Cari Blog Ini

Jumat, 26 September 2014

Tentang SHALAT MENGHADAP SUTRAH

Sutrah orang yang shalat adalah apa yang ditancapkan dan dipancangkan di hadapannya berupa tongkat atau yang lainnya ketika hendak mendirikan shalat atau sesuatu yang sudah tegak dengan sendirinya yang sudah ada di hadapannya, seperti dinding atau tiang, guna mencegah orang yang hendak berlalu-lalang di depannya saat ia sedang shalat.
Dengan sutrah ini, seseorang boleh melewati orang yang shalat dari belakang sutrah dan tidak boleh antara seorang yang shalat dengan sutrah.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
ﻻَ ﺗُﺼَﻞِّ ﺇِﻻَّ ﺇِﻟَﻰ ﺳُﺘْﺮَﺓٍ، ﻭَﻻَ ﺗَﺪَﻉْ ﺃَﺣَﺪًﺍ ﻳَﻤُﺮُّ ﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻳْﻚَ ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﺑَﻰ ﻓَﻠْﺘُﻘَﺎﺗِﻠْﻪُ، ﻓَﺈِﻥَّ ﻣَﻌَﻪُ ﺍﻟْﻘَﺮِﻳْﻦَ
"Janganlah engkau shalat melainkan ke arah sutrah (di hadapanmu ada sutrah) dan jangan engkau biarkan seseorang pun lewat di depanmu. Bila orang itu menolak (tetap ngotot ingin lewat), perangilah karena bersamanya ada qarin (setan).” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya dan berkata Al-Albani dalam Ashlu Shifah Shalatin Nabi, 1/115: “Sanadnya jayyid.”)

Sutrah ini disyariatkan untuk imam dan orang yang shalat sendirian atau munfarid. Adapun makmum tidak perlu dan boleh lewat di depan makmum

Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma berkata,
ﺃَﻗْﺒَﻠْﺖُ ﺭَﺍﻛِﺒًﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺣِﻤَﺎﺭٍ ﺃَﺗَﺎﻥٍ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﻳَﻮْﻣَﺌِﺬٍ ﻗَﺪْ ﻧَﺎﻫَﺰْﺕُ ﺍﻟْﺎِﺣﺘِﻼَﻡَ ﻭَﺭَﺳﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻳُﺼَﻠِّﻲ ﺑِﺎﻟﻨَّﺎﺱِ ﺑـِﻤِﻨًﻰ، ﻓَﻤَﺮَﺭْﺕُ ﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻱْ ﺑَﻌْﺾِ ﺍﻟﺼَّﻒِّ، ﻓَﻨَﺰَﻟْﺖُ ﻭَﺃَﺭْﺳَﻠْﺖُ ﺍﻟْﺄَﺗﺎَﻥَ ﺗَﺮْﺗَﻊُ ﻭَﺩَﺧَﻠْﺖُ ﻓﻲِ ﺍﻟﺼَّﻒِّ، ﻓَﻠَﻢْ ﻳُﻨْﻜِﺮْ ﺫَﻟِﻚَ ﻋَﻠَﻲَّ ﺃَﺣَﺪٌ
“Aku datang dengan menunggang keledai betina, saat itu aku menjelang ihtilam (mimpi basah/baligh) sementara Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sedang shalat mengimami manusia di Mina. Lalu aku lewat di hadapan sebagian shaf, setelahnya aku turun dari keledai tersebut dan aku membiarkannya pergi merumput. Kemudian aku masuk (bergabung) ke dalam shaf. Tidak ada seorang pun yang mengingkari perbuatanku tersebut.” (HR. Muslim no. 1124)

Benda yang Bisa Dijadikan Sutrah:

1. Tiang masjid

Yazid bin Abi ‘Ubaid berkata: Adalah Salamah ibnul Akwa’ radhiallahu 'anhu memilih shalat di sisi tiang masjid tempat menyimpan mushaf. Maka aku tanyakan kepadanya, "Wahai Abu Muslim, aku melihatmu menyengaja memilih shalat di sisi tiang ini." Beliau menjawab,
ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﻳَﺘَﺤَﺮَّﻯ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ ﻋِﻨْﺪَﻫَﺎ
"Aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memilih shalat di sisinya.” (HR. Al-Bukhari no. 502 dan Muslim no. 1136)

2. Tongkat yang ditancapkan

Ibnu ‘Umar radhiallahu 'anhuma memberitakan,
ﺃَﻥَّ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻛَﺎﻥَ ﺇِﺫَﺍ ﺧَﺮَﺝَ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻌِﻴْﺪِ ﺃَﻣَﺮَ ﺑِﺎﻟْـﺤَﺮْﺑَﺔِ ﻓَﺘُﻮْﺿَﻊُ ﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻓَﻴُﺼَﻠِّﻲ ﺇِﻟَﻴْﻬَﺎ ﻭَﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻭَﺭَﺍﺀَﻩُ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﻳَﻔْﻌَﻞُ ﺫﻟِﻚَ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻔَﺮِ
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bila keluar ke tanah lapang untuk mengerjakan shalat Id, beliau memerintahkan pelayannya untuk membawa tombak lalu ditancapkan di hadapan beliau. Kemudian beliau shalat menghadapnya sementara manusia menjadi makmum di belakang beliau. Dan beliau juga melakukan hal tersebut dalam safarnya.” (HR. Al-Bukhari no. 494 dan Muslim no. 1115)

3. Hewan tunggangan

Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma mengabarkan,
ﺃَﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﻌَﺮِّﺽُ ﺭَﺍﺣِﻠَﺘَﻪُ ﻓَﻴُﺼَﻠِّﻲ ﺇِﻟَﻴْﻬَﺎ
"Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melintangkan hewan tunggangannya (antara beliau dengan kiblat), lalu shalat menghadapnya.” (HR. Al-Bukhari no. 507 dan Muslim no. 1117)

4. Pohon

Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu berkata,
ﻟَﻘَﺪْ ﺭَﺃَﻳْﺘُﻨَﺎ ﻟَﻴْﻠَﺔَ ﺑَﺪْﺭٍ، ﻭَﻣَﺎ ﻣِﻨَّﺎ ﺇِﻧْﺴَﺎﻥٌ ﺇِﻻَّ ﻧَﺎﺋِﻢٌ ﺇِﻻَّ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﻳُﺼَﻠِّﻲ ﺇِﻟَﻰ ﺷَﺠَﺮَﺓٍ ﻭَﻳَﺪْﻋُﻮ ﺣَﺘَّﻰ ﺃَﺻْﺒَﺢَ
"Sungguh aku melihat kami pada malam Badr, tidak ada seorang pun dari kami melainkan tertidur kecuali Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, beliau sedang mengerjakan shalat menghadap ke arah sebuah pohon sebagai sutrahnya dan berdoa hingga pagi hari.” (HR. Ahmad 1/138. Al-Albani berkata: “Sanadnya shahih.” Lihat Ashlu Shifah Shalatin Nabi, 1/120)

5. Dinding/tembok

Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiallahu 'anhu berkata,
ﻛَﺎﻥَ ﺑَﻴْﻦَ ﻣُﺼَﻠَّﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟْـﺠِﺪَﺍﺭِ ﻣَﻤَﺮُّ ﺍﻟﺸَّﺎﺓِ
"Jarak antara mushalla Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan tembok/dinding adalah sekadar lewatnya seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 496 dan Muslim no. 1134)
An-Nawawi menafsirkan mushalla dalam hadits di atas dengan tempat sujud. (Al-Minhaj, 4/449)

6. Tempat tidur

Aisyah radhiallahu 'anha berkata,
ﻟَﻘَﺪْ ﺭَﺃَﻳْﺘُﻨِﻲ ﻣُﻀْﻄَﺠِﻌَﺔً ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺴَّﺮِﻳْﺮِ ﻓَﻴَﺠِﻲْﺀُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﻓَﻴَﺘَﻮَﺳَّﻂُ ﺍﻟﺴَّﺮِﻳْﺮَ ﻓَﻴُﺼَﻠِّﻲ
"Sungguh aku melihat diriku dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam datang, beliau berdiri menghadap bagian tengah tempat tidur, kemudian shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 508 dan Muslim no. 1144)
Dalam lafadz lain,
ﻟَﻘَﺪْ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﻳُﺼَﻠِّﻲ ﻭَﺇِﻧِّﻲ ﻟَﺒَﻴْﻨَﻪُ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟْﻘِﺒْﻠَﺔِ ﻣُﻀْﻄَﺠِﻌَﺔٌ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﺴَّﺮِﻳْﺮِ
"Sungguh aku melihat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat sementara aku berada di antara beliau dan kiblatnya dalam keadaan berbaring di atas tempat tidur.” (HR. Al-Bukhari no. 511 dan Muslim no. 1143)

7. Benda yang tinggi

Aisyah radhiallahu 'anha berkata, “Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah ditanya dalam Perang Tabuk tentang tinggi sutrah orang yang shalat. Maka beliau menjawab,
ﻣِﺜْﻞُ ﻣُﺆْﺧِﺮَﺓِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻞِ
"Semisal mu’khiratur rahl.” (HR. Muslim no. 1113)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
ﺇِﺫَﺍ ﻭَﺿَﻊَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻳْﻪِ ﻣِﺜْﻞَ ﻣُﺆْﺧِﺮَﺓِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻞِ ﻓَﻠْﻴُﺼَﻞِّ، ﻭَﻻَ ﻳُﺒَﺎﻝِ ﻣَﻦْ ﻣَﺮَّ ﻭَﺭَﺍﺀَ ﺫَﻟِﻚَ
"Apabila salah seorang dari kalian meletakkan semisal mu`khiratur rahl di hadapannya maka silakan ia shalat dan jangan memedulikan orang yang lewat di belakang sutrahnya tersebut.” (HR. Muslim no. 1111)
Mu`khiratur rahl adalah kayu yang berada di bagian belakang pelana hewan tunggangan yang dijadikan sebagai sandaran si penunggang hewan tersebut. Tingginya sekitar 2/3 hasta. (Nailul Authar 3/4, Taudhihul Ahkam 2/64, Asy-Syarhul Mumti` 1/731)

Jarak antara orang yang shalat dengan sutrahnya:

Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiallahu 'anhu berkata,
ﻛَﺎﻥَ ﺑَﻴْﻦَ ﻣُﺼَﻠَّﻰ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟْـﺠِﺪَﺍﺭِ ﻣَﻤَﺮُّ ﺍﻟﺸَّﺎﺓِ 
"Jarak antara mushalla Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dengan tembok/dinding adalah sekadar lewatnya seekor kambing.” (HR. Al-Bukhari no. 496 dan Muslim no. 1134) 
An-Nawawi menafsirkan mushalla dalam hadits di atas dengan tempat sujud. (Al-Minhaj, 4/449)

Bilal radhiallahu 'anhu berkata,
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻜَﻌْﺒَﺔِ ﻭَﺑَﻴْﻨَﻪُ ﻭَﺑَﻴْﻦَ ﺍﻟْـﺠِﺪَﺍﺭِ ﺛَﻼَﺛَﺔُ ﺃَﺫْﺭُﻉٍ
"Sesungguhnya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam shalat di Ka’bah, jarak antara beliau dan dinding sejauh tiga hasta (135 cm).” (Al-Imam Ibnu Abdil Barr berkata: “Hadits ini diriwayatkan Ibnul Qasim dan Jama’ah dari Malik, dan sanad hadits ini lebih shahih dari sanad hadits Sahl ibnu Sa’d.” Lihat At-Tamhid 5/37-38 dan Al-Istidzkar 6/171)

Al-Baghawi berkata, “Ahlul ilmi menganggap mustahab untuk mendekat kepada sutrah, di mana jarak antara orang yang shalat dengan sutrahnya sekadar memungkinkan untuk sujud. Demikian pula jarak antar shaf.” (Syarhus Sunnah, 2/447)

Tentang TAKBIR HARI RAYA

Firman Allah:
ﻭَﻳَﺬْﻛُﺮُﻭﺍ ﺍﺳْﻢَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻓِﻲ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﻣَﻌْﻠُﻮﻣَﺎﺕٍ
"Dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari-hari yang telah ditentukan." (Al-Hajj : 28)
Yaitu 10 hari pertama Dzulhijjah.

Dan firman Allah Ta’ala :
ﻭَﺍﺫْﻛُﺮُﻭﺍ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻓِﻲ ﺃَﻳَّﺎﻡٍ ﻣَﻌْﺪُﻭﺩَﺍﺕٍ
"Dan sebutlah nama Allah pada hari-hari yang tertentu." (Al-Baqarah : 203)
Yaitu hari-hari Tasyriq.

Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﺘﺸﺮﻳﻖ ﺃﻳﺎﻡ ﺃﻛﻞ ﻭﺷﺮﺏ ﻭﺫﻛﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ
"Hari-hari Tasyriq adalah hari-hari untuk menikmati makan dan minum, serta hari-hari untuk berdzikir kepada Allah ‘Azza wa Jalla." Diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahih-nya.

Al-Bukhari menyebutkan dalam kitab Shahih-nya secara mu’allaq dari shahabat Ibnu ‘Umar dan shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhum,
ﺃﻧﻬﻤﺎ ﻛﺎﻧﺎ ﻳﺨﺮﺟﺎﻥ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺴﻮﻕ ﺃﻳﺎﻡ ﺍﻟﻌﺸﺮ ﻓﻴﻜﺒﺮﺍﻥ ﻭﻳﻜﺒﺮ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺑﺘﻜﺒﻴﺮﻫﻤﺎ
“Bahwa keduanya dulu keluar ke pasar pada 10 hari pertama (Dzulhijjah) dan bertakbir. Maka umat pun bertakbir dengan takbir kedua shahabat tersebut.”

Dulu ‘Umar bin Al-Khaththab dan putranya, ‘Abdullah radhiyallahu ‘anhuma bertakbir di hari-hari Mina di masjid maupun di kemah, keduanya mengeraskan suaranya sehingga Mina bergetar dengan takbir.

Diriwayatkan juga dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejumlah shahabat radhiyallahu ‘anhum takbir setiap selesai shalat lima waktu mulai sejak shalat Shubuh hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) hingga shalat ‘Ashr hari ke-13 bulan Dzulhijjah.

Dan disebutkan di dalam sebuah Hadits, “Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar di Hari Raya Idul Fitri lalu beliau bertakbir sampai datang ke tempat shalat dan sampai selesai shalat. Apabila telah selesai shalat beliau memutus takbir.” (Shahih, Mursal Az-Zuhri, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dengan syawahidnya dalam Ash-Shahihah no. 171)

Fadhilatusy Syaikh Al-‘Allamah Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan:
1. Takbir Muthlaq terdapat pada dua tempat:
Pertama: Malam ‘Idul Fithri, sejak terbenam Matahari sampai selesainya shalat ‘Id
Kedua: 10 (hari pertama bulan) Dzulhijjah, sejak masuk bulan Dzulhijjah sampai waktu fajar Hari ‘Arafah, dan pendapat yang benar masih terus berlanjut hingga hari terakhir hari-hari Tasyriq (yakni hari ke-13).
2. Takbir Muqayyad sejak selesai shalat ‘Idul Adh-ha sampai waktu ‘Ashr hari Tasyriq yang terakhir (hari ke-13)
3. Takbir Gabungan, antara Muthlaq dan Muqayyad, sejak terbit fajar (waktu Shubuh) hari ‘Arafah sampai selesai shalat ‘Idul Adh-ha, dan pendapat yang benar terus berlanjut sampai terbenam Matahari hari Tasyriq paling terakhir.
Perbedaan antara Takbir Muthlaq dan Takbir Muqayyad:
Takbir Muthlaq disyari’atkan setiap waktu tidak hanya setiap selesai shalat fardhu. Jadi pensyari’atannya bersifat mutlak, oleh karena itu dinamakan Takbir Muthlaq.
Adapun Takbir Muqayyad, disyari’atkan hanya setiap selesai shalat fardhu. Jadi pensyari’atannya terikat dengan shalat, oleh karena itu dinamakan dengan Takbir Muqayyad (terikat).
Wallahu a’lam.

Adapun lafadz takbirnya, maka tidak ada satupun hadits yang shahih yang menentukan bacaannya. Hanya saja terdapat beberapa atsar sahabat yang shahih yang menerangkan bacaan tersebut. Di antaranya:
"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laailaaha illallahu Wallahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil Hamdu."
Atau "Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laailaaha illallahu Wallahu Akbar, Allahu Akbar Walillahil Hamdu."
(Al Irwa’ 3/125-126)
Ibnu Mas’ud, beliau mengucapkan:
ﺍَﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﺍَﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﻟَﺎﺇِﻟَﻪَ ﺇِﻟَّﺎﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﺍَﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﻭَﻟِﻠَّﻪِ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ
[HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (2/168) dengan sanad yang shohih]
Ibnu Abbas, beliau mengucapkan:
ﺍَﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﺍَﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﺍَﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﻭَﻟِﻠَّﻪِ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﺍَﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﻭَﺃَﺟَﻞُّ ﺍَﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﻫَﺪَﺍﻧَﺎ
[HR. Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/315) dengan sanad yang shohih]
Dalam riwayat lain:
اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَلِلَّهِ الْحَمْدُ
[HR. Ibnu Abi Syaibah]
Salman Al-Farisy, beliau mengucapkan:
ﺍَﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُﺍَﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُﺍَﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُﻛَﺒِﻴْﺮًﺍ
[HR. Al-Baihaqy dalam As-Sunan Al-Kubro (3/316) dengan sanad yang shohih]

Dan di dalam bertakbir ini, tidak disyariatkan untuk dikerjakan secara berjama’ah dengan satu suara. (Ash-Shahihah 1/1/331)

Laki-laki MEN-JAHRKAN (MENGERASKAN) TAKBIRNYA di masjid-masjid, pasar-pasar, rumah-rumah, dan wanita MEN-SIRKAN (TIDAK MENGERASKAN).
(Fatawa Al 'Utsaimin 25/190)

###

Soal:
Bolehkah wanita takbir pada ied? Apa syarat-syaratnya?

Jawab:
Wanita diperbolehkan takbir ied sebagaimana laki-laki. Namun, tidak boleh mengeraskan suaranya sampai terdengar oleh laki-laki yang bukan mahram, juga tanpa ikhtilath. Cukup sendiri atau di tengah-tengah wanita atau mahramnya.
(al-Ustadz Muhammad Afifuddin)

Soal:
Berapa kali lafadz takbir ied?

Jawab:
Semuanya boleh, karena lafadz takbir datangnya dari perbuatan salaf, tidak ada riwayat dalam sunnah. Bahkan, semata-mata mengulang lafadz takbir juga boleh. Namun, yang afdal adalah bertakbir sesuai dengan contoh salaf.
(al-Ustadz Muhammad Afifuddin)

Sumber: Asy Syariah Edisi 083

Tentang CARA MENYEMBELIH KAMBING KURBAN

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah

Dalam menyembelih, ada beberapa adab yang sebaiknya diperhatikan dan bukan merupakan syarat kehalalan sembelihan. Namun tetap halal tanpa melakukan perkara-perkara berikut ini, di antaranya:

1. Menghadap kiblat di saat menyembelihnya.

2. Berbuat baik dalam menyembelihnya, yaitu dengan menggunakan alat yang tajam yang dia lewatkan pada tempat menyembelihnya dengan kuat dan cepat. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ini termasuk adab yang wajib berdasarkan yang zhahir dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
"Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik dalam segala sesuatu, maka jika kalian membunuh, berbuat baiklah dalam membunuh dan jika kalian menyembelih, maka berbuat baiklah dalam menyembelih dan hendaknya salah seorang kalian menajamkan pisaunya dan menenangkan sembelihannya." (HR. Muslim)
Pendapat inilah yang benar.

3. Hendaknya tatkala menyembelih onta dengan cara nahr, dan yang lainnya dengan cara dzabh. Nahr adalah menyembelih onta dalam keadaan berdiri yang terikat tangan kirinya. Namun jika sulit, dia menyembelihnya dalam keadaan ontanya duduk. Adapun yang lainnya disembelih dalam keadaan dibaringkan di atas lambung kirinya. Jika penyembelihnya merasa sulit, maka dia boleh menyembelih dengan tangan kirinya, dan menyembelihnya diatas lambung kanannya, jika hal itu lebih menenangkan sembelihannya dan lebih memudahkan baginya.
Disunnahkan meletakkan kakinya di bagian leher sembelihannya agar lebih memudahkan.
Adapun mendudukinya dan mengikat empat kakinya maka hal itu tidak ada asalnya dalam sunnah. Sebagian para ulama menyebutkan bahwa di antara manfaat tidak diikat kaki-kakinya adalah semakin melancarkan aliran darah dengan gerakan dan goncangannya.

4. Memotong kerongkongan dan tenggorokannya, sebagai tambahan dari memotong dua urat lehernya.

5. Menyembunyikan pisau dari hewan tersebut ketika ditajamkan agar hewan tersebut tidak melihatnya di saat menyembelih.

6. Mengucapkan takbir kepada Allah setelah membaca basmalah.

7. Menyebut nama pemilik ketika menyembelih qurban atau aqiqah, setelah membaca basmalah dan bertakbir, sambil memohon kepada Allah agar diterima, dengan mengucapkan:
بسم الله والله اكبر اللهم منك ولك عني
(Bismillah Wallahu Akbar, Ya Allah, ini darimu dan milikmu, dariku) (jika itu miliknya), atau عن فلان (atas nama fulan, jika milik orang lain), اللهم تَقَبَّلْ مني (Ya Allah, terimalah ini dariku, jika itu miliknya) atau من فلان (dari fulan, jika bukan miliknya).

Dari Kitab:
Talkhis Kitab Ahkam Al Udhiyah wa Adz Dzakat
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah

Terjemah:
Al-Ustadz Abu Muawiyah Askari hafizhahullah

http://salafybpp.com/index.php/fiqh-islam/236-adab-adab-menyembelih

TIS

###

Cara memotong udhiyah (hewan kurban) yang berupa kambing, baik domba maupun kambing jawa adalah sebagai berikut:

1. Siapkan pisau yang tajam. [1]

2. Baringkanlah hewan kurban di atas lambungnya yang kiri. Kemudian letakkanlah kaki anda di atas (rusuk) leher hewan kurban [2] sedangkan tangan kiri anda memegangi kepala hewan kurban sehingga menjadi tampak urat lehernya.

3. Bacalah basmalah:
ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ ﺍَﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻫَﺬَﺍ ﻣِﻨْﻚَ ﻭَﻟَﻚَ، ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻫَﺬِﻩِ ﻋَﻨِّﻲْ ﻭَﻋَﻦْ ﺃَﻫْﻞِ ﺑَﻴْﺘَﻲْ
"Bismillah, wallahu Akbar, Allahumma hadza minka wa laka, Allahumma hadzihi ‘anni wa ‘an ahli baiti.”
“Dengan nama Allah, Allah Maha besar, Ya Allah (hewan) ini dari-Mu dan untuk-Mu. Ya Allah, ini kurban dariku dan keluargaku.”
Dan boleh juga dengan membaca:
ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻭَﺍﻟﻠﻪُ ﺃَﻛْﺒَﺮُ
"Bismillah, wallahu Akbar.”
“Dengan nama Allah, Allah Maha besar.” [3]

4. Lalu gorokkan pisau dengan kuat di leher bagian atas hingga terputus al-hulqum (jalan pernapasan), al-wajdain (dua urat leher) dan al-muri (jalur makanan). [4]

Diusahakan menyembelih sendiri hewan kurbannya karena itu yang lebih utama, bila tidak mampu maka diwakilkan kepada orang yang terpercaya. Boleh baginya melihat proses penyembelihan atau pun tidak melihatnya. Diperbolehkan bagi wanita menyembelih hewan kurbannya sendiri bila ia mampu melakukannya.

(Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu ‘Utsaimin 25/60 dan 81)

Footnote:

[1] Alatnya tajam, terbuat dari besi atau batu tajam. Tidak boleh dari kuku, tulang, atau gigi. Disyariatkan untuk mengasahnya terlebih dahulu sebelum menyembelih. Diriwayatkan dari Rafi’ bin Khadij , dari Nabi, beliau bersabda:
ﻣَﺎ ﺃَﻧْﻬَﺮَ ﺍﻟﺪَّﻡَ ﻭَﺫُﻛِﺮَ ﺍﺳْﻢُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻓَﻜُﻞْ، ﻟَﻴْﺲَ ﺍﻟﺴِّﻦَّ ﻭَﺍﻟﻈُّﻔْﺮَ، ﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟﺴِّﻦُّ ﻓَﻌَﻈْﻢٌ ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟﻈُّﻔْﺮُ ﻓَﻤُﺪَﻯ ﺍﻟْﺤَﺒَﺸَﺔِ
"Segala sesuatu yang memancarkan darah dan disebut nama Allah padanya maka makanlah. Tidak boleh dari gigi dan kuku. Adapun gigi, itu adalah tulang. Adapun kuku adalah pisau (alat menyembelih) orang Habasyah.” (HR. Al-Bukhari no. 5498 dan Muslim no. 1968)
Juga perintah Rasulullah kepada Aisyah ketika hendak menyembelih hewan qurban:
ﻳَﺎ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔُ، ﻫَﻠُﻤِّﻲ ﺍﻟْﻤُﺪْﻳَﺔَ. ﺛُﻢَّ ﻗَﺎﻝَ: ﺍﺷْﺤَﺬِﻳﻬَﺎ ﺑِﺤَﺠَﺮٍ
"Wahai Aisyah, ambilkanlah alat sembelih.” Kemudian beliau berkata lagi: “Asahlah alat itu dengan batu.” (HR. Muslim no. 1967)

[2] Merebahkan kambing kurban dan meletakkan kaki pada rusuk lehernya, adalah agar hewan tersebut tidak meronta hebat dan juga lebih menenangkannya, serta mempermudah penyembelihan. Diriwayatkan dari Anas bin Malik, tentang tata cara penyembelihan yang dicontohkan Rasulullah:
ﻭَﻳَﻀَﻊُ ﺭِﺟْﻠَﻪُ ﻋَﻠﻰَ ﺻِﻔَﺎﺣِﻬِﻤَﺎ
"Dan beliau meletakkan kakinya pada rusuk kedua kambing tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 5565 dan Muslim no. 1966)
Juga hadits Aisyah:
ﻓَﺄَﺿْﺠَﻌَﻪُ ﺛُﻢَّ ﺫَﺑَﺤَﻪُ
"Lalu beliau rebahkan kambing tersebut kemudian menyembelihnya.”

[3] Membaca basmalah tatkala hendak menyembelih hewan merupakan syarat yang tidak bisa gugur baik karena sengaja, lupa, ataupun jahil (tidak tahu). Bila dia sengaja atau lupa atau tidak tahu sehingga tidak membaca basmalah ketika menyembelih, maka dianggap tidak sah dan hewan tersebut haram dimakan. Ini adalah pendapat yang rajih dari perbedaan pendapat yang ada. Dan disunnahkan bertakbir ketika hendak menyembelih qurban. Dasarnya adalah hadits Anas radhiyallahu 'anhu riwayat Al-Bukhari (no. 5565) dan Muslim (no. 1966), bahwa Nabi berqurban dengan dua kambing kibasy yang berwarna putih bercampur hitam lagi bertanduk:
ﻭَﻳُﺴَﻤِّﻲ ﻭَﻳُﻜَﺒِّﺮُ
"Beliau membaca basmalah dan bertakbir.”

[4] Memutus al-wadjain adalah persyaratan dan batas minimal yang harus disembelih menurut pendapat yang rajih. Sebab, dengan terputusnya kedua urat tersebut, darah akan terpancar deras dan mempercepat kematian hewan tersebut. Bila terputus al-wajdain, al-hulqum, dan al-muri semuanya, maka itu lebih afdhal.

###

Asy Syeikh Sholih Al Fauzan hafidzohullah

Tanya:
Samahatul walid, Ahsanallahu ilaikum. Ada yang bertanya mengatakan: apa hukum mengikat kaki hewan yang akan disembelih untuk memudahkan penyembelihan, yang mana telah diketahui mengikat kakinya ketika menyembelih dan menjadikannya tidak banyak bergerak akan membuat lebih sedikit keluarnya darah?

Jawab:
Tidak, hewan sembelihan ini tidak boleh diikat, karena ini akan membuat hewan sembelihan ini lebih tersiksa.
Karena hewan yang akan disembelih akan merasa lebih nyaman dengan kakinya tetap bisa bergerak dan yang demikian ini juga akan lebih meringankan sakitnya, maka jangan kamu ikat dia.

Sumber: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/5361

Alih bahasa: Abu Arifah Muhammad Bin Yahya Bahraisy

Berbagi ilmu agama

WA Al Istiqomah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

Tentang TAKBIR TAMBAHAN PADA SALAT ID DAN BACAAN DI ANTARA TAKBIR TAMBAHAN

Takbir tambahan pada sholat Ied berjumlah 12 takbir selain takbiratul ihram dan takbiratul intiqal.
ﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﺎ: ﺍﻟﺘﻜﺒﻴﺮ ﻓﻲ ﺍﻟﻔﻄﺮ ﻭﺍﻷﺿﺤﻰ ﺍﻷﻭﻟﻰ ﺳﺒﻊ ﺗﻜﺒﻴﺮﺍﺕ ﻭﻓﻲ ﺍﻟﺜﺎﻧﻴﺔ ﺧﻤﺲ ﺗﻜﺒﻴﺮﺍﺕ ﺳﻮﻯ ﺗﻜﺒﻴﺮﺗﻲ ﺍﻟﺮﻛﻮﻉ
Dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha: “Takbir pada sholat Iedul Fitri dan Iedul Adha pada rokaat pertama 7 takbir dan pada rokaat kedua 5 takbir selain takbir ruku’.“ (Diriwayatkan Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh al-Albany dalam Irwaul Ghalil)

"Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertakbir pada 2 hari raya 12 takbir, 7 pada rakaat yang pertama dan 5 pada rakaat yang terakhir, selain 2 takbir shalat.” Ini lafadz Ath-Thahawi. Adapun lafadz Ad-Daruquthni: “Selain takbiratul ihram.” (HR. Ath-Thahawi dalam Ma’ani Al-Atsar dan Ad-Daruquthni)
Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang diperselisihkan bernama Abdullah bin Abdurrahman At-Tha‘ifi. Akan tetapi hadits ini dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad, ‘Ali Ibnul Madini dan Al-Imam Al-Bukhari sebagaimana dinukilkan oleh At-Tirmidzi. (lihat At-Talkhis, 2/84, At-Ta’liqul Mughni, 2/18 dan Tanwirul ‘Ainain, hal. 158)

Lima takbir tersebut (pada rakaat kedua) selain takbiratul intiqal (takbir perpindahan dari sujud menuju berdiri). Ibnu Abdil Barr menukilkan adanya kesepakatan para ulama tentang hal ini. [Al-Istidzkar, 7/52 dinukil dari Tanwirul ‘Ainain]

Al-‘Allaamah asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata:
Jumlah takbir pada dua shalat Id (Fitri dan Adha) diperselisihkan para ulama sejak dahulu di zaman Salaf sampai dengan sekarang. Oleh karena itu, barangsiapa bertakbir pada rakaat pertama bertakbir tujuh kali dengan (termasuk padanya) takbiratul Ihram, dan pada rakaat kedua bertakbir lima kali setelah berdiri, maka ini baik. Dan barangsiapa berbeda dengan hal itu (pada rakaat pertama tujuh kali dengan tidak termasuk takbiratul Ihram) maka baik juga, karena semua itu datang contohnya dari para Salaf. [Majmu’ Fatawa asy-Syaikh al-Utsaimin 16/238]

Ada banyak riwayat dari para Sahabat Nabi yang menunjukkan bermacam-macam jumlah takbir tambahan tersebut pada tiap rokaatnya.
1. Total takbir tambahan: 11 takbir. Rokaat pertama: 6, rokaat kedua: 5.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ؛ أَنَّهُ كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْعِيدِ، فِي الأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ بِتَكْبِيرَةِ الافْتِتَاحِ، وَفِي الآخِرَةِ سِتًّا بِتَكْبِيرَةِ الرَّكْعَةِ، كُلُّهُنَّ قَبْلَ الْقِرَاءَةِ
Dari Ibnu Abbas bahwasanya beliau bertakbir dalam (sholat) Ied pada rokaat pertama 7 takbir termasuk takbir permulaan dan di rokaat terakhir 6 takbir dengan takbir rokaat. Semuanya sebelum membaca (al-Fatihah). (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, dinyatakan oleh Syaikh al-Albany sanadnya shahih sesuai syarat al-Bukhari dan Muslim)
Ini sama dengan yang dijelaskan Syaikh Ibnu Utsaimin dalam Fataawa Nuurun alad Darb.
2. Total takbir tambahan: 12 takbir. Rokaat pertama: 7, rokaat kedua: 5.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكَبِّرُ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى فِي الْأُولَى سَبْعَ تَكْبِيرَاتٍ وَفِي الثَّانِيَةِخَمْسًا
Dari Aisyah radhiyallahu anha bahwasanya Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bertakbir di Iedul Fithri dan Iedul Adha, pada rokaat pertama 7 takbir dan rokaat kedua 5 takbir. (H.R Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad)
Di sini hanya disebutkan 2 jenis (jumlah takbir tambahan) yang masyhur dan shahih. Al-Imam asy-Syaukany menyebutkan 10 pendapat tentang jumlah takbir tambahan itu dalam Nailul Authar (3/366).

Al-‘Allaamah asy-Syaikh al-Utsaimin rahimahullah ditanya: Apakah hukum bagi yang mencukupkan dengan Takbiratul Ihram saja dalam Shalat Id?
Beliau menjawab: Shalatnya tetap sah apabila mencukupkan dengan takbiratul Ihram saja, karena takbir-takbir tambahan tersebut adalah sunnah. [Majmu’ Fatawa asy-Syaikh al-Utsaimin 16/238]

Tidak ada riwayat dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang shahih tentang mengangkat tangan di setiap takbir tambahan. Jumhur ulama berpendapat mengangkat tangan, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Umar. Sementara salah satu dari pendapat Al-Imam Malik tidak mengangkat tangan, kecuali takbiratul ihram. Ini dikuatkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Tamamul Minnah (hal. 349). Lihat juga Al-Irwa‘ (3/113).

Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah li al-Buhuts wa al-Ifta' no. 19444:
Pertanyaan:
Tatkala kita bertakbir tujuh kali (pada rakaat pertama) dan lima kali (pada rakaat kedua) dalam Shalat id, apakah ketika imam bertakbir kemudian sang makmum bertakbir juga? Ataukah makmum hanya mencukupkan dengan takbir sang imam? Dan apa yang dibaca di antara takbir-takbir tersebut?
Jawab:
Takbir dalam shalat id pada rakaat pertama tujuh kali, termasuk di dalamnya Takbiratul Ihram.
Kemudian pada rakaat kedua, takbir lima kali setelah takbir bangkit dari sujud. Ini berlaku umum, baik untuk imam maupun makmum.
Imam dan makmum MENGANGKAT KEDUA TANGANNYA pada setiap kali takbir. Takbir makmum setelah takbirnya imam.
Wabillahit Taufiq washallallhu ala Nabiyyina Muhammad wa ala alihi wa shahbihi wa sallam.

Disunnahkan untuk memuji Allah dan bersholawat kepada Nabi pada saat diam di antara takbir-takbir tersebut.
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ قَالَ سَأَلْتُ ابْنَ مَسْعُوْدٍ عَمَّا يَقُوْلُهُ بَعْدَ تَكْبِيْرَاتِ اْلعِيْدِ قَالَ يَحْمَدُ اللهَ وَيُثْنِي عَلَيْهِ وَيُصَلِّي عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Uqbah bin Amir radhiyallahu anhu beliau berkata: Aku bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang apa yang dibaca di antara takbir Ied. Beliau (Ibnu Mas’ud) berkata: Memuji dan memuja Allah dan bersholawat atas Nabi shollallahu alaihi wasallam. (Riwayat al-Atsram dan dijadikan hujjah oleh Imam Ahmad, dishahihkan al-Albany dalam Irwaul Ghalil)

Asy-Syaikh al-'Utsaimin rahimahullah berkata:
"TIDAK ADA zikir/bacaan tertentu (yang dibaca di antara takbir-takbir dalam shalat ied). Akan tetapi, ia boleh bertahmid kepada Allah, menyanjung-Nya, dan membaca shalawat Nabi sesuai yang ia inginkan. Kalau ia tidak membacanya, maka tidak mengapa. Sebab, hal ini sebatas mustahab."
(Majmu' Fatawa wa Rasail al-'Utsaimin 16/241)
Beliau juga menyampaikan:
"Aku tidak mengetahui hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang menjelaskan permasalahan ini. Hanya saja, para fuqaha' menjelaskan agar bertamid, sanjungan kepada Allah, dan membaca shalawat Nabi, seperti: Alhamdullilahirabbil 'alamin, Allahumma shalli 'ala Muhammad.
Jika kamu membaca Alhamdullilahirabbil 'alamin wa ar-Rahmanir Rahim berarti kamu telah bertahmid dan memuji Allah.
Jika kamu ingin bershalawat atas Nabi, bacalah Allahumma shalli 'ala Muhammad.
Akan tetapi, sekali lagi aku tidak mengetahui ada hadits dalam masalah ini."
(Majmu' Fatawa wa Rasail al-'Utsaimin 16/241)

Fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah li al-Buhuts wa al-Ifta' (no. 10577):
"Disyari'atkan untuk bertahmid, bertasbih, bertakbir, dan bershalawat kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam di antara setiap dua takbir (dalam shalat id)."

Doa Istiftah, menurut pendapat Al-Imam Asy-Syafi’i dan jumhur ulama, dibaca setelah takbiratul ihram dan sebelum takbir tambahan. (Al-Umm, 3/234 dan Al-Majmu’, 5/26. Lihat pula Tanwirul ‘Ainain hal. 149)

Fadhilatu asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin rahimahullahu ta'ala berkata:
"Doa Istiftah (pada shalat 'Id) dibaca LANGSUNG SETELAH takbiratul ihram, demikianlah yang dijelaskan oleh para ulama. Dalam permasalahan ini terdapat kelonggaran. Bahkan seandainya dibaca SETELAH TAKBIR yang KETUJUH, juga TIDAK MENGAPA."
(Majmu' Fatawa wa Rasa'il al-'Utsaimin 16/237)

Tentang MENJUAL KULIT HEWAN KURBAN

Tidak boleh bagi seseorang yang berkurban menjual kulit binatang kurbannya. Hal ini sesuai dengan hadits:
ﻣَﻦْ ﺑَﺎﻉَ ﺟِﻠْﺪَ ﺃُﺿْﺤِﻴَّﺘِﻪِ ﻓَﻼَ ﺃُﺿْﺤِﻴَّﺔَ ﻟَﻪُ
"Barangsiapa yang menjual kulit kurbannya maka tidak ada kurban baginya." (HR. al-Baihaqi, dihasankan oleh Syaikh al-Albani)

###

Asy-Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah

Pertanyaan: Kepada Fadhilatus Syaikh Muhammad Ali Farkus hafizhahullah. Assalamualaikum warahmatullah. Kami adalah panitia pembangunan masjid di kota Sidi Bal’abbas (sebuah kota di Aljazair). Bertepatan dengan Idhul Adha yang penuh berkah ini, kami mengumpulkan kulit hewan qurban dari penduduk kampung. Dan sebelumnya kami telah memberitahu mereka bahwa kami melakukan kegiatan ini dalam rangka meminta mereka untuk menyedekahkan kulit yang masih bagus untuk masjid. Panitia akan mengumpulkannya dan menjualnya, lalu menggunakan uang dari hasil penjualan tersebut untuk pembangunan masjid. Dan memang demikianlah yang dilakukan. Maka kami bertanya kepada Samahatus Syaikh apakah perbuatan ini mengandung penyelisihan terhadap syari’at? Mohon penjelasannya, semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan.

Jawaban:
ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟﻠﻪِ ﺭَﺏِّ ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴْﻦَ ﻭَﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓُ ﻭَﺍﻟﺴَّﻠَﺎﻡُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﻦْ ﺃَﺭْﺳَﻠَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﺭَﺣْﻤَﺔً ﻟِﻠْﻌَﺎﻟَﻤِﻴْﻦَ، ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺁﻟِﻪِ ﻭَﺻَﺤْﺒِﻪِ ﻭَﺇِﺧْﻮَﺍﻧِﻪِ ﺇِﻟَﻰ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ، ﺃَﻣَّﺎ ﺑَﻌْﺪُ :
Hukum dari pengelolaan semacam ini untuk menentukan boleh tidaknya maka dasarnya adalah kembali kepada hukum menjual kulit hewan qurban. Para ahli fikih berbeda pendapat tentang hukumnya. Pendapat yang paling kuat adalah tidak boleh menjual sedikitpun dari bagian hewan qurban, baik kulitnya maupun yang lain. [1]
Dan ini merupakan pendapat madzhab Malik, Asy-Syafi’iy, Ahmad pada riwayat yang mayshur, dan juga pendapat Abu Yusuf shahabat Abu Hanifah rahimahumullah. Hal ini berdasarkan riwayat yang shahih dari Ali radhiyallahu anhu dia berkata: “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kepadaku untuk mengurusi onta beliau yang dijadikan sebagai qurban dan agar membagi-bagikan perlengkapannya (pelananya, bekas tali kekang, sepatunya dll) dan kulitnya, dan beliau memerintahkan agar saya tidak memberi orang yang menyembelihnya sedikitpun darinya. Dan beliau mengatakan:
ﻧَﺤْﻦُ ﻧُﻌْﻄِﻴْﻪِ ﻣِﻦْ ﻋِﻨْﺪِﻧَﺎ .
“Kami akan memberi upah tersendiri dari kami.” [2]

Atas dasar ini maka tidak boleh mengelola kulit hewan qurban kecuali sebatas yang dibolehkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yaitu dengan memanfaatkan kulitnya dengan dibuat sandal, sepatu, pakaian, tas, dan semisalnya. Jadi kedudukannya seperti waqaf.

Demikianlah, dan jika telah jelas bahwa pengelolaan semacam ini tidak boleh dilakukan sendiri, maka tidak boleh juga dengan cara digantikan oleh orang lain. Dan sebuah tujuan tidak boleh membenarkan cara (yang diharamkan). Jadi kesucian masjid dalam hal memakmurkan, membangun, dan memperbagusnya, yang ini semua merupakan salah satu dua bentuk kesucian, sepantasnya untuk selalu disertai dengan saudaranya, yaitu berupa kesucian iman, bahkan kesucian pertama tadi bersumber darinya.
ﻭَﺍﻟْﻌِﻠْﻢُ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻭَﺁﺧِﺮُ ﺩَﻋْﻮَﺍﻧَﺎ ﺃَﻥْ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟﻠﻪِ ﺭَﺏِّ ﺍﻟْﻌَﺎﻟَﻤِﻴْﻦَ، ﻭَﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻰ ﻣُﺤَﻤَّﺪٍ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺁﻟِﻪِ ﻭَﺻَﺤْﺒِﻪِ ﻭَﺇِﺧْﻮَﺍﻧِﻪِ ﺇِﻟَﻰ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟﺪِّﻳْﻦِ
Aljazair
12 Rabi’uts Tsani 1422 H yang bertepatan dengan 22 Juni 2002

Catatan Kaki:

[1] Diperbolehkan mengambil kemanfaatan dari hewan tersebut sebelum ataupun setelah disembelih, seperti:
a. mencukur bulu hewan tersebut, bila hal tersebut lebih bermanfaat bagi sang hewan. Misal: bulunya terlalu tebal atau di badannya ada luka.
b. Meminum susunya, dengan ketentuan tidak memudaratkan hewan tersebut dan susu itu kelebihan dari kebutuhan anak sang hewan.
c. Memanfaatkan segala sesuatu yang ada di badan sang hewan, seperti tali kekang dan pelana.
d. Memanfaatkan kulitnya untuk alas duduk atau alas shalat setelah disamak.
Dan berbagai sisi kemanfaatan yang lainnya. Dasarnya adalah keumuman firman Allah:
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebagian dari syi’ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya.” (Al -Hajj: 36)
Dan seperti yang dijelaskan oleh Syaikh di atas, seluruh bagian hewan kurban adalah untuk dibagi-bagikan atau untuk dimanfaatkan. Dan apabila untuk dimanfaatkan, maka kedudukannya seperti waqaf, tidak boleh dijual selamanya.

[2] HR. Al-Bukhary no. 1716, Muslim no. 1317, Ahmad I/69, dan Ad-Darimy II/74 dari hadits Ali radhiyallahu 'anhu. Lihat juga: Irwaa’ul Ghaliil no. 1161.

Sumber: ferkous[dot]com

Alih Bahasa: Abu Almass

###

Al Ustadz Qamar Su'adi Lc

Dari Tanya Jawab Muhadharah Ma’had Daarus Salaf Sukoharjo Solo, Hari Ahad, 26 Dzulqo’dah  1435H | 21 September 2014M

Pertanyaan: 
Bagaimana hukum menjual kulit kurban dan menukar dengan daging?

Jawab:
Menjual kulit, Nabi katakan:
من باع أضحيته فلا أضحية له
“Seorang yang menjual kulit hewan kurbannya, maka tiada kurban baginya.”
Berarti berat ini ya, dianggap TIDAK ADA KURBAN baginya oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi DIHINDARI.
Walaupun sebagian ulama’ ada yang mengatakan boleh tapi itu pendapat sebagian ulama’ yang mungkin benar mungkin salah. Kalo sekali lagi untuk dibelikan daging, dishodaqohkan juga, tapi ini pendapat masih perlu dikaji, ya kan?
Kalo hadits Nabi sudah jelas.
Maka dari itu sekarang tinggal bagaimana caranya, dan itu mudah, kasihkan saja orang yang memang membutuhkan lebih dari yang lain, ini biasanya mungkin satu keluarga, kita kasih 1 kg atau 1/2 kg, untuk (orang) ini 1/2 kg + kulit misalnya, setelah dia miliki mau dijual boleh, mau dia keringkan boleh, mau dia bikin kerupuk boleh, mau dia bikin jaket kulit boleh, terserah, urusan dia.
Kalo mau dijual (oleh penerima) kita tunjukkan. Misalnya di mana jualnya, (kita jawab) itu di sana. Kadang orang tidak tahu kemana menjualnya, (maka) kita tunjukkan.
Yang penting bagi kita ‘sebagai penanggung jawab’ sudah melaksanakan tugas, (yaitu) tidak boleh menjual.
Atau bagi saya yang berkurban -misalnya- sudah melaksanakan hukum Allah, (yaitu) tidak boleh menjual. (Intinya) Saya kasihkan orang. Setelah dimiliki, terserah dia.

Sumber: 
http://forumsalafy.net/tanya-jawab-fikih-qurban-bagian-4/

WA Al Istiqomah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

Tentang LARANGAN MEMOTONG RAMBUT, KUKU, DAN KULIT BAGI ORANG YANG HENDAK BERKURBAN JIKA TELAH MASUK BULAN DZULHIJJAH

Jika seseorang hendak berqurban dan telah memasuki bulan Dzulhijjah maka diharamkan baginya untuk mengambil (memotong) sedikitpun dari rambut, kuku, dan kulitnya sampai dia benar-benar telah menyembelih hewan qurbannya. Berdasarkan hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ﺇﺫﺍ ﺩﺧﻠﺖ ﺍﻟﻌﺸﺮ ﻭﺃﺭﺍﺩ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﺃﻥ ﻳﻀﺤﻲ ﻓﻠﻴﻤﺴﻚ ﻋﻦ ﺷﻌﺮﻩ ﻭﺃﻇﻔﺎﺭﻩ
“Jika telah masuk sepukuh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan salah seorang dari kalian hendak menyembelih hewan qurban, maka tahanlah (tidak memotong) dari rambut dan kukunya.” (HR. Ahmad dan Muslim)
Dan dalam lafazh yang lain:
ﻓﻼ ﻳﻤﺲَّ ﻣﻦ ﺷﻌﺮﻩ ﻭﻻ ﺑﺸﺮﻩ ﺷﻴﺌﺎً ﺣﺘﻰ ﻳﻀﺤﻲ
“Maka janganlah menyentuh (mengambil) rambut dan kulitnya sedikitpun sampai dia melaksanakan qurbannya.”

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksud larangan memotong kuku dan rambut adalah menghilangkan kuku baik dengan cara memotong, mematahkan, atau cara lainnya. Sedangkan larangan memotong rambut adalah dengan mencukur, memendekkan, mencabut, membakar, menggunakan obat perontok, atau cara lainnya. Larangan tersebut berlaku bagi bulu ketiak, kumis, bulu kemaluan, dan seluruh rambut yang tumbuh di tubuh.” (Al-Minhaj 6/472)

Dan jika niat untuk berqurban itu muncul di pertengahan sepuluh hari tersebut, maka hendaknya dia menahan diri (untuk tidak mengambil/memotong rambut, kuku, dan kulitnya) mulai saat itu juga, dan dia tidak berdosa jika pernah mengambil/memotongnya ketika sebelum berniat.

Dan jika orang yang hendak berqurban mengambil/memotong sedikit saja dari rambut, kuku, ataupun kulitnya, maka wajib atas dia untuk bertaubat kepada Allah ta’ala dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi. Tidak diwajibkan bagi dia untuk membayar kaffarah, dan tidak pula menghalangi dia untuk menyembelih hewan qurbannya sebagaimana yang disangka oleh sebagian orang awam.

Dan jika mengambil/memotongnya itu disebabkan lupa atau tidak mengerti hukumnya, atau karena rambut tersebut rontok tanpa disengaja, maka tidak ada dosa baginya. Dan jika memang benar-benar sangat diperlukan untuk mengambil/memotongnya (karena darurat), maka yang demikian diperbolehkan baginya dan tidak terkenai tanggungan (dosa) sedikitpun, misalnya ketika kukunya patah yang menyebabkan gangguan padanya, sehingga dia harus memotongnya, ataupun rambutnya terurai ke bawah sampai mengenai kedua matanya sehingga dia harus menghilangkannya, dan juga karena sangat dibutuhkan untuk pengobatan luka dan yang semisalnya.

(Diambil dari Maqalat Wa Fatawa Wa Rasail Fadhilatusy Syaikh Al ‘Allamah Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullahu ta’ala)

###

Fadhilatus Syaikh Ibnu Baaz رحمه الله تعالى

PERTANYAAN:
ما قولكم في حديث: ((من وصل إلى الميقات فله أخذ ما احتاج إلى أخذه من قص الشارب وتقليم الأظافر وحلق العانة وطيب ونحوه))، وحديث: ((من أراد أن يضحي أو يضحى عنه فلا يأخذ من شعره ولا من ظفره ولا من بشرته شيئاً حتى يضحي أو يضحى عنه))، فهل ينطبق على الحاج وغير الحاج أم يلزم المقيم دون الحاج، حيث إن السائل لما عزم على الحج في اليوم الثامن من ذي الحجة حلق أي قص الشارب وأزال شعر الإبط خشية أن لا يتمكن من ذلك عند الميقات لبعد المسافة، وحيث إن السائل أقام من ينوب عنه في الأضحية لأهله من الأسرة، فهل عليه شيء في ذلك وما هو الأفضل في الحديثين المذكورين؟ وماذا عليه لو أنه ضحى في اليوم الثاني بعد العيد؟
Apa pendapat engkau tentang hadits: "Barangsiapa yang telah sampai miqot maka boleh baginya mengambil apa yang perlu dia ambil dari memotong rambut dan memotong kuku serta mencukur rambut kemaluan dan memakai minyak wangi serta lainnya", dan hadits: "Barangsiapa yang ingin berkurban atau dikurbankan untuknya maka jangan mengambil dari rambutnya dan jangan dari kukunya serta jangan dari kulitnya sedikitpun hingga dia berkurban atau dikurbankan", dan apakah berlaku bagi yang menjalankan ibadah haji dan yang tidak menjalankan ibadah haji atau diwajibkan bagi yang mukim saja tidak bagi yang menjalankan ibadah haji, dimana orang yang bertanya tatkala ber'azam untuk menunaikan haji pada hari kedelapan dari bulan dzulhijjah beliau mencukur yakni memendekkan rambut dan menghilangkan bulu ketiak karena khawatir beliau tidak dapat menjalankan (sunnah-sunnah) tersebut ketika di miqot karena jauhnya jarak tempuh, dan dimana penanya juga telah menunjuk pengganti dia dalam hal berkurban untuk keluarganya dari familinya, maka apakah ada kewajiban baginya karena perbuatannya tersebut dan manakah yang afdhol dari kedua hadits tersebut? Dan apa kewajiban baginya apabila dia berkurban pada hari kedua setelah ied?[1]

JAWABAN:
ليس الأول بحديث، وإنما هو من كلام لبعض العلماء إذا وصل إلى الميقات يتنظف يأخذ من الشارب والإبط ونحو ذلك وهذا ليس بحديث، هذا من كلام بعض العلماء كما قلنا بأنه يستحب لمن أراد العمرة أو الحج، أن يتنظف يقص من شاربه ويقلِّم من أظفاره، هذا قاله بعض أهل العلم إذا كان فيها طول وأن أخذها في بيته كفى، وإن كان سيضحي فلا يأخذ شيئاً إذا كان سيضحي والإحرام في عشر ذي الحجة، فإنه لا يأخذ شيئاً من شاربه ولا من إبطه ولا من عانته ولا من أظفاره، وأما قوله: إن أراد أن يضحي أو يضحى عنه، فهذا حديث لكن ليس فيه ..أو يضحى عنه، إنما لفظه يقول صلى الله عليه وسلم: إذا دخل شهر ذي الحجة وأراد أن يضحي فلا يأخذ من شعره ولا من أظفاره شيئاً، وفي اللفظ الآخر: ولا من بشرته شيئاً، وليس فيه ..أو يضحى عنه.. هذه زيادة من كلام بعض الفقهاء أو العلماء، فالمضحي هو الذي لا يأخذ شيئاً إذا أراد أن يضحي فلا يأخذ من شعره ولا من أظفاره ولا من بشرته شيئاً في العشر حتى يضحي، وأما من يضحى عنه كزوجته وأولاده فليس عليهم بأس لا حرج عليهم أن يأخذوا؛ لأن المضحي صاحب الدار الذي بذل المال هذا هو الصواب. يصبر حتى اليوم الثاني لكن تقصيره للعمرة من رأسه، وحلقه في الحج لا يدخل في ذلك يعني إذا طاف وسعى يقصر وليس هذا بداخل في النهي، وإذا رمى يوم العيد وحلق ليس داخلاً في النهي لكن لا يأخذ من الشارب ولا من الظفر ولا من الإبط والعانة شيئاً
Yang pertama bukanlah hadits, akan tetapi itu hanyalah ucapan sebagian ulama; apabila telah tiba di miqot maka membersihkan diri dengan cara memotong kumis dan bulu ketiak dan semisal itu dan ini bukan hadits, ini merupakan ucapan sebagian ulama sebagaimana yang kami katakan bahwasanya dianjurkan bagi yang hendak menunaikan umroh atau haji, untuk membersihkan dengan cara memotong kumisnya dan memotong kukunya, ini yang dikatakan sebagian ulama apabila rambutnya tersebut panjang dan jika memotongnya di rumahnya maka telah cukup.
Namun jika dia hendak berkurban maka jangan memotong sedikitpun jika dia hendak berkurban dan hendak melakukan ihram di sepuluh hari dzulhijjah, maka dia tidak mengambil sedikitpun dari kumisnya dan dari bulu ketiaknya dan tidak juga dari rambut kemaluannya juga tidak dari kukunya.
Adapun sabda beliau: "Barangsiapa yang ingin berkurban atau dikurbankan untuknya", maka ini adalah hadits akan tetapi tidak ada padanya lafazh: "atau dikurbankan untuknya", sesungguhnya Lafazhnya hanyalah dikatakan oleh Nabi ﷺ :
إذا دخل شهر ذي الحجة وأراد أن يضحي فلا يأخذ من شعره ولا من أظفاره شيئا
"Barangsiapa memasuki bulan dzulhijjah dan dia ingin berkurban maka jangan memotong dari rambutnya dan jangan pula kuku-kukunya sedikitpun." [2]
Sedangkan pada lafazh lainnya:
ولا من بشرته شيئا
"Dan tidak dari kulitnya sedikitpun"[3],
Dan tidak ada padanya lafazh: "atau dikurbankan untuknya". Ini adalah tambahan dari ucapan sebagian fuqoha atau ulama.
Maka mudhohhi (orang yang berkurban) dialah yang tidak dibolehkan memotong sedikitpun apabila dia ingin berkurban maka jangan dia mengambil dari rambutnya dan tidak pula dari kukunya dan tidak pula dari kulitnya sedikitpun di sepuluh hari dzulhijjah hingga dia berkurban.
Adapun yang dikurbankan untuknya seperti istrinya dan anak-anaknya maka tidak mengapa bagi mereka dan tidak ada dosa bagi mereka untuk memotong; karena mudhohhi itulah tuan rumahnya yang telah mengeluarkan harta dan inilah pendapat yang benar.
Dia bersabar hingga hari kedua, akan tetapi dia memotong rambutnya untuk umroh dari rambut kepalanya, dan cukurannya pada waktu haji tidak termasuk ke dalam hal itu yakni apabila dia thawaf dan sa'i dia mencukur (memendekkan rambut) dan ini tidak termasuk ke dalam larangan, dan apabila dia telah melempar (jumroh) di hari ied dan memotong rambut maka tidak termasuk ke dalam larangan akan tetapi jangan memotong kumis dan jangan pula kuku serta jangan pula bulu ketiak dan kemaluan sedikitpun.

[1] Dari pertanyaan haji tahun 1407 H, kaset no. 10.

[2] Dikeluarkan oleh imam Muslim di dalam kitab Al-Adhohi, Bab: larangan bagi yang memasuki sepuluh hari dzulhijjah dan dia ingin berkurban untuk memotong rambutnya atau kukunya sedikitpun, nomer hadits: 3656.

[3] Dikeluarkan oleh imam Muslim pada kitab Al-Adhohi, Bab: Al-Faro' wal 'Atiroh (hewan kurban untuk para berhala di zaman jahiliyah), nomer hadits: 3653.

Sumber Artikel:
http://www.binbaz.org.sa/node/3402

Alih Bahasa: Muhammad Sholehuddin Abu 'Abduh عَفَا اللّٰهُ عَنْهُ

WA Ahlus Sunnah Karawang | www.ahlussunnahkarawang.com

WA Al Istiqomah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html