Cari Blog Ini
Rabu, 19 Agustus 2015
Tentang GAGAL BERBUAT DOSA
Soal:
Ada seseorang yang ingin berbuat maksiat. Namun, dia tidak jadi melakukannya karena ketidakmampuannya, apakah dia tetap dianggap berdosa?
Jawab:
Ya, dia berdosa, apabila memang dia bertekad melakukan maksiat tersebut andai dia punya kemampuan melakukannya dan dalam keadaan tahu bahwa itu adalah dosa, namun dia memang sengaja ingin berbuat dosa.
Berbeda halnya apabila dia takut kepada Allah ‘azza wa jalla setelah itu dan meninggalkan tekadnya karena takut kepada Allah ‘azza wa jalla, tidak ada dosa baginya insya Allah.
Pada keadaan pertama, yang tidak ada yang mencegahnya berbuat dosa selain ketidakmampuan untuk melakukannya dan ada tekad untuk melakukannya, dia harus beristighfar dan bertobat.
Diambil dari situs al-Mirats al-Anbiya
Sumber: Asy syariah edisi 101
Tentang BARU INGAT ADA NAJIS DI BAJU DI TENGAH SALAT
Fadhilatus Syaikh Ubaid al Jabiri hafizhahullah
Soal:
Saya tengah melakukan shalat tiba-tiba teringat bahwa putri saya yang berusia empat tahun telah mengencingi pakaian saya. Apakah saya harus memutuskan shalat dan mengulanginya?
Jawab:
Ucapan ‘si anak telah mengencingi pakaian’ bisa memuat dua maksud:
Putri kecil Anda kencing di popoknya dan najis tersebut tertahan di popoknya tanpa sedikit pun mengenai pakaianmu. Apabila maksudnya seperti ini, shalat Anda sah, terus dilanjutkan sampai selesai.
Kencingnya mengenai pakaian Anda hingga menajisi pakaian Anda.
Maksud pertanyaan Anda tentu salah satu dari dua sisi di atas, tidak mungkin kedua-duanya.
Jika maksud Anda sisi yang kedua ini, cuci bagian yang terkena kencing tersebut apabila di dekat tempat shalat Anda ada tempat cucian (semacam wastafel, -pen.) atau ada wadah berisi air. Cucilah bagian yang terkena kencing dalam keadaan kamu tetap shalat, tidak membatalkannya.
Namun, jika mencucinya membutuhkan banyak gerakan dan berpaling total dari arah kiblat, saya memandang tidak ada larangan insya Allah Anda memutus shalat Anda, kemudian membersihkan bagian pakaian yang terkena kencing tersebut. Wallahu a’lam.
Diambil dari situs al-Mirats al-Anbiya
Sumber: Asy syariah edisi 101
###
Fadhilatusy Syaikh al-Muhaddits Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah
Pertanyaan:
Ada seseorang shalat lima waktu dari shalat Subuh sampai shalat Isya dalam keadaan pada pakaiannya ada najis sementara dia tidak menyadarinya. Apakah dia harus mengulang shalatnya? Atau apa yang harus dilakukannya?
Jawab:
Orang yang telah mengerjakan shalat lima waktu dalam keadaan pada pakaiannya ada najis tanpa diketahuinya, maka shalatnya sah, tidak perlu diulangi. Argumennya di antaranya adalah saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama para sahabat beliau dalam keadaan memakai sendal, tiba-tiba Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas sendal beliau. Para sahabat pun mengikuti beliau, melepas sendal mereka.
Setelah salam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanyai mereka, “Mengapa kalian melepas sendal kalian?”
Mereka menjawab, “Kami melihat Anda melepas sendal anda, maka kami pun melepas sendal-sendal kami.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ جِبْرَائِيْلَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيْهِمَا قَذَرًا
“Sesungguhnya Jibril datang kepadaku lalu mengabariku bahwa pada kedua sendalku ada kotoran/najis.”[1]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dikabarkan oleh Jibril alaihis salam tentang adanya kotoran pada kedua sendal beliau. Beliau kemudian melepaskan keduanya di tengah shalat tanpa mengulang shalat yang telah dikerjakan saat masih memakai dua sendal yang terdapat najis tersebut.
Perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menunjukkan bahwa ketika seorang muslim shalat dalam keadaan tidak menyadari pada pakaiannya ada najis dan baru mengetahuinya setelah selesai shalat, tidak diharuskan baginya mengulang shalat. Sebab, dia dalam posisi beruzur, dan shalatnya saat itu sah.
Dari sini ulama membedakan antara najis dan janabah atau hadats kecil atau hadats besar. Jika seseorang shalat dalam keadaan junub (berhadats besar, –pen.), ia wajib mengulangi shalatnya (setelah mandi janabah, –pen.).
Demikian pula seseorang yang shalat dalam keadaan berhadats kecil (seperti buang angin, buang air kecil, atau besar, –pen.), kemudian ingat bahwa dia telah mengerjakan satu shalat fardhu atau lebih dalam keadaan berhadats kecil atau besar, ia wajib mengulang shalatnya.
Pernah terjadi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah siap memimpin shalat setelah diserukannya iqamah. Tatkala shaf telah lurus, beliau berkata, “Tetaplah kalian di tempat kalian!” Kemudian beliau pergi, lalu mandi (karena janabah) dan kembali lagi. Setelah itu, beliau mengimami mereka.
Ulama memandang bahwa hadats besar dan kecil membatalkan shalat. Apabila seseorang shalat lalu ingat bahwa dia sedang berhadats besar atau kecil, shalatnya dia batalkan[2]. Setelah (bersuci), dia mengulangi shalatnya dari awal.
Adapun najis, hukumnya sebagaimana yang telah kami sebutkan.
(Pertanyaan dalam kitab ‘Aun al-Bari bi Bayan Ma Tadhammanahu Syarhus Sunnah lil Imam al-Barbahari, 2/650—651)
Catatan Kaki
[1] HR. Abu Dawud no. 650 dari hadits Abu Said al-Khudri radhiallahu ‘anhu; dinyatakan sahih oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak dan disepakati oleh adz-Dzahabi; dinyatakan sahih sanadnya oleh Ibnu Katsir dalam Tuhfah ath-Thalib hlm. 135 dan penulis Fathul Bari (1/348) menukilkan pensahihan Ibnu Khuzaimah terhadap hadits ini. tersebut.
[2] Untuk menghilangkan hadatsnya dengan mandi kalau berhadats besar atau wudhu apabila berhadats kecil.
Majalah Asy Syariah Online
ASHHABUS SUNNAH
Hanya Sedikit Faedah
Tentang SHAF WANITA KETIKA SALAT BERJAMAAH
Soal:
Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi,
شَرُّ صُفُوْفِ النِّسَاءِ أَوَّلُهَا
“Sejelek-jelek shaf wanita adalah yang paling awal.”
Apakah hukumnya sebagaimana zahirnya (yaitu selamanya paling jelek) padahal sekarang ada pemisah antara jamaah lelaki dan jamaah wanita berupa kayu dan semisalnya?
Jawab:
Hukum ini mu’allal bi’illah (berlaku apabila ada alasannya atau apabila terjadi perkara yang dikhawatirkan).
Mengapa shaf wanita yang paling depan itu dikatakan paling buruk? Karena bisa terlihat oleh para lelaki yang berada di shaf paling akhir dari jamaah lelaki (apabila tidak ada hijab atau penghalang yang memisahkan antara jamaah lelaki dan jamaah wanita).
Apabila alasan ini hilang atau tidak ada, karena adanya pemisah atau penutup antara jamaah lelaki dan jamaah wanita sehingga lelaki tidak mungkin sama sekali bisa melihat wanita di sela-selanya, tidak ada pencegah bagi wanita untuk berada di shaf terdepan, insya Allah.
Diambil dari situs Al-Mirats Al-Anbiya
Sumber: Asy syariah edisi 101
Tentang WANITA MEMPERDENGARKAN SUARANYA KEPADA KAUM LELAKI
Soal:
Kami sekelompok wanita belajar al-Qur’an di masjid dengan seorang mu’allimah (guru wanita). Sekali waktu masuk ke tempat belajar kami seorang pengawas (atau semacam ta’mir masjid) dan meminta sebagian wanita untuk memperdengarkan bacaan al-Qur’an kepadanya. Tujuannya, agar dia bisa mengetahui kadar kemampuan (atau kemajuan yang dicapai dalam belajar) si pelajar dan memberikan nilai kepada si pengajar. Apakah dibolehkan bagi kami memperdengarkan bacaan kami kepadanya (padahal dia seorang lelaki)? Kalau kami tidak melakukannya, pengajar kami bisa diusir (tidak diperkenankan lagi mengajar) di masjid tersebut.
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Ubaid al-Jabiri hafizhahullah menjawab, “Apabila seperti itu, saya nasihatkan kepada kalian untuk tidak belajar al-Qur’an di masjid. Sebab, si pengawas tersebut orang jahil/bodoh, jelek adabnya terhadap putri-putri kaum muslimin, dan tidak punya rasa malu. Bisa jadi, yang menyuruhnya melakukan tugas tersebut sama dengannya atau lebih jahil lagi.
Saat seorang wanita membaca al-Qur’an dan ingin membaguskan suaranya, ia tidak boleh perdengarkan bacaannya tersebut terkecuali kepada sesama wanita. Apabila dia melakukannya di hadapan lelaki, ini termasuk al-khudhu*) yang dilarang, walaupun yang diucapkannya itu adalah kalamullah. Sebab, suara wanita berbeda dengan suara lelaki.
Maka dari itu, saya nasihatkan kepada kalian agar tidak lagi belajar al-Qur’an di masjid tersebut. Cukup bagi kalian, walillahil hamdu (hanya untuk Allah ‘azza wa jalla lah segala pujian), apa yang kalian ketahui dari bacaan al-Qur’an. Jika memungkinkan untuk belajar pada si mu’allimah di rumahnya, tidaklah terlarang, walaupun kalian harus memberinya sesuatu sesuai dengan kemampuan, hal ini tidak apa-apa, insya Allah.”
(Diambil dari situs al-Mirats al-Anbiya, www.al-Miraath.net/fatawah)
*) Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Maka janganlah kalian (para istri Nabi) khudhu’ dalam berbicara sehingga berkeinginan buruklah orang yang di hatinya ada penyakit.” (al-Ahzab: 32)
Sumber: Asy syariah edisi 101
Tentang INGIN MATI
Kematian merupakan kepastian, tak satu pun makhluk benyawa yang luput darinya, karena Allah ‘azza wa jalla telah menetapkan,
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.” (Ali Imran: 185)
Kematian pun telah ditentukan waktunya atas setiap jiwa, masing-masingnya memiliki ajal.
“Dialah yang menciptakan kalian dari tanah, kemudian Dia menetapkan dan menentukan ajal (waktu tertentu untuk kematian)….” (al-An’am: 2)
Tak kan ada satu jiwa yang dapat berlari dari ajalnya ketika waktunya sudah tiba. Mati merupakan keniscayaan, diinginkan atau tidak, dia pasti datang. Diharapkan atau dihindari; kalau sudah waktunya, maka pasti tidak terelakkan.
Namun kematian tidak boleh diangan-angankan, bagaimana pun keadaan atau kondisi seseorang. Rasul yang amat mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits agung beliau yang tersampaikan lewat sahabat yang mulia, Anas bin Malik al-Anshari radhiallahu ‘anhu. Anas menyatakan,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَتَمَنَّيَنَ أَحَدُكُمُ الْمَوْتَ لِضُرٍّ أَصَابَهُ، فَإِنْ كَانَ لاَ بُدَّ فَاعِلًا فَلْيَقُلْ: اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِي
“Janganlah sekali-kali salah seorang dari kalian mengangankan kematian karena suatu kemudaratan yang menimpanya. Kalaupun dia terpaksa menginginkan mati, maka hendaknya dia berdoa, ‘Ya Allah! Hidupkanlah aku apabila kehidupan itu lebih baik bagiku dan wafatkanlah aku apabila kematian itu lebih baik bagiku’.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Memang, biasanya saat seseorang ditimpa musibah atau kesulitan dan merasa tidak sanggup memikulnya, dia berangan-angan untuk mati. “Lebih baik aku mati saja,” demikian kalimat yang terucap dari lisannya. Bisa jadi, dia berseru, “Ya Rabb, cabutlah nyawaku daripada menderita seperti ini!”
Bolehkah berucap demikian?
Ternyata syariat melarangnya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di atas. Mengapa? Bisa jadi, musibah, mudarat, ataupun kesulitan itu justru baik bagi si hamba. Seharusnya dalam keadaan seperti itu, bukan mati yang diangankan, namun hendaknya dia berdoa, misalnya, “Ya Allah, tolonglah hamba untuk dapat bersabar menghadapi kesulitan ini.”
“Ya Allah, anugerahkanlah kepada hamba kesabaran yang indah untuk dapat melewati ujian ini. Duhai beratnya wahai Rabbku, andai Engkau tidak menolong hamba niscaya hamba akan binasa.”
Terus-menerus lisan dan kalbunya memohon demikian, hingga Allah ‘azza wa jalla mendatangkan pertolongan-Nya. Musibah pun dapat dilalui dengan kesabaran. Hal ini tentu lebih baik baginya.
Apabila saat susah dia berangan-angan untuk mati, bisa jadi kematian justru buruk baginya. Dia tidak bisa beristirahat dengan kematian tersebut, karena memang tidak semua kematian itu adalah rahah (istirahat), sebagaimana kata penyair,
Tidaklah orang yang mati itu beristirahat dengan kematiannya
Hanyalah orang mati itu mati dari orang-orang yang hidup
Bisa jadi, kematian membawa seseorang menuju hukuman dan azab kubur. Padahal kalau dia masih hidup, dia berkesempatan untuk bertobat dan kembali kepada Allah ‘azza wa jalla. Dengan demikian, tetap hidup justru lebih baik baginya.
Apabila berangan-angan untuk mati saja tidak boleh, bagaimana halnya dengan orang yang mengakhiri hidupnya (bunuh diri) ketika mendapatkan kesulitan?
Seperti orang-orang dungu yang saat ditimpa kesusahan, meminum racun, gantung diri, dan semacamnya untuk “menyegerakan ajal” mereka.
Mereka yang berbuat seperti ini berpindah dari satu azab kepada azab yang lebih pedih. Mereka tidaklah beristirahat dengan kematian tersebut. Sebab, orang yang bunuh diri diazab dengan apa yang digunakannya untuk mengakhiri hidupnya di neraka Jahannam kelak dalam keadaan kekal di dalamnya selama-lamanya sebagaimana kabar yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari sesuatu, termasuk kebiasaan beliau yang mulia, beliau memberikan ganti dengan hal yang mubah. Ada contoh dari Rabb beliau dalam hal penggantian ini. Bacalah firman Allah ‘azza wa jalla berikut ini,
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengatakan “Ra’ina”, namun katakanlah, “Unzhurna”… (al-Baqarah: 104)
Ketika Allah ‘azza wa jalla melarang dari kalimat “ra’ina”, Dia memberi ganti dengan kalimat “unzhurna”.[1]
Saat didatangkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kurma yang bagus, beliau terheran dan bertanya, “Apakah semua kurma Khaibar sebagus ini?”
Para sahabat menjawab, “ Tidak, tetapi kami biasa membeli satu sha’ kurma bagus ini dengan ganti dua sha’ kurma biasa; dua sha’ kurma ini dengan tiga sha’ kurma biasa. “
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan lagi kamu melakukan hal tersebut. Seharusnya kamu jual kurma (yang jelek) dengan harga beberapa dirham, kemudian dengan uang tersebut bisa kamu belikan kurma yang bagus.”
Ini contoh lain dari pelarangan sesuatu kemudian diganti dengan hal lain yang mubah.
Demikian pula dalam hadits yang sedang menjadi pembicaraan kita. Setelah melarang dari mengangankan mati, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan solusi, ‘bagaimana kalau seseorang benar-benar terpaksa menginginkan mati?’
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan seuntai doa,
اللَّهُمَّ أَحْيِنِي مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيًْرا لِي، وَتَوَفَّنِي إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيًْرا لِيl
“Ya Allah! Hidupkanlah aku apabila kehidupan itu lebih baik bagiku dan wafatkanlah aku apabila kematian itu lebih baik bagiku.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membukakan untukmu satu pintu yang selamat, tidak terlarang, karena sekadar ingin mati menunjukkan keputusasaan dan ketidaksabaran terhadap ketetapan Allah ‘azza wa jalla. Berbeda halnya dengan doa ini, terkandung di dalamnya penyerahan urusan hamba kepada Allah ‘azza wa jalla. Sebab, manusia tidak mengetahui urusan yang gaib, dia pun menyerahkannya kepada Zat Yang Maha Mengetahui yang gaib.
Berangan-angan mati adalah sikap isti’jal atau tergesa-gesa dari seseorang sehingga ingin hidupnya segera berakhir. Padahal, bisa jadi, dengan itu dia terhalang dari memeroleh kebaikan yang besar. Bisa jadi, hal itu menghalanginya dari tobat dan menambah amal saleh.
Dalam doa tersebut dinyatakan, “Hidupkanlah aku apabila kehidupan itu lebih baik bagiku, dan wafatkanlah aku apabila kematian itu lebih baik bagiku.”
Memang hanya Allah ‘azza wa jalla yang tahu apa yang akan terjadi dan manusia tidak tahu. Allah ‘azza wa jalla berfirman,
Katakanlah, “Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara gaib kecuali Allah.” (an-Naml: 65)
“Tidak ada satu jiwa pun yang mengetahui apa yang dia usahakan besok dan tidak ada satu jiwa pun yang tahu di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Memberitakan.” (Luqman: 34)
Kita semua tidak tahu, bisa jadi kehidupan itu lebih baik bagi kita; dan mana tahu juga apabila ternyata kematian lebih baik bagi kita. Karena itulah, apabila seseorang mendoakan umur panjang bagi orang lain, sepantasnya dia tidak mendoakannya secara mutlak, tetapi dengan pengikat dengan menyatakan, “Semoga Allah ‘azza wa jalla memanjangkan umurmu dalam ketaatan kepada-Nya.”
Dengan doa seperti ini, jadilah umur yang panjang tersebut membawa kebaikan.
Apabila ada yang beralasan dengan perbuatan Maryam bintu Imran ibunda Isa w yang berucap,
“Duhai kiranya aku mati sebelum ini dan aku menjadi sesuatu yang dilupakan.” (Maryam: 23)
Lantas mengapa mengangankan mati tidak diperbolehkan?
Ada beberapa jawaban.
Kita harus mengetahui bahwa apabila syariat umat terdahulu diselisihi oleh syariat kita, syariat umat terdahulu tidak bisa dijadikan hujah atau alasan. Sebab, syariat kita menghapus seluruh syariat umat terdahulu sebelum kita.
Maryam tidaklah mengangankan mati saat itu. Yang dia inginkan adalah mati sebelum terjadinya ujian tersebut sehingga dia mati tanpa terkena fitnah. Hal ini sama dengan ucapan Nabi Yusuf ‘alaihissalam,
“Engkau adalah Penolongku di dunia dan di akhirat. Wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkanlah aku bersama orang-orang yang saleh.” (Yusuf: 101)
Untaian doa Nabi Yusuf ‘alaihissalam ini tidak bermakna bahwa beliau memohon kepada Allah ‘azza wa jalla agar segera mewafatkannya. Namun, beliau memohon agar Allah ‘azza wa jalla mewafatkannya di atas Islam. Hal ini tentu tidak apa-apa. Seperti halnya Anda berdoa,
“Ya Allah! Wafatkanlah aku di atas Islam dan iman, di atas tauhid dan ikhlas.”
“Wafatkanlah aku dalam keadaan Engkau ridha kepadaku.”
Jadi, bedakan antara seseorang yang menginginkan mati karena kesempitan hidup yang menimpanya dan seseorang yang ingin mati di atas sifat atau keadaan tertentu yang diridhai oleh Allah ‘azza wa jalla. Yang pertama dilarang, sedangkan yang kedua diperbolehkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang yang pertama karena orang yang ingin mati di saat demikian berarti dia tidak memiliki kesabaran. Sementara itu, sabar menanggung kesempitan hidup adalah kewajiban.
Selain itu, hendaknya seorang hamba berharap pahala dari Allah ‘azza wa jalla ketika menghadapi musibah. Kesulitan apa pun yang menimpa seseorang, baik berupa kesedihan, gundah gulana, sakit, maupun yang semisalnya, akan menghapuskan kesalahannya. Jika hamba mengharapkan pahala, niscaya akan terangkat derajatnya. Lagi pula, kesulitan yang menimpa seseorang tidaklah kekal selamanya, tetapi akan berakhir.
Apabila musibah telah berakhir dalam keadaan Anda memeroleh kebaikan karena berharap pahala dari Allah ‘azza wa jalla atas musibah tersebut dan kesalahan Anda diampuni; tentu musibah itu baik bagi Anda.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ. إِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ. وَإِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengherankan perkara seorang mukmin. Sungguh semua urusannya baik. Jika dia ditimpa kesulitan, dia bersabar, hal itu baik baginya. Jika dia diberi kelapangan, dia bersyukur, itu pun baik baginya.” (HR. Muslim dari Abu Yahya Shuhaib ar-Rumi radhiallahu ‘anhu)
Pada seluruh keadaan, seorang mukmin memang berada dalam kebaikan, apakah dalam keadaan susah ataupun senang. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Faedah penjelasan Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsamin rahimahullah pada hadits ke-40 kitab Riyadh ash-Shalihin, 1/138—142)
[1] Keduanya bermakna “perhatikan kami”, tetapi ungkapan yang pertama bisa dipelesetkan kepada makna yang jelek. (-ed.)
Tentang TIDAK MAU MENIKAH LAGI SETELAH SUAMI ATAU ISTRI MENINGGAL
Tidak Mau Menikah Setelah Suami Meninggal
Semula tak saling kenal. Tak pernah bersua apatah lagi bertegur sapa. Namun, tatkala ikatan sah telah dijalin kuat, pandangan halal saling bertaut, dua hati pun bertemu dan menyatu. Timbullah sebuah rasa yang sebelumnya tak pernah ada. Itulah mawaddah, mahabbah, dan ithmi’nan (tenang dan tenteram) anugerah Ilahi.
Seolah keduanya telah saling kenal sejak lama.
Demikianlah pengaruh rahmat Allah ‘azza wa jalla terhadap hamba-hamba-Nya dan sebagian tanda kekuasaan-Nya, penunjuk rububiyah-Nya yang sempurna, sebagaimana firman-Nya,
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian pasangan-pasangan dari diri-diri kalian, agar kalian merasakan ketenangan kepadanya dan Dia menjadikan di antara kalian mawaddah dan rahmah.” (ar-Rum: 21)
Mawaddah dan mahabbah—yang secara bebas kita artikan ‘rasa cinta’—di antara keduanya terkadang demikian mendalam. Sampai-sampai ketika ajal harus memisahkan keduanya, yang ditinggal enggan untuk menikah lagi selamanya sebagai pembuktian kesetiaan kepada pasangannya dan tak ingin membuka hati untuk cinta yang baru.
Perlu kita ketahui, agama Islam tidak menghendaki pemeluknya memilih hidup sendiri selama-lamanya tanpa pasangan. Islam justru mendorong terjadinya pernikahan guna menjaga kehormatan lelaki dan perempuan. Dengan banyaknya pernikahan, akan langgenglah kehidupan di muka bumi karena keturunan anak manusia seharusnya hanya terlahir lewat akad sah yang bernama pernikahan.
Semestinya, ketika seseorang menduda atau menjanda lantas merasa perlu untuk menikah, dia tidak menahan dirinya. Seorang istri yang “ditinggal” suaminya dan telah mengakhiri masa iddah dan ihdadnya, tidak perlu disalahkan dengan keputusannya untuk ‘melangkah ke pelaminan’, apabila memang lelaki yang datang melamar dipandang cocok dan sesuai untuknya. Ini bukanlah bentuk pengkhianatan kepada suami yang telah meninggal.
Sebab, seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya lantas menahan diri untuk menikah karena ingin mengurus anak-anak yatimnya, bukan sebuah persyaratan yang diharuskan. Ketika di belakang hari dia merasa butuh menikah atau menganggap sudah saatnya untuk menikah sehingga dia pun menikah, keputusan menikah ini tidaklah dicela. Tidaklah dikatakan dia telah melakukan sesuatu yang terlarang.
Dengan demikian, seorang istri yang menjanda bisa melakukan apa yang dipandangnya ada kebaikan dan kemaslahatan baginya. Kalau yang lebih maslahat baginya adalah menikah, hendaknya dia menikah. Apalagi ketika dia membutuhkannya, tidak boleh ada seorang pun yang menahannya, walaupun ada anak-anak yatim dari suaminya yang telah meninggal dunia.
Namun, kalau dia memandang yang maslahat adalah tidak menikah agar bisa konsentrasi penuh memberikan perhatian, pendidikan, dan pengajaran kepada anak-anaknya, itu adalah haknya. Apalagi dia ingin beroleh keutamaan memelihara anak yatim sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيْم فِي الْجَنَّةِ كَهَاتَيْنِ. وَأَشَارَ بِأُصْبُعَيْهِ يَعْنِي السَّبَابَة وَالْوُسْطى
“Aku dan orang yang memelihara anak yatim di surga nanti seperti ini.” Beliau memberi isyarat dengan dua jari: telunjuk dan jari tengah. (HR. at-Tirmidzi, dinyatakan sahih dalam Shahih at-Tirmidzi dan ash-Shahihah no. 800)
Apabila dia memandang bahwa menikah lagi akan menghalangi dirinya dari keutamaan yang besar tersebut, lalu dia memutuskan untuk tidak menikah, itu adalah haknya pula.
Demikian pula ketika dia tidak ingin menikah lagi karena berharap bisa berkumpul bersama suaminya kelak di surga. Sebab, seorang muslimah yang memiliki beberapa suami saat di dunia, apabila dia dan semua suaminya masuk surga di akhirat kelak, Allah ‘azza wa jalla mengumpulkannya bersama suaminya yang terakhir.
Ketika Muawiyah bin Abi Sufyan radhiallahu ‘anhu meminang Ummud Darda setelah wafat Abud Darda radhiallahu ‘anhu, berkatalah Ummud Darda radhiallahu ‘anha, “Aku pernah mendengar Abud Darda radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ تُوُفِّيَ عَنْهَا زَوْجُهَا, فَتَزَوَّجَتْ بَعْدَهُ فَهِيَ لآخِرِ أَزْوَاجِهَا
‘Istri mana saja yang wafat suaminya, lalu menikah lagi sepeninggal suaminya, dia bersama suaminya yang terakhir.’
“Dalam hal ini, aku tidak ingin mengutamakanmu dari Abud Darda[1].”
Muawiyah lalu mengirim surat kepada Ummud Darda berisi pesan, “Hendaknya engkau banyak puasa karena puasa adalah pemutus (syahwat).” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath, 3/275, dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 1281)
Hudzaifah radhiallahu ‘anhu pernah berkata kepada istrinya, “Apabila engkau suka menjadi istriku di surga jika kelak Allah ‘azza wa jalla mengumpulkan kita di sana, janganlah engkau menikah sepeninggalku[2]. Sebab, perempuan itu di surga adalah milik suaminya yang terakhir di dunia. Karena itu, Allah ‘azza wa jalla mengharamkan istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah sepeninggal beliau karena mereka adalah istri-istri beliau di surga kelak.” (Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan, 7/69—70. Perawinya tsiqah seandainya tidak ada ‘an’anah dan ikhtilathnya Abu Ishaq as-Sabi’i, demikian kata al-Imam al-Albani rahimahullah dalam ash-Shahihah, 3/277)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Disarikan oleh Ummu Ishaq al-Atsariyah dari Lin Nisa’ Ahkam wa Adab Syarh al-Arba’in an-Nisa’iyah, Muhammad Syakir asy-Syarif, hlm. 215—223, Dar Thaybah, Riyadh, cet. pertama)
[1] Ummud Darda memilih untuk tetap menjadi istri Abud Darda di surga nanti.
[2] Hudzaifah tidaklah mempersyaratkan kepada istrinya untuk tidak menikah sepeninggalnya, namun dia memberikan pilihan, sebagaimana tampak dalam kalimatnya, “Bila kamu suka menjadi istriku di surga….”
Sumber: Asy syariah edisi 101
###
TANYA:
Bolehkah seorang wanita mencegah dirinya sendiri untuk menikah lagi setelah suami pertamanya meninggal dunia? Atau, bolehkah seorang suami melarang istrinya untuk menikah lagi jika dia meninggal dunia sebelum istrinya?
JAWAB:
Seorang wanita tidak boleh mencegah dirinya sendiri untuk menikah lagi setelah suaminya meninggal dunia. Sebab, larangan itu hanya khusus berlaku bagi para istri Nabi Muhammad Shallahu `Alaihi wasallam. Demikian halnya seorang suami tidak boleh melarang istrinya menikah lagi jika kelak dia meninggal dunia. Perintah seperti itu tidak boleh ditaati, berdasarkan sabda Nabi Shallallahu `Alaihi wasallam, "Sesungguhnya kepatuhan itu hanya dalam kebaikan."
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhuts Al Ilmiyyah wal Ifta’- Fatwa Nomor 12712
WA Al Istifadah
WALIS
Tentang MENGAWETKAN HEWAN UNTUK DIPAJANG
Apa hukum mengawetkan hewan mati dengan tengkoraknya (muhannath) untuk dipajang sebagai hiasan?
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Pengawetan (tahnith) hewan mati dengan tujuan untuk dipajang sebagai hiasan telah difatwakan oleh ulama kibar masa ini. Berikut fatwa-fatwa yang dapat kami nukil di sini.
Fatwa al-Lajnah ad-Da’imah (diketuai oleh Ibnu Baz rahimahullah) dalam Fatawa al-Lajnah (1/715, 716) dan (13/35- 36). Mereka berfatwa bahwa hal itu tidak tergolong menggambar sesuatu yang terlarang (yaitu menggambar makhluk hidup), tidak pula tergolong menandingi ciptaan Allah ‘azza wa jalla, dan tidak tergolong menyimpan gambar makhluk hidup yang telah dilarang dalam hadits-hadits yang sahih. Namun, hal itu haram dengan alasan sebagai berikut.
Membuang harta dengan sia-sia jika hewan itu tergolong hewan yang halal dimakan. Jika tergolong hewan yang bisa difungsikan untuk suatu manfaat, hal itu tergolong membinasakan hewan yang bermanfaat tanpa ada tujuan yang berguna.
Biaya pemeliharaannya tergolong israf (pemborosan) dan mubazir yang tercela.
Wasilah/faktor yang akan menyeret untuk menyimpan dan memelihara gambar/patung makhluk bernyawa yang merupakan perkara haram dan wasilah/faktor kesyirikan.
Ibnu ‘Utsaimin berfatwa pada Liqa’ Bab al-Maftuh (juz 147) bahwa hal itu bukan tergolong gambar makhluk hidup yang terlarang, melainkan makhluk ciptaan Allah ‘azza wa jalla yang diawetkan.
Adapun hukumnya, Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah memberikan rincian. Beliau rahimahullah berkata, “Mengambil hewan mati yang diawetkan tidak termasuk menggambar sesuatu yang terlarang, karena sesungguhnya Anda hanyalah mengambil suatu makhluk ciptaan Allah ‘azza wa jalla. Bukankah itu salah satu makhluk ciptaan Allah ‘azza wa jalla?
Akan tetapi, tersisa peninjauan dari segi lain. Apabila termasuk hewan yang haram dimakan, itu tergolong najis yang tidak boleh disimpan.
Apabila termasuk hewan yang halal dimakan tetapi tidak disembelih secara syar’i, itu juga tergolong najis yang tidak boleh disimpan.
Jika termasuk hewan yang halal dimakan dan disembelih secara syar’i lalu diawetkan, itu tidak mengapa. Namun, jika hal itu menghabiskan biaya yang besar, tergolong membuang harta Cuma-cuma (haram).”
Lebih detail lagi dari rincian ini adalah fatwa beliau rahimahullah dalam kitab Majmu’ Fatawa wa ar-Rasa’il (12/358—359):
Mengawetkan tengkorak hewan yang haram dimakan, seperti anjing, singa, dan serigala haram diperjualbelikan, karena tergolong bangkai (najis). Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang penjualan najis. Lagi pula tidak ada manfaatnya sehingga biaya yang digunakan tergolong membuang harta secara sia-sia, sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari perbuatan membuang harta secara sia-sia.
Mengawetkan tengkorak hewan yang halal dimakan jika mati tidak dengan cara penyembelihan syar’i, haram memperjualbelikannya karena tergolong bangkai (najis). Jika mati dengan cara penyembelihan syar’i, halal diperjualbelikan. Hanya saja, saya khawatir hal itu (dengan tujuan untuk hiasan) termasuk membuang harta secara sia-sia terkhusus jika menghabiskan biaya yang besar.
Alhasil, hal itu tidak boleh. Wallahu a’lam.
Ada tujuan lain yang diperbolehkan, yaitu untuk praktikum di laboratorium dalam rangka pelajaran anatomi dan lainnya.
Ibnu ‘Utsaimin dalam Fatawa Nur ‘ala ad-Darb (Kitab al-‘Ilmi) berfatwa, “Boleh mengawetkan hewan untuk tujuan belajar dan menghasilkan ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan hamba-hamba Allah ‘azza wa jalla, karena Allah ‘azza wa jalla menciptakan semua yang ada di muka bumi untuk kepentingan/maslahat kita.
Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dialah yang menciptakan seluruh yang di muka bumi untuk kepentingan kalian.” (al-Baqarah: 29)
Namun, wajib ditempuh cara termudah dalam membunuhnya untuk mencapai tujuan tersebut, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ.
“Maka dari itu, jika kalian membunuh, bunuhlah dengan cara yang baik.” (HR. Muslim dari Syaddad bin Aus radhiallahu ‘anhu.)
Jika dibuat pingsan dengan dibius untuk praktik operasi/pembedahan, hal itu juga tidak mengapa, karena mengandung maslahat untuk para pelajar. Sementara itu, tidak ada mudarat besar terhadap hewan itu mengingat dibedah dalam keadaan sudah pingsan.”
Wallahu a’lam.
Sumber: Asy syariah edisi 101
Tentang HARTA DARI PENGHASILAN YANG HARAM
Apa hukum memanfaatkan harta yang didapatkan dari penghasilan yang haram sedangkan pelakunya/pemiliknya telah bertobat?
Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini
Orang yang pemasukannya bersumber dari penghasilan yang haram berupa riba dan lainnya lantas bertobat kepada Allah ‘azza wa jalla, ada beberapa rincian tentang hukum memanfaatkan harta penghasilannya tersebut.
Jika selama ini dia jahil (tidak tahu) bahwa pemasukan/penghasilan itu haram karena kebodohannya, hasil ijtihad keliru atau taklid mengikuti fatwa keliru yang membolehkan, kemudian ia mengetahuinya dan bertobat, dia boleh memanfaatkannya untuk kepentingan pribadinya, seperti untuk makan, minum, pakaian, tempat tinggal, menghadiahkannya, mewakafkannya, dan lainnya.
Dalilnya ialah firman Allah ‘azza wa jalla, “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka dari itu, barang siapa telah datang kepadanya wejangan dari Rabbnya kemudian dia berhenti (dari riba), harta riba yang telah lalu halal untuknya dan urusannya kembali kepada Allah.” (al-Baqarah: 275)
Hal ini telah difatwakan oleh Ibnu Baz rahimahullah dalam Majmu al-Fatawa (19/274), “Adapun jika engkau jahil (tidak tahu hukum) kemudian mengetahuinya, halal bagimu apa yang telah lalu.
Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka dari itu, barang siapa telah datang kepadanya wejangan dari Rabbnya kemudian dia berhenti (dari riba), harta riba yang telah lalu halal untuknya dan urusannya kembali kepada Allah. Barang siapa mengulanginya setelah itu, mereka adalah penghuni neraka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 275)
Jika demikian, apabila Anda punya pemasukan dari hasil riba dalam keadaan tidak tahu hukum, kemudian Allah ‘azza wa jalla memberimu petunjuk, halal bagimu apa yang telah lalu.”
Al-Lajnah ad-Da’imah (Ketua: Ibnu Baz, Wakil Ketua: ‘Abdul ‘Aziz Alu asy-Syaikh, Anggota: Shalih al-Fauzan dan lainnya) dalam Fatawa al-Lajnah (14/485) berfatwa kepada seorang wanita muslimah dari Somalia yang pernah menjadi pembantu rumah tangga keluarga Nasrani di Swedia. Di antara tugasnya adalah menghidangkan khamr (minuman keras) untuk mereka.
Kata al-Lajnah, “Adapun jika Anda tidak mengetahui haramnya hal itu kemudian Anda bertobat dan meninggalkan pekerjaan itu tatkala mengetahui hukumnya, tidak ada kewajiban apapun atasmu mengenai harta penghasilanmu yang telah lalu. Hal itu berdasarkan firman Allah ‘azza wa jalla tentang para pelaku riba,
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Maka dari itu, barang siapa telah datang kepadanya wejangan dari Rabbnya kemudian dia berhenti (dari riba), harta riba yang telah lalu halal untuknya dan urusannya kembali kepada Allah. Barang siapa mengulanginya setelah itu, mereka adalah penghuni neraka kekal di dalamnya.” (al-Baqarah: 275)
Kata Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam kitab Tafsir al-Qur’an (Program Maktabah Syamilah) ketika memetik faedah dari penafsiran ayat tersebut, “Faedah kedelapan, harta yang didapatkan oleh seseorang dari hasil riba sebelum mengetahui hukumnya adalah halal untuknya, dengan syarat ia bertobat dan berhenti.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ al-Fatawa (29/412) berfatwa tentang harta yang dihasilkan dengan akad jual beli yang hakikat hukumnya haram, tetapi dilakukan oleh orang yang menyangkanya halal.
Kata beliau, “Demikian pula setiap akad yang diyakini oleh muslim pelakunya sebagai akad yang sah dengan penakwilan yang bersumber dari hasil ijtihad atau taklid (membebek), seperti muamalah ribawi yang diperbolehkan oleh para penghalal rekayasa riba secara halus—Ibnu Taimiyah menyebutkan contoh-contoh lainnya, seperti jual beli yang mengandung gharar (spekulasi terlarang).
Jika pada akad-akad tersebut telanjur terjadi taqabudh antara kedua belah pihak yang bertransaksi (sama-sama telah menggenggam/mengambil harta yang ditransaksikan) disertai keyakinan sahnya muamalah itu, tidak dituntut untuk dibatalkan setelahnya, baik dengan hukum maupun dengan rujuk dari ijtihad itu. Artinya, harta itu menjadi miliknya yang sah dan halal untuknya. Wallahu a’lam.
Jika dia menghasilkan harta yang haram itu dalam keadaan tahu hukum kemudian bertobat, ia tidak boleh menggunakannya untuk kepentingan pribadi, baik untuk makan, minum, pakaian, tempat tinggal, menghadiahkannya, menghibahkannya, maupun yang semacamnya.
Tuntutan sempurnanya tobat Mengharuskannya membersihkan/mengeluarkan harta haram itu dari dirinya dengan cara:
Diberikan kepada fakir miskin atau orang yang terlilit/tidak mampu membayar utang. Hal ini bukan sebagai sedekah, melainkan pembersihan diri dari harta haram.
Disalurkan untuk program kepentingan/maslahat umum (masyari’ khairiyyah ‘ammah), seperti madrasah, pembangunan/perbaikan jalan, selokan, kamar mandi, kakus/WC, pagar kuburan, dan semisalnya. Hal ini bukanlah amal ibadah, melainkan pembersihan diri dari harta haram.
Ini rangkuman fatwa ulama terkemuka pada abad ini, yaitu al-Imam Ibnu Baz, al-Lajnah ad-Da’imah (yang diketuai al-Imam Ibnu Baz dan salah satu anggotanya al-‘Allamah Shalih al-Fauzan), dan Ibnu ‘Utsaimin. Secara lengkap dapat dilihat dalam kitab Fatawa al-Lajnah (13/431, 14/57, 60—63, 413—414), Majmu’ al-Fatawa libni Baz (19/267, 268, 273—274), Liqa’ Bab al-Maftuh libni ‘Utsaimin (6/18, 24/32, 221/17), dan Majmu’ Fatawa war Rasa’il (12/384—385).
Untuk Pembangunan Masjid?
Adapun untuk pembangunan masjid, terdapat perbedaan pendapat di antara mereka.
Ada yang berpendapat tidak boleh. Al-Lajnah ad-Da’imah (diketuai oleh Ibnu Baz) berfatwa dalam Fatawa al-Lajnah (13/431), “Diinfakkan untuk maslahat umum, yaitu di jalan-jalan kebaikan, selain masjid. Masjid tidak boleh dibangun darinya, demi menjaga kesucian masjid dari harta penghasilan yang haram.”
Ada yang berpendapat boleh. Ibnu ‘Utsaimin berfatwa dalam kitab Liqa’ Bab al-Maftuh (6/18), “Harta apa saja yang dihasilkan oleh seseorang dengan cara yang haram kemudian bertobat darinya, ia berlepas diri dari harta itu dengan menyalurkannya untuk jalan kebaikan, termasuk pembangunan masjid dan sedekah kepada fakir miskin.”
Ibnu ‘Utsaimin berfatwa dalam kitab Majmu’ Fatawa war Rasa’il (12/384— 385) mengenai hukum shalat di masjid yang dibangun dari harta haram, “Boleh shalat di dalamnya dan tidak mengapa, karena yang membangunnya dari harta yang haram, boleh jadi ia melakukannya demi membersihkan dirinya dari harta penghasilannya yang haram.
Membangun masjid dari harta penghasilan yang haram hukumnya halal, apabila dimaksudkan untuk membersihkan diri dari harta penghasilan yang haram, tetapi hal itu tidak terbatas dengan membangun masjid saja. Berlepas diri dari harta yang haram juga dapat dilakukan dengan menyalurkannya pada program kebaikan lainnya.” Wallahu a’lam.
Jika Tercampur dengan yang Halal
Tersisa sebuah masalah, apabila harta itu telah tercampur dengan harta penghasilan lainnya yang halal, sedangkan pelakunya tidak mampu menentukan mana yang haram dan tidak mampu berijtihad (menganalisa) untuk memisahnya dengan dugaan kuat sekalipun.
Dalam hal ini al-Lajnah ad-Da’imah (Ketua: Ibnu Baz, Wakil Ketua: ‘Abdul ‘Aziz Alu asy-Syaikh, Anggota: Shalih al-Fauzan dan lainnya) dalam Fatawa al-Lajnah (14/484—485) berfatwa kepada seorang wanita muslimah dari Somalia yang pernah menjadi pembantu rumah tangga keluarga Nasrani di Swedia. Di antara tugasnya adalah menghidangkan khamr (minuman keras) untuk mereka. Al-Lajnah menyatakan bahwa wajib atasnya membersihkan diri dari penghasilan yang haram itu.
Kemudian mereka berkata, “Apabila harta haram tersebut telah bercampur dengan harta yang halal; jika bisa diketahui kadar/nilai harta yang haram dari yang halal, keluarkan yang haram dan sedekahkan untuk membersihkan diri darinya serta membebaskan diri dari tanggung jawab.
Jika tidak dapat diketahui kadar yang haram dari yang halal, seluruh harta yang ada dibagi dua; setengahnya disedekahkan (untuk membersihkan diri darinya) dan setengahnya lagi Anda boleh manfaatkan dalam perkara yang halal. Hal ini jika Anda sudah tahu hukum ketika bekerja bahwa pekerjaan itu haram.”
Wallahu a’lam.
Sumber: Asy Syariah Edisi 101