Meninggikan pakaian sampai di pertengahan betis
Ibnu Umar berkata, “Aku pernah bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan kain sarungku turun. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegur, ‘Wahai Abdullah, tinggikan kain sarungmu!’ Aku pun mengangkatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap mengatakan, ‘Naikkan lagi!’ Aku pun mengangkatnya lebih tinggi. Setelah itu, aku selalu menjaga kain sarungku dalam posisi seperti itu.” Ada yang bertanya, “Sampai batas mana?” Ibnu Umar menjawab, “Sampai pertengahan betis.” (HR. Muslim no. 2086)
Ubaid bin Khalid al-Muharibi berkata, “Saat aku berjalan di kota Madinah, tiba-tiba seseorang berkata dari belakangku, ‘Angkatlah pakaianmu! Sungguh, itu bisa menambah takwamu’.” Ternyata, orang tersebut adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku menjawab, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, hanya sekadar burdah putih.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah engkau tidak ingin meneladani diriku?” Aku pun memerhatikan sarung beliau, ternyata sampai di pertengahan betis. (HR. at-Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyah dan dinyatakan sahih oleh al-Albani no. 97)
Abu Ishaq berkata, “Aku pernah melihat beberapa orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka menggunakan sarung sampai di tengah betis, di antaranya Ibnu Umar, Zaid bin Arqam, Usamah bin Zaid, dan al-Bara’ bin ‘Azib.” (Majma’ az-Zawaid)
Boleh menurunkan pakaian sampai di bawah pertengahan betis, namun tidak boleh menurunkannya sampai di mata kaki
Hudzaifah bin al-Yaman bercerita, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memegang otot betisku dan bersabda, ‘Di sinilah letak sarung. Jika engkau tidak ingin, bisa di bawahnya sedikit. Jika engkau masih juga tidak ingin, tidak ada hak untuk sarung berada tepat pada mata kaki’.” (HR. at-Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyah dan dinyatakan sahih oleh al-Albani no. 99)
“Angkat sarungmu hingga pertengahan betis. Apabila engkau enggan, sampai (atas) mata kaki. Waspadalah engkau dari isbal sarung, karena hal itu adalah kesombongan, dan Allah Subhanahu wata’ala tidak menyukai kesombongan.” (HR. Abu Dawud no. 4084 dan Ahmad 5/63)
“Sarung seorang muslim sampai pertengahan betis dan tak mengapa antara itu dan kedua mata kaki. Adapun yang di bawah mata kaki tempatnya di neraka. Barang siapa yang menjulurkan (isbal) sarungnya karena sombong maka Allah Subhanahu wata’ala tidak akan melihat dia.” (HR. Abu Dawud no. 4093)
Menaikkan kembali pakaiannya jika turun menutupi mata kaki
Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh, salah satu bagian pakaianku selalu turun, namun aku selalu menjaganya agar tidak turun.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak termasuk yang melakukannya karena sikap sombong.” (HR. al- Bukhari no. 5447)
Beberapa saat sebelum Umar bin al-Khaththab meninggal dunia, seorang pemuda datang menjenguk untuk mendoakan dan menghibur Umar. Ketika pemuda itu mohon izin, Umar melihat pakaiannya menutupi mata kaki. Umar pun menegur, “Wahai anak saudaraku, angkatlah pakaianmu. Itu lebih bersih dan bisa menambah takwa kepada Allah Subhanahu wata’ala!” (HR. al-Bukhari no. 3424)
Mengenakan pakaian warna putih, terutama saat salat Jumat
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik pakaian kalian ialah pakaian putih. Kalian shalat Jum'at mengenakannya dan mengkafani jenazah-jenazah kalian dengannya.“ (Faedah dari Syaikh Ubaid al-Jabiri)
“Pakailah pakaianmu yang putih karena ia adalah pakaianmu yang terbaik, dan jadikan ia sebagai kain kafan mayit-mayitmu.” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan al-Hakim dan al-Albani)
Tidak boleh bagi laki-laki memakai cincin dari emas dan cincin dari besi, akan tetapi boleh bagi laki-laki memakai cincin dari perak
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat salah seorang shahabatnya memakai cincin dari emas. Maka beliau berpaling darinya. (Melihat hal itu), maka shahabat tersebut membuangnya dan menggantinya dengan cincin dari besi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini lebih jelek (dari cincin emas), ini merupakan perhiasan penduduk neraka.” Sahabat tadi kembali membuang cincinnya dan menggantinya dengan cincin dari perak, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkomentar tentangnya. (HR. Ahmad 2/163, 2/179, dan al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 1021)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melihat sebuah cincin emas di tangan seorang laki-laki. Lalu beliau mencopot cincin tersebut dan langsung melemparnya seraya bersabda, “Salah seorang di antara kalian menginginkan bara api neraka dan meletakkannya di tangannya?” Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pergi, seseorang berkata kepada laki-laki itu, “Ambilah cincin itu untuk kamu ambil manfaat darinya.” Lelaki tersebut menjawab, “Tidak, Demi Allah. Aku tidak akan mengambil cincin itu selamanya, karena cincin itu telah dibuang oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.” (HR. Muslim)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah memakai cincin emas, kemudian beliau membuangnya sambil bersabda, “Saya tidak akan memakainya lagi selama-lamanya.” Maka orang-orang pun ikut membuang cincin yang mereka kenakan. (HR. Al-Bukhari)
Memotong kumis dan membiarkan jenggot
“Potonglah kumis, dan biarkanlah jenggot.” (HR. al-Bukhari dari Ibnu Umar)
“Berbedalah dengan orang-orang musyrikin, potonglah kumis dan biarkanlah jenggot.” (HR. Muslim dari Ibnu Umar)
“Potonglah kumis, biarkanlah jenggot. Berbedalah dengan orang-orang Majusi.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)
Seorang Majusi datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam keadaan orang itu telah membiarkan kumisnya dan memotong jenggotnya. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam bertanya, “Siapa yang memerintahkan engkau hal ini (membiarkan kumis dan memotong jenggot)?” Orang Majusi itu berkata, “Rabbku (pemimpinku).” Nabi bersabda, “Akan tetapi Rabbku (Tuhanku) memerintahkan aku agar kumisku dipotong dan jenggotku dibiarkan.” (HR. Ibnu Sa’ad dalam at-Thabaqat al-Kubra dengan sanad yang shahih namun mursal dari Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah, dikuatkan jalur lain marfu’ dari Abu Hurairah dengan sanad yang lemah riwayat Ibnu Bisyran dalam Amaliy, juga dikuatkan dari jalur riwayat at-Thabari dalam Tarikh al-Umam wal Muluk secara mursal. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Jamil Zainu)
Wanita tidak boleh menampakkan perhiasannya di hadapan orang lain selain suaminya
“Janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami-suami mereka.” (An-Nur: 31)