Cari Blog Ini

Jumat, 30 Januari 2015

Tentang LAKI-LAKI MEMAKAI CINCIN

Ditulis oleh Al Ustadz Abu Utsman Kharisman
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Pertanyaan di group WA al-I’tishom yang lalu:
1. Apakah dulu Rasulullah memakai cincin?
2. Apakah seorang pria boleh memakai cincin selain cincin emas?

Jawaban:
وعليكم السلام ورحمة الله وبركاته
Ya, Rasulullah shollallahu alaihi wasallam memakai cincin.
Beberapa hadits yang menunjukkan hal itu, di antaranya:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبِسَ خَاتَمَ فِضَّةٍ فِي يَمِينِهِ فِيهِ فَصٌّ حَبَشِيٌّ كَانَ يَجْعَلُ فَصَّهُ مِمَّا يَلِي كَفَّهُ
Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam memakai cincin perak di tangan kanannya. Pada cincin itu terdapat mata cincin dari Habasyah. Beliau menjadikan mata cincin itu berada di arah telapak tangan. (H.R Muslim)
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ جَعْفَرٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَتَخَتَّمُ بِيَمِينِهِ
Dari Abdullah bin Ja’far radhiyallahu anhu bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam memakai cincin pada tangan kanannya. (H.R anNasaai, dishahihkan al-Albany)

Sebagian riwayat hadits menunjukkan bahwa Nabi memakainya di tangan kanan, sedangkan sebagian riwayat lagi menyatakan bahwa beliau menggunakan tangan kiri. Seperti yang akan disebutkan beberapa riwayat tersebut nanti, InsyaAllah.
Seorang pria boleh memakai cincin, dengan beberapa aturan syar’i di antaranya:

1. Bukan cincin terbuat dari emas.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ فِي يَدِ رَجُلٍ فَنَزَعَهُ فَطَرَحَهُ وَقَالَ يَعْمِدُ أَحَدُكُمْ إِلَى جَمْرَةٍ مِنْ نَارٍ فَيَجْعَلُهَا فِي يَدِهِ فَقِيلَ لِلرَّجُلِ بَعْدَ مَا ذَهَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خُذْ خَاتِمَكَ انْتَفِعْ بِهِ قَالَ لَا وَاللَّهِ لَا آخُذُهُ أَبَدًا وَقَدْ طَرَحَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melihat cincin dari emas pada tangan seorang laki-laki. Kemudian Nabi mencabutnya dan membuangnya. Beliau shollallahu alaihi wasallam bersabda: Salah seorang dari kalian memakai bara api di tangannya. Kemudian dikatakan kepada laki-laki itu setelah Rasulullah shollallahu alaihi wasallam pergi: Ambillah cincinmu dan ambil manfaat darinya. Ia berkata: Tidak, demi Allah. Aku tidak akan pernah mengambil sesuatu yang telah dibuang oleh Rasulullah shollallahu alaihi wasallam. (H.R Muslim)
Dulunya, Nabi shollallahu alaihi wasallam pernah memakai cincin dari emas, namun kemudian beliau membuangnya saat berada di atas mimbar, dan para Sahabat juga membuang cincin mereka yang terbuat dari emas.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ وَكَانَ يَلْبَسُهُ فَيَجْعَلُ فَصَّهُ فِي بَاطِنِ كَفِّهِ فَصَنَعَ النَّاسُ خَوَاتِيمَ ثُمَّ إِنَّهُ جَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَنَزَعَهُ فَقَالَ إِنِّي كُنْتُ أَلْبَسُ هَذَا الْخَاتِمَ وَأَجْعَلُ فَصَّهُ مِنْ دَاخِلٍ فَرَمَى بِهِ ثُمَّ قَالَ وَاللَّهِ لَا أَلْبَسُهُ أَبَدًا فَنَبَذَ النَّاسُ خَوَاتِيمَهُمْ
Dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma bahwa Rasulullah shollallahu alaihi wasallam membuat cincin dari emas. Dulunya beliau memakainya, dan menjadikan mata cincin di perut telapak tangan. Maka para Sahabat membuat cincin-cincin. Kemudian beliau duduk pada mimbar dan mencabut cincin (emasnya) dan berkata: Dulu aku memakai cincin ini dan menjadikan mata cincinnya ada di dalam. Kemudian beliau melemparkan cincin (emas) tersebut dan menyatakan: Demi Allah, aku tidak akan pernah memakainya selamanya. Kemudian para Sahabat juga melemparkan cincin-cincin (emas) mereka. (H.R al-Bukhari dan Muslim)
Dulunya cincin emas boleh dipakai laki-laki, kemudian dihapus hukum itu menjadi haram dipakai oleh laki-laki.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنْ خَاتَمِ الذَّهَبِ
Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari Nabi shollallahu alaihi wasallam bahwasanya beliau melarang dari cincin emas (bagi laki-laki). (H.R al-Bukhari dan Muslim)
حُرِّمَ لِبَاسُ الْحَرِيرِ وَالذَّهَبِ عَلَى ذُكُورِ أُمَّتِي وَأُحِلَّ لِإِنَاثِهِمْ
Diharamkan memakai sutera dan emas bagi laki-laki dari kalangan umatku dan dihalalkan bagi kaum wanita mereka. (H.R Abu Dawud, anNasaai, atTirmidzi, Ibnu Majah. Lafadz sesuai riwayat atTirmidzi, dishahihkan al-Albaniy)

2. Bukan cincin pernikahan, yang itu adalah tasyabbuh (penyerupaan) dengan orang kafir.
Berikut Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah:
س: هل يجوز استعمال الخاتم الذي على شكل حلقة بمناسبة الزواج؟
ج: لا يجوز لبس الخاتم بمناسبة الزواج؛ لما في ذلك من مشابهة الكفار في عاداتهم؛ لأن ذلك لم يكن شعارا للمسلمين في الزواج، وإنما هو عادة الكفار في الزواج، ثم قلدهم فيه ضعاف الإيمان، وجهلة المسلمين. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Pertanyaan:
Apakah boleh memakai cincin dengan bentuk melingkar untuk keperluan pernikahan?
Jawaban:
Tidak boleh memakai cincin untuk keperluan pernikahan. Karena yang demikian termasuk penyerupaan dengan orang-orang kafir dalam adat mereka. Dan yang demikian bukanlah syiar kaum muslimin dalam pernikahan. Itu hanyalah adat orang kafir dalam pernikahan, kemudian diikuti oleh orang-orang yang tidak tahu dan lemah iman dari kaum muslimin. Hanya kepada Allahlah kita meminta taufiq, dan semoga sholawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan para Sahabatnya.
(Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah no 5158)

3. Memakainya bukan di jari yang terlarang, yaitu jari tengah dan jari telunjuk.
عَنْ أَبِي بُرْدَةَ قَالَ قَالَ عَلِيٌّ نَهَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَتَخَتَّمَ فِي إِصْبَعِي هَذِهِ أَوْ هَذِهِ قَالَ فَأَوْمَأَ إِلَى الْوُسْطَى وَالَّتِي تَلِيهَا
Dari Abu Burdah beliau berkata: Ali (bin Abi Tholib) berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam melarangku memakai cincin di jari ini dan ini. (Abu Burdah) berkata: Ali memberi isyarat pada jari tengah dan jari setelahnya (telunjuk, sebagaimana dijelaskan dalam riwayat lain). (H.R Muslim)
Rasulullah shollallahu alaihi wasallam memakai cincin pada jari kelingking.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ كَانَ خَاتَمُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي هَذِهِ وَأَشَارَ إِلَى الْخِنْصِرِ مِنْ يَدِهِ الْيُسْرَى
Dari Anas radhiyallahu anhu beliau berkata: Cincin Nabi shollallahu alaihi wasallam dipakai di sini. Anas mengisyaratkan pada jari kelingking di tangan kiri. (H.R Muslim)
Kadang Nabi menggunakan cincin di tangan kanan kadang di tangan kiri sebagaimana hadits-hadits di atas.
Al-Imam anNawawi rahimahullah menyatakan:
أجمع المسلمون على أن السنة جعل خاتم الرجل في الخنصر ، وأما المرأة فلها التختم في الأصابع كلها
Kaum muslimin telah sepakat bahwa sunnah memakai cincin di jari kelingking pada laki-laki. Sedangkan pada wanita, ia bisa memakai cincin di jari seluruhnya. (Syarh Shahih Muslim lin Nawawiy (14/71))

Catatan tambahan: Terdapat perbedaan pendapat para Ulama tentang memakai cincin yang terbuat dari besi bagi laki-laki. Sebagian Ulama menyatakan haram, dan sebagian lagi membolehkan. Di antara yang membolehkan adalah al-Imam anNawawiy, al-Lajnah ad-Daaimah, dan Syaikh Ibn Utsaimin. Mereka berpendapat bahwa memakai cincin dari besi boleh, karena Nabi pernah menyuruh seorang yang akan menikah: Carilah (sebagai mahr) meski itu adalah cincin dari besi. (H.R al-Bukhari dan Muslim) Sedangkan hadits-hadits tentang larangan memakai cincin dari besi menurut para Ulama ini haditsnya lemah.
Ada sebagian hadits tentang larangan memakai cincin dari besi bagi laki-laki yang dishahihkan/ dihasankan Syaikh al-Albaniy dalam sebagian karyanya. Di antaranya:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو أَن َّالنَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى عَلَى بَعْضِ أَصْحَابِهِ خَاتَمًا مِنْ ذَهَبٍ فَأَعْرَضَ عَنْهُ فَأَلْقَاهُ وَاتّخَذَ خَاتَمًا مِنْ حَدِيْدٍ فَقَالَ : هَذَا شَرٌّ هَذَا حِلْيَةُ أَهْلِ النَّارِ فَأَلْقَاهُ فَاتَّخَذَ خَاتَمًا مِنْ وَرَقٍ فَسَكَتَ عَنْهُ
Dari Abdullah bin ‘Amr bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam melihat pada sebagian Sahabatnya cincin dari emas. Beliau berpaling darinya (menunjukkan kebencian) kemudian Sahabat itu melempar cincin (emas) tersebut. Dan mengambil cincin dari besi kemudian berkata: Ini lebih buruk. Ini adalah perhiasan penduduk anNaar. Kemudian Sahabat itu melemparkan cincin dari besi itu. Kemudian ia memakai cincin dari kertas. Nabi diam. (H.R Ahmad dan al-Bukhari dalam Adabul Mufrad, dishahihkan oleh al-Albaniy dalam Aadabuz Zifaaf. Dinyatakan bahwa jalur riwayat itu sanadnya hasan dan ada jalur penguat yang lemah dari riwayat Ibnu Umar. Syaikh al-Albaniy juga menshahihkannya dalam Shahihul Jami’)
Kesimpulan: Memakai cincin besi bagi laki-laki hendaknya dihindari. Hadits tentang perintah Nabi untuk mencari cincin meski dari besi bagi Sahabat yang akan menikah itu, Wallaahu A’lam, mengandung kemungkinan untuk dipakai oleh istrinya sebagai mahar, bukan untuk dipakai laki-laki itu.
Ulama yang berpendapat dibencinya cincin besi bagi laki-laki di antaranya adalah al-Imam Ahmad bin Hanbal, dalam suatu riwayat dari al-Atsram yg bertanya langsung pada beliau.

Salafy .or .id

###

Pertanyaan:
Saya pernah mendengar bahwa memakai cincin besi itu haram bagi kaum pria. Kami berharap adanya penjelas tentang permasalahan ini disertai dalil-dalilnya?

Jawaban:
Alhamdulillah, segala puji hanya milik Allah.
Dari Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya ia mengisahkan: Bahwa seorang laki-laki datang menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam dengan memakai cincin emas. Seketika itu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkomentar, Kenapa aku mendapati darimu aroma berhala? Orang itu lantas melempar cincin emasnya. Pada kesempatan lain, laki-laki tersebut datang lagi ke Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dengan memakai CINCIN BESI. Kali ini beliau shallallahu alaihi wa sallam berkomentar, Kenapa aku melihatmu memakai PERHIASAN PENDUDUK NERAKA? Akhirnya, laki-laki itu kembali melemparkan cincin besi yang dipakainya. Lalu dari bahan apa aku membuat cincin? Tanyanya. “Gunakanlah bahan perak untuk cincin, namun jangan sampai satu mitsqal,” jawab Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. (HR Abu Dawud, At-Tirmidzi dan An-Nasai. Tirmidzi berkata, Hadits ini gharib)
Dari Iyas bin al-Harits bin al-Muaiqib, dari kakeknya (al-Muaiqib), ia berkata, Adalah cincin Rasulullah terbuat dari besi yang bersepuh perak. (HR Abu Dawud dan An-Nasai)
Disebutkan pula dalam ash-Shahihain, dari Sahl bin Sad al-Anshariy, ia berkata, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah berkata kepada seorang laki-laki yang meminang wanita yang penah menghibahkan dirinya kepada Nabi, Carilah mahar meski hanya berupa cincin dari besi.
Hadits terakhir ini menunjukkan BOLEHNYA MEMAKAI CINCIN BESI, seperti yang ditunjukkan pula pada hadits Muaiqib di atas. Adapun hadits Buraidah di atas ada sisi kedhaifan (kelemahan) pada sanadnya. Sehingga, jelaslah bahwa PENDAPAT YANG KUAT adalah TIDAK MENGAPA MEMAKAI CINCIN BESI. Hanya saja, memakai cincin perak itu lebih afdhal. Sebab, cincin Nabi terbuat dari perak seperti yg tersebut pada hadits ash-Shahihain.
Wa billahittaufiq. Washallallahu wasallam ala nabiyyina Muhammad.

Fatwa al-Lajnah ad-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyyah wa al-Ifta (24/64) no. 11137.
Ketua: asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah

Sumber: alifta .net

Majmuah Manhajul Anbiya

###

asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah

Pertanyaan:
Barakallahu fikum, apa hukum syari menurut pandangan antum tentang memakai cincin yang bertuliskan nama Allah dan apa hukumnya memakai CINCIN dari BESI?

Jawab:
Adapun cincin yang berukirkan (bertuliskan) lafzhul jalalah (yakni lafazh الله ), jika yang demikian itu karena pemilik cincin mengukir pada cincin tersebut namanya dan namanya adalah Abdullah maka yang demikian ini TIDAK MENGAPA. Dahulu cincin Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertuliskan padanya Muhammad Rasul Allah.
Adapun jika menuliskan lafzhul jalalah saja, sesungguhnya penulisan lafzhul jalalah saja, baik pada cincin atau selainnya, tidak ada makna dan faidah darinya karena bukan kalimat yang tersusun yang mengandung makna, dan mayoritasnya orang-orang yang menuliskan dengan cara seperti ini bertujuan mengharap barakah dengan nama Allah. Dan mengharap barakah dengan nama Allah dengan cara seperti ini tidak ada asalnya di dalam syariat. Sehingga perbuatan tersebut lebih dekat kepada kebidahan daripada mubahnya.
Adapun memakai CINCIN BESI, maka pendapat yang benar adalah TIDAK MENGAPA memakainya.
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam terhadap seseorang yang meminta kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar menikahkanya dengan wanita yang pernah menghibahkan dirinya kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam namun beliau tidak menginginkannya, beliau bersabda kepadanya (pria tersebut): Carilah walaupun hanya cincin dari besi. Hadits ini di dalam shahihain (Shahih al-Bukhari dan Muslim).
Adapun yang diriwayatkan bahwa besi itu adalah pakaianya penduduk neraka. Telah berkata sebagian ulama bahwa hadits tersebut SYADZ dan tidak diterima.

Sumber: 
Maktabah Fatawa: Fatawa Nur ala ad-Darb

Majmuah Manhajul Anbiya

Sabtu, 24 Januari 2015

Tentang ADAB BERKENDARA

Di antara nikmat Allah yang dianugerahkan kepada kita adalah sarana transportasi/kendaraan.  Dengan sarana transportasi ini kita menjadi mudah untuk melakukan aktifitas sehari-hari. Tidak sebatas nikmat, keberadaan sarana transportasi juga merupakan bentuk pemuliaan dan kebaikan Allah kepada manusia. Allah berfirman (yang artinya): “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam (manusia), Kami mengangkut mereka (dengan sarana transportasi) di daratan dan di lautan, Kami memberi mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami melebihkan mereka dengan kelebihan (keutamaan) atas kebanyakan makhluk lainnya yang telah Kami ciptakan.” (al-Isra’: 70) (Lihat Tafsir as-Sa’di)

Di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sarana transportasi/kendaraan juga menjadi suatu hal yang penting, seperti untuk membawa barang dagangan atau untuk berperang, meskipun pada masa itu mungkin masih bersifat sederhana seperti onta, kuda, gajah dan yang semisal. Adapun di zaman kita sekarang, alhamdulillah, berbagai jenis kendaraan modern dan canggih tersedia dengan berbagai fasilitas dan pelayanan kenyamanan. Perjalanan pun menjadi lebih mudah dan cepat. Bayangkan jika kendaraan di zaman kita sekarang sama dengan kendaraandi zaman dahulu, betapa susah dan beratnya aktifitas kita. Untuk pergi haji misalnya, tentu akan membutuhkan waktu yang sangat lama dan  menguras banyak tenaga dan biaya.

Agama Islam yang mulia ini telah membimbing umatnya untuk melakukan segala hal yang berdampak positif bagi diri mereka, baik terkait untuk kehidupan mereka di dunia demikian pula untuk kehidupan berikutnya di akhirat. Perihal kendaraan, Islam telah mengajarkan tata cara dan etika yang baik dalam penggunaannya agar si pengendara bisa mengambil banyak manfaat darinya. Di antara etika tersebut adalah:

1. Bersyukurlah!

Telah kita ketahui bersama bahwa kendaraan merupakan salah satu nikmat yang Allah Subhanahu wata'ala berikan kepada kita. Beragam kemudahan kita dapatkan dengan perantara nikmat yang satu ini. Jika demikian maka sebagaimana nikmat yang lain, nikmat adanya kendaraan menuntut dari kita untuk bersyukur kepada Yang Memberikannya. Di antara bentuk syukur adalah memanfaatkan dan menggunakan nikmat tersebut untuk kebaikan dan ketakwaan. Dari sini kita paham bahwa kendaraan yang  kita miliki harus bisa menjadi perantara untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wata'ala, bukan malah menjadi penyebab datangnya bala dan musibah. Maka kendarailah untuk menuju tempat-tempat atau kegiatan-kegiatan yang mendatangkan ridha Allah Subhanahu wata'ala, dan janganlah menggunakannya menuju tempat-tempat atau aktifitas-aktifitas yang mendatangkan kemurkaanNya. Bukankah umat-umat terdahulu dibinasakan dan dicabut nikmat dari mereka karena jauhnya mereka dari sikap syukur?
Allah telah mengingatkan kita: “Jika kalian bersyukur maka Aku akan tambah (nikmat) yang lain kepada kalian. Namun jika kalian kufur maka sungguh adzabKu amatlah pedih.” (Ibrahim: 7)

2. Merendahlah dan jauhi sikap-sikap tercela!

Etika berikutnya adalah bersikap tawadhu’ (rendah hati) saat berkendara. Suatu hal yang sangat disayangkan jika kendaraan yang dimiliki menjadi sebab riya, angkuh, ujub dan peremehan terhadap orang lain. Karena jika kita mau sadar, sesungguhnya kendaraan  yang ada hanya sekedar titipan ilahi dan bukan milik kita pribadi sehingga memang tidak pantas dan tidak pula layak dijadikan alasan untuk kita berbangga diri karenanya. Terlebih kelak akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Rabbul Alamin. Maka perlu bagi kita untuk bersikap hati-hati saat berkendara. Jangan merasa “lebih” apalagi berbuat zalim kepada orang lain. Suara knalpot yang tidak enak didengar, gambar-gambar/stiker yang tidak pantas, modifikasi yang berlebihan sehingga “merusak penglihatan dan pemandangan” hingga parkir sembarangan merupakan contoh-contoh dan bentuk-bentuk perbuatan zalim, bukankah begitu?

3. Bertawakal saat berkendara.

Allah telah menetapkan dan menjadikan adanya keterkaitan antara sebab dan musabab. Dalam meraih kebaikan dan keselamatan atau terjauhkan dari bencana dan musibah, Rabbuna telah menuntunkan sebab-sebab yang dapat menghantarkan kepada tujuan tersebut. Sehingga seseorang tidak hanya sekedar berserah diri kepada Allah Subhanahu wata'ala namun di sisi lain dia pun dituntut untuk melakukan upaya agar meraih apa yang dia sandarkan tersebut. Inilah bentuk tawakal yang benar. Demikian pula terkait dengan pembahasan kita kali ini, dituntut bagi kita untuk bertawakal kepada Allah Subhanahu wata'ala. Selain dengan bersandar penuh kepadaNya, mesti ditambah pula dengan melakukan sebab-sebab tercapainya keselamatan dan sebab-sebab terhindar dari musibah dan kecelakaansaat berkendara. Di antara bentuk tawakal tersebut adalah berdoa. Rasulullah telah mengajarkan kepada kita beberapa doa terkait dengan kegiatan berkendara, di antaranya:

- Doa ketika keluar rumah:
بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ لَا حَوْلَوَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
”Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.” (HR. Abu Dawud no. 5097 dan at-Tirmidzi no. 3426)

- Di saat akan berkendara:
بِسْمِ اللهِ، الْحَمْدُ لِلهِ سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ. وَإِنَّاإِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْن الْحَمْدُ لِلهِ، الْحَمْدُ لِلهِ، الْحَمْدُ لِلهِ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْ لِيْ، فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ
“Dengan nama Allah, segala puji bagi Allah, Mahasuci Dzat Yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (di hari Kiamat). Segala puji bagi Allah (3x), Allah Maha Besar (3x), Mahasuci Engkau, ya Allah! Sesungguhnya aku menganiaya diriku, maka ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” (HR. Abu Dawud no. 2602 dan at-Tirmidzi no.3446)

- Apabila melalui jalan menanjak bertakbir (satu atau dua atau tiga kali) dan apabila melewati jalan menurun bertasbih  (satu atau dua atau tiga kali) dengan suara rendah.
Sahabat Jabir berkata, “Kami dahulu apabila melalui jalan yang menanjak bertakbir dan apabila melewati jalan yang menurun kami bertasbih.” (HR. al-Bukhari no. 2831)

Termasuk bentuk upaya untuk meraih keselamatan saat berkendara adalah menaati peraturan lalu lintas dan tata tertib berkendara yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Peraturan/tata tertib tersebut merupakan satu dari sekian perintah dan ketetapan pemerintah kita. Kelayakan kendaraan, kelengkapan surat menyurat, kelayakan si pengendara, kecepatan saat berjalan, beban maksimal dan rambu-rambu di jalan merupakan beberapa hal yang wajib bagi kita untuk memperhatikan dan menaatinya. Dengan sebab seseorang patuh dengan peraturan lalu lintas dan tata tertib tersebut maka biidznillah keselamatan akan terwujud serta kecelakaan lalu lintas akan semakin berkurang atau mungkin bisa saja tidak terjadi. Yang penting untuk kita ketahui bersama bahwa kedislipinan kita dalam mematuhi tata tertib dan rambu-rambu lalu lintas merupakan salah satu bentuk ketaatan kita kepada Allah dan salah satu bentuk ibadah kepadaNya. Bagaimana tidak, sementara Allah telah memerintahkan kita untuk taat kepada mereka para pemimipin kita dalam setiap perintah mereka yang ma’ruf (kebaikan)?
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemerintah) di antara kalian.” (an-Nisaa: 59) (Lihat Tafsir at-Thabari dan al-Baghawi)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wata'ala memerintahkan kaum mukminin untuk taat kepada Allah Subhanahu wata'ala dan taat kepada RasulNya yaitu dengan mengerjakan perintah keduanya baik yang wajib maupun yang sunnah dan menjauhi larangan keduanya. Allah Subhanahu wata'ala juga memerintahkan kepada kaum mukminin untuk taat kepada Ulil Amri (pemerintah/penguasa) karena sesungguhnya tidak akan berjalan dengan baik perkara agama dan dunia seseorang kecuali dengan taat dan tunduk kepada pemerintah dalam rangka taat kepada Allah Subhanahu wata'ala dan mengharap pahala yang ada di sisiNya. Tentunya selama mereka tidak memerintahkan kepada suatu kemaksiatan kepada Allah. (Lihat Tafsir as-Sa’di)
Rasulullah pernah bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ يُطِعِ الأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ يَعْصِ الأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي
“Barangsiapa yang menaatiku maka sungguh dia telah menaati Allah dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa yang menaati pemimpinnya maka sungguh dia telah menaatiku dan barangsiapa yang bermaksiat (tidak taat) kepada pemimpinnya maka sungguh dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah)
Dalam riwayat yang lain beliau menyatakan;
عَلَيْكَ السَّمْعَ وَالطَّاعَةَ فِي عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْك
“Wajib atas kalian mendengar dan taat (kepada pemerintah) baik dalam keadaan sulitmu dan mudahmu, dalamkeadaan semangatmu dan terpaksamu, dan mereka merampas hak-hakmu.” (HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah)

As-Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan bahwa perintah dari penguasa ada tiga bentuk:
1. Sesuatu yang mereka perintahkan merupakan sesuatu yang Allah dan RasulNya perintahkan pula, maka wajib bagi kita menaatinya. Seperti jika mereka memerintahkan kita untuk melaksanakan shalat berjamaah atau memerintahkan kita untuk melaksanakan shalat Istisqa’ (minta hujan) maka wajib bagi kita untuk menaati dan melaksanakannya.
2. Sesuatu yang mereka perintahkan merupakan suatu kemaksiatan kepada Allah dan RasulNya maka tidak boleh kita menaatinya karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada al-Khaliq.
3. Sesuatu yang mereka perintahkan merupakan sesuatu yang tidak ada perintah dan juga tidak ada larangan dari Allah dan RasulNya maka wajib bagi kita untuk mendengar dan taat. Barangsiapa yang tidak mau mendengar dan taat maka dia mendapatkan dosa. Salah satu contoh dalam permasalahan ini adalah peraturan pemerintah kepada para pengendara untuk mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Maka wajib bagi kita untuk mematuhi rambu-rambu tersebut dengan benar. (Lihat Syarah Riyadhush Shalihin dan Fatawa Nur ‘ala ad-Darb Ibnu Utsaimin)

As-Syaikh bin Baz ketika ditanya pendapatnya tentang seseorang yang punya pemikiran bolehnya untuk tidak menaati peraturan-peraturan umum yang dibuat pemerintah seperti rambu lintas, paspor dan yang lainnya dengan alasan bahwa semuanya itu tidak ada dalilnya dalam syariat. Maka beliau menjawab, “Ini adalah suatu kebatilan dan kemungkaran, bahkan wajib hukumnya mendengar dan taat dalam permasalahan-permasalahan tersebut yang tidak ada kemungkaran padanya. Pemerintah telah mengaturnya demi kemaslahatan kaum muslimin, maka wajib tunduk terhadapnya, mendengar dan taat dalam permasalahan tersebut, sebab ini termasuk permasalahan yang ma’ruf dan bermanfa’at bagi kaum muslimin.” (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 8/208)
Allahu a’lam bish shawab, semoga bermanfaat.

Penulis: Ustadz Abdullah Imam

Sumber: Buletin Islam Al-Ilmu

Jumat, 23 Januari 2015

Tentang MENULIS TAFSIR, HUKUM TAJWID, CATATAN KAKI, ATAU YANG SEMISALNYA DI SISI-SISI LEMBARAN-LEMBARAN AL QURAN

Soal: 
هل يجوز الكتابة على أطراف صفحات القرآن من أحكام تجويد وتنبيهات أثناء التعليم؟
Apakah boleh menulis di sisi-sisi lembaran-lembaran al-Quran hukum-hukum tajwid dan peringatan-peringatan ketika mengajar?

Jawaban:
لا، المصحف يجرد ما يكتب عليه شيء، يجرد للقرآن فقط، كان السلف ينهون حتى عن كتابة الأعشار وينهون عن ذلك، القرآن ما يكتب فيه إلا القرآن والآيات يجرد عن كتابة التفسير والهوامش والتجويد وغير ذلك هذه لها كتب مستقلة
Tidak boleh. Mushaf dibersihkan (dari tulisan-tulisan tersebut). Tidak boleh ditulisi apapun padanya. Mushaf dimurnikan untuk al-Quran saja. Dahulu para salaf melarang, bahkan penulisan al-asyar (tanda-tanda yang menunjukkan sepersepuluh dari tiap juz). Mereka melarang hal yang demikan.
Al-Quran tidak boleh ditulisi padanya kecuali al-Quran dan ayat-ayat. (Mushaf al-Quran) dibersihkan dari tafsir, catatan-catatan kaki, tajwid, dan lain sebagainya. Semua ini ada pada kitab-kitab tersendiri.

Alih bahasa: Ustadz Abu Bakar Jombang حفظه الله

Sumber: 
alfawzan .af .org .sa/node/14675

# forumsalafy .net

Kamis, 22 Januari 2015

Tentang VIDEO

Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah
(Fatwa no. 16205)

Soal:
Apakah menggambar menggunakan kamera video termasuk dalam hukum menggambar dengan alat fotografi (kamera)?

Jawab:
Ya, hukum menggambar dengan video sama dengan menggambar dengan fotografi dalam hal pelarangan dan pengharamannya, berdasarkan keumuman dalil-dalil yang ada.

Al-Lajnah Ad-Da’imah Lil Buhuts Al-Ilmiyyah Wal Ifta’
Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz
Wakil ketua: ‘Abdurrazzaq ‘Afifi
Anggota: ‘Abdul ‘Aziz Alu Asy-Syaikh, ‘Abdullah bin Ghudayyan, Shalih bin Al-Fauzan, Bakr Abu Zaid

###

Asy-Syaikh Sholih Al-Fauzan hafizhahullah

Tanya:
Apa hukum video? Bagaimana kami harus menjawab bila ada orang yang menyatakan bahwa Anda membolehkan video, karena anda muncul disiaran dakwah di TV Majd Channel?

Jawab:
Subhaanallah, saya membolehkannya?!
Terkait kemunculan saya di TV, maka saya dalam keadaan tidak menginginkannya. Mereka datang ke masjid kemudian merekam talim dan juga para hadirin. Mereka tidak ijin terlebih dahulu atau berkonsultasi.
Saya benar-benar tidak mengijinkannya, begitupun saya sama sekali  tidak suka dengan hal ini, siapa saja pelakunya.
Mereka juga telah merekam talim asy-Syaikh bin Baz Rohimahullah dalam keadaan beliau tidak suka dengan hal tersebut. Bahkan beliau memperingatkan umat darinya. Mereka datang pada suatu acara, bergabung bersama-sama, merekam, lalu muncullah siarannya di TV. Apakah ini berarti asy-Syaikh bin Baz membolehkan gambar (tashwir)? Sama sekali tidak. Beliau berdiri pada posisi bahwa semua gambar, dalam berbagai jenisnya, adalah  harom.

***

Pada kesempatan lain beliau Hafidzohulloh ditanya:
Apakah benar berita yang menyatakan bahwa Anda telah merubah pendapat Anda tentang larangan membuat gambar, terkait dengan persetujuan Anda untuk menampilkan rekaman ta’lim Anda di Majd Tv dan lainnya?

Jawab:
Ini adalah penukilan yang tidak benar. Hukum gambar adalah harom. Tidak boleh bagi saya atau selain saya berkata kepada anda bahwa gambar itu boleh dikarenakan dalil tentang pelarangan gambar sangat jelas, begitu pula hukuman bagi pelakunya. Dan perbuatan ini termasuk dari dosa besar. Saya termasuk yang berpendapat haromnya gambar kecuali dalam keadaan kita sangat butuh (darurat). Saya ulangi lagi, gambar adalah sesuatu yang dilarang kecuali dalam keadaan kita sangat butuh, seperti dalam pembuatan kartu identitas, SIM, atau paspor. Dalam situasi demikian maka gambar dibolehkan.
Dalam keadaan lain, seperti untuk kenang-kenangan, sebagai hiasan atau dekorasi, maka yang ini tidak boleh. Ini adalah perbuatan yang lebih jelek, yaitu ketika seseorang menggantung gambar. Perbuatan ini larangannya lebih keras lagi.
Ini adalah kalimat (pendapat) yang telah saya nyatakan dan yang terus saya pegangi. Bila ada yang menyandarkan kepada saya selain ini, maka itu adalah tidak benar.
Adapun terkait Majd TV, maka saya tidak pernah datang kepada mereka atau ke studio mereka. Merekalah yang datang ke masjid dan kemudian merekam.
Seperti halnya mereka juga melakukan pengambilan gambar saat pelaksanaan sholat di Masjidil Harom (Makkah) dan Masjid Nabawi (Madinah). Mereka datang ke masjid, kemudian melakukan pengambilan gambar di Masjidil Harom dan Masjid Nabawi.

***

Tanya :
Apakah orang yang merekam talim atau pelajaran teranggap sebagai orang yang disebut dalam hadits tentang larangan membuat gambar?

Jawab :
Ya termasuk. Dia termasuk di dalamnya. Tidak ada kebutuhan kita pada gambar. Pelajaran  (ilmu)  itu cukup direkam, didengarkan, dan ditulis. Tujuan telah tercapai  tanpa perlu ada gambar (video).

***

Tanya:
Apakah boleh seorang ulama atau penuntut ilmu tampil di TV jika keadaan membutuhkannya?

Jawab:
(Siaran) televisi yang live/langsung adalah memindahkan (menyalurkan) gambar, dan ini berbeda dengan merekam yang merupakan bentuk menyimpan gambar (seperti kamera foto). Siaran live hanya sekedar menyalurkan, misalnya adalah siaran langsung sholat di Masjidil Harom, di Masjid Nabawi, siaran langsung  pelaksanaan ibadah haji saat wuquf di Arofah atau tempat ibadah haji lainnya. Ini adalah siaran langsung (live). Mereka menyebutnya siaran langsung.

***

Tanya:
Ada orang yang menjadikan kemunculan Anda di TV sebagai dalil bahwa Anda membolehkan gambar?

Jawab:
Saya telah menulis tentang masalah ini. Saya nyatakan bahwa itu (siaran langsung) bukan gambar, tapi sekedar menyebarkan saja.

***

Asy-Syaikh Fauzan juga ditanya tentang bagaimana bila ada orang yang menjadikan siaran langsung tersebut  sebagai rekaman, maka beliau menjawab bahwa itu menjadi tanggung jawab si pelaku.

Diketik ulang untuk Darussalaf .or .id dari Majalah Fiqih Islami FAWAID No. 04/I/1435/2014 Hal. 52-54
 
###

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan حفظه الله

Pertanyaan:
Apakah hukum mengambil gambar dengan kamera video, khususnya digunakan untuk dakwah di jalan Allah, mendorong dan memotivasi manusia untuk melakukan sedekah dan infak, atau menjelaskan apa yang dilakukan oleh musuh-musuh (orang-orang kafir) berupa berbagai macam gangguan terhadap kaum muslimin, sehingga kaum muslimin dibangkitkan perhatian mereka ketika menyaksikan gambar tersebut?

Jawaban:
Tidak boleh selamanya, dakwah kepada agama Allah telah berjalan sejak masa Ar-Rasul shallallahu ‘alaihi was salam dan para rasul sebelum beliau dan tidak digunakan sesuatu yang haram padanya dan tidak pula dengan sarana yang haram, maksud saya sarana yang haram tidak boleh digunakan dan dikatakan: “Ini untuk mendakwahkan agama Allah Azza wa Jalla.” Na’am.

Sumber: Syarh Qurratul Uyunil Muwahhiddin kaset ke 54 menit 1:05:46 hingga 1:06:23

###

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan ﺣﻔﻈﻪ ﺍﻟﻠﻪ

Penanya:
Beberapa kali muncul gambar Anda di beberapa surat kabar, dan saya telah menghubungi surat kabar ini dan saya nasehati dan saya beritahu mereka bahwa Anda tidak ridha terhadap perkara ini karena berpendapat bahwa gambar haram dengan segala jenisnya kecuali yang sifatnya darurat. Lalu mereka menjawab bahwa seandainya beliau (syaikh Fauzan) tidak ridha, pasti akan menghubungi atau menulis dan bahwasanya pendapat Asy-Syaikh tidak demikian. Bagaimana pendapat Anda –semoga Allah menjaga Anda–?

Asy-Syaikh:
Tidak, saya tidak mengetahui semua perkara, ini merupakan tanggung jawab mereka sendiri, dosanya yang menanggung mereka. Gambar tersebut diambil dari saya tanpa saya sadari, diambil ketika saya berjalan di sebuah tempat. Mereka juga telah mengambil gambar orang yang lebih mulia dari saya yaitu Asy-Syaikh Ibnu Baz dan mereka menampakkan gambar beliau padahal beliau mencela dan mengharamkan dan menulis kepada surat kabar: “Kalian jangan menampilkan gambar saya!” Namun mereka tetap saja memasang gambar beliau, sehingga dosanya mereka yang menanggung.

Sumber:
www .alfawzan .af .org .sa/node/10232

***

Penanya:
Apakah menyiarkan ulang acara-acara keagamaan yang disiarkan langsung dengan suara dan gambar melalui media televisi setelah menyimpannya diperbolehkan atau termasuk perbuatan mengambil gambar yang diharamkan?

Asy-Syaikh:
Ini menjadi tanggung jawab yang menyiarkannya dan menyimpannya, tanggung jawab mereka, na’am.

Sumber:
www .albaidha .net/vb/showthread .php?t=42386

###

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Penanya:
Semoga Allah berbuat baik kepada Anda wahai Samahatul Walid, penanya mengatakan: Salah seorang ikhwah menukil dari Anda bahwa Anda berpendapat bolehnya merekam pelajaran-pelajaran dengan kamera video dan dia mengklaim bahwa Anda pernah mengatakan bahwa rekaman tersebut bisa dihapus setelah memanfaatkannya, apakah hal ini benar?

Asy-Syaikh:
Cukuplah bagimu bahwa itu hanyalah klaim, cukup ini. Klaim adalah sedusta-dusta ucapan, ini merupakan sedusta-dusta ucapan. Saya tidak mengucapkan perkataan seperti ini. Jika dia memang benar, maka saya menantangnya untuk menunjukkan rekaman suaraku atau tulisan yang saya tulis dengan penaku. Adapun engkau merasa tenang (cukup) dengan apa yang dikatakan oleh manusia maka Allah Subhanahu wa Ta’ala yang akan menghisab kalian atasnya.
Wallahu Ta’ala a’lam.

Sumber Artikel:
www .alfawzan .af .org .sa/node/10159

Alih bahasa: Abu Almass
Rabu, 16 Jumaadats Tsaniyah 1435 H

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Hady hafizhahullah

Penanya:
Sebagian ikhwah menanyakan tentang ceramah yang diambil gambarnya oleh Universitas, lalu mereka meminta izin kepada Anda untuk menyebarkannya?

Asy-Syaikh:
Demi Allah saya katakan: Jika kalian bisa menyebarkannya tanpa gambar maka silahkan menyebarkannya. Dan ketahuilah bahwa saya bukan hujjah, tidak pula orang yang lebih mulia dari saya. Hujjah itu hanyalah perkataan Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi was salam. Mengambil gambar hukumnya haram dan tidak boleh. Namun terkadang seseorang jatuh kepada beberapa perkara darurat yang boleh baginya, namun hukumnya tetap satu.
Dan saya bersaksi atas nama Allah dan saya telah mengatakan hal itu berkali-kali: sungguh saya mendengar dengan kedua telinga saya ini dari guru kami dan orang tua kami imam di masa ini yaitu imam Ahlus Sunnah Asy-Syaikh Abdul Aziz (bin Baz) rahimahullah jika dikatakan hal seperti ini kepada beliau maka beliau menjawab: “Saya bukan hujjah, hujjah ada pada perkataan Allah dan Rasul-Nya. Kami masuk pada beberapa acara yaitu bertemu dengan pemerintah lalu terjadilah pengambilan gambar ini.” Jadi beliau tidak mengetahuinya dan terkadang terjadi penolakan dari beliau. Hujjah adalah pada perkataan Allah dan Rasul-Nya, dan jawaban yang bermanfaat tentang pengharaman mengambil gambar kalian mengetahui beliau rahimahullah memilikinya.
Saya katakan kepada kalian: Hujjah bukan Muhammad bin Hady dan bukan pula orang yang lebih mulia darinya. Hujjah hanyalah pada perkataan Allah dan Rasul-Nya shallallahu alaihi was salam. Jadi, menggambar hukumnya haram, sama saja mereka mengambil gambar Muhammad bin Hady atau tidak mengambil gambar Muhammad bin Hady. Hukum Allah berlaku padanya dan pada selainnya dan hukum Rasulullah shallallahu alaihi was salam berlaku padanya dan pada selainnya. Dan apa saja yang berasal dari Allah dan dari Rasul-Nya maka kita terima sepenuhnya. Sedangkan yang berasal dari selain keduanya maka perlu diteliti lebih dahulu.

Ditranskrip oleh Abu Ubaidah Munjid bin Fadhl Al-Haddad
Jum’at 19 Ramadhan 1432 H
| www .sahab .net/forums/index .php?showtopic=122622

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Hady hafizhahullah

Beliau berkata:
“Sebelum kita mengajari orang lain maka kita memulai dengan diri kita sendiri. Saya benar-benar ingin menyampaikan arahan dan pengajaran. Bimbingan dan pengajaran berbeda dengan nasehat umum dan berbeda dengan menyatakan: “Kenapa ada kaum yang berbuat demikian…” juga berbeda dengan pembicaraan rahasia.
Maka saya katakan:
Allah mengetahui betapa sesak dada saya dan sedih hati saya ketika saya melihat alat-alat ini yang mengambil gambar semisal daurah ini yang disebut daurah salafiyyah dan para masayikh yang mengisinya telah dikenal sebagai salafiyyun ahlu ittiba’ wa atsar. Jadi, semisal para ulama itu dan semisal daurah ini sepantasnyalah isinya sesuai dengan syiarnya dan sesuai dengan slogannya. Karena tanda ahlul atsar dan salafus saleh radhiyallahu anhum adalah ittiba’. Sekian banyak hadits yang menjelaskan hukum menggambar berupa larangan dan peringatan dari Ar-Rasul yang menyampaikan kabar gembira dan memberi peringatan, semoga shalawat Allah dan salam-Nya senantiasa tercurah untuk beliau.
Wahai segenap ikhwah, mungkin ada yang mengatakan: “Sesungguhnya hal ini (mengambil gambar) telah menjadi kebutuhan yang mendesak di masa ini.” Maka saya katakan: Perkaranya tidak demikian, karena sesungguhnya agama Allah Tabaraka wa Ta’ala telah tersebar sejak abad pertama dan telah mencapai perbatasan China dan perbatasan Perancis sehingga mencapai hampir 2/3 belahan dunia pada waktu itu tanpa ada media pemberitaan dengan model yang kita lihat dan tanpa menggunakan siaran radio apalagi dengan mengambil gambar dan siaran yang mereka namakan sebagai siaran langsung. Dan agama Allah ini senantiasa dibawa oleh orang-orang yang menundukkan berbagai negeri yang pemberani itu serta para ulama pilihan, dalam keadaan mulia dan menang seperti keadaan para pendahulu mereka. Dan orang-orang yang membela agama ini akan senantiasa dalam kemenangan dan kemuliaan dan kuat sehingga agama Allah Tabaraka wa Ta’ala tersebar luas dan tidak membutuhkan pengambilan gambar semacam ini.
Dan kita di masa ini alangkah banyaknya perbuatan menggambar baik di timur maupun di barat. Apa faedah yang bisa diambil oleh manusia dengan memandang gambar saya?! Apa faedahnya?! Faedah itu adalah dengan perkataan saya dan pada perkataan saya jika Allah memberikan taufik kepada saya untuk berkata benar, inilah faedahnya. Adapun gambar maka tidak ada faedahnya! Seandainya perkaranya merupakan kebaikan -demi Allah- Allah tidak akan menutupinya untuk kita dan Rasul-Nya shallallahu alaihi was salam serta para shahabat beliau yang mulia dan terpilih tidak akan meninggalkan cara tersebut.
Maka wahai segenap ikhwah, saya sampaikan nasehat ini kepada kalian dan kepada ikhwah kita yang menjadi panitia daurah ini janganlah nafas hizbiyyah berjalan pada diri kita. Kemarin belum lama ini kita mengingkari Al-Ikhwan Al-Muslimun yang melakukan hal ini (menggambar) di rumah-rumah Allah Tabaraka wa Ta’ala (masjid) lalu bagaimana dengan kita hari ini?! Kita menggandrungi hal ini padahal kemarin hal itu menurut kita sebagai perkara yang Mungkar, namun hari ini menjadi ma’ruf bahkan menjadi kebutuhan.
Jadi wahai para saudaraku, seorang penuntut ilmu berangkat dari pondasi yang kokoh berupa manhaj yang jelas dan terang yang tidak tergoyahkan dengan perasaan dan tidak terseret oleh hawa nafsu, tetapi hanya berangkat dari firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan sabda Rasul-Nya shallallahu alaihi was salam. Kita sampai belum lama ini di daurah yang lalu bersama ikhwah kita -alhamdulillah- siarannya bisa lancar lewat siaran radio, jadi apa perlunya untuk mengambil gambar?!
Biarlah seperti sebelumnya yaitu dengan disiarkan lewat radio dan manusia bisa mendengarnya. Radio Al-Qur’an ini berapa banyak Allah jadikan bermanfaat di timur dan di barat dengan perkataan para ulama dan fatwa-fatwa mereka dan tidak ada seorang pun dari mereka yang berpendapat keharusan menyiarkan ceramah mereka dengan model semacam ini (mengambil gambar).
Maka saya nesehatkan diri saya sendiri dan kalian wahai para ikhwah untuk berpegang teguh dengan adab-adab dan akhlak Islam serta hukum-hukum syariat dan kita jangan bermudah-mudahan padanya, karena jika pada hari ini kita bermudah-mudahan dalam perkara ini maka besok akan lebih parah lagi darinya. Dan demikianlah sikap meremehkan itu tidak memiliki batas, jika telah mulai maka tidak berhenti pada sebuah batas.
Maka saya memohon kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala agar memberi taufik kepada kami dan kalian semuanya, sebagaimana saya berharap kepada kalian hendaknya hal ini kalian perhatikan dengan seksama. Dan kita akan membaca bab yang berkaitan dengan orang-orang yang suka menggambar. Saya bertanya kepada mereka semua dengan nama Allah Ta’ala yang tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi selain Dia yang beristiwa’ di atas Arsy-Nya sesuai dengan kemuliaan-Nya: Mereka namakan apa ini orang yang memindahkan gambar kita dengan siaran ini (video/tv)? Mereka namakan apa? Saya tuntut mereka untuk menamakan. Mereka namakan apa? Pelukis? Ini merupakan musibah. Jika dia menggambar maka ini lebih buruk lagi. Mereka namakan apa? Tukang bekam atau tukang besi?! Mereka menamakannya tukang gambar. Lafazh ini terdapat di dalam hadits yang kalian ketahui dosanya. Telah datang ancaman keras terhadapnya dari Rasulullah shallallahu alaihi was salam. Maka jangan kita menjadikan diri kita sebagai sasaran ancaman dan hukuman ini, terlebih di salah satu dari rumah-rumah Allah dan ketika sedang menyampaikan syariat Allah Tabaraka wa Ta’ala. Demi Allah ini merupakan musibah.
Maka saya berharap kepada saudara-saudaraku agar mereka memperhatikan perkara ini dengan seksama dan hendaklah mereka memperhatikan perkara ini bahwa dia merupakan pintu yang jika telah terbuka, maka tidak lama lagi dia tidak akan bisa ditutup lagi. Dan saya memohon kepada Allah Jalla wa ‘Ala agar memberikan taufik kepada saya, mereka dan kalian semuanya untuk mengikuti As-Sunnah dan menjauhi hawa nafsu dan perkara-perkara yang diada-adakan. Karena sesungguhnya yang ditunggu dari kita adalah kita memperbaiki manusia, bukan mengikuti kemauan manusia. Semoga Allah memberikan taufik kepada semuanya agar bisa melakukan hal-hal yang Dia cintai dan Dia ridhai.”

Ditranskrip dari mukaddimah pelajaran “Al-Ahadits Allati Alaiha Madarul Islam” oleh Abu Ahmad Dhiya’ At-Tabissy.

Sumber:
| www .sahab .net/forums/index .php?showtopic=119890

###

Asy-Syaikh Shalih As Suhaimy hafizhahullah

Penanya:
Apa hukum mengambil gambar masayikh dengan video di halaqah pelajaran atau channel Islamiyyah?

Asy-Syaikh:
Demi Allah wahai saudaraku yang mulia, sepantasnya seorang muslim menjauhi ini semua ini, walaupun sebagian ulama mengecualikan pengambilan gambar dengan video atau televisi dengan alasan itu hanya siaran langsung. Hanya saja, tinggalkan apa yang meragukanmu menuju hal-hal yang tidak meragukanmu. Adapun gambar yang dibuat sama saja dengan menggunakan tangan atau alat, maka tidak diragukan lagi tentang keharamannya jika itu gambar sesuatu yang memiliki nyawa, na’am.

---

Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimy hafizhahullah berkata:
“Kami telah mengingatkan larangan menggambar lebih dari sekali. Jangan mengambil gambar dengan HP atau dengan selain HP. Kami tidak mengizinkan hal itu dan orang yang melakukannya berdosa. Rasulullah shallallahu alaihi was salam bersabda:
لَعَنَ اللهُ الْمُصَوِّرِيْنَ
“Allah melaknat orang-orang yang menggambar.”
Laknat, laknat, laknat, pahamkah kalian apakah laknat itu? Allah melaknat orang-orang yang menggambar. Rasulullah shallallahu alaihi was salam bersabda: “Allah melaknat orang-orang yang menggambar.” Rasulullah shallallahu alaihi was salam melaknat setiap orang yang menggambar makhluk yang bernyawa. Beliau juga bersabda:
أَشَدُّ النَّاسِ عَذَابًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْمُصَوِّرُونَ
“Manusia yang paling keras siksaannya pada hari kiamat nanti adalah orang-orang yang suka menggambar.” (HR. Muslim no. 2109)
Oleh karena itu saya tidak mengizinkan seorang pun untuk mengambil gambar baik dengan HP atau dengan selainnya. Hapuslah atau saya akan mendoakan keburukan atasmu.

---

Penanya:
Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, sebelumnya bagaimana hukum gambar? Semoga Allah menjaga Anda.

Asy-Syaikh:
Pertama saya telah mengingatkan para ikhwah lebih dari sekali, tidak boleh menggambar yang bernyawa kecuali karena darurat yang telah diketahui, seperti kartu identitas, paspor dan semisalnya. Oleh karena itulah kami tidak mengizinkan seorang pun untuk mengambil gambar, apakah dengan hp atau selainnya. Dan kami tidak membolehkan dan tidak pula menghalalkan. Dan barangsiapa telah mengambil gambar -dan ini telah saya peringatkan kemarin- dia wajib menghapus gambar tersebut. Saya tidak mengizinkan seorang pun untuk mencari-cari gambar, apakah gambar saya atau gambar orang lain. Orang-orang yang menggambar adalah termasuk manusia yang paling keras adzabnya pada hari kiamat nanti sebagimana hal itu disebutkan dalam hadits yang shahih dari Nabi shallallahu alaihi was salam. Oleh karena itu wajib atas kaum muslimin untuk membatasi pada hal-hal yang sifatnya darurat di masa ini karena mengikuti aturan masa kini. Adapun gambar anak-anak atau kenang-kenangan dan semisalnya, maka ini tidak boleh bahkan haram, sama saja apakah dalam bentuk tiga dimensi, atau dengan tangan atau dengan fothografi atau dalam bentuk apapun jika menunjukkan gambar makhluk yang bernyawa.

www .sahab .net/forums/index .php?showtopic=108042

Sumber: TPAH

###

Al Allamah bin Baz rahimahullah

Soal:
ما حكم التغسيل والتكفين عن طريق الفيديو
Apa hukum mempelajari cara memandikan dan mengafani mayat dengan menggunakan video?

Jawaban:
التعليم يكون بغير الفيديو لما في الأحاديث الكثيرة الصحيحة من النهي عن التصوير ولعن المصورين
Mempelajarinya bisa tanpa menggunakan video, karena ada beberapa hadits shahih yang cukup banyak tentang pelarangan gambar dan laknat bagi para penggambar (makhluk bernyawa).
(As’ilah al Jum’iah al Khairiyah bisyarqo’)

Soal:
هل جهاز التلفزيون يدخل ضمن التصوير؟ أم أن ما يعرض في هذا الجهاز من برامج سيئة هو حرام مطلقا
Apakah televisi juga masuk kategori menggambar (makhluk bernyawa)?
Atau apakah program-program siaran televisi yang berisi kejelekan diharamkan secara mutlak?

Jawaban:
كل التصوير محرم
Seluruh bentuk tashwir (menggambar makhluk bernyawa) haram. (Al Ibraaz li Aqwa’lil Ulama fi Hukmil Tilfaaz)

Beliau rahimahullah juga berkata:
وظهور صورتي ليس دليلا على إجازتي التصوير ولا على رضاي به فإني لم أعلم أنهم صوروني
Munculnya gambar saya bukanlah dalil bahwa saya membolehkan menggambar makhluk bernyawa, tidak pula menunjukkan keridhaanku terhadap gambar tersebut. Sebab, saya tidak tahu kalau mereka ternyata mengambil gambarku.
(Fatawa al Lajnah Soal ke-13 1/460)

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Sumber:
www .sahab .net/forums/index .php?showtopic=108042

Rabu, 21 Januari 2015

Tentang MENGAZANI BAYI YANG BARU LAHIR

Al Ustadz Abu Utsman Kharisman

Hadits mengadzani bayi setelah lahir memiliki 3 jalur periwayatan utama.

Riwayat jalur pertama:
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي رَافِعٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ حِينَ وَلَدَتْهُ فَاطِمَةُ بِالصَّلَاةِ
Dari Ubaidillah bin Abi Rofi’ dari ayahnya beliau berkata: Saya melihat Rasulullah shollallahu alaihi wasallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali ketika dilahirkan Fathimah, dengan (adzan) sholat. (H.R Ahmad, atTirmidzi, dan lainnya)
Jalur riwayat ini memiliki perawi bernama ‘Ashim bin Ubaidillah. Dia adalah perawi yang lemah menurut para Ulama. Abu Zur’ah dan Abu Hatim menyatakan dia adalah munkarul hadits. Sufyan bin Uyainah menyatakan: para syaikh menghindari hadits dari ‘Ashim bin Ubaidillah. Namun, Syu’bah bin al-Hajjaj meriwayatkan hadits darinya. Syu’bah bin al-Hajjaj dikenal sebagai seorang yang sangat selektif dalam mengambil periwayatan hadits. Al-Imam Malik heran dengan sikap Syu’bah bin al-Hajjaj yang mengambil periwayatan dari ‘Ashim bin Ubaidillah padahal dia adalah perawi yang lemah. Ibnu Hibban menyatakan bahwa ia lemah karena lemahnya hafalannya sehingga banyak salah. Ibnu ‘Adi menyatakan bahwa ia meski lemah, namun haditsnya ditulis (untuk dicari jalur penguat lainnya). Al-‘Ijliy menyatakan bahwa ia tidak mengapa. Dimaklumi bahwa al-‘Ijliy termasuk Ulama yang bermudah-mudahan dalam penilaian terhadap perawi.

Riwayat jalur kedua:
عَنْ حُسَيْنٍ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ وُلِدَ لَهُ وَلَدٌ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى لَمْ تَضُرَّهُ أُمُّ الصِّبْيَانِ
Dari Husain beliau berkata: Rasulullah shollallahu alaihi wasallam bersabda: Barangsiapa yang dilahirkan untuknya seorang anak, kemudian dia mengadzani di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri, maka tidak akan memudhorotkannya Ummus Shibyaan (jin yang mengikutinya atau hembusan angin). (H.R Abu Ya’la)
Di dalam sanad riwayat ini terdapat perawi yang bernama Marwan bin Salim al-Ghiffary yang dinyatakan matruk (ditinggalkan) oleh al-Haytsamiy dalam Majmauz Zawaaid. Ibnu Abi Hatim pernah bertanya kepada ayahnya, Abu Hatim tentang Marwan bin Salim al-Ghiffariy ini. Abu Hatim menyatakan: munkarul hadits jiddan, dhaiful hadits. Maka Ibnu Abi Hatim bertanya: Apakah haditsnya ditinggalkan? Abu Hatim menyatakan : Tidak. Tapi haditsnya ditulis (sebagai pertimbangan jika ada jalur penguat lain). (al-Jarh wat Ta’diil (8/275))

Riwayat jalur ketiga:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَذَّنَ فِي أُذُنِ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ يَوْمَ وُلِدَ فَأَذَّنَ فِي أُذُنِهِ الْيُمْنَى وَأَقَامَ فِي أُذُنِهِ الْيُسْرَى
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi shollallahu alaihi wasallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali pada hari kelahirannya. Beliau adzan di telinga kanan dan iqomat di telinga kiri (H.R al-Baihaqiy dalam Syuabul Iman dan beliau menyatakan bahwa sanad hadits ini lemah)
Jalur periwayatan ini memiliki perawi yang bernama Muhammad bin Yunus al-Kudaimiy. Ibnu Hibban menyatakannya sebagai pemalsu hadits. Demikian juga Abu Dawud mengkategorikannya sebagai pendusta. Sedangkan Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa dulunya Muhammad bin Yunus al-Kudaimiy adalah dikenal baik dan haditsnya baik. Tidaklah didapati ada cela darinya kecuali karena ia bersahabat dengan Sulaiman asy-Syaadzakuuniy. (Tahdziibut Tahdziib karya al-Hafidz Ibn Hajar (9/476))
Sedangkan Sulaiman asy-Syaadzakuuniy dikenal sebagai pendusta.

Ketiga jalur periwayatan di atas masing-masingnya lemah. Namun yang menjadi perbedaan pendapat para Ulama adalah : bisakah ketiga jalur itu saling menguatkan sehingga paling tidak sampai derajat hasan? Syaikh al-Albaniy awalnya menghasankan hadits itu dalam Sunan atTirmidzi, namun setelah beliau mengkaji ulang beliau menilai bahwa riwayat Abu Rofi’ (jalur riwayat pertama) tidak bisa dikuatkan dengan jalur lain karena perawi-perawi yang pendusta. Beliau kemudian melemahkannya dalam Silsilah ad-Dhaifah. Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad sepertinya cenderung pada pendapat Syaikh al-Albany yang terakhir ini dalam syarh Sunan Abi Dawud.
Sedangkan sebagian Ulama’ menyatakan bahwa adzan di telinga kanan bayi yang baru lahir bisa diamalkan. Jalur-jalur periwayatan yang ada bisa menguatkan.
Ulama yang berpendapat demikian di antaranya: atTirmidzi, al-Hakim, anNawawiy, Ibnu Qudamah, Ibnul Qoyyim, al-Mubarokfuriy penulis Tuhfatul Ahwadzi, asy-Syaukaaniy dalam Tuhfatudz Dzaakiriin, Syaikh Muhammad bin Ibrohim (mufti Saudi terdahulu), Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz bin ‘Aqiil, Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin, Syaikh Abdul Aziz arRaajihiy.
Sepertinya pendapat para Ulama ini adalah pendapat yang rajih, karena memang jalur-jalur periwayatan tersebut bisa menguatkan. Jalur riwayat pertama lemah, karena adanya perawi yang lemah hafalannya. Namun diharapkan bisa dikuatkan dengan jalur riwayat kedua. Perawi Marwan bin Saalim al-Ghiffariy masuk kategori perawi yang bisa ditulis haditsnya sambil dicari jalur penguat lain, menurut Abu Hatim. Sedangkan jalur periwayatan yang ketiga jika kita membaca penjelasan al-Hafidz Ibn Hajar dalam Tahdziibut Tahdziib, maka bisa jadi kita akan berkesimpulan bahwa al-Kudaimiy bukanlah pendusta secara mutlak.
Belum lagi jika kita melihat adanya riwayat perbuatan seorang Tabii yg mulya yaitu Umar bin Abdil Aziz dalam riwayat Abdurrozzaq.

Syaikh Muhammad bin Sholih al-Utsaimin dalam salah satu fatwanya berpendapat bahwa adzan di telinga bayi adalah sunnah, sedangkan iqomat tidak. Beliau menyatakan:
الأذان عند ولادة المولود سنة وأما الإقامة فحديثها ضعيف فليست بسنة ولكن هذا الأذان يكون أول ما يسمع المولود وأما إذا فات وقت الولادة فهي سنة فات محلها فلا تقضى
Adzan ketika kelahiran anak adalah sunnah sedangkan iqomat haditsnya lemah, bukan sunnah. Akan tetapi adzan ini adalah pertama kali yang didengar oleh anak yang dilahirkan. Adapun jika terlewat waktu kelahirannya, sunnah tersebut tidaklah diqodho (diganti di waktu lain). (Fataawa Nuurun Alad Darb (228/9))

Wallaahu A’lam.

Salafy.or.id

Jumat, 16 Januari 2015

Tentang BERBUAT BAIK TERHADAP ANAK-ANAK DAN METODE MENDIDIK MEREKA

Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata,
“Berbuat baik terhadap anak-anak perempuan diwujudkan dengan mendidik mereka dengan pendidikan Islami, mengajarkan ilmu kepada mereka, membesarkan mereka di atas al-haq dan semangat untuk menjaga kehormatan diri, serta menjauhkan mereka dari perkara-perkara yang diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala berupa tabarruj (bersolek dan berhias di hadapan selain mahram) dan selainnya.
Demikianlah metode mendidik anak-anak perempuan ataupun anak laki-laki, juga dengan hal-hal selain itu yang termasuk sisi-sisi kebaikan. Jadi, mereka semua terdidik untuk taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, serta menjauhkan diri dari perkara-perkara yang diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala dan menegakkan hak-hak-Nya.
Dengan demikian, kita ketahui bahwasanya maksud berbuat baik di sini bukanlah semata-mata memberi mereka makan, minum, dan pakaian saja. Bahkan maksudnya lebih besar daripada itu semua, yaitu berbuat kebaikan kepada mereka, baik dalam masalah agama maupun dunia.”
(Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, 4/377)

Fadhilatusy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
“Yang wajib bagi setiap mu’min untuk mementingkan pendidikan anak-anaknya dengan perhatian yang mendalam agar dia mewujudkan perintah Alloh Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." [Qs. At-Tahrim: 6]
Hendaknya dia menjalankan tanggung jawab yang telah dibebankan kepadanya oleh Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam di dalam sabdanya:
الرجُلُ راعٍ في أهله، ومسئول عن رعيته
"Seorang lelaki menjadi pemimpin di keluarganya, dan dipertanggung jawabkan atas kepemimpinannya."
Maka tidak halal baginya untuk mengabaikan mereka bahkan wajib atasnya untuk memberikan hukuman yang mendidik mereka sesuai dengan kondisi mereka dan sesuai dengan kesalahan mereka, oleh karenanya Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam bersabda:
مروا أبناءكم بالصلاة لسبع، واضربوهم عليها لعشر
"Perintahkan anak-anak kalian sholat jika telah berusia 7 tahun, dan pukullah mereka (sebagai hukuman karena meninggalkan sholat) jika telah berusia 10 tahun."
Dan agar diketahui bahwa amanah ini yang dibebankan kepadanya kelak akan diminta pertanggung jawaban tentangnya di hari kiamat, maka persiapkanlah jawaban yang benar hingga dia terbebas dari pertanggung jawaban ini, dan nanti akan memetik buah dari amalannya. Jika baik maka hasilnya pun baik dan jika jelek maka hasilnya pun jelek. Dan terkadang akan dibalas karenanya di dunia sehingga akan diuji dengan anak-anak yang berbuat buruk kepadanya, berbuat durhaka dan tidak memenuhi hak orang tuanya.”
(Majmu’ Fatawa juz 12 hlm 117)

Diungkapkan Ibnul Qayyim rahimahullah, anak-anak yang telah mencapai kemampuan berbicara, ajarilah mereka (dengan menalqinkan) kalimat la ilaha illallah, muhammad rasulullah. Jadikanlah apa yang diperdengarkan kepada mereka adalah tentang pengenalan terhadap Allah Azza wa Jalla (ma’rifatullah) dan mentauhidkan-Nya. Didik juga anak-anak bahwa Allah Azza wa Jalla berada di atas ‘Arsy-Nya. Allah Maha Melihat terhadap mereka dan Maha Mendengar terhadap apa yang mereka perbincangkan. Allah Azza wa Jalla senantiasa bersama mereka, di mana saja mereka berada. (Tuhfatul Wadud bi Ahkamil Maulud, hal. 389)

Dan orang tua wajib mengarahkan anak-anak, serta menekankan mereka untuk memilih kawan, teman duduk maupun teman dekat yang baik. Hendaknya orang tua menjelaskan kepada anak tentang manfaat di dunia dan di akhirat apabila duduk dan bergaul dengan orang-orang shalih, dan bahaya duduk dengan orang-orang yang suka melakukan kejelekan ataupun teman yang jelek. 
Betapa banyak terjadi seorang anak yang jelek mengajak teman-temannya untuk berbuat kemungkaran dan kerusakan, serta menghiasi perbuatan jelek dan dosa di hadapan teman-temannya. Padahal anak kecil seringkali meniru, suka menuruti keinginannya serta suka mencari pengalaman baru. (Fiqh Tarbiyatil Abna`, hal. 154-155)

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:
“Wajib untuk menjauhkan anak-anak kecil yang telah berakal dari majelis majelis yang berisi kesia-siaan dan kebathilan, yang berisi musik, dan yang memperdengarkan kata kata cabul (porno), kebid’ahan, serta ucapan-ucapan buruk.
Karena sesungguhnya jika hatinya telah terbiasa dengannya, akan sangat sulit bagi dia untuk memisahkan diri darinya (menjauhinya) ketika sudah dewasa. Dan akan sangat sukar bagi orang tuanya untuk menyelamatkannya (dari hal hal tersebut).” (Tuhfatul Maudud: 169)

Beliau rahimahullah menyatakan pula,
“Betapa banyak orang yang mencelakakan anaknya—belahan hatinya—di dunia dan di akhirat karena tidak memberi perhatian dan tidak memberikan pendidikan adab kepada mereka. Orang tua justru membantu si anak menuruti semua keinginan syahwatnya. Ia menyangka bahwa dengan berbuat demikian berarti dia telah memuliakan si anak, padahal sejatinya dia telah menghinakannya. Bahkan, dia beranggapan, ia telah memberikan kasih sayang kepada anak dengan berbuat demikian. Akhirnya, ia pun tidak bisa mengambil manfaat dari keberadaan anaknya. Si anak justru membuat orang tua terluput mendapat bagiannya di dunia dan di akhirat. Apabila engkau meneliti kerusakan yang terjadi pada anak, akan engkau dapati bahwa keumumannya bersumber dari orang tua.” (Tuhfatul Maudud hlm. 351)

Beliau rahimahullah menyatakan pula,
“Mayoritas anak menjadi rusak dengan sebab yang bersumber dari orang tua, dan tidak adanya perhatian mereka terhadap si anak, tidak adanya pendidikan tentang berbagai kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya. Orang tua telah menyia-nyiakan anak selagi mereka masih kecil, sehingga anak tidak bisa memberi manfaat untuk dirinya sendiri dan orang tuanya ketika sudah lanjut usia. Ketika sebagian orang tua mencela anak karena kedurhakaannya, si anak menjawab, ‘Wahai ayah, engkau dahulu telah durhaka kepadaku saat aku kecil, maka aku sekarang mendurhakaimu ketika engkau telah lanjut usia. Engkau dahulu telah menyia-nyiakanku sebagai anak, maka sekarang aku pun menyia-nyiakanmu ketika engkau telah berusia lanjut’.” (Tuhfatul Maudud hlm. 337)
 
###

"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya, seorang penguasa adalah pemimpin dan akan ditanya tentang rakyatnya, seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya dan dia akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya, seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya dan dia akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya." (HR. al-Bukhari no. 844)

Anak merupakan nikmat Allah yang wajib disyukuri oleh kedua orang tua. Orang tua, dalam hal ini ayah dan bunda memikul tanggung jawab yang besar di dalam menunaikan hak-hak mereka. Sebuah amanah yang akan ditanyakan oleh Allah kelak pada hari kiamat. Adapun tanggung jawab orang tua terhadap anak yang paling utama dan pertama kali harus ditunaikan sebelum perkara-perkara yang lainnya adalah menyelamatkan mereka dari siksa api neraka. Allah berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan." (at-Tahrim: 6)
Kalimat "peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka" ditafsirkan oleh Ali bin Abi Thalib, "Ajarilah diri-diri kalian dan keluarga kalian dengan kebaikan dan akhlak." (Fathul Qadir juz 7, hal. 258)
Al-Imam ath-Thabari berkata, "Maka wajib bagi kita untuk mendidik anak-anak kita dengan agama, kebaikan dan akhlak yang baik." (Fathul Qadir juz 7, hal. 257)

Maka sungguh sangat aneh kalau kita perhatikan sebagian orang tua merasa sedih dan galau kalau anak-anaknya bodoh atau prestasinya rendah selama di sekolah. Namun mereka tidak peduli dan hatinya tidak tergerak melihat anak-anaknya mengalami kebobrokan iman dan dekadensi moral. Kita dapati pula sebagian orang tua, hati mereka risau melihat anak-anaknya suka membolos ketika sekolah namun sebaliknya merasa nyaman tatkala anak-anaknya didapati tidak hadir dalam shalat berjama'ah di masjid atau tidak mengikuti majelis ilmu yang diadakan oleh seorang 'alim. Padahal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengancam kepada orang tua yang demikian keadaannya, "Tidaklah seorang hamba yang diberikan tanggung jawab oleh Allah kemudian dia tidak memberikan nasehat terhadap orang yang berada di bawah tanggung jawabnya maka dia tidak akan mencium bau surga." (HR. al-Bukhari no. 6617)

Sehingga tidak ragu lagi bahwa kerugian terbesar pada diri seorang hamba adalah kerugian yang menimpa diri dan keluarganya. Allah berfirman, "Katakanlah: Sesungguhnya orang-orang yang rugi ialah orang-orang yang merugikan diri mereka sendiri dan keluarganya pada hari kiamat." Ingatlah! Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata." (az-Zumar: 15)

Ingatlah wahai orang tua! Kesalahan anda di dalam mendidik anak akan memberikan dampak negatif yang luar biasa besarnya baik terhadap anak itu sendiri, orang tua dan masyarakat bahkan negara. Lalu bagaimanakah metode pendidikan yang benar terhadap anak?
Ketahuilah, sesungguhnya para ulama telah mengajarkan kepada kita tentang metode pendidikan anak yang benar sesuai dengan tuntunan al-Qur'an dan hadits.

1. Sedari dini hendaklah menanamkan akidah atau keyakinan yang benar dan selamat pada diri mereka dan mengenalkan dasar-dasar syariat Islam. Seperti membimbing anak kecil untuk mengucapkan nama "Allah" sambil jarinya diarahkan ke atas langit. Kemudian memahamkan kepada si kecil tentang keimanan yang benar kepada Allah, keikhlasan di dalam beribadah dan mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Sebagaimana pengajaran Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada seorang anak yang bernama Abdullah bin Abbas, "Wahai anak muda, aku akan mengajarimu beberapa kalimat: Jagalah (agama) Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah (agama) Allah niscaya akan engkau dapati Allah ada di hadapanmu. Apabila engkau meminta maka mintalah kepada Allah. Apabila engkau minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah." (HR. at-Tirmidzi no. 2440, lihat Shahihul Jami' no. 13917)
Kemudian ajarilah mereka tata cara berwudhu menurut tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan juga tata cara shalat menurut sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Tak lupa pula memberikan wasiat kepada mereka untuk selalu menjaga shalat 5 waktu. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, "Perintahkanlah anak-anakmu untuk melaksanakan shalat (5 waktu) tatkala mereka berusia 7 tahun. Dan pukullah mereka apabila mereka tidak mau melaksanakannya ketika telah mencapai usia 10 tahun." (HR. Abu Dawud no. 495, lihat Irwaul Ghalil no. 247)
Ibnul Qoyyim berkata, "Apabila seorang anak telah mencapai usia 10 tahun maka bertambahlah kekuatan, akal dan kesanggupannya untuk memikul beban ibadah. Sehingga dia pun dipukul apabila meninggalkan shalat sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dan pukulan di sini adalah pukulan yang mendidik." (Tuhfatul Maudud hal. 295-296)

2. Mengajarkan kepada anak akhlak mulia dan memperingatkannya dari akhlak yang tercela.
Di antara akhlak mulia yang sepatutnya diajarkan kepada anak adalah sebagai berikut: menepati janji, menjaga harga diri, jujur, menjaga lisan, menjaga waktu, menyibukkan diri dengan hal-hal yang bermanfaat, menjauhkan diri dari segala yang dibenci oleh Allah dan dapat menjerumuskan ke dalam jurang kebinasaan, menyayangi orang-orang yang lemah, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, berbuat baik kepada tetangga, berhias dengan sifat malu, mudah memaafkan, bersikap sabar dan lain-lain.
Ibnul Qoyyim berkata, "Oleh karena itulah, wajib untuk menjauhkan anak apabila dia telah berakal dari perkara berikut: pergaulan yang jelek dan tidak bermanfaat, mendengarkan musik, mendengarkan ucapan keji, mendengarkan kebid'ahan dan berbicara jelek. Manakala seorang anak sudah terbiasa mendengarkan hal-hal tersebut, niscaya akan sulit baginya untuk melepaskan diri darinya tatkala dewasa, dan sangat berat bagi walinya (orang tua) untuk mengatasinya. Mengingat, mengubah sesuatu yang telah menjadi kebiasaan merupakan perkara yang paling berat. Pelakunya perlu diubah kepada tabiat yang kedua (baru). Dan, keluar dari hukum tabiat (kebiasaan) merupakan perkara yang sangat berat." (Tuhfatul Maudud hal. 349-351)
Al-'Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di berkata: "Maka pengajaran adab yang baik (kepada anak) sungguh lebih berharga baginya dibanding pemberian yang berupa emas, perak, dan segenap perhiasan dunia. Karena dengan adab yang baik dan akhlak yang indah akan mengangkat kedudukan mereka, akan membuat mereka bahagia, membuat mereka mampu menunaikan hak-hak Allah dan hamba, membuat mereka mampu menjauhkan diri dari berbagai kejelekan dan mampu menyempurnakan sikap baktinya kepada orang tua." (Bahjah Qulubil Abror hal. 125)
Satu hal yang tidak boleh dilupakan yaitu, selalu memberikan motivasi kepada anak untuk berbuat kebaikan, mengarahkan mereka agar bergaul dengan teman-teman yang baik dan memperingatkan mereka dari bahaya pergaulan dengan teman-teman yang jelek akhlaknya.

3. Sibukkanlah waktu anak untuk melakukan perkara-perkara yang bermanfaat, karena apabila waktu anak tidak dimanfaatkan untuk melakukan perkara yang bermanfaat maka dia akan disibukkan dengan perkara yang jelek dan berbahaya.
Al-Imam adz-Dzahabi menyebutkan biografi Abdul Wahab bin Abdul Wahab al-Amin -salah seorang ulama ahli qiro'ah-, "Bahwasanya waktu-waktu beliau seluruhnya adalah untuk menghafal, tidaklah terlewatkan waktu 1 jam baginya kecuali beliau dalam keadaan membaca, berdzikir, shalat tahajud atau minta disimak hafalannya." (Ma'rifat al-Qurro' al-Kibar 2/283)
Rencanakanlah waktu yang baik buat anak-anak. Susunlah jadwal kegiatan keseharian untuk mereka yang di dalamnya terkandung kegiatan belajar, makan, permainan yang diperbolehkan dan lain-lain. Dengan demikian mereka pun akan sibuk dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan menutup celah sekecil mungkin dari melakukan kegiatan yang tidak berguna.

Kesalihan orang tua akan memberikan pengaruh yang besar kepada anak di dalam pembentukan karakter yang mulia walaupun tidak secara mutlak.
Allah berfirman: "Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang dibawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang salih." (al-Kahfi: 82)
Ibnu Abbas berkata, "Kedua anak yatim tersebut dijaga (oleh Allah) dengan sebab kesalihan orang tuanya." (Tafsir Ibnu Katsir juz 5, hal. 187)
Al-Imam Ibnu Katsir mengatakan,
"Ayat ini menunjukkan bahwa dengan sebab kesalihan seseorang maka keturunannya akan dijaga (oleh Allah)." (Tafsir Ibnu Katsir juz 5, hal. 186)

Ibnul Qoyyim mengatakan, "Dan kebanyakan anak-anak, kerusakan mereka justru disebabkan oleh orang tua dengan sebab menelantarkannya dan tidak mau mengajari kewajiban-kewajiban agama dan sunnah-sunnahnya kepada mereka. Dengan demikian orang tua telah menyia-nyiakannya di waktu kecil. Sehingga anak tidak mendapatkan manfaat pada dirinya sendiri dan orang tua pun tidak mendapatkan manfaat pada diri anak tatkala dewasa. Sebagaimana sebagian orang tua mencela anaknya yang durhaka maka berkatalah si anak, "Wahai ayahku, sesungguhnya engkau mendurhakaiku di masa kecilku maka akupun mendurhakaimu di masa tuamu. Dan engkau menyia-nyiakanku di masa kecilku maka akupun menyia-nyiakanmu di masa tuamu." (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud hal. 229)
"Dan betapa banyak orang tua yang menyengsarakan anaknya di dunia dan akhirat dengan cara menelantarkannya, tidak mendidiknya dan menuruti segala keinginannya. Sementara orang tua menyangka bahwa dia sedang memuliakan si anak, padahal sesungguhnya menghinakan si anak dan orang tua menyangka sedang menyayangi si anak, padahal menzhalimi si anak. Maka orang tuapun tidak mendapatkan manfaat dari si anak dan si anak tidak mendapatkan bagiannya di dunia dan akhirat. Dan apabila engkau renungkan tentang kerusakan yang terjadi pada anak-anak, engkau akan melihat bahwa kebanyakannya terjadi karena sebab orang tua." (Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud hal. 242)

Al-Allamah Abdurrahman bin Nashir as-Sa'di berkata, "Manusia yang lebih engkau utamakan untuk berbuat baik kepada mereka dan paling berhak dengan kebaikanmu adalah anak-anakmu. Karena mereka adalah amanah Allah yang telah Allah berikan kepadamu. Allah telah mewasiatkan kepadamu untuk mendidik mereka dengan pendidikan yang baik terhadap jasmani dan hati mereka. Dan setiap apa yang engkau perbuat kepada mereka dari perkara-perkara ini, baik kecil maupun besar maka berarti engkau telah menunaikan perkara yang telah diwajibkan atasmu dan ini juga termasuk dari perkara mendekatkan diri kepada Allah yang paling utama. Maka bersungguh-sungguhlah dalam urusan ini dan mengharaplah pahala dari Allah." (Bahjatul Qulubil Abror hal. 125)

Wallahu a'lam bish shawab.

Penulis: Ustadz Abu Abdirrahman Muhammad Rifqi

Buletin Al Ilmu

###

Jagalah Dirimu dan Keluargamu dari Api Neraka

Seorang suami sebagai kepala rumah tangga selain menjaga dirinya sendiri dari api neraka, ia juga bertanggung jawab menjaga istri, anak-anaknya, dan orang-orang yang tinggal di rumahnya. Satu cara penjagaan diri dan keluarga dari api neraka adalah bertaubat dari dosa-dosa. Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kalian kepada Allah dengan taubat nashuha. Mudah-mudahan Rabb kalian menghapuskan kesalahan-kesalahan kalian dan memasukkan kalian ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang yang beriman bersamanya, sedang cahaya mereka memancar di depan dan di sebelah kanan mereka, seraya mereka berdoa, ‘Wahai Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu’.” (At-Tahrim: 8)

Seorang suami sekaligus ayah ini bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya, taubat yang murni, kemudian ia membimbing keluarganya untuk bertaubat. Taubat yang dilakukan disertai dengan meninggalkan dosa, menyesalinya, berketetapan hati untuk tidak mengulanginya, dan mengembalikan hak-hak orang lain yang ada pada kita. Taubat yang seperti ini tentunya menggiring pelakunya untuk beramal shalih. Buah yang dihasilkannya adalah dihapuskannya kesalahan-kesalahan yang diperbuat, dimasukkan ke dalam surga, dan diselamatkan dari kerendahan serta kehinaan yang biasa menimpa para pendosa dan pendurhaka.

Melakukan amal ketaatan dan menjauhi maksiat harus diwujudkan dalam rangka menjaga diri dari api neraka. Seorang kepala rumah tangga menerapkan perkara ini dalam keluarganya, kepada istri dan anak-anaknya. Ia punya hak untuk memaksa mereka agar taat kepada Allah dan tidak berbuat maksiat, karena ia adalah pemimpin mereka yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah kelak dalam urusan mereka, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Ibnu Umar)

Ia harus memaksa anaknya mengerjakan shalat bila telah sampai usianya, berdasar sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِيْنٍ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ
“Perintahkan anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka telah berusia tujuh tahun dan pukullah mereka bila enggan melakukannya ketika telah berusia sepuluh tahun serta pisahkanlah di antara mereka pada tempat tidurnya.” (HR. Abu Dawud dari hadits Abdullah ibnu ‘Amr, dikatakan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud, “Hadits ini hasan shahih.”)

Allah telah berfirman:

“Perintahkanlah keluargamu untuk mengerjakan shalat dan bersabarlah dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132)

Seorang ayah bersama seorang ibu harus bekerja sama untuk menunaikan tanggung jawab terhadap anak, baik di dalam maupun di luar rumah. Anak harus terus mendapatkan pengawasan di mana saja mereka berada, dijauhkan dari teman duduk yang jelek dan teman yang rusak. Anak diperintahkan untuk mengerjakan yang ma’ruf dan dilarang dari mengerjakan yang mungkar.

Orangtua harus membersihkan rumah mereka dari sarana-sarana yang merusak berupa video, film, musik, gambar bernyawa, buku-buku yang menyimpang, surat kabar, dan majalah yang rusak.

Seluruh perkara yang telah disebutkan di atas dilakukan dalam rangka menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Karena, bagaimana seseorang dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka bila ia meninggalkan shalat padahal shalat adalah tiang agama dan pembeda antara kafir dengan iman?

Bagaimana seseorang dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka bila ia selalu melakukan perkara yang diharamkan dan mengentengkan amalan ketaatan? Bagaimana seseorang dapat menyelamatkan dirinya dari api neraka bila ia selalu berjalan di jalan neraka, siang dan malam?

Hendaknya ia tahu bahwa neraka itu dekat dengan seorang hamba, sebagaimana surga pun dekat. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
الْجَنَّةُ أَدْنَى إِلَى أَحَدِكُمْ مِنْ شِرَاكِ نَعْلِهِ وَالنَّارُ مِثْلُ ذَلِكَ
“Surga lebih dekat kepada salah seorang dari kalian daripada tali sandalnya dan neraka pun semisal itu.” (HR. Al-Bukhari dari hadits Ibnu Mas’ud)

Maksud hadits di atas, siapa yang meninggal di atas ketaatan maka ia akan dimasukkan ke dalam surga. Sebaliknya, siapa yang meninggal dalam keadaan bermaksiat maka ia akan dimasukkan ke dalam neraka. (Al-Khuthab Al-Minbariyyah, 2/167)

Bagaimana seseorang dapat menjaga keluarganya dari api neraka sementara ia membiarkan mereka bermaksiat kepada Allah dan meninggalkan kewajiban?

Bagaimana seorang ayah dapat menyelamatkan anak-anaknya dari api neraka bila ia keluar menuju masjid sementara ia membiarkan anak-anaknya masih pulas di atas pembaringan mereka, tanpa membangunkan mereka agar mengerjakan shalat? Atau anak-anak itu dibiarkan asyik dengan permainan mereka, tidak diingatkan untuk shalat?

Anak-anak yang seyogianya merupakan tanggung jawab kedua orangtua mereka, dibiarkan berkeliaran di mal-mal, main game, membuat kegaduhan dengan suara mereka hingga mengusik tetangga, kebut-kebutan di jalan raya dengan motor ataupun mobil. Sementara sang ayah tiada berupaya meluruskan mereka. Malah ia penuhi segala tuntutan duniawi si anak. Adapun untuk akhirat mereka, ia tak ambil peduli. Sungguh orangtua yang seperti ini gambarannya tidaklah merealisasikan perintah Allah dalam surah At-Tahrim di atas. Wallahul musta’an.

Maka, marilah kita berbenah diri untuk menjaga diri kita dan keluarga kita dari api neraka. Bersegeralah sebelum datang akhir hidup kita, sebelum datang jemputan dari utusan Rabbul Izzah, sementara kita tak cukup ‘bekal’ untuk bertameng dari api neraka, apatah lagi meninggalkan ‘bekal’ yang memadai untuk keluarga yang ditinggalkan. Allahumma sallim!

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Sumber: Asy Syariah Edisi 051

###

Syaikh Shaleh Fauzan bin Abdillah al Fauzan hafizhahullah

Wahai sekalian manusia ketahuilah bahwa keadaan pada masa ini berbeda dengan keadaan masa lalu. Dahulu mereka tidak mengetahui keadaan negeri lain dan tidak pula mengetahui peristiwa yang terjadi kecuali di negeri mereka dan sekitarnya saja.

Adapun pada zaman ini dunia seakan saling berdekatan dan dunia ini sebagaimana dikatakan seakan-akan seperti hanya satu desa saja. Tanggung jawab terbesar pada saat sekarang ini adalah terletak pada anak-anak.

Bimbinglah mereka dan jagalah mereka dari bahaya berbagai pemikiran-pemikiran yang sesat, jagalah mereka agar tidak sebebasnya pergi ketempat-tempat hiburan atau ketempat-tempat lain, jagalah mereka jangan sampai mereka dikendalikan oleh pihak lain selain kalian, janganlah kalian mengamanahkan mereka kecuali kepada orang yang kalian ketahui kejujuran, keamanahan serta keikhlasannya.

Walaupun anak-anak tersebut tinggal dekat dengan kalian tapi hati-hati mereka dan pemikiran mereka terkadang jauh dari kalian.

Awasilah segala bentuk media sosial baik itu twiter dan selainnya.
Jauhkan segala bentuk media-media yang merusak.

Semangatlah di dalam menjaga rumah anda dari segala bentuk media sosial yang bisa merusak.

Jangan katakan: Saya tidak mampu mengawasi mereka….

Berusahalah untuk mampu dikarenakan mereka berada di bawah tanggung jawab kalian.

Kalau mereka (anak-anak tersebut) mengetahui dari diri anda adanya sebuah tekad dan kemauan yang besar niscaya pasti mereka akan terdidik bersama anda.

Namun jika mereka mengetahui adanya sikap bergampang-gampangan dari anda atau menutup mata (dari semua ini) maka mereka juga pasti akan bermudah-mudahan dan akan terdidik dalam jalan kejelekan kecuali siapa yang Allah rahmati.

Jagalah anak-anak kalian lebih dari penjagaan seorang pengembala terhadap serigala yang akan menerkam domba-domba mereka, dikarenakan anak-anak kalian juga terancam keselamatannya dari serigala yang berwujud manusia.

Jika niat kalian baik dan kalian jujur didalam tekad kalian maka pasti Allah akan menolong anda.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُم بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُم مِّنْ عَمَلِهِم مِّن شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ
“Dan orang-orang beriman dan anak keturunan merekapun beriman maka pasti kami akan mempertemukan mereka dengan anak keturunan mereka (di surga) dan kami tidak akan mengurangi sedikitpun dari amalan mereka, setiap orang akan mendapatkan apa yang dia usahakan.” [Ath Thur: 21]

Ketahuilah tanggung jawab ini besar dan hisab (perhitungan amalan) sangatlah detail dan terperinci dan mengikuti bimbingan sangatlah berat kecuali siapa yang Allah beri taufik dan dia jujur di dalam niatnya dan baik keadaan hatinya, maka Allah akan meluruskan dan memudahkan dia di dalam mendidik anak-anaknya dan anak-anak tersebut akan mudah diarahkan jika ada kejujuran, keamanahan serta tekad yang kuat dan tidak ada sikap bermudah-mudahan.

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

###

Soal:
Bismillah. Bolehkah menghukum anak dengan memukulnya agar jera sehingga menjadi pelajaran baginya dan bagi teman-temannya?

Jawab:
Pendidikan Islam dibangun di atas rahmah dan kelembutan, khususnya tarbiyah anak-anak. Kekerasan dan kekasaran dalam pendidikan tidak dibenarkan dalam syariat. Yang ada adalah ketegasan dan kedisiplinan dengan rambu-rambunya.
Apabila ada anak yang salah melanggar, hukumannya disesuaikan dengan kadar dan jenis kesalahan, juga kondisi setiap anak. Bisa jadi diberi peringatan, hukuman ringan, sedang, atau mungkin berat, asalkan tidak membahayakan.
Hukuman tidak dilihat dari usia, karena hadits tentang pembeda antar umur tujuh dan sepuluh tahun hanya dalam urusan shalat dan tempat tidur. Apabila terpaksa menghukum dengan pukulan, tidak boleh memukul wajah atau bagian tubuh yang rawan dan tidak boleh melukai. Wallahulmuwaffiq.
(al-Ustadz Muhammad Afifuddin)

Sumber: Asy Syariah Edisi 083