Menikah dengan niat untuk memelihara kehormatan diri
“Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapat pertolongan Allah: mujahid yang berjihad di jalan Allah, budak yang hendak menebus dirinya supaya merdeka, dan orang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya.” (HR. at-Tirmidzi 1655, dihasankan al-Albani)
Bersegera untuk menikahkan orang-orang yang belum menikah, dan tidak menolak menikah dengan alasan miskin
“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian, dan orang-orang yang layak (untuk menikah) dari hamba-hamba sahaya kalian yang laki-laki dan hamba-hamba sahaya kalian yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (an-Nur: 32)
Bersegera menikah jika sudah ada kemampuan, dan menikah dengan niat untuk lebih menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan
“Wahai segenap para pemuda, siapa di antara kalian yang memiliki kemampuan maka hendaklah dia menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kemaluan, dan barangsiapa tidak mampu maka wajib atasnya berpuasa, karena nikah baginya adalah tameng.” (HR. Bukhari no. 5066, dan Muslim no.1400)
Menikah dengan niat untuk memperbanyak jumlah umat Islam dan menyelisihi pendeta Nasrani
“Menikahlah karena sungguh aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian kepada umat-umat lain pada hari kiamat, dan janganlah kalian menyerupai para pendeta Nasrani.” (HR. al-Baihaqi, dishahihkan al-Albani)
Bersegeralah menikah jika telah datang calon suami yang baik agama dan akhlaknya
“Jika datang kepadamu seseorang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia, jika tidak kamu lakukan maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang besar.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan olehnya)
Mencari calon istri yang baik agamanya
“Perempuan dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena nasabnya (keturunannya), karena kecantikannya, dan karena agamanya. Utamakanlah oleh kalian perempuan yang baik agamanya, taribat yadak.” (HR. Muslim no. 3620)
Mencari calon istri yang penuh kasih sayang lagi subur
“Menikahlah dengan wanita yang penuh kasih sayang lagi subur, karena sesungguhnya aku akan berbangga dengan kalian di hadapan umat-umat.” (HR. Abu Dawud no. 2035 dan Nasaai no. 6516 dan dishahihkan oleh Albani. Lihat: Shahih Nasai no. 3026)
Mencari calon istri yang masih gadis
Rasulullah berkata kepada Jabir, “Mengapa bukan (yang masih) perawan, (hingga) engkau bisa "bermain-main" dengannya, dan ia pun bisa "bermain-main" denganmu?”
Mencari calon istri yang memudahkan urusan pernikahannya dan sedikit maharnya
“Di antara berkahnya seorang wanita, memudahkan urusan (nikah)nya, dan sedikit maharnya.” (HR. Ahmad 24651, Al-Hakim 2739, Al-Baihaqi 14135, Ibnu Hibban 4095, Al-Bazzar 3/158, Ath-Thabrani dalam Ash-Shaghir 469, dihasankan Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ 2231)
Diharamkan nikah mutah (kawin kontrak)
“Wahai manusia! Sesungguhnya aku dulu pernah mengizinkan kalian untuk melakukan nikah mut’ah. Namun sekarang Allah telah mengharamkan nikah tersebut sampai hari kiamat.” (HR. Muslim)
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada perang Khaibar telah melarang melakukan mut’ah kepada wanita.” (Muttafaq ‘alaih)
Menikahi dua, tiga, atau empat wanita, atau satu wanita saja jika takut tidak dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya
“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.” (An-Nisa: 3)
Wajib berbuat adil terhadap istri-istrinya
“Siapa yang memiliki dua istri lalu condong kepada salah seorang dari keduanya (berlaku tidak adil), maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan sebelah tubuhnya miring.” (HR. Abu Dawud no. 2133, an-Nasa’i no. 3942, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud, Shahih an-Nasa’i, dan Irwa’ul Ghalil no. 2017)
Suami juga harus berlaku adil dalam urusan mabit (bermalam), dijatahnya istri-istrinya, malam dan siangnya dengan adil, namun boleh bagi seorang istri menghadiahkan gilirannya kepada madunya
“Beliau membagi giliran setiap istrinya sehari semalam, kecuali Saudah bintu Zam’ah, ia telah menghadiahkan siang dan malamnya untuk Aisyah guna mencari keridhaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. al-Bukhari no. 2688)
Apabila seorang istri ditambah hari gilirannya, istri yang lain pun ditambah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha saat pengantin barunya, “Apabila engkau mau, aku akan mencukupkan tujuh hari bersamamu. Namun, kalau aku memberikan waktu tujuh hari denganmu, berarti aku juga memberikan tujuh hari untuk istri-istriku yang lain.” (HR. Muslim no. 3606)
Mengundi para istri apabila ada yang hendak dibawa safar
Apabila ingin safar, beliau shallallahu alaihi wasallam mengundi di antara istri istrinya. Siapa di antara mereka yang keluar undiannya, beliau membawanya dalam safar. (HR. al- Bukhari no. 2688 dari Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Setiap istri ditempatkan di rumah tersendiri
Saat sakit yang mengantarkan kepada kematian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau biasa bertanya, “Di mana aku besok, di mana aku besok?” Beliau menginginkan tiba hari giliran Aisyah. Istri-istri beliau pun mengizinkan beliau untuk berdiam di mana saja yang beliau inginkan. Beliau pun tinggal di rumah Aisyah sampai meninggal di sisi Aisyah. (HR. al-Bukhari no. 5217)
Seorang istri boleh mengirimkan hadiah kepada suaminya saat si suami sedang berada di rumah istri yang lain
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menyampaikan, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam berada di rumah salah seorang istrinya, istri beliau yang lain mengirimkan sepiring makanan untuk beliau. Melihat hal itu, istri yang Nabi sedang berdiam di rumahnya memukul tangan pelayan yang membawa makanan tersebut hingga jatuhlah piring itu dan terbelah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pun mengumpulkan belahan piring tersebut kemudian mengumpulkan makanan yang berserakan, lalu beliau letakkan di atas piring yang terbelah seraya berkata, “Ibu kalian sedang cemburu.” Beliau lalu menahan pelayan tersebut hingga diberikan kepadanya ganti berupa piring yang masih utuh milik istri yang memecahkannya, sementara piring yang pecah disimpan di tempatnya. (HR. al-Bukhari no. 5225)
Boleh para istri berkumpul di malam hari di rumah istri yang sedang mendapatkan giliran
“Mereka (para istri Nabi) berkumpul setiap malam di rumah istri yang didatangi oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. Muslim no. 3613)
Boleh bagi suami untuk masuk menemui istri-istrinya seluruhnya pada hari giliran salah seorang dari mereka, tetapi ia tidak boleh menggauli istri yang bukan hari gilirannya
Aisyah radhiyallahu ‘anha menyampaikan kepada keponakannya, Urwah bin az-Zubair, “Wahai anak saudara perempuanku! Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu tidak mengutamakan sebagian kami dari yang lain dalam hal berdiamnya beliau di sisi kami saat pembagian giliran. Hampir setiap hari beliau berkeliling ke tempat kami seluruhnya, lalu beliau mendekati setiap istrinya tanpa melakukan jima’. Tatkala beliau sampai ke rumah istri yang mendapat giliran hari itu, beliau pun bermalam di rumahnya.” (HR. Abu Dawud no. 2135, hadits ini hasan sahih sebagaimana dalam Shahih Abi Dawud)
Pernikahan tidak sah kecuali dengan adanya wali
“Wanita manapun yang menikahkan dirinya tanpa izin walinya, maka nikahnya batal, nikahnya batal, nikahnya batal.” (HR. Tirmidzi dan beliau berkata hadits hasan)
"Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, dan an-Nasai)
Tidak boleh menikahkan anak gadis tanpa izinnya
“Wanita yang masih gadis tidak boleh dinikahkan sampai diminta izinnya.” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “Tanda izinnya adalah diamnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Boleh menikahkan anak perempuan yang masih kecil dengan laki-laki yang sudah dewasa
“Bahwasanya Abu Bakar menikahkan putrinya Aisyah dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika dia berusia 6 tahun, dan dia berkumpul serumah dengan beliau ketika berusia 9 tahun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Tidak boleh menikahi saudara perempuan istri dan anak tiri istri
Ummu Habibah bintu Abi Sufyan radhiyallahu ‘anha, seorang ummul mukminin, pernah berkata kepada suaminya, “Wahai Rasulullah, nikahilah saudara perempuanku, putri Abu Sufyan.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Apakah kamu menyenangi hal itu?” “Iya. Toh, saya tidak sendirian sebagai istrimu, saya dapati saya punya madu (istri-istrimu yang lain),” jawab Ummu Habibah. “Aku suka saudara perempuanku ikut menyertaiku dalam kebaikan.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sungguh hal itu tidak halal bagiku.” Ummu Habibah berkata lagi, “Kami membicarakan bahwa Anda ingin menikahi putri Abu Salamah.” “Putri Ummu Salamah?” tanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meyakinkan. “Iya,” jawab Ummu Habibah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjelaskan, “Andainya pun ia bukan rabibahku (putri istriku) yang dalam asuhanku, ia tetap tidak halal bagiku, karena ia adalah putri dari saudara laki-lakiku sesusuan. Aku dan Abu Salamah pernah disusui oleh Tsuwaibah (budak Abu Lahab). Janganlah kalian (para istriku) menawarkan kepadaku (untuk kunikahi) putri-putri kalian dan jangan pula saudara-saudara perempuan kalian.” (HR. al-Bukhari no. 5101 dan Muslim no. 3571)
Tidak boleh menikahi bibi istri dan keponakan istri
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seorang perempuan dinikahi setelah ‘ammahnya dan seorang perempuan dinikahi setelah memperistri khalahnya.” (HR. al- Bukhari no. 5110 dan Muslim no. 3429)
Mengadakan walimah pernikahan (walimatul urs), dan bagi orang-orang yang memiliki keluasan rezeki hendaknya membantu menyiapkan walimah
Diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melihat pada diri ‘Abdurrahman bin ‘Auf bekas warna kuning (dari minyak wangi yang biasa dipakai oleh pengantin kala itu, -pent.). Beliau bertanya, “Apa ini?” “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah menikahi seorang wanita dengan mahar emas seberat satu nawat (senilai 5 dirham),” jawab ‘Abdurrahman. Beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahimu. Adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing.” (Muttafaqun ‘alaih)
Anas radhiyallahu ‘anhu mengisahkan pernikahan beliau dengan Ummul Mukminin Shafiyyah radhiyallahu ‘anha, “Ketika sampai di suatu jalan, Ummu Sulaim mempersiapkan Shafiyyah untuk dihadapkan dan diserahkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam pada waktu malam. Keesokannya, Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam telah menjadi pengantin. Beliau bersabda, ‘Barang siapa memiliki sesuatu, hendaknya ia membawanya’.” (Dalam riwayat lain, “Barang siapa memiliki perbekalan, hendaknya ia membawanya kepada kami.”) Kemudian, dibentangkanlah tikar. Datanglah seseorang membawa aqith (susu yang sudah dikeringkan), yang lain membawa kurma, dan yang lain membawa samin. Mereka mencampur makanan tersebut (lalu menyantap hidangan tersebut, dan minum dari kolam-kolam di sekitar mereka yang terisi air hujan).”
Akan tetapi tidak boleh mengkhususkan undangan walimah hanya untuk orang-orang kaya
“Sejelek-jelek makanan adalah makanan walimah yang di sana hanya orang-orang kaya yang diundang, sementara orang-orang miskin tidak diundang. Barang siapa tidak memenuhi undangan, dia telah bermaksiat kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya.”
Anak perempuan menabuh rebana dan bernyanyi ketika walimatul urs
“Pemisah antara perkara yang halal (pernikahan) dan yang haram (zina) adalah suara tabuhan rebana.” (HR. an-Nasa’i dan at-Tirmidzi, dia berkata, “Hadits hasan.”)
Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwasanya seorang wanita menikah dengan seorang pria Anshar. Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda, “Wahai ‘Aisyah, tidakkah kalian memiliki nyanyian? Orang-orang Anshar sangat senang dengan nyanyian.” (HR. al-Bukhari)
Dalam riwayat lain beliau bersabda, “Apakah kalian tidak mengutus bersamanya (mempelai wanita) seorang anak perempuan yang akan menabuh rebana dan bernyanyi?” ‘Aisyah bertanya, “Melantunkan apa?” Beliau menjawab,
أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ فَحَيُّونَا نُحَيِّكُمْ
وَلَوْلَا الذَّهَبُ الْأَحْمَرُ مَا حَلَّتْ بَوَادِيكُمْ
وَلَوْلَا الْحِنْطَةُ السَّمْرَاءُ مَا سَمِنَتْ عَذَارِيكُمْ
Kami mendatangi kalian, kami mendatangi kalian. Berilah salam penghormatan kepada kami, kami pun memberikan salam penghormatan kepada kalian.
Kalaulah bukan karena emas merah, tidak akan gurun-gurun kalian ditempati.
Kalaulah bukan karena gandum coklat, tidak akan gemuk gadis-gadis kalian.
Boleh menyelenggarakan walimah pernikahan dengan seorang istri lebih meriah daripada walimah pernikahan dengan istri yang lain
Tsabit al-Bunani, seorang tabi’in yang mulia dan murid Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, mengatakan, “Disebut-sebut tentang pernikahan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan Zainab bintu Jahsyin radhiyallahu ‘anha di sisi Anas radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata, ‘Aku tidak pernah melihat Nabi shallallahu alaihi wasallam menyelenggarakan walimah pernikahan beliau dengan salah satu dari istri-istri beliau melebihi walimah yang diadakannya saat menikahi Zainab’.” (HR. al-Bukhari no. 5171 dan Muslim no. 3489)
Bergaul dengan istri secara patut
“Bergaullah dengan mereka secara patut.” (an-Nisa’: 19)
Berbuat baik kepada istri
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik di antara kalian kepada istrinya dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian kepada istriku.” (HR. at-Tirmidzi no. 3895 dan Ibnu Majah no. 1977, ash-Shahihah al-Albani no. 285)
Memberi nafkah kepada istri sesuai kemampuannya
“Hendaklah orang yang mampu memberi menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan oleh Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekadar) apa yang Allah berikan kepadanya.”
(ath-Thalaq: 7)
Memberikan makan dan pakaian kepada istri, tidak boleh memukul wajahnya, tidak boleh menjelek-jelekkannya, dan tidak boleh mendiamkannya kecuali di dalam rumah
Mu’awiyah bin Haidah radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apa saja hak-hak seorang istri yang mesti dipenuhi oleh suaminya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Engkau beri makan istrimu jika engkau makan. Engkau beri pakaian istrimu jika engkau berpakaian. Jangan pukul wajahnya. Jangan menjelek-jelekkannya. Jangan engkau diamkan istrimu kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Dawud no. 2141)
Saling berlemah lembut antara suami istri
“Jika Allah azza wa jalla menghendaki kebaikan pada sebuah keluarga niscaya Dia masukkan di tengah-tengah mereka kelemah-lembutan.” (Lihat: As Silsilah ash Shahihah no. 1219, Shahih al Jami' no. 303)
Berwasiat kepada istri-istri dengan kebaikan
“Hendaklah kalian berwasiat kepada para wanita dengan kebaikan.” (HR. at-Tirmidzi no. 1163 dan Ibnu Majah no. 1851, lihat Adabuz Zifaf hlm. 270)
Bersikap romantis terhadap istri meskipun sedang haid
Aisyah berkata, “Ketika saya haid, saya pernah minum, lalu sisa minuman saya berikan kepada Rasulullah. Rasul kemudian meletakkan bibirnya persis di tempat bibir saya menempel, kemudian beliau minum. Saya juga pernah menggigit daging ketika saya sedang haidh, kemudian saya berikan sisanya kepada Rasulullah, dan beliau meletakkan bibirnya persis di mana bibir saya menempel.” (HR. Muslim)
Aisyah berkata, “Bahwasanya Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersandar di pangkuanku dan aku dalam keadaan haid, lantas beliau membaca Al Qur`an.” (HR. Al Bukhari no. 297 dan Muslim no. 301)
Boleh mencampuri istri yang sedang haid namun tidak boleh sampai jimak
Kata Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Apabila salah seorang dari kami haid dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ingin bercampur (selain jima’) dengannya, beliau perintahkan si istri untuk bersarung (menutupi tubuh bagian bawah), lalu beliau pun mencampurinya.” Kata Aisyah, “Siapa di antara kalian yang mampu menahan nafsunya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mampu menguasainya?” (HR. al-Bukhari no. 302 dan Muslim no. 677)
Mandi bersama istri
Diriwayatkan dari Aisyah, Ummu Salamah, Maimunah, dan Ibnu Umar radhiallahu anhum, “Dahulu Nabi mandi bersama istrinya dari satu bejana, hingga suatu ketika Rasul bersabda, ‘Sisakan (air) untukku.’ Dan istri beliau juga berkata, ‘Sisakan air juga untukku ya Rasul.’” (Muttafaqun ‘alaih)
"Bermain-main" dengan istri
Rasulullah berkata kepada Jabir, “Mengapa bukan (yang masih) perawan, (hingga) engkau bisa "bermain-main" dengannya, dan ia pun bisa "bermain-main" denganmu?”
Bemain dan bercanda menggoda istri
Suatu ketika ‘Aisyah bersama Rasulullah mengadakan perjalanan, dan saat itu ‘Aisyah kurus badannya. Rasululloh mengatakan kepada para sahabat, “Berjalanlah kalian terlebih dahulu.” Kemudian beliau berkata kepada ‘Aisyah, “Kemarilah, aku mau berlomba denganmu.” ‘Aisyah pun berlomba dengan Rasulullah dan dimenangkan oleh ‘Aisyah. Beberapa waktu kemudian aku keluar bersama beliau dalam suatu perjalanan. Rasulullah mengatakan kepada para sahabat, “Berjalanlah kalian terlebih dahulu.” Kemudian beliau berkata kepada ‘Aisyah, “Kemarilah, aku mau berlomba denganmu.” Dan ketika itu ‘Aisyah dalam keadaan gemuk. ’Aisyah berkata, “Bagaimana mungkin aku berlomba denganmu wahai Rasulullah sementara aku dalam keadaan demikian?” Beliau berkata, “Ayo berlombalah.” Maka ‘Aisyah berlomba dengan Rasulullah dan dimenangkan oleh Rasulullah. Beliau berkata, “Ini sebagai balasan dari perlombaan sebelumnya.” (HR. Ahmad no. 24119 dan 26277, lihat Irwaul Ghalil no. 1502)
Berbincang-bincang dengan istri di malam hari sebelum tidur
Aisyah berkata, “Rasulullah pernah melaksanakan salat dalam keadaan duduk, beliau membaca surat dalam keadaan duduk, maka apabila tersisa bacaan sekitar 30 atau 40 ayat beliau berdiri dan menyelesaikan sisa ayat dalam keadaan berdiri, kemudian ruku dan sujud. Beliau melakukan hal yang sama pada rakaat kedua. Tatkala beliau telah selesai dari shalatnya, beliau melihatku. Apabila aku tidak tidur maka beliau berbincang-bincang denganku dan apabila aku tidur maka beliau berbaring.” (HR. al-Bukhari no. 1119)
Shafiyyah berkata, “Suatu hari Rasulullah beri’tikaf kemudian aku mengunjunginya pada malam hari. Akupun berbincang-bincang dengannya. Tak berapa lama akupun bersiap untuk kembali ke rumah dan Rasulullah mengantarku pulang.” (HR. al-Bukhari no. 3281 dan Muslim no. 2175)
Membantu istri mengerjakan urusan rumah tangga
Al-Aswad bertanya kepada Aisyah, “Apa kesibukan Rasululloh selama berada di rumah?” Aisyah menjawab, “Beliau biasa membantu pekerjaan rumah.” (HR. al-Bukhori no. 676)
Suami berhias untuk istrinya, dan istri berhias untuk suaminya
Ibnu Abbas berkata, “Sungguh, aku semangat sekali berhias untuk istriku, sebagaimana halnya aku pun ingin istriku berdandan untukku. Sebab, Allah Yang Mahatinggi sebutan-Nya berfirman, ‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf’.” (Diriwayatkan ath-Thabari dalam Tafsir-nya)
Menghindari hal-hal yang bisa mendatangkan kemarahan suami, dan segera meminta keridhoan suami apabila suami marah kepadanya
“Ada 3 kelompok orang yang sholatnya tidak melewati telinga mereka: Budak yang lari (dari tuannya) hingga kembali, seorang wanita yang melewati malam dalam keadaan suaminya marah, dan seorang imam suatu kaum yang mereka membencinya.” (HR. at-Tirmidzi, dihasankan olehnya dan disepakati Al-Albani)
Tidak boleh seorang istri berdusta dalam rangka memanas-manasi madunya
Seorang perempuan berkata, “Wahai Rasulullah, saya memiliki madu. Apakah saya berdosa apabila saya mengatakan kepadanya bahwa saya diberikan harta ini-itu dari suamiku, padahal sebenarnya suamiku tidak memberikannya?” Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Orang yang berhias-hias (mengaku-ngaku) dengan apa yang tidak diberikan kepadanya seperti orang yang memakai dua pakaian kedustaan.” (HR. al- Bukhari no. 5219 dan Muslim no. 5549 dari Asma radhiyallahu ‘anha)
Tidak menceraikan istri dan tetap bergaul dengan istri secara patut walaupun suami tidak mencintai istri
“Bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian, apabila kalian tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisa’: 19)
Istri yang memiliki kekurangan yang meresahkan suami, maka boleh diceraikan, boleh juga dipertahankan jika tidak sanggup berpisah dengannya
Ketika ada seorang lelaki mengadukan istrinya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa istrinya ‘tidak menolak tangan orang yang menyentuhnya’, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menitahkan, “Kalau begitu, ceraikan istrimu tersebut.” Si lelaki menjawab, “Aku khawatir jiwaku akan terus-menerus mengikutinya.” (Dalam riwayat lain, “Saya memiliki istri, dia adalah orang yang paling saya cintai.”) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika demikian, bersenang-senanglah dengannya.” (HR. Ahmad, an-Nasa’i, dan yang lainnya)
Dalam riwayat lain, ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh si lelaki menceraikan istrinya, dia menjawab, “Saya tidak bisa bersabar (berpisah) darinya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menyarankan, “Kalau begitu tahanlah istrimu (tidak dicerai).” (Dinyatakan sahih sanadnya oleh al-Albani dalam Shahih Sunan an-Nasa’i)
Bermain-main atau bercanda dalam nikah, talak dan rujuk dihukumi serius
“Tiga perkara yang seriusnya dianggap serius dan main-mainnya dianggap serius: nikah, talak, dan rujuk.”
Masa iddah wanita yang sedang hamil adalah sampai dia melahirkan
“Seorang wanita dalam keadaan hamil, maka berakhirnya masa iddahnya apabila ia telah melahirkan kandungannya.”(Ath-Thalaq: 4)