Cari Blog Ini

Rabu, 05 November 2014

Tentang TIDUR TENGKURAP

Ya’isy bin Thikhfah Al-Ghifari berkata:
Bapakku menceritakan kepadaku bahwa ketika aku tidur di masjid di atas perutku (tengkurap), tiba-tiba ada seseorang yang menggerakkan kakiku dan berkata,
“Sesungguhnya tidur yang seperti ini dimurkai Allah.”
(Bapakku berkata) Setelah aku melihat ternyata beliau adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasalllam. (HR. Abu Dawud no. 5040, Ibnu Majah no. 3723, At-Tirmidzi no. 2768, Ibnu Hibban no.5549, Ahmad 3/429, 430, dan Al-Hakim, 4/271, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3000 dan Al-Misykat no. 4718)

Tentang DOA KETIKA BANGUN TIDUR

Disyariatkan untuk berdoa ketika bangun tidur dengan mengucapkan:
ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺃَﺣْﻴَﺎﻧَﺎ ﺑَﻌْﺪَﻣَﺎ ﺃَﻣَﺎﺗَﻨَﺎ ﻭَﺇِﻟَﻴْﻪِ ﺍﻟﻨُّﺸُﻮْﺭُ
“Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami (dengan bangun tidur) setelah matinya kami (yakni tidur) dan hanya kepadanyalah kami akan dibangkitkan.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 6314 dan Muslim no. 2711 dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Tentang MENANGIS DAN BERDUKA KETIKA TERTIMPA MUSIBAH

Al-Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, dia menceritakan,
ﺩَﺧَﻠْﻨَﺎ ﻣَﻊَ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﺑِﻲ ﺳَﻴْﻒٍ ﺍﻟْﻘَﻴْﻦِ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﻇِﺌْﺮًﺍ ِﻹِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟﺴَّﻼَﻡ ﻓَﺄَﺧَﺬَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢَ ﻓَﻘَﺒَّﻠَﻪُ ﻭَﺷَﻤَّﻪُ ﺛُﻢَّ ﺩَﺧَﻠْﻨَﺎ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺑَﻌْﺪَ ﺫَﻟِﻚَ ﻭَﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢُ ﻳَﺠُﻮﺩُ ﺑِﻨَﻔْﺴِﻪِ ﻓَﺠَﻌَﻠَﺖْ ﻋَﻴْﻨَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﺗَﺬْﺭِﻓَﺎﻥِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﻟَﻪُ ﻋَﺒْﺪُ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤَﻦِ ﺑْﻦُ ﻋَﻮْﻑٍ : ﻭَﺃَﻧْﺖَ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻳَﺎ ﺍﺑْﻦَ ﻋَﻮْﻑٍ ﺇِﻧَّﻬَﺎ ﺭَﺣْﻤَﺔٌ؛ ﺛُﻢَّ ﺃَﺗْﺒَﻌَﻬَﺎ ﺑِﺄُﺧْﺮَﻯ . ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﻌَﻴْﻦَ ﺗَﺪْﻣَﻊُ ﻭَﺍﻟْﻘَﻠْﺐَ ﻳَﺤْﺰَﻥُ ﻭَﻻَ ﻧَﻘُﻮﻝُ ﺇِﻻَّ ﻣَﺎ ﻳَﺮْﺿَﻰ ﺭَﺑُّﻨَﺎ ﻭَﺇِﻧَّﺎ ﺑِﻔِﺮَﺍﻗِﻚَ ﻳَﺎ ﺇِﺑْﺮَﺍﻫِﻴﻢُ ﻟَﻤَﺤْﺰُﻭﻧُﻮﻥَ
Kami masuk kepada Abu Saif Al-Qain, suami ibu susu Ibrahim, lalu Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam mengambil Ibrahim kemudian menciumnya. Setelah itu kami masuk pula beberapa waktu kemudian, sementara Ibrahim sedang tersengal-sengal nafasnya. Mulailah air mata Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam menitik. Berkatalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu anhu, “Dan engkau, wahai Rasulullah (menangis)?” Beliaupun berkata, “Wahai Ibnu Auf, ini adalah rahmat.”
Kemudian menyusul yang berikutnya. Lalu Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya mata ini menangis, hati ini berduka, dan kami tidak mengucapkan apa-apa kecuali yang diridhai Rabb kami. Sungguh, kami sangat berduka berpisah denganmu, wahai Ibrahim."

Tentang SHALAT SUNNAH SAAT JAM KERJA

Komite Tetap Untuk Riset Ilmiah dan Fatwa

Tanya:
Apakah diperbolehkan bagi karyawan untuk melakukan shalat dhuha (shalat sunnah yang dilakukan setelah matahari terbit) saat jam kerja, terutama waktu ketika karyawan sedang saatnya bekerja, sehingga mengakibatkan pekerjaannya tidak selesai tepat pada waktunya? Kami mengharap Anda untuk memberikan dengan jawaban tertulis. Jazakumulloohu khoiron.

Jawab:
Perintah untuk melakukan shalat sunnah adalah di rumah sesuai dengan perintah Nabi Muhammad shallalloohu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhialloohu ’anhu:
“Shalat yang paling afdhal adalah yang dilakukan di rumah kalian kecuali untuk shalat wajib." (HR. Al Bukhari Vol. 1 Hal. 178, Muslim Vol. 1 Hal. 540)
Nabi shallalloohu ‘alaihi wasallam juga menyatakan,
ﺍﺟْﻌَﻠُﻮﺍ ﻓِﻲ ﺑُﻴُﻮﺗِﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﺻَﻠَﺎﺗِﻜُﻢْ، ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺘَّﺨِﺬُﻭﻫَﺎ ﻗُﺒُﻮﺭًﺍ
"Laksanakanlah sebagian shalat kalian di rumah kalian dan janganlah kalian menjadikannya kuburan." (HR. Bukhâri I/528-529 no. 432 dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)

Selanjutnya, karyawan tidak seharusnya berhenti bekerja, hanya untuk melakukan amalan sunnah. Seorang karyawan dapat melakukan shalat dhuha di rumah sebelum ia berangkat bekerja setelah matahari terbit, yaitu setelah waktu nahi (waktu shalat yang dilarang setelah subuh) sekitar lima belas menit setelah matahari terbit.
Wabillahi taufiq washallallahu ‘ala nabiyina muhammad wa alihi washahbihi wassalam.

Komite Tetap Untuk Riset Ilmiah dan Fatwa
Ketua: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Anggota:
Bakr Abu Zaid
Abdullah bin Shalih Al-Fawzan
Abdul Aziz bin Abdullah Alusy Syaikh

(Fatwa No. 19,285 Bab 23 Hlm. 423)

Terjemahan dari:
alifta[dot]net/Fatawa/

Tentang SUJUD SYUKUR

asy-Syaikh al-’Utsaimin

Para ‘ulama mengatakan, (sujud syukur) hanyalah disyari’atkan ketika mendapat nikmat yang baru (yang tidak biasanya). Adapun nikmat yang sifatnya terus menerus, maka itu tidak disyari’atkan sujud padanya. Karena manusia memang senantiasa terus berada dalam kenikmatan dari Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (artinya):
“Apabila kalian menghitung nikmat-nikmat Allah niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34)
Namun yang dimaksud adalah nikmat yang baru, seperti diberi berita kelahiran anak, berita keselamatan, atau diberi tahu hartanya yang hilang berhasil ditemukan kembali, atau berita kemenangan kaum muslimin, atau berhasil ditolaknya sebuah fitnah, dan yang semisalnya. Atau terjadi sebuah peristiwa (bencana), yang kalau bukan karena kelembutan Allah terhadapnya, niscaya itu akan membahayakanya. Maka dia pun bersujud kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai bentuk syukur atas tertolaknya musibah tersebut. Jadi, mustahab untuk sujud syukur ketika mendapatkan kenikmatan baru, atau tertolaknya sebuah kejelekan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat Syarh Bulughul Maram)

Sujud syukur dilakukan ketika seseorang diberi nikmat oleh Allah dengan kenikmatan yang tidak biasanya, namun nikmat yang baru. Seperti dia diberi rizki anak, atau selamat dari kebinasaan, maka ketika itu dia bersujud. BERTAKBIR ketika hendak sujud, dan mengucapkan,
ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺭَﺑِّﻲَ ﺍﻷَﻋْﻠَﻰ
(Maha Suci Rabb-ku yang Maha Tinggi)
Dan dia bersyukur kepada Allah atas nikmat yang dia peroleh, dan hendaknya dia sebutkan nikmat tersebut dalam sujudnya, dengan mengucapkan,
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻟَﻚَ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻭَﺍﻟﺸُّﻜْﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﺃَﻧْﻌَﻤْﺖَ ﻋَﻠَﻲَّ ﺑِﻪِ ﻣِﻦْ ﻛَﺬَﺍ ﺃَﻭْ ﻛَﺬَﺍ
Ya Allah hanya bagi-Mu-lah segala puji dan syukur atas apa yang Engkau berikan kenikmatan kepadaku dengannya, berupa ini dan itu. Kemudian dia mengangkat kepalanya kembali, TANPA bertakbir dan TANPA salam. Dulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila datang kepada beliau berita yang menggembirakan, maka beliau bersujud kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun permasalahan, apakah harus dalam keadaan bersuci (berwudhu’), maka di sini terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama. Yang tampak jelas bagiku, TIDAK DIPERSYARATKAN BERSUCI (wudhu), karena ini merupakan peristiwa yang kadang-kadang datang secara tiba-tiba, tidak diperkirakan sebelumnya, sehingga bisa jadi seseorang tidak dalam kondisi berwudhu’. Kalau seandainya dia pergi berwudhu’ terlebih dahulu, maka bisa jadi akan terpisah dalam rentang waktu yang lama antara sebab (datangnya nikmat) dengan akibat (sujud). Apabila dia bersujud syukur walaupun tidak berwudhu’, aku berharap itu tidak mengapa.
(Fatawa Nur ‘ala ad-Darb 8/2)

###

Pertanyaan:
Apa hukum para pemain bola bersujud syukur di lapangan bola ketika berhasil meraih keinginan mereka (menang, atau gol). Telah dinukil dari Anda bahwa hal itu disyari’atkan, kemudian dinukil lagi dari Anda, bahwa itu dilarang.

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjawab:

Penukilan pertama DUSTA. Aku tidak pernah mengatakan bahwa hal itu disyari’atkan. Aku katakan, itu bukan nikmat. Aku katakan, bola dan pertandingan sepak bola bukanlah nikmat. Adapun sujud syukur dilakukan ketika mendapatkan kenikmatan yang baru (tidak biasanya). Jadi itu (sujud syukur ketika menang bola) adalah BID’AH dalam kondisi seperti itu. Apa yang kita dapatkan dari (pertandingan) bola, apa yang diperoleh kaum muslimin dari pertandingan tersebut kecuali tersia-siakannya para pemuda. Kaum muslimin tidak mendapat manfaat, bahkan itu merupakan kerugian terhadap kaum muslimin.
(Syarh Mukhtashar Zaad al-Ma’ad)

Dalam kesempatan lain, beliau juga ditanya tentang sujud syukur yang dilakukan oleh para pemain bola, maka beliau menjawab,
“Sujud syukur tidak dilakukan kecuali ketika terdapat nikmat yang baru, atau terhindar dari bahaya/musibah. Sementara permainan sepak bola, maksimalnya dikatakan itu adalah mubah, dan itu bukanlah nikmat. Jadi, TIDAK DISYARI’ATKAN SUJUD SYUKUR PADANYA.”
(Dari Dars ‘Umdah al-Fiqh)

Tentang MEMAKSA WANITA MENIKAH DENGAN PRIA YANG TIDAK DISUKAI

Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad Al-Madkhaly rahimahullah

Penanya:
Semoga Allah berbuat baik kepada Anda, ada pertanyaan dari Maroko: “Apa hukum menikahkan wanita dengan pria yang tidak dia sukai?”

Asy-Syaikh:
Harus ada keridhaan dari wanita tersebut dan tidak boleh bagi walinya untuk menikahkannya dengan seorang pria yang tidak dia sukai. Jadi diteliti keadaan si pria, jika dia seorang yang shalih namun pihak wanita tidak menyukainya, maka hendaknya si wali mengajaknya bermusyawarah dan menyebutkan kebaikan-kebaikan pria tersebut kepadanya dengan harapan agar dia menerimanya. Namun jika dia tetap menolak, maka tidak boleh bagi si wali untuk memaksanya. Karena kehidupan rumah tangga dibangun atas dasar keridhaan diantara suami istri. Sedangkan saling ridha termasuk salah satu syarat sahnya pernikahan.
Adapun jika wanita tersebut menolaknya karena dia adalah seorang pria yang menyimpang atau tidak ada kebaikan padanya, maka dia berhak –sama saja apakah walinya terlebih dahulu mengajaknya bermusyawarah atau tidak– untuk menolak siapa saja yang melamarnya.yang keadaannya tidak diridhai.

Alih bahasa: Abu Almass

Tentang MAKAN BERSAMA DALAM SATU WADAH ATAU NAMPAN

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Makanan yang paling dicintai oleh Allah adalah bila banyak tangan (berjamaah pada makanan tersebut).” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la di dalam Musnad-nya dan selain beliau dari Jabir radhiallahu anhu dan hadits ini dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 2/562, no. 895)

Wahsyi bin Harb radhiallahu anhu berkata:
ﺃَﻥَّ ﺃَﺻْﺤَﺎﺏَ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ : ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﺇِﻧَّﺎ ﻧَﺄْﻛُﻞُ ﻭَﻻَ ﻧَﺸْﺒَﻊُ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﻓَﻠَﻌَﻠَّﻜُﻢْ ﺗَﻔْﺘَﺮِﻗُﻮْﻥَ. ﻗَﺎﻟُﻮﺍ: ﻧَﻌَﻢْ. ﻗَﺎﻝَ: ﻓَﺎﺟْﺘَﻤِﻌُﻮﺍ ﻋَﻠَﻰ ﻃَﻌَﺎﻣِﻜُﻢْ ، ﻭَﺍﺫْﻛُﺮُﻭﺍ ﺍﺳْﻢَ ﺍﻟﻠﻪِ ، ﻳُﺒَﺎﺭَﻙْ ﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻴْﻪِ
Para shahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan dan tidak pernah kenyang?”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Jangan-jangan kalian makan berpencar (sendiri-sendiri)?”
Mereka menjawab, “Iya.”
Beliau bersabda, “Berjamaahlah (berkumpullah) kalian pada makan kalian dan bacalah nama Allah niscaya Allah akan menurunkan barakah.”
(HR. Abu Dawud no. 3764, dihasankan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Samurah bin Jundub radhiallahu anhu berkata:
Di saat kami bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, kami saling bergantian menyantap hidangan di sebuah tempayan sepuluh orang sepuluh orang, mulai dari pagi hari sampai malam hari. Kami berkata, “Darimana bertambah dan banyak?”
Beliau berkata: “Kenapa kamu heran! Tidak ada yang menjadikannya bertambah banyak melainkan dari sini (beliau mengisyaratkan tangannya ke langit).”
(Diriwayatkan oleh Al-Imam At- Tirmidzi no. 3886 dan beliau berkata: “Hadits shahih hasan.” Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Muqbil di dalam kitab beliau Al-Jami’ush Shahih (4/188) dengan mengatakan haditsnya shahih berdasarkan syarat Al-Bukhari dan Muslim dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan At-Tirmidzi no 2866, 3/192 dan Al-Misykat no. 5958)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﻃَﻌَﺎﻡُ ﺍﻟْﺎِﺛْﻨَﻴْﻦِ ﻛَﺎﻓِﻲ ﺍﻟﺜَّﻼَﺛَﺔِ، ﻭَﻃَﻌَﺎﻡُ ﺍﻟﺜَّﻼَﺛَﺔِ ﻛَﺎﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺑَﻌَﺔِ
“Makanan dua orang bisa mencukupi tiga orang, dan makanan tiga orang bisa mencukupi empat orang.” (HR. Al-Bukhari no. 5392 dan Muslim no. 2058 dari Abu Hurairah radhiallahu anhu)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﻃَﻌَﺎﻡُ ﺍﻟْﻮَﺍﺣِﺪِ ﻳَﻜْﻔِﻲ ﺍﻟْﺎِﺛْﻨَﻴْﻦِ، ﻭَﻃَﻌَﺎﻡُ ﺍﻟْﺎِﺛْﻨَﻴْﻦِ ﻳَﻜْﻔِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺑَﻌَﺔَ، ﻭَﻃَﻌَﺎﻡُ ﺍﻟْﺄَﺭْﺑَﻌَﺔِ ﻳَﻜْﻔِﻲ ﺍﻟﺜَّﻤَﺎﻧِﻴَﺔَ
“Makanan satu orang bisa mencukupi dua orang, makanan dua orang bisa mencukupi empat orang, dan makanan empat orang bisa mencukupi delapan orang.” (HR. Muslim no. 2059 dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu) 

Tentang BERTAHMID MEMUJI ALLAH SESUDAH MAKAN DAN MINUM

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻟَﻴَﺮْﺿَﻰ ﻋَﻦِ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪِ ﺃَﻥْ ﻳَﺄْﻛُﻞَ ﺍْﻷَﻛْﻠَﺔَ ﻓَﻴَﺤْﻤَﺪَﻩُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ ﺃَﻭْ ﻳَﺸْﺮَﺏَ ﺍﻟﺸُّﺮْﺑَﺔَ ﻓَﻴَﺤْﻤَﺪَﻩُ ﻋَﻠَﻴْﻬَﺎ
“Sesungguhnya Allah betul-betul ridha terhadap seorang hamba yang memakan makanan kemudian memuji-Nya, dan yang meminum minuman lalu memuji-Nya.” (HR. Muslim)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺃَﻛَﻞَ ﻃَﻌَﺎﻣًﺎﻓَﻘَﺎﻝَ “ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُﻟِﻠَّﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺃَﻃْﻌَﻤَﻨِﻲ ﻫَﺬَﺍ ﻭَﺭَﺯَﻗَﻨِﻴْﻪِ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺣَﻮْﻝِ ﻣِﻨِّﻲ ﻭَﻻَ ﻗُﻮَّﺓٍ ” ﻏُﻔِﺮَ ﻟَﻪُ ﻣَﺎ ﺗَﻘَﺪَّﻡَ ﻣِﻦْ ﺫَﻧْﺒِﻪِ
“Barangsiapa memakan makanan dan dia mengatakan, Alhamdulillaahilladzii ath'amanii haadzaa warazaqaniihi min ghauri hauli minnii wa laa quwwah (Segala puji bagi Allah yang telah memberiku makan ini, dan memberiku rizki dengan tanpa ada daya dan kekuatan dariku), maka akan diampuni dosanya.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Shahih)

Dalam lafadz lain,
ﻣَﻦْ ﺃَﻛَﻞَ ﻃَﻌَﺎﻣًﺎ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺃَﻃْﻌَﻤَﻨِﻲ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﻄَّﻌَﺎﻡَ، ﻭَﺭَﺯَﻗَﻨِﻴْﻪِ ﻣِﻦْ ﻏَﻴْﺮِ ﺣَﻮْﻝٍ ﻣِﻨِّﻲ ﻭَﻻَ ﻗُﻮَّﺓٍ؛ ﻏُﻔِﺮَ ﻟَﻪُ ﻣَﺎ ﺗَﻘَﺪَّﻡَ ﻣِﻦْ ﺫَﻧْﺒِﻪِ
“Barangsiapa makan makanan, lalu mengucapkan, Alhamdulillaahilladzii ath'amanii haadzath-tha'aam, warazaqaniihi min ghauri haulin minnii wa laa quwwah (Segala puji bagi Allah yang telah memberikan makanan ini padaku dan merezekikannya untukku tanpa daya dan kekuatan dari diriku), akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Abu Dawud no. 4023, dihasankan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Abu Umamah radhiallahu anhu meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam jika telah diangkat hidangan, beliau mengucapkan,
ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠﻪِ ﺣَﻤْﺪًﺍ ﻛَﺜِﻴْﺮًﺍ ﻃَﻴِّﺒًﺎ ﻣُﺒَﺎﺭَﻛًﺎ ﻓِﻴْﻪِ ﻏَﻴْﺮَ ﻣَﻜْﻔِﻲٍّ ﻭَﻻَ ﻣُﻮَﺩَّﻉٍ ﻭَﻻَ ﻣُﺴْﺘَﻐْﻨًﻰ ﻋَﻨْﻪُ ﺭَﺑَّﻨَﺎ
Alhamdulillaahi hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiihi ghaira makfiyyin wa laa muwadda'in wa laa mustaghnan anhu rabbanaa (Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, baik dan berkah pada- Nya. Dia tidak membutuhkan pemberian makanan dari makhluk- Nya (karena Dia yang memberikan makanan), tidak ditinggalkan dan tidak ada satu makhluk pun yang merasa tidak membutuhkan-Nya, wahai Rabb kami).” (HR. Al-Bukhari no. 5458)

Tentang MENCERCA MAKANAN

Semua yang kita makan dan minum merupakan rizki yang datang dari Allah subhanahu wata’ala, maka tidak boleh bagi kita untuk menghina ataupun mencerca sedikitpun dari apa yang telah diberikan Allah subhanahu wata’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kepada kita suatu adab yang mulia ketika tidak menyukai makanan yang dihidangkan.

Dari Shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata,
ﻣَﺎ ﻋَﺎﺏَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻃَﻌَﺎﻣًﺎ ﻗَﻂُّ , ﺇِﻥِ ﺍﺷْﺘَﻬَﺎﻩُ ﺃَﻛَﻠَﻪُ ﻭَﺇِﻥْ ﻛَﺮِﻫَﻪُ ﺗَﺮَﻛَﻪُُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah mencerca makanan sama sekali. Bila beliau mengiginkan sesuatu beliau memakannya dan bila tidak suka beliau meninggalkannya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Tentang DUDUK SAAT MAKAN

Islam mengajarkan bagaimana cara duduk yang baik ketika makan yang tentunya hal itu telah dipraktekkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Sifat duduk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika makan telah diceritakan oleh Abdullah bin Busr radhiallahu anhu:
Nabi memiliki sebuah qash’ah (tempat makan/nampan) dan qash’ah itu disebut Al-Gharra` dan dibawa oleh empat orang. Di saat mereka berada di waktu pagi, mereka Shalat Dhuha, lalu dibawa qash’ah tersebut –dan padanya ada tsarid (sejenis roti)– mereka mengelilinginya. Tatkala semakin bertambah (jumlah mereka), Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk di atas kedua betis beliau. Seorang A’rabi (badui) bertanya, “Duduk apa ini, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku dijadikan oleh Allah sebagai hamba yang dermawan dan Allah tidak menjadikan aku seseorang yang angkuh dan penentang.” (HR. Abu Dawud no. 3773, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 3207 dan Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3263)

Kenapa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk dengan jatsa (di atas kedua lutut dan kaki)?
Ibnu Baththal mengatakan:
“Beliau melakukan hal itu sebagai salah satu bentuk tawadhu’ beliau.” (Fathul Bari, 9/619)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Aku tidak makan dengan cara muttaki`.” (HR. Al-Bukhari no. 5398, At-Tirmidzi no. 1753, Abu Dawud, Ibnu Majah no. 3253, Ahmad no. 18005 dan Ad-Darimi no. 1982 dari shahabat Abu Juhaifah)

Apa yang dimaksud dengan muttaki`? Terjadi khilaf di kalangan para ulama tentang maknanya.
Ada yang mengatakan: “Rakus dalam makan, bagaimanapun sifat duduknya.”
Di antara mereka ada yang mengatakan: “Duduk di atas lambung sebelah.”
Di antara mereka ada yang mengatakan: “Bertopang dengan tangan kirinya ke tanah.”
Ada yang mengatakan: “Tidur terlentang.”
(lihat Fathul Bari, 9/619)

Asy-Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali merajihkan (menguatkan) pendapat yang mengatakan bahwa muttaki` adalah tidur di atas lambung sebelah. Beliau mengatakan, ini adalah makna yang benar dan dikuatkan dengan ucapan seorang shahabat. Tadinya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk muttaki` lalu beliau duduk, artinya miring di salah satu lambung dan makna yang disebutkan oleh Al-Khaththabi adalah marjuh (tidak kuat). (Lihat Bahjatun Nazhirin no.746, 2/62)

Bagaimana hukum makan dengan cara muttaki`? Terjadi khilaf di kalangan ulama salaf tentang permasalahan ini.
Ibnu Qash mengatakan bahwa ini merupakan kekhususan bagi Nabi shallallahu alaihi wasallam. Al-Baihaqi mengomentari ucapannya: “Juga dimakruhkan bagi selain Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena makan dengan cara demikian merupakan penampilan orang-orang yang menyombongkan diri dan perbuatan raja-raja Romawi.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan makruh makan dengan cara muttaki`. Disebutkan alasan dimakruhkannya oleh Ibrahim An-Nakha’i dengan mengatakan: “Mereka membenci makan dengan muttaki` karena akan mengakibatkan perut menjadi besar.”
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Khalid bin Al-Walid, ‘Ubaidah As-Salmani, Muhammad bin Sirin, ‘Atha` bin Yasar dan Az-Zuhri tentang kebolehan makan dengan cara demikian.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menengahi semua pendapat tersebut dengan mengatakan:
“Kalau seandainya hukumnya makruh atau menyelisihi yang lebih utama, maka cara duduk yang disunnahkan ketika makan adalah duduk dengan jatsa. Artinya duduk di atas kedua lutut dan kedua punggung kaki, atau mendirikan kaki yang kanan dan duduk di atas kaki kiri.”
(lihat Fathul Bari, 9/620)

Wallahu a’lam.