut ilmu

Abdurrahman bin Hatim berkata, “Ilmu itu tidak akan dapat diraih dengan jasad yang bersantai-santai.” (Syiar a’lam an-Nubala’)

Tidak mencari ilmu hanya dengan membaca kitab

Al Imam Asy Syafi’i berkata, “Barangsiapa belajar dari perut-perut kitab, dia akan menyia-nyiakan hukum-hukum.”
Sebagian mereka berkata, “Termasuk musibah yang paling besar menjadikan lembaran (kitab) sebagai syaikh (guru), yaitu orang-orang yang belajar dari lembaran-lembaran.” (Tadzkirotus Sami’ wal Mutakallim, hlm. 87)

Al Imam Sa’id bin ‘Abdil ‘Aziz at-Tanukhi berkata, “Janganlah kalian memikul ilmu dari orang-orang yang mengambilnya dari lembaran-lembaran. Dan janganlah mengambil Al-Qur’an dari orang yang mempelajarinya dari mushaf.” (Tashhifat Al-Muhadditsin lil ‘Askariy, 1/6-7)

Mencari ilmu dari ulama-ulama yang berumur tua lagi amanah

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat bila ilmu dicari dari orang-orang shighor.”

Ibnu Mas’ud berkata, “Manusia terus berada dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang kabir mereka, orang-orang yang amanah di antara mereka, dan dari ulama-ulama mereka. Apabila mereka mengambil ilmu dari orang-orang shighor mereka dan orang-orang terburuk mereka, maka mereka akan binasa.”

Selektif memilih guru

Ibrahim An-Nakha'i berkata, “Mereka kaum salaf dahulu apabila mereka mendatangi seseorang untuk mengambil ilmu darinya, maka mereka akan melihat kepada shalatnya dulu dan melihat kepada sunnah-sunnah yang dia jalankan dan kepada bentuk pengamalannya. Baru setelah itu dia akan mengambil ilmu darinya.” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi 1/397. Lihat Ushul Ad-Da'watu As-Salafiyah Syaikh Abdussalam bin Barjas, hlm. 33)

Rajin menulis

“Ikatlah ilmu dengan menulis.” (HR. Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Taqyidul Ilmi dan Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi no. 395, dishahihkan Al-Albani dalam footnote Kitabul ‘Ilmi karya Ibnu Abi Khaitsamah no. 55)

Tidak malu untuk bertanya

Ummu Sulaim bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari al-haq. Apakah wanita diwajibkan mandi apabila dia ihtilam?” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Ya, apabila si wanita melihat air.” (HR. al-Bukhari no. 282 dan Muslim no. 710)

Mengamalkan ilmu

Abud Darda’ radhiallahu anhu
berkata, “Engkau tidak akan menjadi seorang alim hingga engkau menjadi orang yang belajar. Dan engkau tidak dianggap alim tentang suatu ilmu, sampai engkau mengamalkannya.” (Lihat: ‘Awa’iq Ath-Thalab, hal. 17-18)

Ali radhiallahu anhu berkata, “Ilmu membisikan untuk diamalkan, kalau seseorang menyambut (maka ilmu itu akan bertahan bersama dirinya). Bila tidak demikian, maka ilmu itu akan pergi.” (Lihat: ‘Awa’iq Ath-Thalab, hal. 17-18)

Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Seseorang alim senantiasa dalam keadaan bodoh hingga dia mengamalkan ilmunya. Bila dia sudah mengamalkannya, barulah dia menjadi alim.” (Lihat: ‘Awa’iq Ath-Thalab, hal. 17-18)

Waki' berkata, “Dulu kami menjadikan pembantu untuk menghafal hadits dengan mengamalkannya.” (Dari kitab At-Ta'shil fi Thalab al-Ilm, usul ke-6)

Imam Ahmad berkata, “Tidaklah aku menulis sebuah hadits, kecuali aku mengamalkannya (terlebih dahulu). Hingga aku melewati sebuah hadits dimanan Nabi berbekam kemudian memberikan upah satu dinar kepada Abu Thaibah, maka akupun memberikan satu dinar kepada tukang bekam ketika aku berbekam.” (Dari kitab At-Ta'shil fi Thalab al-Ilm, usul ke-6)

Menuntut ilmu sampai mati

Pada suatu hari ada seorang yang melihat Imam Ahmad sedang membawa tinta, orang tersebut  berkata, “Wahai Abu Abdillah, engkau telah sampai derajat seperti ini, engkau adalah imam muslimin, namun engkau membawa tinta bersamamu.” Maka beliau menjawab, “Bersama tinta sampai kuburan.” (Faedah dari Ustadz Abdurahman Mubarak)

Ketika ditanyakan kepada Abdullah bin al-Mubarak, “Sampai kapan engkau belajar ilmu?” Beliau menjawab, “Sampai meninggal insya Allah.” (Faedah dari Ustadz Abdurahman Mubarak)

Menuntut ilmu sedikit demi sedikit

Ibnu Syihab berkata kepada Yunus bin Yazid, “Wahai Yunus, janganlah engkau sombong terhadap ilmu, karena sesungguhnya ilmu itu beberapa lembah. Lembah mana saja yang kau tempuh, niscaya lembah itu akan memutuskanmu sebelum engkau sampai kepadanya. Akan tetapi tempuhlah lembah itu seiring perjalanan hari dan malam. Dan janganlah engkau mengambil ilmu itu sekaligus, karena ilmu itu akan hilang pula darinya sekalihus. Akan tetapi, ambillah sedikit demi sedikit sesuai perjalanan hari dan malam.” (At Ta'shil Fi Tolabil Ilmi, Usul ke-6)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar