Cari Blog Ini

Rabu, 05 November 2014

Tentang DUDUK SAAT MAKAN

Islam mengajarkan bagaimana cara duduk yang baik ketika makan yang tentunya hal itu telah dipraktekkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Sifat duduk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika makan telah diceritakan oleh Abdullah bin Busr radhiallahu anhu:
Nabi memiliki sebuah qash’ah (tempat makan/nampan) dan qash’ah itu disebut Al-Gharra` dan dibawa oleh empat orang. Di saat mereka berada di waktu pagi, mereka Shalat Dhuha, lalu dibawa qash’ah tersebut –dan padanya ada tsarid (sejenis roti)– mereka mengelilinginya. Tatkala semakin bertambah (jumlah mereka), Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk di atas kedua betis beliau. Seorang A’rabi (badui) bertanya, “Duduk apa ini, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya aku dijadikan oleh Allah sebagai hamba yang dermawan dan Allah tidak menjadikan aku seseorang yang angkuh dan penentang.” (HR. Abu Dawud no. 3773, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab Shahih Sunan Abu Dawud no. 3207 dan Shahih Sunan Ibnu Majah no. 3263)

Kenapa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk dengan jatsa (di atas kedua lutut dan kaki)?
Ibnu Baththal mengatakan:
“Beliau melakukan hal itu sebagai salah satu bentuk tawadhu’ beliau.” (Fathul Bari, 9/619)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Aku tidak makan dengan cara muttaki`.” (HR. Al-Bukhari no. 5398, At-Tirmidzi no. 1753, Abu Dawud, Ibnu Majah no. 3253, Ahmad no. 18005 dan Ad-Darimi no. 1982 dari shahabat Abu Juhaifah)

Apa yang dimaksud dengan muttaki`? Terjadi khilaf di kalangan para ulama tentang maknanya.
Ada yang mengatakan: “Rakus dalam makan, bagaimanapun sifat duduknya.”
Di antara mereka ada yang mengatakan: “Duduk di atas lambung sebelah.”
Di antara mereka ada yang mengatakan: “Bertopang dengan tangan kirinya ke tanah.”
Ada yang mengatakan: “Tidur terlentang.”
(lihat Fathul Bari, 9/619)

Asy-Syaikh Salim bin ‘Id Al-Hilali merajihkan (menguatkan) pendapat yang mengatakan bahwa muttaki` adalah tidur di atas lambung sebelah. Beliau mengatakan, ini adalah makna yang benar dan dikuatkan dengan ucapan seorang shahabat. Tadinya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam duduk muttaki` lalu beliau duduk, artinya miring di salah satu lambung dan makna yang disebutkan oleh Al-Khaththabi adalah marjuh (tidak kuat). (Lihat Bahjatun Nazhirin no.746, 2/62)

Bagaimana hukum makan dengan cara muttaki`? Terjadi khilaf di kalangan ulama salaf tentang permasalahan ini.
Ibnu Qash mengatakan bahwa ini merupakan kekhususan bagi Nabi shallallahu alaihi wasallam. Al-Baihaqi mengomentari ucapannya: “Juga dimakruhkan bagi selain Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena makan dengan cara demikian merupakan penampilan orang-orang yang menyombongkan diri dan perbuatan raja-raja Romawi.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah mengatakan makruh makan dengan cara muttaki`. Disebutkan alasan dimakruhkannya oleh Ibrahim An-Nakha’i dengan mengatakan: “Mereka membenci makan dengan muttaki` karena akan mengakibatkan perut menjadi besar.”
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Khalid bin Al-Walid, ‘Ubaidah As-Salmani, Muhammad bin Sirin, ‘Atha` bin Yasar dan Az-Zuhri tentang kebolehan makan dengan cara demikian.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menengahi semua pendapat tersebut dengan mengatakan:
“Kalau seandainya hukumnya makruh atau menyelisihi yang lebih utama, maka cara duduk yang disunnahkan ketika makan adalah duduk dengan jatsa. Artinya duduk di atas kedua lutut dan kedua punggung kaki, atau mendirikan kaki yang kanan dan duduk di atas kaki kiri.”
(lihat Fathul Bari, 9/620)

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar