Cari Blog Ini

Senin, 15 Desember 2014

Tentang MEMBAGI HARTA KEPADA AHLI WARIS KETIKA MASIH HIDUP

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Ketika ditanyakan kepada beliau tentang hukum membagikan harta peninggalan dan warisan ketika seseorang masih hidup, beliau hafizhahullah berkata:
لا بأس أن الإنسان يوزِّع ماله على ورثته على حسب ما قسمه الله سبحانه وتعالى، للذكر مثل حظ الأنثيين من الأولاد ومن الإخوة والأخوات ، ويقسِّمه على ما شرعه الله ولا يحيف مع بعضهم ، أو يخصص بعضهم دون من خصصه الله وفضَّله منهم ، فإذا وزَّع ترِكته على موجب المواريث على ورثته فله ذلك ، وكونه يُمسك ماله وينتفع به في حياته أحسن له من توزيع ماله على أولاده ويبقى بدون مال
“Tidak mengapa seseorang membagikan hartanya kepada ahli warisnya sesuai pembagian yang Allah Subhanahu wa Taala tentukan, yaitu bagi pria mendapatkan dua kali lipat dari bagian wanita, apakah anak atau saudara laki-laki dan perempuan (jika tidak memiliki anak). Dibagi sesuai yang disyariatkan oleh Allah dan tidak boleh curang terhadap sebagian mereka atau tidak boleh mengkhususkan sebagian mereka tanpa kekhususan yang Allah berikan. Jika dia membagi hartanya sesuai dengan ketentuan hukum waris kepada ahli warisnya maka hal itu boleh baginya. Namun jika dia menahan hartanya dan memanfaatkannya selama dia masih hidup maka hal itu lebih baik baginya dibandingkan membagikannya kepada anak-anaknya karena dia tidak memiliki harta lagi.”

Sumber: alfawzan .af .org .sa/node/13590

Alih bahasa: Abu Almass

forumsalafy .net

###

Asy-Syaikh Bin Baaz rahimahullah

Ketika ditanya tentang hukum membagi hartanya kepada ahli warisnya ketika masih hidup, beliau rahimahullah berkata:
هذا القسمة إن كانت على شرع الله بين أولاده وورثته على شرع الله فلا حرج فيها، ولكن ترك القسمة أولى، حتى لا يحتاج إلى أحد، حتى يأكل منها ويستفيد
Pembagian ini, jika sesuai dengan hukum Allah (syariat Islam) di antara anak-anaknya dan ahli warisnya, maka tidak ada masalah (hukumnya boleh). Akan tetapi meninggalkan pembagian (harta ketika dia masih hidup) lebih utama, sehingga dia tidak membutuhkan (bantuan) orang lain (untuk memenuhi kebutuhannya karena masih memiliki harta), bisa makan dari harta tersebut dan bisa memanfaatkan harta tersebut.

Beliau rahimahullah juga berkata:
المقصود إذا كانت القسمة موافقة للشرع بين أبنائه أو زوجاته ونحو ذلك فلا بأس، أما إذا كانت مخالفة للشرع فلا يجوز، أما بالنسبة للإخوة أو للأقارب الآخرين كبني العم يجوز أن يفضل بعضهم على بعض وهو حي صحيح، تصير عطية، إذا قسم بينهم تصير عطية لا بأس أن يعطي أخاه كذا، ويعطي ابن أخيه كذا، وخاله كذا لا بأس أن يعطيهم، مو على حسب الميراث، ما يلزمه أن يكون على حسب الميـراث، لأن هذا خاص بالأولاد، الرسول قال: اتقوا الله واعدلوا بين أولادكم
Artinya jika pembagian (harta) di antara anak-anaknya atau istri-istrinya sesuai dengan syariat (hukum agama), maka tidak mengapa. Akan tetapi jika itu bertentangan dengan syariat maka tidak boleh.
Adapun untuk saudara atau kerabat lain dari anak-anak paman (keponakan) boleh melebihkan (pembagian harta) sebagian mereka dari sebagian yang lain, sedangkan yang membagi harta masih hidup, sebagai hadiah (untuk mereka). Jika dibagi (harta) di antara mereka, (maka) menjadi hadiah, tidak mengapa. Memberi (harta) kepada saudara sekian, memberi kepada keponakan sekian, memberi kepada paman sekian. Tidak mengapa memberi hadiah kepada mereka, tidak harus sesuai dengan perhitungan ilmu waris. Ini (aturan ilmu waris) khusus untuk (pemberian kepada) anak. Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bertakwalah kepada Allah dan bersikaplah adil di antara anak-anak kalian.” (HR. Al-Bukhari)
ما قال: اتقوا الله واعدلوا بين الورثة، قال: واعدلوا بين أولادكم
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam  tidak mengatakan, “Bertakwalah kepada Allah dan bersikaplah adil di antara ahli waris kalian.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam  mengatakan, ”Dan bersikaplah adil di antara anak-anak kalian.”
فلو كان له أخوان، وأعطى المال واحدا من إخوانه ولم يعط الآخر لا حرج عليه، أو أعطاهما متفاضلين لا حرج عليه، أو أعطى خاله وخلى بني عمه، أعطى خاله لا بأس، ما دام في الصحة ما هو بمريض
Jika dia mempunyai dua orang saudara, dan diberikan harta kepada salah satunya dan tidak diberikan harta kepada saudaranya yang lain, tidak mengapa yang seperti itu. Atau keduanya diberikan harta dengan melebihkan harta kepada salah satunya, (juga) tidak mengapa. Atau diberikan harta kepada pamannya tanpa diberikan harta kepada sepupunya, (juga) tidak mengapa. Selama dia dalam keadaan sehat, tidak dalam keadaan sakit.
لكن الأولى له والذي ينبغي له أن يخلِّي له شيء يعنيه وينفعه حتى لا يمن عليه الناس ويتصدقوا عليه، إما يخلي المال كله أو يخلي شيء يفيده وينفعه حتى الموت
Akan tetapi yang lebih utama bagi dia dan yang seharusnya bagi dia adalah menyisakan bagi dia sebagian (harta) yang penting baginya dan yang bermanfaat baginya sehingga tidak membutuhkan bantuan dan sedekah dari orang lain, baik dengan menyisakan seluruh hartanya (tidak membagi harta sama sekali) ataupun dengan menyisakan sebagian harta yang berguna dan bermanfaat baginya sampai dia meninggal.

Sumber: binbaz .org .sa/mat/13172

###

Pertanyaan:
Seorang ayah yang dalam keadaan sehat mengatakan kepada ke-7 anaknya “ada dua bidang tanah -terpisah oleh parit- sebelah utara saya berikan kepada 5 (lima) anak wanitaku adapun yang di sebelah selatan saya berikan kepada 2 (dua) anak laki-lakiku, serta sebuah rumah saya berikan kepada salah satu dari anak laki-lakiku.” Apakah pemberian seperti ini sah? Perlu diketahui setelah ucapan (pemberian) tersebut, tanah dan rumah -yang disebutkan- masih dikelola oleh sang ayah dan hasilnya masih diambil alih oleh sang ayah sampai ia wafat (seakan-akan ucapan sang ayah tersebut adalah wasiat yang baru berlaku setelah ia wafat). Jazakallahu Kahairaa -atas nasehat dan bimbingannya- wa barokallahufik.... Wassalamu’alaikum...

Jawab:
Ma'asyaral muslimin rahimakumullah…
Bedakan antara hibah dengan wasiat dan warisan. Adapun hibah, pemberian dari orang tua kepada anak. Apabila orang tau hendak memberikan sesuatu kepada anaknya, maka dia harus berbuat adil, diantara anak-anaknya.
اتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ
“Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah di antara anak-anakmu.” (HR. Al-Bukhari no. 2650 dan Muslim no. 1623)
Dari An-Nu’man bin Basyir radhiallahu anhuma dia berkata:
تَصَدَّقَ عَلَيَّ أَبِي بِبَعْضِ مَالِهِ فَقَالَتْ أُمِّي عَمْرَةُ بِنْتُ رَوَاحَةَ لَا أَرْضَى حَتَّى تُشْهِدَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْطَلَقَ أَبِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُشْهِدَهُ عَلَى صَدَقَتِي فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَعَلْتَ هَذَا بِوَلَدِكَ كُلِّهِمْ قَالَ لَا قَالَ اتَّقُوا اللَّهَ وَاعْدِلُوا فِي أَوْلَادِكُمْ فَرَجَعَ أَبِي فَرَدَّ تِلْكَ الصَّدَقَةَ
“Ayahku pernah memberikan sebagian hartanya kepadaku, lantas ibuku yang bernama ‘Amrah bintu Rawahah berkata, “Saya tidak akan rela akan hal ini sampai kamu meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai saksinya.” Maka ayahku pergi menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk meminta beliau menjadi saksi atas pemberian tersebut, akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya: “Apakah kamu berbuat demikian kepada semua anak-anakmu?” dia menjawab, “Tidak.” Beliau bersabda: “Bertakwalah kepada Allah dan berbuat adillah di antara anak-anakmu.” Kemudian ayahku pulang dan meminta kembali pemberiannya kepadaku.” (HR. Al-Bukhari no. 2650 dan Muslim no. 1623)
Harus berbuat adil, kalau dia menghibahkan kepada anaknya, harus sama rata, sama rasa. Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini antara anak laki-laki dengan anak wanita. Meskipun ada sebagian pendapat para ulama mengatakan bahwa dalam hal hibah, seperti warisan. Wanita mendapatkan setengah dari bagian laki-laki.
Namun yang dzahir dari perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam عْدِلُوا bersikap adilah dengan anak-anak kalian dalam hal pemberian, menunjukkan dzahirnya harus disamakan semuanya. Kalau ini dapat sebidang tanah disini, dia juga, yang satunya juga harus diberi sebidang tanah yang senilai. Bukan yang satu sebidang tanah 10x15, dimana? Di Klandasan pinggir jalan. Yang satunya sebidang tanah, dimana? Di Samboja. Sama-sama sebidang tanah tapi nilainya berbeda, tidak adil. Jadi disamakan pula dalam hal nilainya. Ini namanya hibah, boleh dengan cara berbuat adil.
Wasiat, yang kaitannya dengan akan meninggalnya. Setelah meninggal, baru harta tersebut berpindah. Dan dalam hal ini tidak diperbolehkan wasiat kepada ahli waris. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengatakan:
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memberi masing-masing orang haknya, karenanya tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Abu Daud no. 3565, At-Tirmizi no. 2120, Ibnu Majah no. 2704, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Irwa` Al-Ghalil no. 1655)
Sehingga tidak bisa dijalankan. Sebagian para ulama mengatakan boleh asal disetujui oleh seluruh ahli warisnya. Karena ada riwayat yang menyebutkan:
عن ابي امامة الباهلى رضى الله عنه قال: سَمِعْتُ رَسُوْل الله صلى الله عليه وسلم يقول: إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ. رواه احمد والاربعة الا النسائ  وحسنه احمد والترمذي  وقواه ابن خزيمة وابن الجارود  ورواه الدارقطني من حديث ابن عباس وزاد في اخره الا ان يشاء الورثة  واسناده حسن
“Dari Umamah Al Bahili beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah memberikan hak kepada orang yang mempunyai hak, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
Diriwayatkan oleh Ahmad dan Al Arba’ah selain An Nasa’iy (Jadi hanya Abu Daud, At Tirmidzi dan Ibnu Majah) dan dinilai hasan oleh Ahmad dan At Tirmidzi, penilaian ini diperkuat oleh Ibnu Khuzaimah, dan Ibnu Jarud.
Juga diriwayatkan oleh Ad Daruquthni dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu dan beliau menambahkan pada akhir matannya kalimat: “…kecuali para ahli waris menghendakinya (menyetujuinya).” Dan sanadnya bagus.
Kemudian warisan, warisan yaitu setelah mati, dibagikan kepada ahli waris. Dibagikan kepada ahli waris.
Yang nampak dari pertanyaan ini, yang dzahir ini bukan hibah, karena kaitannya setelah meninggalnya. Sehingga dia mirip dengan wasiat. Sehingga wasiat tersebut tidak boleh dijalankan. Dan harus dikembalikan kepada hukum waris, pembagian warisan.
Pembagian warisan, masing-masing mendapatkan sesuai dengan apa yang Allah Subhanahu Wata'ala tetapkan. Kecuali apabila pemilik harta yang telah mendapatkan warisan sekian, merelakan. Sudah, untuk kamu ambil saja, bagianku sekian silahkan ambil tidak menjadi masalah. Itu tidak menjadi masalah, karena dia telah menggugurkan apa yang menjadi haknya. Jadi yang dzahir Wallahu Ta'ala A'lam ini tidak sah, tidak sah pernyataan sang ayah dan harus dikembalikan kepada hukum waris. Wallahu Ta'ala A'lamu bishawab.

http://www.thalabilmusyari.web.id/2013/07/menahan-harta-warisan-tanpa-alasan.html

Tentang MENUNDA-NUNDA PEMBAGIAN WARISAN

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Ketika ditanyakan kepada beliau tentang menunda pembagian harta peninggalan mayit, beliau hafizhahullah menjawab:
أما إذا مات الميت فإن ترِكته تؤول إلى ورثته ، وتجب المسارعة في قسمتها وإعطاء كلِّ ذي حقٍ حقه لينتفع به ويتوسع به ، وينال الميت أجرٌ من ذلك ، "إنك إن تذر ورثتك أغنياء خيرٌ من أن تدعهم عالةً يتكففون الناس" ، فيُبادَر إلا إذا كان هناك عوائق تمنع من القسمة فتؤخر إلى أن تزول هذه العوائق ،أما مادام ليس هناك عوائق من قسمة الترِكة فتجب المبادرة في قسمتها وإعطاء كلِّ ذي حقٍ حقه
“Adapun jika dia telah meninggal maka hartanya diserahkan kepada ahli warisnya dan wajib untuk segera membagikannya dan memberikan hak kepada setiap yang memiliki hak, agar dia bisa memanfaatkannya dan mendapatkan kelapangan dengannya. Juga agar si mayit mendapatkan pahalanya.
إِنَّكَ أَنْ تَذَرَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ، خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَذَرَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُوْنَ النَّاسَ
“Sesungguhnya engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan, hal itu lebih baik dibandingkan engkau meninggalkan mereka dalam keadaan kekurangan sehingga mereka mengemis kepada manusia.” (HR. Al-Bukhary no. 1295 dan Muslim no. 1628)
Jadi hendaknya disegerakan, kecuali jika ada hal-hal yang menghalangi pembagian sehingga terpaksa ditunda sampai hal-hal yang menghalangi tersebut hilang. Adapun selama tidak ada hal-hal yang menghalangi pembagian harta warisan, maka wajib menyegerakannya dan memberikan hak kepada setiap pihak yang memiliki hak.”

Sumber: alfawzan .af .org .sa/node/13590

Alih bahasa: Abu Almass

forumsalafy .net

###

Tanya:
Bismillah. Ustadz -hafizakalah-, mohon nasehat dan bimbingan, untuk ahli waris yang menahan pembagian harta warisan tanpa alasan yang jelas, sehingga hingga diantara ahli waris ada yang meninggal sebelum menerima haknya (warisan).

Jawab:
Ma'asyaral ikhwah rahimakumullah.
Apabila seorang telah meninggal dan dia memiliki harta, maka harta tersebut setelah diselesaikan segala keperluan jenazah, kemudian hutang-piutang, wasiat, masih ada tersisa dari harta tersebut, maka itu milik ahli waris. Apabila mereka hendak segera membagi, maka segera dibagi. Namun kalau mereka seluruhnya sepakat untuk menunda, ya terserah mereka, itu harta mereka. Kalau mereka seluruhnya sepakat untuk tidak membaginya terlebih dahulu, maka terserah mereka, itu tergantung kesepakatan mereka.
Tapi kapan salah satu diantara mereka tidak setuju, minta segera dibagi, ya hendaknya segera dibagi. Tapi kalau seluruhnya sepakat, ya silahkan karena itu hak mereka. Bagaimana kalau kemudian sampai ada yang meninggal, itu diserahkan kepada ahli waris yang meninggal. Misalnya dia punya anak, maka diserahkan kepada anaknya. Sekian anaknya dibagi-bagikan sesuai dengan berapa harta warisan yang dia dapatkan, maka itulah yang dibagikan kepada ahli waris yang berikutnya.

http://www.thalabilmusyari.web.id/2013/07/menahan-harta-warisan-tanpa-alasan.html

Tentang MEMANJANGKAN PAKAIAN HINGGA MENUTUPI MATA KAKI ATAU BAHKAN MELEBIHINYA

Isbal (memanjangkan pakaian hingga melampaui atau menutupi mata kaki) hukumnya haram, bahkan dapat dikategorikan sebagai kabair (dosa besar). Hukum ini berlandaskan pada keterangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di dalam hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu riwayat Muslim (no. 106) dan lainnya,
“Ada tiga golongan manusia pada hari kiamat nanti, Allah Subhanahu wata’ala tidak berbicara kepada mereka, tidak memandang ke arah mereka, juga tidak menyucikan mereka. Untuk mereka azab yang pedih.”
Kata-kata ini diulang sebanyak tiga kali oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Sampai-sampai para sahabat bertanya, “Siapakah ketiga golongan tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab,
ﺍﻟْﻤُﺴْﺒِﻞُ ﻭَﺍﻟْﻤَﻨَّﺎﻥُ ﻭَﺍﻟْﻤُﻨَﻔِّﻖُ ﺳِﻠْﻌَﺘَﻪُ ﺑِﺎﻟْﺤَﻠِﻒِ ﺍﻟْﻜَﺎﺫِﺏِ
“Orang musbil (orang yang melakukan isbal), orang yang selalu mengungkit-ungkit kebaikan, dan orang yang menjual barang dagangan dengan sumpah palsu.” (Fatwa al-Utsaimin, Nur ‘alad Darb ‏)

Hukum isbal hanya berlaku untuk kalangan laki-laki. Sebab, ada hukum tersendiri bagi kaum wanita. Kekhususan hukum ini untuk kaum laki-laki telah dinukilkan ijma’ ulama oleh Ibnu Raslan dalam Syarah Sunan. (Aunul Ma’bud, Syarah Sunan Abi Dawud‏)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻣَﺎ ﺃَﺳْﻔَﻞَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴْﻦِ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺈِﺯَﺍﺭِ ﻓَﻔِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ
“Sarung yang berada di bawah kedua mata kaki, ada di dalam neraka (kaki tersebut).”
Hadits dengan lafadz di atas diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 5450), an-Nasa’i (no. 5330), dan Ahmad (2/498), dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Seluruhnya dari riwayat Syu’bah, dari Sa’id al-Maqburi, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Al-Imam al-Bukhari rahimahullah memberi judul bab untuk hadits di atas bab “Pakaian yang Berada di Bawah Mata Kaki Akan Masuk Neraka.” Kemudian al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan, ”Demikianlah, al-Bukhari rahimahullah menyebutkan secara mutlak dan tidak memberikan taqyid (pembatasan) dengan ‘sarung’ sebagaimana yang terdapat di dalam lafadz hadits. Ini adalah isyarat bahwa hukum isbal berlaku secara umum baik untuk sarung, jubah, maupun pakaian lainnya. Sepertinya, al-Bukhari rahimahullah mengisyaratkan pada lafadz hadits Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Malik, Abu Dawud, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah; yang dinyatakan sahih oleh Abu Awanah dan Ibnu Hibban.” (Fathul Bari, Syarah Shahih al-Bukhari)

Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 3665) dan Muslim (no. 2085) dari sahabat Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺟَﺮَّ ﺛَﻮْﺑَﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﺨُﻴَﻠَﺎﺀِ ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﻈُﺮِ ﺍﻟﻠﻪُ ﺇِﻟَﻴْﻪِ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ
“Barang siapa menyeret pakaiannya (melebihi mata kaki) karena sombong, Allah Subhanahu wata’ala tidak akan memandangnya pada hari kiamat nanti.”
Dalam lafadz lain:
لاَ يَنْظُرُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ
“Allah pada hari kiamat nanti tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaiannya karena berlaku sombong.” (HR.Al-Bukhari no. 5783 dan Muslim no. 5420)

Sikap para ulama mengenai hal ini, mereka merincinya menjadi dua masalah:
1. Musbil disertai sikap sombong
Orang semacam inilah yang dimaksud oleh hadits Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu di atas. Orang seperti inilah yang diancam dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Ada tiga golongan manusia pada hari kiamat nanti, Allah Subhanahu wata’ala tidak berbicara kepada mereka, tidak memandang ke arah mereka, dan tidak menyucikan mereka. Untuk mereka azab yang pedih.”
2. Musbil tanpa diikuti oleh sikap sombong
Orang semacam ini siksanya di bawah tingkatan siksa jenis orang pertama. Orang seperti inilah yang dimaksud dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Orang semacam inilah yang diancam dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, “Sarung yang berada di bawah kedua mata kaki, ada di dalam neraka.” (Fatwa al-Utsaimin, Nur ‘alad Darb)

Pendapat para ulama di atas didukung oleh sebuah riwayat dari Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 4093), an-Nasa’i (no. 9714—9717), Ibnu Majah (no. 3573), dan yang lain, dinyatakan sahih oleh al-Albani dalam ash-Shahihah (no. 2017). Di dalam riwayat tersebut, dua keadaan di atas disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam secara berbeda dalam satu konteks. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﺃَﺳْﻔَﻞَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴْﻦِ ﻓَﻬُﻮَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ، ﻣَﻦْ ﺟَﺮَّ ﺇِﺯَﺍﺭَﻩُ ﺑَﻄَﺮًﺍ ﻟَﻢْ ﻳَﻨْﻈُﺮِ ﺍﻟﻠﻪُ ﺇِﻟَﻴْﻪِ
“Pakaian yang berada di bawah mata kaki, ada di dalam neraka. Barang siapa menyeret pakaiannya (melebihi mata kaki) karena sombong, Allah Subhanahu wata’ala tidak akan memandangnya.”

Ibnul ‘Arabi rahimahullah berkata sebagaimana dinukilkan secara ringkas oleh Al-Hafizh rahimahullah dalam Fathul Bari (10/325):
“Tidak boleh seseorang melebihkan pakaiannya dari mata kakinya lantas berkata, ‘Aku memanjangkannya bukan karena sombong.’ Karena larangan yang ada di dalam hadits terkadang mencakupnya secara lafadz. Dan tidak boleh bagi orang yang tercakup dalam lafadz secara hukum untuk mengatakan, ‘Aku tidak menjalankan larangan yang ada dalam hadits tersebut karena alasan/sebab yang dinyatakan dalam hadits tidak ada padaku’, karena semua ini merupakan pengakuan yang tidak bisa diterima. Bahkan dengan ia sengaja memanjangkan bagian bawah pakaiannya menunjukkan sifat takaburnya.”
Al-Hafizh rahimahullah berkata setelahnya:
“Kesimpulannya, isbal melazimkan menyeret pakaian. Sementara menyeret pakaian melazimkan sifat sombong, walaupun pemakainya tidak bertujuan untuk berlaku sombong. Yang  menguatkan hal ini adalah adits yang diriwayatkan secara marfu’ oleh Ahmad bin Mani’ dari jalan lain dari Ibnu ‘Umar radhiallahu anhuma:
إِياَّكَ وَجَرَّ الْإِزَارِ فَإِنَّ جَرَّ الْإِزَارِ مِنَ الْمَخِيْلَةِ
“Hati-hati engkau dari menyeret kainmu, karena menyeret kain termasuk kesombongan.”

Al-Imam Muslim rahimahullah (no. 2086) meriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau bercerita, “Aku pernah bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan kain sarungku turun. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegur, ‘Wahai Abdullah, tinggikan kain sarungmu!’ Aku pun mengangkatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap mengatakan, ‘Naikkan lagi!’ Aku pun mengangkatnya lebih tinggi. Setelah itu, aku selalu menjaga kain sarungku dalam posisi seperti itu.”Ada yang bertanya, “Sampai batas mana?” Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma menjawab, “Sampai pertengahan betis.”

Abu Ishaq bertutur, “Aku pernah melihat beberapa orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka menggunakan sarung sampai di tengah betis, di antaranya Ibnu Umar, Zaid bin Arqam, Usamah bin Zaid, dan al-Bara’ bin ‘Azib.” (Majma’ az-Zawaid)

Beberapa saat sebelum Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu meninggal dunia, seorang pemuda datang menjenguk untuk mendoakan dan menghibur Umar radhiyallahu ‘anhu. Ketika pemuda itu mohon izin, Umar melihat pakaiannya menutupi mata kaki. Umar pun menegur, “Wahai anak saudaraku, angkatlah pakaianmu. Itu lebih bersih dan bisa menambah takwa kepada Allah Subhanahu wata’ala!” (HR. al-Bukhari no. 3424)

Hudzaifah bin al-Yaman radhiyallahu ‘anhuma bercerita, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memegang otot betisku dan bersabda,
ﻫَﺬَﺍ ﻣَﻮْﺿِﻊُ ﺍﻟْﺈِﺯَﺍﺭِ، ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﺑَﻴْﺖَ ﻓَﺄَﺳْﻔَﻞُ، ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﺑَﻴْﺖَ، ﻓَﻼَ ﺣَﻖَّ ﻟِﻠْﺈِﺯَﺍﺭِ ﻓِﻲْ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﻴْﻦِ
“Di sinilah letak sarung. Jika engkau tidak ingin, bisa di bawahnya sedikit. Jika engkau masih juga tidak ingin, tidak ada hak untuk sarung berada tepat pada mata kaki.” (HR. at-Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyah dan dinyatakan sahih oleh al-Albani no. 99)

Ubaid bin Khalid al-Muharibi berkisah, “Saat aku berjalan di kota Madinah, tiba-tiba seseorang berkata dari belakangku, "Angkatlah pakaianmu! Sungguh, itu bisa menambah takwamu.” Ternyata, orang tersebut adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku menjawab, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, hanya sekadar burdah putih.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺃَﻣَﺎ ﻟَﻚَ ﻓِﻲَّ ﺃُﺳْﻮَﺓٌ؟
“Apakah engkau tidak ingin meneladani diriku?” Aku pun memerhatikan sarung beliau, ternyata sampai di pertengahan betis.” (HR. at-Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyah dan dinyatakan sahih oleh al-Albani no. 97)

Dan telah datang larangan shalat dalam keadaan memanjangkan kain atau celana (musbilul izar) dan ancamannya secara khusus. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, beliau menceritakan bahwa ada seseorang yang shalat dalam keadaan musbilul izar, maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan padanya, “Pergilah dan berwudhulah!” Orang itu pun pergi berwudhu, lalu datang kembali. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan lagi, “Pergilah dan berwudhulah!” Maka ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa anda perintahkan dia untuk berwudhu?”
Beliau pun tidak mengatakan apa-apa lagi, kemudian beliau bersabda:
ﺇﻧﻪ ﻛﺎﻥ ﻳﺼﻠﻲ ﻭﻫﻮ ﻣﺴﺒﻞ ﺇﺯﺍﺭﻩ، ﻭﺇﻥ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻻ ﻳﻘﺒﻞ ﺻﻼﺓ ﺭﺟﻞ ﻣﺴﺒﻞ ﺇﺯﺍﺭﻩ
“Sesungguhnya dia tadi shalat dalam keadaan memanjangkan kainnya dan sesungguhnya Allah tidak menerima shalat seseorang yang memanjangkan kainnya.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 638 dan 4086, dishahihkan oleh Asy- Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah dalam Tahqiq wa Ta’liq terhadap Al-Muhalla Ibnu Hazm rahimahullah, 4/102)

Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Sisi pendalilan hadits ini –wallahu a’lam– bahwasanya isbalul izar merupakan perbuatan maksiat, dan setiap orang yang melakukan maksiat diperintahkan untuk berwudhu serta shalat, karena wudhu akan memadamkan apa yang terbakar oleh maksiat.” (Tahdzibus Sunan, 6/50)

Asy-Syaikh Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan:
“Kebanyakan para ulama berpendapat bahwa sholatnya orang yang musbil TIDAK DITERIMA, dikarenakan dia sholat dengan pakaian yang diharamkan. Akan tetapi pendapat yang rojih menurutku SHOLATNYA DITERIMA NAMUN DIA BERDOSA.” (Silsilah Liqo Syahri, Liqo 74)

###

Pertanyaan no. 214:
ما عقوبة الإسبال إذا قصد به الخيلاء وعقوبته إذا لم يقصد به الخيلاء وكيف يجاب من احتج بحديث أبي بكر رضي الله عنه
Apa hukum isbal (menurunkan pakaian di bawah mata kaki, seperti sarung, celana, dll) jika dimaksudkan karena sombong?
Dan bagaimana hukumnya jika tidak dimaksudkan untuk sombong?
Dan bagaimana cara menjawab orang yang berdalil dengan hadits Abu Bakar رضي الله عنه ?

Jawab:
إسبال الإزار إذا قصد به الخيلاء فعقوبته أن لا ينظر الله تعالى إليه يوم القيامة ولا يكلمه ولا يزكيه وله عذاب أليم
Isbal sarung (ataupun yang lainnya) jika dimaksudkan dengannya karena sombong maka hukumannya Allah tidak melihatnya di hari kiamat, tidak mengajaknya bicara, tidak mensucikannya, baginya adzab yang pedih.
وأما إذا لم يقصد به الخيلاء فعقوبةه أن يعذب ما نزل من الكعبين بالنار لأن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة ولا ينظر إليهم ولايزكيهم ولهم عذاب أليم: المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب
Adapun jika tidak dimaksudkan dengannya karena sombong, maka hukumannya adalah akan diadzab apa yang dibawah mata kaki dengan neraka, dikarenakan Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Ada tiga golongan yang Allah tidak mengajak bicara mereka pada hari kiamat, tidak pula melihat mereka, serta tidak mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih (mereka itu adalah): musbil (orang yang melakukan isbal), orang yang suka mengungkit-ungkit pemberian, orang yang menjual dagangannya dengan sumpah palsu.” [1]
و قال صلى الله عليه وسلم: من جر ثوبه خيلاء لم ينظر الله إليه يوم، فهذا فيمن جر ثوبه خيلاء
Dan beliau صلى الله عليه وسلم juga bersabda:
“Siapa yang menyeret kainnya karena sombong, Allah tidak melihatnya pada hari kiamat.” [2]
Maka ini untuk yang menyeret kainnya karena sombong.
وأما من لم يقصد الخيلاء ففي صحيح البخاري عن أبي هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ما أسفل من الكعبين من الإزار ففي النار؛ ولم يقيد ذلك الخيلاء ولا يصح أن يقيد بها بناء على الحديث الذي قبله لأن أبا سعيد الخدري رضي الله عنه قال:قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: أزرة المومن إلى نصف الساق ولا حرج أو قال: لاجناح عليه فيما بينه وبين الكعبين وما كان أسفل من ذلك فهو في النار ومن جر إزاره بطرا لم ينظر الله إليه يوم القيامة؛ رواه مالك وأبو داود والنسائي وابن ماجه وابن حبان في صحيحه رحمهم الله ذكره في كتاب الترغيب والترهيب في الترغيب في القميص
Adapun yang tidak memaksudkannya karena sombong maka dalam shahih bukhori dari sahabat Abu Hurairoh رضي الله عنه bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Apa yang berada di bawah mata kaki dari sarung maka tempatnya di neraka.” [3]
Dan itu tidak dikaitkan dengan kesombongan, maka tidak benar mengaitkannya dengan sombong berdasarkan hadits yang sebelumnya, dikarenakan sahabat Abu Sa'id Al-Khudry رضي الله عنه berkata, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
“Sarung mukmin sampai setengah betis dan tidak mengapa (atau dikatakan: tidak ada dosa) yang terletak antara setengah betis sampai mata kaki, dan apa yang di bawah itu maka tempatnya di neraka. Dan barangsiapa yang menyeret kain sarungnya karena sombong, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.”
Diriwayatkan oleh Malik, Abu Dawud, An-Nasa'i, Ibnu Majah, dan Ibnu Hiban dalam shahihnya [4] رحمهم الله mereka menyebutkannya dalam kitab At-Targhib wat Tarhib, di dalam At-Targhib (bab/pembahasan masalah) gamis (3/88).
ولأن العملين مختلفان والعقوبتين مختلفتان ومتى اختلف الحكم والسبب امتنع حمل المطلق على المقيد لما يلزم على ذلك من التناقص
Dikarenakan dua amalan yang berbeda, dan hukumannya juga berbeda, maka ketika berbeda dalam hal hukum, menyebabkan tercegah membawa yang mutlaq kepada muqayyad, maka ketika melazimkan hal yang demikian itu, itu merupakan kontradiksi.
وأما من احتج علينا بحديث أبي بكر رضي الله عنه فتقول له: ليس لك حجة فيه من وجهين
Adapun orang berdalil dengan hadits Abu Bakar رضي الله عنه maka kita katakan: Tidak bisa engkau menjadikannya sebagai hujjah dari dua sisi:
الوجه الأول: أن أبا بكر رضي الله عنه قال: إن أحد شقي ثوبي يسترخي إلاأن أتعا هد ذلك منه..؛ فهو رضي الله عنه لم يرخ ثوبه اختيارا منه بل كان ذلك يسترخي ومع ذلك فهو يتعاهده والذين يسبلون ويزعمون أنهم لم يقصدوا الخيلاء يرخون ثيابهم عن قصد فنقول لهم: إن قصدتم إنزال ثيابكم إلى أسفل من الكعبين بدون قصد الخيلاء عذبتم على ما نزل فقط بالنار وإن جررتم ثيابكم خيلاء عذتم بما هو أعظم من ذلك لايكلمكم الله يوم القيامة ولا ينظر إليكم ولا يزكيكم ولكم عذاب أليم
Sisi pertama:
Bahwasanya Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya salah satu sisi dari pakaianku selalu turun (melorot), kecuali/akan tetapi aku (selalu) menjaganya agar tidak turun…”, dan beliau رضي الله عنه tidak menurunkan bajunya karena keinginan/pilihan beliau, akan tetapi yang demikian itu karena memang turun (dengan sendirinya/tidak disengaja), bersamaan dengan itu beliau selalu berusaha menjaganya (agar tidak turun).
Akan tetapi orang-orang yang berbuat isbal dan yang mereka beranggapan bahwasanya mereka tidak memaksudkannya karena sombong, mereka memang sengaja menurunkannya, maka kita katakan kepada mereka: Sesungguhnya maksudmu/kesengajaanmu menurunkan pakaianmu sampai ke bawah mata kaki yang tidak engkau maksudkan karena sombong, hal yang demikian itu saja, maka itu membuatmu akan diadzab atas perbuatanmu dalam hal menurunkan itu saja, yaitu dengan neraka.
Dan (terlebih lagi) apabila engkau menyeret pakaianmu karena sombong maka engkau akan diadzab dengan yang lebih besar lagi daripada itu, yaitu Allah tidak akan mengajak bicara kepada kalian pada hari kiamat, tidak melihat kalian, dan tidak pula mensucikan kalian, serta bagi kalian adzab yang pedih.
الوجه الثاني: أن أبا بكر رضي الله عنه زكاه النبي صلى الله عليه وسلم وشهد له أنه ليس ممن يصنع ذلك خيلاء فهل نال أحد من هولاءتلك التزكية والشهادة؟ فلكن الشيطان يفتح لبعض الناس اتباع المتشابه من نصوص الكتاب والسنة ليبرر لهم ما كانوا يعملون و الله يهدي من يشاء إلى صراط مستقيم نسأل الله لنا ولهم الهداية والعافية. حرر في ١٣٩٩/٦/٢٩ه
Sisi kedua:
Bahwasanya Abu Bakar رضي الله عنه ditazkiyyah dan dipersaksikan oleh Nabi صلى الله عليه وسلم bahwasanya beliau bukanlah termasuk orang yang melakukan hal tersebut karena sombong.
Maka apakah salah satu dari mereka (musbilun) mendapatkan tazkiyyah dan persaksian (seperti yang didapatkan oleh Abu Bakar رضي الله عنه ) tersebut?
Akan tetapi syaithon membuka (jalan) kepada sebagian manusia untuk mengikuti hal yang mutasyabih/samar-samar dari nash-nash kitab dan sunnah untuk membenarkan apa yang mereka perbuat. Dan Allah memberikan hidayah ke jalan yang lurus kepada siapa yang Dia kehendaki.
Kita meminta kepada Allah hidayah dan afiyah untuk kita dan mereka.

Diterbitkan pada 29/6/1399 H

[1] Dikeluarkan oleh Muslim: kitab Iman, bab penjelasan sangat kerasnya pengharaman isbal izar (sarung), no. 106.
[2] Dikeluarkan oleh Bukhori: kitab pakaian, bab barangsiapa yang menyeret pakaiannya karena sombong, no. 3665; Dan Muslim: kitab pakaian, bab pengharaman menyeret pakaian karena sombong, no. 2085.
[3] Dikeluarkan oleh Bukhori: kitab pakaian, bab apa yang dibawah mata kaki maka tempatnya di neraka, no. 5787.
[4] Imam Ahmad mengeluarkannya 3/5; dan Abu Dawud: kitab pakaian, bab ukuran/batas letak sarung, no. 4093; dan Ibnu Majah: kitab pakaian, bab letak/batasan sarung dimana dia, no. 3573; dan An-Nasa'i dalam "Al-Kubro", no. 9634; dan Malik (2/217).

Sumber:
Fatawa Arkanil Islam
Asy Syaikh Al-Alamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin رحمه الله

Alih bahasa:
Abdullah Waqii' Al-Jawy
Saudi Arabia

TIS (Thalab Ilmu Syar'i)

###

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan حفظه الله

Pertanyaan:
هل تجوز الصلاة في ثوب أسفل الكعبين؟
Bolehkah shalat dengan menggunakan pakaian di bawah mata kaki?

Jawaban:
لا، الصلاة تصح لكن مع الإثم على الإسبال، فلا يجوز أنزل مع الكعبين، مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ كما في الحديث الصحيح لا يجوز هذا
Tidak boleh! Shalatnya tetap sah, akan tetapi dia mendapatkan dosa dengan perbuatan isbalnya (memakai pakaian di bawah mata kaki), dikarenakan tidak boleh menurunkan pakaian di bawah mata kaki. Segala sesuatu yang berada di bawah mata kaki maka tempatnya di neraka, hadits shahih, maka tidak dibolehkan melakukannya.

Sumber:
alfawzan .af .org .sa/node/14719

Alih Bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang ADZAN DENGAN REKAMAN

Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan no. 199:
هل يصح الأذان بالمسجل
Apakah adzan dengan rekaman itu shohih?

Jawab:
الأذان بالمسجل غير صحيح لأن الأذان عبادة والعبادة لا بد لها من نية
Adzan dengan rekaman tidak shohih, dikarenakan adzan itu ibadah, dan ibadah itu harus dengan niat.

Sumber:
Fatawa Arkanil Islam Asy-Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah

Alih bahasa:
Abdullah Waqii' Al-Jawy
Saudi Arabia

TIS (Thalab Ilmu Syar'i)

###

Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani رحمه الله

Pertanyaan:
هل يجوز الرقية عن طريق شريط كاسيت؟
Bolehkan meruqyah dengan menggunakan rekaman kaset?

Jawaban:
هل يجوز الآذان؟ هل يجوز الإقامة؟ إن كنت في شك حتى أجاوبك وإن كنت تعلم أنه لا يجوز فالجواب هو هو لا يجوز، ولذلك أنا قلت في بعض المناسبات نظن الله أعلم إن كان الخبر صحيحا أن الآذان الموحد أحيانا على الأقل يذاع من شريط فإن كان هذا الخبر صحيحا فأنا أقول أخشىأن يأتي يوم يصلي الناس وراء كاسيت
Apa boleh adzan (dengan menggunakan rekaman kaset)? Apa boleh iqomat (dengan menggunakan rekaman kaset)? Kalau kamu ragu menjawabnya, maka aku jawab bahwasanya tidak boleh melakukan adzan atau iqomat dengan kaset, maka demikian juga ruqyah tidak boleh dengan kaset. Oleh karena itu, aku katakan pada sebagian pertemuan bahwa demikian sangkaan kami, wallahu alam akan kebenaran beritanya bahwa terkadang pada sebagian keadaan ada adzan yang disebarkan melalui rekaman, dan kalau ini benar, maka aku khawatir nanti akan ada manusia yang shalat diimami oleh kaset rekaman.

Sumber:
ajurry .com/vb/showthread .php?t=39987

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia