Cari Blog Ini

Kamis, 26 Februari 2015

Tentang MEMBUNUH NYAMUK DENGAN RAKET LISTRIK

Apa hukum menggunakan alat (raket) listrik untuk memberantas serangga?

Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab:
Tidak apa-apa menggunakan alat tersebut karena beberapa alasan:
1) membunuh serangga dengan alat tersebut tidaklah membakarnya, tetapi serangga tersebut mati biasa (bukan mati terbakar). Buktinya apabila anda meletakkan kertas di atas alat tersebut, kertas tidak akan terbakar.
2) orang yang menggunakan alat tersebut tidaklah bermaksud menyiksanya nyamuk dan serangga dengan api. Tujuan hanyalah menghindari gangguan yang ditimbulkan dari binatang-binatang itu. Sementara itu, hadis yang ada berisi larangan menyiksa dengan api, dan ini bukanlah tindakan menyiksa dengan api, melainkan menghalau gangguannya.
3) umumnya membasmi serangga-serangga tersebut tidaklah mungkin kecuali dengan alat listrik atau obat-obatan pembasmi serangga (insektisida) yang menebarkan aroma menyengat (tidak enak dihirup), dan di antara insektisida tersebut ada yang kadang bermudarat bagi tubuh.
4) berikutnya Nabi shallallahu alaihi wasallam dahulu pernah membakar pohon-pohon kurma yahudi Bani Nadhir, padahal di pohon kurma biasanya ada burung-burung yang bersarang di atasnya atau serangga-serangga atau binatang yang semisalnya.

Sumber:
Fatawa Nurun alad Darb
(dinukil dari ibnothaimeen .com)

ummuyusuf .com

Tentang MENCERAI ISTRI KARENA PERINTAH ORANG TUA

Apabila seorang ayah atau seorang ibu memerintahkan putranya untuk menceraikan istrinya dikarenakan satu sebab, apakah si anak wajib menaati orangtuanya dengan menceraikan istrinya?

Jawab:
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abu Abdirrahman Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullahu menjawab dengan membawakan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu dalam Sunan-nya (juz 4 hal. 368) lengkap dengan sanadnya dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma. Ia berkata:
كَانَتْ تَحْتِي امْرَأَةٌ أُحِبُّهَا وَكَانَ أَبِي يَكْرَهُهَا، فَأَمَرَنِي أَنْ أُطَلِّقَهَا فَأَبَيْتُ، فَذَكَرْتُ ذلِكَ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا عَبْدَ الله، طَلِّقِ امْرَأَتَكَ
“Aku memiliki seorang istri yang kucintai akan tetapi ayahku tidak menyukainya maka ia memerintahkan aku untuk menceraikannya, namun aku menolak. Lalu kuceritakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau pun menitahkan, ‘Wahai Abdullah, ceraikanlah istrimu’.”
Kemudian Asy-Syaikh Muqbil mengatakan bahwa hadits ini hasan, diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dengan sanadnya.
Al-Mubarakfuri rahimahullahu dalam Tuhfatul Ahwadzi (juz 4 hal. 368) menyatakan:
Dalam hadits ini ada dalil yang jelas tentang kewajiban seorang lelaki untuk menceraikan istrinya bila memang diperintahkan oleh ayahnya, walaupun ia mencintai istri tersebut. Ini bukanlah alasan baginya untuk tetap menahan sang istri. Termasuk juga bila ibu yang memerintahkan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan bahwa ibu punya hak terhadap anaknya lebih daripada hak ayah sebagaimana disebutkan dalam hadits Bahz bin Hakim dari ayahnya dari kakeknya. Kakeknya ini berkata, Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, kepada siapa aku harus berbuat baik?” Beliau menjawab, “Ibumu.” Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa?” “Ibumu,” jawab beliau. “Kemudian siapa setelah itu?” tanyaku. “Ibumu,” jawab beliau. “Kemudian siapa?” tanyaku lagi. Baru beliau menjawab, “Ayahmu.”
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa hadits ini hasan.

ummuyusuf .com

Tentang INVESTASI DALAM BENTUK EMAS ATAU MATA UANG ASING

Tanya:
Apakah termasuk bagian daripada riba, kalau seseorang yang memiliki harta di satu sisi dia tidak mau menyimpan hartanya, menabungkannya di bank, namun dia jadikan dalam bentuk perhiasan emas yang dia simpan di rumahnya. Dengan harapan jika nanti harga emas sudah mulai membaik (bertambah naik) di situ dia akan menjualnya?

Jawab:
Al Ustadz Luqman Baabduh hafizhahullah:
Boleh dan tidak termasuk riba. Walaupun dia statusnya bukan sebagai pedagang, boleh. Boleh membeli mata uang asing, untuk kemudian dia simpan. Suatu saat ketika harganya baik kemudian dia jual, jawabannya boleh. Dengan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Itu dipelajari di kitab Al Buyu. Di antara persyaratannya adalah harus yadan bi yadin. Apa makna yadan bi yadin? Yakni yang ditukar maupun nilai yang dibayarkan harus dibayar di majlis tempat dia melakukan transaksi tukar-menukar itu, tidak boleh terpisah walaupun hanya dua menit atau tiga menit perbedaan waktunya. Jadi harus yadan bi yadin, kontan. Harus kontan!
Misalkan saya punya uang rupiah, kemudian antum punya uang riyal Saudi. Antum mau tukar.
Ini ustadz, saya mau tukar.
Berapa?
Seribu riyal.
Seribu riyal itu uang Indonesia kurang lebih dua juta setengah, mungkin.
Oh iya baik, mana uangnya?
Ini seribu, nanti ya, yang satu juta antum ke rumah.
Kebetulan transaksinya di depan masjid atau di depan maksos itu.
Uang sudah saya terima, ini tidak boleh. Apalagi rumahnya jauh di luar kota.
Atau nanti saya transfer ya.
Tidak boleh, harus saya memberikan uang sebesar dua juta setengah langsung, terima seribu kasihkan dua juta setengah.
Atau:
Ya sudah ini sekarang saya ada uang dua juta, nanti lima ratusnya nanti sore ya?
Tidak boleh, kenapa?
Karena jenis ini terkait dengan apa yang diistilahkan oleh para ulama dengan asnaf ribawiyah. Jenis-jenis barang atau benda yang digolongkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam enam jenis benda yang berlaku di sana hukum riba. Di antaranya adalah emas, dan mata uang itu sebenarnya adalah permisalan atau perwakilan nilai emas yang ada di sebuah negara. Barakallahufiik.

ummuyusuf .com

Catatan:
Lihat juga postingan tentang jual beli dan investasi emas dan mata uang asing oleh Al Ustadz Muhammad Afifuddin.

Tentang CINCIN TUNANGAN

Pertanyaan: Apakah boleh mengenakan cincin sebagai tanda ikatan sepakat untuk menikah (cincin tunangan)?

Jawaban:
Tidak diperkenankan mengenakan cincin tunangan sebagai kesepakatan untuk menikah, yang mana hal itu termasuk dari tasyabuh kepada orang kafir di dalam adat intern mereka, sebab hal itu tidak pernah menjadi syiar bagi muslimin dalam pernikahan.
Cara tersebut hanyalah merupakan adatnya orang-orang kafir dalam proses pernikahan mereka, lalu kaum muslimin meniru mereka disebabkan karena lemahnya iman dan kejahilan kaum muslimin.
Wabillãhit Taufíq washallallãhu alã Nabiyyinã Muhammad wa alã ãlihí wa shohbihí wasallam.
Benarlah disebutkan dalam hadits, umat Islam selangkah demi selangkah akan mengikuti jejak non muslim.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى تَأْخُذَ أُمَّتِى بِأَخْذِ الْقُرُونِ قَبْلَهَا ، شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ . فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَفَارِسَ وَالرُّومِ . فَقَالَ وَمَنِ النَّاسُ إِلاَّ أُولَئِكَ
“Kiamat tidak akan terjadi hingga umatku mengikuti jalan generasi sebelumnya sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta.” Lalu ada yang menanyakan pada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Apakah mereka itu mengikuti seperti Persia dan Romawi?” Beliau menjawab, “Selain mereka, lantas siapa lagi?“ (HR. Bukhari no. 7319)
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669)
Ibnu Taimiyah menjelaskan, tidak diragukan lagi bahwa umat Islam ada yang kelak akan mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara. Lihat Majmu’ Al Fatawa, 27: 286.

Al-Lajnah Ad-Dãimah lil Buhús wal Iftã
Ketua : Abdul Azíz bin Bãz
Wakil : Abdurrozãq Afifiy
Anggota :
Abdullah bin Ghudayyan
Abdullãh bin Quúd

Sumber:
Fatawa Al Lajnah Ad Daimah
Urutan jilid/Pembahasan/Halaman:
19/Min Bidain Nikah/148
Penyusun: Syeikh Ahmad bin Abdurrozãq ad Duwaisy

Alih bahasa:
Abu Dawud al Pãsimiy

WA Thullab Fyusy SLN

Tentang JUAL BELI SISTEM DROPSHIP

al Ustadz Muhammad Afifuddin

Dalam soal hukum dropship di atas ada dua masalah:

Pertama: jual beli dengan sistem sampling barang.
Pendapat yang rajih adalah boleh dengan syarat sampling harus sesuai dengan keadaan riil barang, sesuai dengan yang diminta pembeli. Jika ada yang berbeda pembeli mempunyai hak khiyar, yaitu melanjutkan atau membatalkan akad. Jika barang tersebut termasuk ashnaf ribawiyah seperti emas dan perak, harus ada taqabudh (serah terima di tempat). Jika tidak, termasuk riba nasiah.
Akad yang mudah dan syari dalam hal ini ada dua cara:
1. Sistem salam, yaitu menyerahkan uang sesuai dengan harga yang disepakati di muka. Akad untuk barang yang disepakati sesuai dengan sifat, jumlah/takaran, dan waktu pengiriman terima yang disepakati. Jika ketentuan di atas tidak terpenuhi, pembeli punya hak khiyar. Untuk itu kedua pihak harus saling percaya, karena rawan manipulasi.
2. Sistem urbun, yaitu pembeli menyerahkan DP untuk barang dengan sifat yang disepakati. Jika barang sudah ada, baru dilunasi pembayarannya. Jika pembeli menggagalkan akadnya DP penjadi hak penjual. Jika penjual tidak bisa mendatangkan barang DP harus kembali.

Kedua: pengiriman barang.
Yang syari penjual harus menerima terlebih dahulu barang yang ia pesan dari suplier kemudian dia kirim ke pembelinya. Jika dikirim langsung dari suplier ke pembeli hukumnya haram berdasarkan hadits:
Rasulullah melarang jual beli sesuatu yang belum dimiliki.

Dalam soal di atas transaksi tersebut termasuk dalam larangan hadits di atas. Kecuali kalau penjual posisinya hanya sebagai makelar bagi suplier maka tidak ada masalah. Solusi untuk kasus di atas adalah penjual menunjuk salah seorang untuk menerima barang dari suplier lalu dia serahkan kepada sang pembeli.

Lihat Syarah Kitab Buyu min Darari Al-Mudhiyah karya As-Syaikh Abdurrahman Al-Adany hafizhahullah.

Sumber: Majalah Asy Syariah

ummuyusuf .com