Cari Blog Ini

Senin, 23 Februari 2015

Tentang MENGHILANGKAN ATAU MERUSAKKAN BARANG YANG DIPINJAM

Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Jika seseorang meminjam barang, kemudian selama masa peminjaman itu barang tersebut hilang atau rusak, apakah ia harus menggantinya?

Dalam hal ini ada perbedaan pendapat para Ulama:

Pendapat pertama,
Peminjam harus menggantinya dalam kondisi apapun. Pendapat ini masyhur sebagai pendapat asy-Syafi’i dan Ahmad. Ini juga diriwayatkan sebagai pendapat Abu Hurairah, dan Ibnu Abbas.

Pendapat kedua,
Tidak ada keharusan mengganti bagi peminjam, sebagaimana barang apapun yang diamanahkan. Ini yang masyhur dari Imam Malik.

Pendapat ketiga,
Tidak ada keharusan mengganti, kecuali jika sang peminjam sebelumnya mempersyaratkan harus diganti. Ini adalah pendapat dari sebagian Sahabat al-Imam Ahmad seperti al-‘Akbariy.

Pendapat keempat,
Tidak ada keharusan mengganti kecuali jika ada unsur ta’addiy dan tafrith. Ini berlaku untuk seluruh barang yang diamanahkan. Ini adalah pendapat Ali bin Abi Tholib, Abu Hanifah, al-Auza’iy, ats-Tsaury, al-Hasan, an-Nakha’iy, Umar bin Abdil Aziz, Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qoyyim, Ibnu Hazm, as-Shon’aaniy (dalam Subulus Salaam), Abdurrahman as-Sa’di, Sholih al-Fauzan (dalam al-Mulakhkhoshul Fiqhiy), al-Albaniy dalam Silsilah as-Shahihah.

Poin-poin ini disarikan dari Taudhiihul Ahkaam syarh Bulughil Maram karya Syaikh Abdullah al-Bassam dengan beberapa tambahan.

Syaikh Ibn Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’ menggabungkan pendapat ketiga dan keempat, bahwa peminjam tidak ada keharusan untuk mengganti kecuali jika terjadi salah satu dari 3 hal:
1) Ta’addiy
2) Tafrith
3) Persyaratan sebelumnya dari pihak yang meminjamkan (bahwa jika rusak/ hilang harus mengganti).
Sehingga secara asal, tidak ada kewajiban menanggung/ mengganti bagi peminjam selama dia telah berusaha bersikap amanah.

Ta’addiy adalah melakukan sesuatu yang tidak boleh (melampaui batas). Tafrith adalah meninggalkan kewajiban dalam menjaganya (lalai).
Contoh: Seseorang pinjam sepeda motor.
Termasuk ta’addiy adalah jika ia menggunakan sepeda motor bukan untuk peruntukannya yang normal. Misalkan, ia tumpangi sepeda motor itu dengan beban yang sangat berat, atau dikendarai di genangan sungai padahal ada jembatan yang bisa dilalui, atau dibuat kebut-kebutan di luar batas wajar. Jika kemudian sepeda motor itu rusak, ia harus menggantinya.
Termasuk tafrith jika ia tidak bersungguh-sungguh dalam menjaganya. Misalkan sepeda motor itu diparkir sembarangan, tidak dikunci dengan baik, atau justru kuncinya diletakkan di motornya karena ia lalai atau lupa. Jika motor yang dipinjam itu hilang, maka ia harus menggantinya. Atau, dipinjam setahun lebih sering dipakai, tapi tidak pernah ganti olie, sehingga mesinnya rusak, maka peminjam itu harus menggantinya.

Hadits Pertama:
عَنْ قَتَادَةَ عَنِ الْحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ ثُمَّ إِنَّ الْحَسَنَ نَسِيَ فَقَالَ هُوَ أَمِينُكَ لَا ضَمَانَ عَلَيْهِ
Dari al-Hasan dari Samuroh dari Nabi shollallahu alaihi wasallam beliau bersabda: Kewajiban bagi tangan terhadap apa yang diambilnya hingga ditunaikan. (Qotadah menyatakan:) Kemudian al-Hasan lupa dan berkata: Itu adalah amanah untukmu bukan tanggungan terhadapnya. (H.R Abu Dawud, atTirmidzi, Ibnu Majah)
Ini adalah salah satu hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama. Hadits ini dilemahkan oleh Syaikh al-Abaniy karena al-Hasan adalah mudallis dan dalam hadits ini tidak secara shorih menyebutkan bahwa ia mendengar langsung dari Samuroh, tapi secara ‘an-anah. Bahkan kemudian al-Hasan berpendapat beda dengan hadits yang diriwayatkannya, sehingga Qotadah menganggapnya lupa.

Hadits Kedua:
عَنْ صَفْوَانَ بْنِ يَعْلَى عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَتَتْكَ رُسُلِي فَأَعْطِهِمْ ثَلَاثِينَ دِرْعًا وَثَلَاثِينَ بَعِيرًا قَالَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعَوَرٌ مَضْمُونَةٌ أَوْ عَوَرٌ مُؤَدَّاةٌ قَالَ بَلْ مُؤَدَّاةٌ
Dari Shofwan bin Ya’la dari ayahnya (Ya’la bin Umayyah) beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam berkata kepada saya: Jika datang kepadamu utusanku, berikanlah kepada mereka 30 baju perang dan 30 unta. Aku (Ya’la bin Umayyah) berkata: Wahai Rasulullah, apakah itu pinjaman yang memiliki tanggungan atau hutang yang ditunaikan? Nabi menjawab: bahkan yang ditunaikan. (H.R Abu Dawud, anNasaai, Ahmad, dishahihkan Ibnu Hibban, dan dinyatakan sanadnya shahih oleh al-Albaniy)
Hadits ini dijadikan dalil oleh selain pendapat pertama bahwa secara asal jika peminjam telah berusaha amanah, maka tidak ada tanggungan bagi dia.

Hadits Ketiga: Hadits Shofwaan bin Umayyah:
عَنْ أُمَيَّةَ بْنِ صَفْوَانَ بْنِ أُمَيَّةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعَارَ مِنْهُ أَدْرَاعًا يَوْمَ حُنَيْنٍ فَقَالَ أَغَصْبٌ يَا مُحَمَّدُ فَقَالَ لَا بَلْ عَمَقٌ مَضْمُونَةٌ
Dari Umayyah bin Shofwaan bin Umayyah dari ayahnya (Shofwaan bin Umayyah) bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam meminjam darinya beberapa pakaian perang pada hari Hunain. Kemudian Shofwaan bertanya: Apakah ini ghoshob wahai Muhammad? Nabi menjawab: Tidak, tapi ini adalah (pinjaman) yang berupa tanggungan. (H.R Abu Dawud, anNasaai, dishahihkan al-Hakim)
Sebagian Ulama melemahkan sanad hadits ini karena 2 hal, yaitu tidak dikenalnya Umayyah bin Shofwan (majhul) dan perawi yang bernama Syariik adalah lemah. Demikian dijelaskan Syaikh al-Albaniy dalam Irwaa’ul Gholiil.

Sedangkan atsar dari Sahabat yang akan dikaji ini adalah atsar dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah dan Ali bin Abi Tholib.
Diriwayatkan bahwa Abu Hurairah dan Ibnu Abbas berpendapat bahwa peminjam harus mengganti secara mutlak. Hal itu diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrozzaq.
أَنَّ رَجُلاً اسْتَعَارَ مِنْ رَجُلٍ بَعِيرًا فَعَطِبَ الْبَعِيرُ فَسَأَلَ مَرْوَانُ أَبَا هُرَيْرَةَ فَقَالَ : يَضْمَنُ
Sesungguhnya seorang laki-laki meminjam dari orang lain seekor unta. Kemudian unta itu binasa. Marwan bertanya kepada Abu Hurairah, dan Abu Hurairah menjawab (dia -orang yang meminjam-) harus menanggung. (Riwayat Ibnu Abi Syaibah)
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ الْعَارِيَةُ تَغْرَمُ قَالَ عَمْرٌو وَأَخْبَرَنِي بْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ عَنِ بْنِ عَبَّاس مِثْلَهُ
Dari Abu Hurairah -radhiyallahu anhu- beliau berkata: Pinjaman (menyebabkan) berhutang. Amr berkata: telah mengkhabarkan kepadaku Ibnu Abi Mulaikah dari Ibnu Abbas semisal itu. (Riwayat Abdurrozzaq)
Kedua riwayat ini lemah dan tidak bisa saling menguatkan, karena semuanya melalui jalur Abdurrohman bin as-Saaib yang majhul.
Sedangkan riwayat pendapat Ali bin Abi Tholib bahwa seorang yang meminjam secara asal tidak memiliki tanggungan, diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dengan 2 jalur periwayatan yang berbeda. Masing-masing jalur memiliki unsur kelemahan, namun jika digabungkan minimal sampai pada derajat hasan.
عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ الْحَنَفِيَّةَ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ لَيْسَتِ الْعَارِيَةُ مَضْمُوْنَةٌ إِنَّمَا هُوَ مَعْرُوْفٌ إِلَّا أَنْ يُخَالِفَ فَيَضْمَن
Dari Muhammad bin al-Hanafiyyah dari Ali (bin Tholib) radhiyallahu anhu beliau berkata: Barang pinjaman bukanlah tanggungan. Hanya saja ia (dipinjam) secara ma’ruf. Kecuali jika (peminjaman) itu menyelisihi (yang ma’ruf), maka peminjam menanggung. (Riwayat Abdurrozaq)
عَنِ الْحَكَمِ بْنِ عُتَيْبَةَ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ قَالَ لَيْسَ عَلَى صَاحِبِ الْعَارِيَةِ ضِمَانٌ
Dari al-Hakam bin Utaibah bahwa Ali bin Abi Tholib radhiyallahu anhu berkata: Tidak ada tanggungan bagi pihak peminjam. (Riwayat Abdurrozzaq)

Kesimpulan:
Peminjam barang tidak harus mengganti jika barang yang dipinjam hilang atau rusak, kecuali jika:
1) Ta’addiy
2) Tafrith
3) Orang yang meminjamkan telah mempersyaratkan sebelumnya bahwa jika barang hilang atau rusak itu tanggungan peminjam.
Ini yang dijelaskan Syaikh Ibn Utsaimin dalam asy-Syarhul Mumti’. Jika sang pemberi pinjaman mempersyaratkan sebelumnya (kalau rusak atau hilang harus diganti), maka peminjam harus menunaikan syarat itu jika terjadi kerusakan atau hilang. Hal ini berdasarkan hadits:
الْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ
Kaum muslimin (harus menunaikan) persyaratan mereka. (H.R Abu Dawud dan lainnya, dishahihkan al-Albaniy)
Wallaahu A’lam.

Salafy .or .id

Tentang BERDOA SETELAH SALAT

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz rahimahullah

Pertanyaan: 
Telah disebutkan kepada kami dari sebagian ikhwah kaum muslimin, bahwa Anda telah berfatwa tentang tidak bolehnya berdoa setelah shalat fardhu. Hanya saja yang diperbolehkan berdoa setelah shalat sunnah. Jika apa yang mereka katakan ini benar, maka kami mengharapkan Anda memberikan penjelasan tentang masalah ini.
Dengan menyebutkan dalil-dalilnya, sehingga kami di atas ilmu dalam beragama dan petunjuk Nabi kita?

Jawaban:
Tidak dihafal dari Nabi shalallahu alaihi wassalam dan tidak pula dari para Shahabatnya radhiyallahu anhum -selama yang kami ketahui- bahwa mereka dahulu mengangkat tangan mereka tatkala berdoa setelah shalat fardhu.
Maka atas dasar ini, diketahui bahwa perkara ini BIDAH.
Berdasarkan sabda Nabi shalallahu alaihi wassalam :
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
Barangsiapa yang mengamalkan sebuah amalan yang tidak ada contoh dari kami, maka amalan tersebut tertolak.
Dikeluarkan oleh al Imam Muslim dalam shahihnya (no. 3243).
Dan sabda Beliau shalallahu alaihi wassalam :
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Barangsiapa yang mengadakan suatu perkara yang baru (dalam agama), yang tidak ada contoh dari kami. Maka amalan tersebut tertolak.
Telah disepakati atas keshahihannya. HR. Muslim (no. 3242).
Adapun berdoa tanpa disertai mengangkat tangan dan tidak pula dilakukan secara berjamaah MAKA TIDAK MENGAPA.
Dikarenakan telah tetap dari Nabi shalallahu alaihi wassalam, dari apa yang menunjukkan bahwa Beliau shalallahu alaihi wassalam berdoa sebelum salam dan setelahnya.
Demikian pula pada doa SETELAH SHALAT SUNNAH, dikarenakan tidak adanya dalil yang melarangnya. WALAUPUN DENGAN MENGANGKAT TANGAN, dikarenakan mengangkat tangan dalam doa termasuk sebab dari terkabulnya doa, akan tetapi dengan tidak dilakukan secara terus menerus bahkan sesekali saja.
Dikarenakan tidak dihafal dari Nabi shalallahu alaihi wassalam bahwa Beliau berdoa dengan mengangkat tangannya setiap selesai shalat sunnah.
Dan setiap kebaikan dengan meneladani Beliau shalallahu alaihi wassalam, serta berjalan di atas manhaj beliau.
Ini berdasarkan firman Allah subanahu wa taala :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik. (al Ahzab : 21)

(Kitabud Dawah (2/109) Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawiah juz 11)

Sumber:
binbaz .org .sa/mat/936

Alih bahasa: Ibrahim Abu Kaysa

forumsalafy .net

###

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Pertanyaan:
Apa hukum berdoa bagi imam setelah selesai shalat dengan mengeraskan suara, dan hukum mengamini doanya bagi orang-orang yang shalat?

Jawaban:
Doa imam setelah selesai shalat dengan mengeraskan suara dan para makmum yang mengamininya, termasuk perbuatan bid'ah yang munkar. Karena Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam, para khulafa rasyidin, para imam kaum muslimin, dan para peneliti Islam dari kalangan yang mengikuti mereka, tidak pernah melakukannya dan tidak melihatnya sebagai sebuah perkara yang disyariatkan. Dan yang disyariatkan adalah mengeraskan bacaan dzikir yang syar'i, masing-masing secara bersendirian. Sebagaimana hal tersebut diamalakan pada jaman Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam. Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Adalah mengeraskan suara ketika berdzikir setelah orang-orang selesai shalat wajib diamalkan pada jaman Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam."

Sumber artikel:
Majmu' Fatawa wa Rasa-il asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin 13/273-274

Alih bahasa:
Ust. Abdulaziz Taufiq al-Bantuly حفظه الله

TIS

###

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله

Pertanyaan:
بارك الله فيكم، يقول السائل ماحكم رفع اليدين بالدعاء بين الأذان والإقامه؟
Semoga Allah memberkahi Anda, wahai Syaikh kami.
Ada yang bertanya, bagaimana hukum mengangkat tangan ketika berdoa antara adzan dan iqamah?

Jawaban:
بناء على عمومات السنة، أرى أنه لا مانع من ذلك إن شاء الله تعالى ولكن، أنبه إلى شيء، وهو أنه بعد الفريضة لا ترفع اليدان، وبعد النافلة أو بين الأذان و الإقامة فلا بأس بهذا إن شاء الله تعالى لعمومات السنة في هذا الباب، والله أعلم
Atas dasar keumuman sunnah, maka aku berpendapat ini tidak mengapa, insya Allah.
Akan tetapi, saya ingatkan tentang satu perkara, yaitu bahwasanya selesai shalat fardhu tidak disyariatkan berdoa mengangkat tangan.
Adapun ketika selesai shalat sunnah atau doa antara azan dan iqamah, maka ini tidak mengapa mengangkat tangan berdasarkan keumuman sunnah pada bab ini.
Wallahu alam.

Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/2420

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia