Cari Blog Ini

Kamis, 19 November 2015

ADAB BERPAKAIAN DAN BERPENAMPILAN

Meninggikan pakaian sampai di pertengahan betis

Ibnu Umar berkata, “Aku pernah bertemu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, sedangkan kain sarungku turun. Lantas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegur, ‘Wahai Abdullah, tinggikan kain sarungmu!’ Aku pun mengangkatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap mengatakan, ‘Naikkan lagi!’ Aku pun mengangkatnya lebih tinggi. Setelah itu, aku selalu menjaga kain sarungku dalam posisi seperti itu.” Ada yang bertanya, “Sampai batas mana?” Ibnu Umar menjawab,  “Sampai pertengahan betis.” (HR. Muslim no. 2086)

Ubaid bin Khalid al-Muharibi berkata, “Saat aku berjalan di kota Madinah, tiba-tiba seseorang berkata dari belakangku, ‘Angkatlah pakaianmu! Sungguh, itu bisa menambah takwamu’.” Ternyata, orang tersebut adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Aku menjawab, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, hanya sekadar burdah putih.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apakah engkau tidak ingin meneladani diriku?” Aku pun memerhatikan sarung beliau, ternyata sampai di pertengahan betis. (HR. at-Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyah dan dinyatakan sahih oleh al-Albani no. 97)

Abu Ishaq berkata, “Aku pernah melihat beberapa orang sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka menggunakan sarung sampai di tengah betis, di antaranya Ibnu Umar, Zaid bin Arqam, Usamah bin Zaid, dan al-Bara’ bin ‘Azib.” (Majma’ az-Zawaid)

Boleh menurunkan pakaian sampai di bawah pertengahan betis, namun tidak boleh menurunkannya sampai di mata kaki

Hudzaifah bin al-Yaman bercerita, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memegang otot betisku dan bersabda, ‘Di sinilah letak sarung. Jika engkau tidak ingin, bisa di bawahnya sedikit. Jika engkau masih juga tidak ingin, tidak ada hak untuk sarung berada tepat pada mata kaki’.” (HR. at-Tirmidzi dalam Syamail Muhammadiyah dan dinyatakan sahih oleh al-Albani no. 99)

“Angkat sarungmu hingga pertengahan betis. Apabila engkau enggan, sampai (atas) mata kaki. Waspadalah engkau dari isbal sarung, karena hal itu adalah kesombongan, dan Allah Subhanahu wata’ala tidak menyukai kesombongan.” (HR. Abu Dawud no. 4084 dan Ahmad 5/63)

“Sarung seorang muslim sampai pertengahan betis dan tak mengapa antara itu dan kedua mata kaki. Adapun yang di bawah mata kaki tempatnya di neraka. Barang siapa yang menjulurkan (isbal) sarungnya karena sombong maka Allah Subhanahu wata’ala tidak akan melihat dia.” (HR. Abu Dawud no. 4093)

Menaikkan kembali pakaiannya jika turun menutupi mata kaki

Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sungguh, salah satu bagian pakaianku selalu turun, namun aku selalu menjaganya agar tidak turun.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak termasuk yang melakukannya karena sikap sombong.” (HR. al- Bukhari no. 5447)

Beberapa saat sebelum Umar bin al-Khaththab meninggal dunia, seorang pemuda datang menjenguk untuk mendoakan dan menghibur Umar. Ketika pemuda itu mohon izin, Umar melihat pakaiannya menutupi mata kaki. Umar pun menegur, “Wahai anak saudaraku, angkatlah pakaianmu. Itu lebih bersih dan bisa menambah takwa kepada Allah Subhanahu wata’ala!” (HR. al-Bukhari no. 3424)

Mengenakan pakaian warna putih, terutama saat salat Jumat

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sebaik-baik pakaian kalian ialah pakaian putih. Kalian shalat Jum'at mengenakannya dan mengkafani jenazah-jenazah kalian dengannya.“ (Faedah dari Syaikh Ubaid al-Jabiri)

“Pakailah pakaianmu yang putih karena ia adalah pakaianmu yang terbaik, dan jadikan ia sebagai kain kafan mayit-mayitmu.” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan al-Hakim dan al-Albani)

Tidak boleh bagi laki-laki memakai cincin dari emas dan cincin dari besi, akan tetapi boleh bagi laki-laki memakai cincin dari perak

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat salah seorang shahabatnya memakai cincin dari emas. Maka beliau berpaling darinya. (Melihat hal itu), maka shahabat tersebut membuangnya dan menggantinya dengan cincin dari besi. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini lebih jelek (dari cincin emas), ini merupakan perhiasan penduduk neraka.” Sahabat tadi kembali membuang cincinnya dan menggantinya dengan cincin dari perak, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkomentar tentangnya. (HR. Ahmad 2/163, 2/179, dan al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad no. 1021)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah melihat sebuah cincin emas di tangan seorang laki-laki. Lalu beliau mencopot cincin tersebut dan langsung melemparnya seraya bersabda, “Salah seorang di antara kalian menginginkan bara api neraka dan meletakkannya di tangannya?” Setelah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pergi, seseorang berkata kepada laki-laki itu, “Ambilah cincin itu untuk kamu ambil manfaat darinya.” Lelaki tersebut menjawab, “Tidak, Demi Allah. Aku tidak akan mengambil cincin itu selamanya, karena cincin itu telah dibuang oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah memakai cincin emas, kemudian beliau membuangnya sambil bersabda, “Saya tidak akan memakainya lagi selama-lamanya.” Maka orang-orang pun ikut membuang cincin yang mereka kenakan. (HR. Al-Bukhari)

Memotong kumis dan membiarkan jenggot

“Potonglah kumis, dan biarkanlah jenggot.” (HR. al-Bukhari dari Ibnu Umar)

“Berbedalah dengan orang-orang musyrikin, potonglah kumis dan biarkanlah jenggot.” (HR. Muslim dari Ibnu Umar)

“Potonglah kumis, biarkanlah jenggot. Berbedalah dengan orang-orang Majusi.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Seorang Majusi datang kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam keadaan orang itu telah membiarkan kumisnya dan memotong jenggotnya. Kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam bertanya, “Siapa yang memerintahkan engkau hal ini (membiarkan kumis dan memotong jenggot)?” Orang Majusi itu berkata, “Rabbku (pemimpinku).” Nabi bersabda, “Akan tetapi Rabbku (Tuhanku) memerintahkan aku agar kumisku dipotong dan jenggotku dibiarkan.” (HR. Ibnu Sa’ad dalam at-Thabaqat al-Kubra dengan sanad yang shahih namun mursal dari Ubaidullah bin Abdillah bin Utbah, dikuatkan jalur lain marfu’ dari Abu Hurairah dengan sanad yang lemah riwayat Ibnu Bisyran dalam Amaliy, juga dikuatkan dari jalur riwayat at-Thabari dalam Tarikh al-Umam wal Muluk secara mursal. Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Jamil Zainu)

Wanita tidak boleh menampakkan perhiasannya di hadapan orang lain selain suaminya

“Janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami-suami mereka.” (An-Nur: 31)

FIKIH MENGURUS JENAZAH

Boleh menangis dan bersedih, tetapi tidak boleh mengucapkan kata-kata yang tidak diridhoi Allah

“Kami bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam masuk menemui Abu Saif al-Qain. Istrinya adalah ibu susu Ibrahim (putra Rasulullah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pun mengambil Ibrahim dan menciumnya. Kemudian kami mendatanginya lain waktu saat Ibrahim telah meninggal. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam pun meneteskan air mata. Melihat hal itu, ‘Abdurrahman bin ‘Auf rahimahullah bertanya, ‘Anda menangis, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Wahai Ibnu ‘Auf, ini tangisan kasih sayang.’ Beliau menangis lagi dan berkata, ‘Mata ini menangis dan hati ini bersedih, tetapi kami tidak mengucapkan kecuali kata-kata yang diridhai Rabb kami. Sungguh, karena perpisahan denganmu ini, wahai Ibrahim, kami sangat sedih’.” (HR. al-Bukhari no. 1220 dari Anas bin Malik)

Memandikan jenazah, dilakukan oleh sesama jenis, sebanyak tiga kali atau lima kali atau lebih, dengan air dan bidara, dan pada yang terakhir dicampur kapur barus

Ummu Athiyyah radhiyallahu 'anha berkata, “Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam masuk ketika kami sedang memandikan jenazah puterinya, lalu beliau bersabda, ‘Mandikanlah tiga kali, lima kali, atau lebih dari itu. Jika kamu pandang perlu pakailah air dan bidara, dan pada yang terakhir kali dengan kapur barus (kamfer) atau campuran dari kapur barus.’ Ketika kami telah selesai, kami beritahukan beliau, lalu beliau memberikan kainnya pada kami seraya bersabda, ‘Pakaikanlah ia dengan kain ini (pakaian yang langsung bersentuhan dengan kulit, pent).’” (Muttafaq Alaihi)

Kapur diletakkan pada tempat-tempat anggota sujud

Ibnu Mas’ud berkata, “Kapur diletakkan pada tempat-tempat anggota sujud.” (Riwayat al-Baihaqy dalam as-Sunanul Kubra no. 6952 dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf)

Mendahulukan bagian-bagian yang kanan dan tempat-tempat wudhu ketika memandikan jenazah

Dalam suatu riwayat, “Dahulukan bagian-bagian yang kanan dan tempat-tempat wudhu.”

Memintal rambut dengan tiga pintalan dan diletakkan di belakangnya ketika memandikan jenazah wanita

Dalam suatu lafadz menurut al-Bukhari, “Lalu kami pintal rambutnya tiga pintalan dan kami letakkan di belakangnya.”

Mengafani jenazah dengan kain putih

“Pakailah pakaianmu yang putih karena ia adalah pakaianmu yang terbaik, dan jadikan ia sebagai kain kafan mayit-mayitmu.” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan al-Hakim dan al-Albani)

Mengafani jenazah dengan kain bergaris

“Jika salah seorang dari kalian meninggal dunia kemudian bisa didapati sesuatu (kelapangan), hendaknya dikafani dengan pakaian hibaroh (bergaris).” (HR. Abu Dawud, dishahihkan Al-Albani)

Mengafani jenazah dengan 3 lembar kain putih dari kapas, dan tidak mengafani jenazah dengan kain yang berjahit

Aisyah berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa Sallam dikafani dengan tiga pakaian putih Suhuliyyah (jenis kain berasal dari suatu tempat di Yaman) dari kapas, tanpa ada gamis dan surban padanya.” (Muttafaq Alaihi)

Membaguskan dalam mengafani jenazah

“Apabila seseorang di antara kamu mengkafani saudaranya, hendaknya ia baguskan mengkafaninya.” (HR. Muslim)

Boleh mensalatkan jenazah di kuburan

Ada laki-laki atau wanita hitam yang menjadi tukang sapu di masjid, dan beliau meninggal. Lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam bertanya tentangnya dan para sahabat mengatakan tukang sapu itu sudah meninggal. Nabi pun bertanya kenapa beliau tidak diberitahu. “Tunjukkan aku kuburannya!” Rasul pun mendatangi kuburannya dan shalat di situ. (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah)

Perintah meratakan kuburan

Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu berkata kepada Abul Hayyaj Al-Asadi, “Maukah aku mengutusmu dengan apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutusku? Janganlah engkau membiarkan gambar kecuali engkau hapus dan tidak pula kubur yang ditinggikan kecuali engkau ratakan.” (HR. Muslim no. 2240)

Tidak boleh berkumpul-kumpul di rumah duka dan membuat makanan setelah penguburan

Jarir bin ‘Abdillah al-Bajali berkata, “Kami (para sahabat) menganggap perbuatan berkumpul-kumpul di rumah duka dan membuat makanan setelah penguburan sebagai perbuatan meratapi mayit (yang terlarang).” (HR. Ahmad)

ADAB MENUNTUT ILMU

Menuntut ilmu untuk mencari ridho Allah Subhanahu wataala, bukan untuk mendapatkan harta benda dunia

“Barang siapa mempelajari ilmu yang (seharusnya) dicari dengannya wajah Allah Subhanahu wata’ala, (namun) ia tidaklah mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan harta benda dunia, ia tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat.” (HR. Abu Dawud dan dinyatakan sahih sanadnya oleh an-Nawawi)

Ibnu Mubarak berkata, “Tidaklah ada sesuatu yang lebih utama dibanding menuntut ilmu karena Allah, dan tidak ada sesuatupun yang paling dimurkai oleh Allah dibanding menuntut ilmu karena selain Allah.” (Al-Adab Asy-Syariah)

Tidak bersantai-santai dalam menuntut ilmu

Abdurrahman bin Hatim berkata, “Ilmu itu tidak akan dapat diraih dengan jasad yang bersantai-santai.” (Syiar a’lam an-Nubala’)

Tidak mencari ilmu hanya dengan membaca kitab

Al Imam Asy Syafi’i berkata, “Barangsiapa belajar dari perut-perut kitab, dia akan menyia-nyiakan hukum-hukum.”
Sebagian mereka berkata, “Termasuk musibah yang paling besar menjadikan lembaran (kitab) sebagai syaikh (guru), yaitu orang-orang yang belajar dari lembaran-lembaran.” (Tadzkirotus Sami’ wal Mutakallim, hlm. 87)

Al Imam Sa’id bin ‘Abdil ‘Aziz at-Tanukhi berkata, “Janganlah kalian memikul ilmu dari orang-orang yang mengambilnya dari lembaran-lembaran. Dan janganlah mengambil Al-Qur’an dari orang yang mempelajarinya dari mushaf.” (Tashhifat Al-Muhadditsin lil ‘Askariy, 1/6-7)

Mencari ilmu dari ulama-ulama yang berumur tua lagi amanah

Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat bila ilmu dicari dari orang-orang shighor.”

Ibnu Mas’ud berkata, “Manusia terus berada dalam kebaikan selama mereka mengambil ilmu dari orang-orang kabir mereka, orang-orang yang amanah di antara mereka, dan dari ulama-ulama mereka. Apabila mereka mengambil ilmu dari orang-orang shighor mereka dan orang-orang terburuk mereka, maka mereka akan binasa.”

Selektif memilih guru

Ibrahim An-Nakha'i berkata, “Mereka kaum salaf dahulu apabila mereka mendatangi seseorang untuk mengambil ilmu darinya, maka mereka akan melihat kepada shalatnya dulu dan melihat kepada sunnah-sunnah yang dia jalankan dan kepada bentuk pengamalannya. Baru setelah itu dia akan mengambil ilmu darinya.” (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi 1/397. Lihat Ushul Ad-Da'watu As-Salafiyah Syaikh Abdussalam bin Barjas, hlm. 33)

Rajin menulis

“Ikatlah ilmu dengan menulis.” (HR. Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Taqyidul Ilmi dan Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi no. 395, dishahihkan Al-Albani dalam footnote Kitabul ‘Ilmi karya Ibnu Abi Khaitsamah no. 55)

Tidak malu untuk bertanya

Ummu Sulaim bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah tidak malu dari al-haq. Apakah wanita diwajibkan mandi apabila dia ihtilam?” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Ya, apabila si wanita melihat air.” (HR. al-Bukhari no. 282 dan Muslim no. 710)

Mengamalkan ilmu

Abud Darda’ radhiallahu anhu
berkata, “Engkau tidak akan menjadi seorang alim hingga engkau menjadi orang yang belajar. Dan engkau tidak dianggap alim tentang suatu ilmu, sampai engkau mengamalkannya.” (Lihat: ‘Awa’iq Ath-Thalab, hal. 17-18)

Ali radhiallahu anhu berkata, “Ilmu membisikan untuk diamalkan, kalau seseorang menyambut (maka ilmu itu akan bertahan bersama dirinya). Bila tidak demikian, maka ilmu itu akan pergi.” (Lihat: ‘Awa’iq Ath-Thalab, hal. 17-18)

Al-Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Seseorang alim senantiasa dalam keadaan bodoh hingga dia mengamalkan ilmunya. Bila dia sudah mengamalkannya, barulah dia menjadi alim.” (Lihat: ‘Awa’iq Ath-Thalab, hal. 17-18)

Waki' berkata, “Dulu kami menjadikan pembantu untuk menghafal hadits dengan mengamalkannya.” (Dari kitab At-Ta'shil fi Thalab al-Ilm, usul ke-6)

Imam Ahmad berkata, “Tidaklah aku menulis sebuah hadits, kecuali aku mengamalkannya (terlebih dahulu). Hingga aku melewati sebuah hadits dimanan Nabi berbekam kemudian memberikan upah satu dinar kepada Abu Thaibah, maka akupun memberikan satu dinar kepada tukang bekam ketika aku berbekam.” (Dari kitab At-Ta'shil fi Thalab al-Ilm, usul ke-6)

Menuntut ilmu sampai mati

Pada suatu hari ada seorang yang melihat Imam Ahmad sedang membawa tinta, orang tersebut  berkata, “Wahai Abu Abdillah, engkau telah sampai derajat seperti ini, engkau adalah imam muslimin, namun engkau membawa tinta bersamamu.” Maka beliau menjawab, “Bersama tinta sampai kuburan.” (Faedah dari Ustadz Abdurahman Mubarak)

Ketika ditanyakan kepada Abdullah bin al-Mubarak, “Sampai kapan engkau belajar ilmu?” Beliau menjawab, “Sampai meninggal insya Allah.” (Faedah dari Ustadz Abdurahman Mubarak)

Menuntut ilmu sedikit demi sedikit

Ibnu Syihab berkata kepada Yunus bin Yazid, “Wahai Yunus, janganlah engkau sombong terhadap ilmu, karena sesungguhnya ilmu itu beberapa lembah. Lembah mana saja yang kau tempuh, niscaya lembah itu akan memutuskanmu sebelum engkau sampai kepadanya. Akan tetapi tempuhlah lembah itu seiring perjalanan hari dan malam. Dan janganlah engkau mengambil ilmu itu sekaligus, karena ilmu itu akan hilang pula darinya sekalihus. Akan tetapi, ambillah sedikit demi sedikit sesuai perjalanan hari dan malam.” (At Ta'shil Fi Tolabil Ilmi, Usul ke-6)