Cari Blog Ini

Rabu, 05 November 2014

Tentang SUJUD SYUKUR

asy-Syaikh al-’Utsaimin

Para ‘ulama mengatakan, (sujud syukur) hanyalah disyari’atkan ketika mendapat nikmat yang baru (yang tidak biasanya). Adapun nikmat yang sifatnya terus menerus, maka itu tidak disyari’atkan sujud padanya. Karena manusia memang senantiasa terus berada dalam kenikmatan dari Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (artinya):
“Apabila kalian menghitung nikmat-nikmat Allah niscaya kalian tidak akan mampu menghitungnya.” (QS. Ibrahim: 34)
Namun yang dimaksud adalah nikmat yang baru, seperti diberi berita kelahiran anak, berita keselamatan, atau diberi tahu hartanya yang hilang berhasil ditemukan kembali, atau berita kemenangan kaum muslimin, atau berhasil ditolaknya sebuah fitnah, dan yang semisalnya. Atau terjadi sebuah peristiwa (bencana), yang kalau bukan karena kelembutan Allah terhadapnya, niscaya itu akan membahayakanya. Maka dia pun bersujud kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai bentuk syukur atas tertolaknya musibah tersebut. Jadi, mustahab untuk sujud syukur ketika mendapatkan kenikmatan baru, atau tertolaknya sebuah kejelekan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. (lihat Syarh Bulughul Maram)

Sujud syukur dilakukan ketika seseorang diberi nikmat oleh Allah dengan kenikmatan yang tidak biasanya, namun nikmat yang baru. Seperti dia diberi rizki anak, atau selamat dari kebinasaan, maka ketika itu dia bersujud. BERTAKBIR ketika hendak sujud, dan mengucapkan,
ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺭَﺑِّﻲَ ﺍﻷَﻋْﻠَﻰ
(Maha Suci Rabb-ku yang Maha Tinggi)
Dan dia bersyukur kepada Allah atas nikmat yang dia peroleh, dan hendaknya dia sebutkan nikmat tersebut dalam sujudnya, dengan mengucapkan,
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻟَﻚَ ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻭَﺍﻟﺸُّﻜْﺮُ ﻋَﻠَﻰ ﻣَﺎ ﺃَﻧْﻌَﻤْﺖَ ﻋَﻠَﻲَّ ﺑِﻪِ ﻣِﻦْ ﻛَﺬَﺍ ﺃَﻭْ ﻛَﺬَﺍ
Ya Allah hanya bagi-Mu-lah segala puji dan syukur atas apa yang Engkau berikan kenikmatan kepadaku dengannya, berupa ini dan itu. Kemudian dia mengangkat kepalanya kembali, TANPA bertakbir dan TANPA salam. Dulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila datang kepada beliau berita yang menggembirakan, maka beliau bersujud kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun permasalahan, apakah harus dalam keadaan bersuci (berwudhu’), maka di sini terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ‘ulama. Yang tampak jelas bagiku, TIDAK DIPERSYARATKAN BERSUCI (wudhu), karena ini merupakan peristiwa yang kadang-kadang datang secara tiba-tiba, tidak diperkirakan sebelumnya, sehingga bisa jadi seseorang tidak dalam kondisi berwudhu’. Kalau seandainya dia pergi berwudhu’ terlebih dahulu, maka bisa jadi akan terpisah dalam rentang waktu yang lama antara sebab (datangnya nikmat) dengan akibat (sujud). Apabila dia bersujud syukur walaupun tidak berwudhu’, aku berharap itu tidak mengapa.
(Fatawa Nur ‘ala ad-Darb 8/2)

###

Pertanyaan:
Apa hukum para pemain bola bersujud syukur di lapangan bola ketika berhasil meraih keinginan mereka (menang, atau gol). Telah dinukil dari Anda bahwa hal itu disyari’atkan, kemudian dinukil lagi dari Anda, bahwa itu dilarang.

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah menjawab:

Penukilan pertama DUSTA. Aku tidak pernah mengatakan bahwa hal itu disyari’atkan. Aku katakan, itu bukan nikmat. Aku katakan, bola dan pertandingan sepak bola bukanlah nikmat. Adapun sujud syukur dilakukan ketika mendapatkan kenikmatan yang baru (tidak biasanya). Jadi itu (sujud syukur ketika menang bola) adalah BID’AH dalam kondisi seperti itu. Apa yang kita dapatkan dari (pertandingan) bola, apa yang diperoleh kaum muslimin dari pertandingan tersebut kecuali tersia-siakannya para pemuda. Kaum muslimin tidak mendapat manfaat, bahkan itu merupakan kerugian terhadap kaum muslimin.
(Syarh Mukhtashar Zaad al-Ma’ad)

Dalam kesempatan lain, beliau juga ditanya tentang sujud syukur yang dilakukan oleh para pemain bola, maka beliau menjawab,
“Sujud syukur tidak dilakukan kecuali ketika terdapat nikmat yang baru, atau terhindar dari bahaya/musibah. Sementara permainan sepak bola, maksimalnya dikatakan itu adalah mubah, dan itu bukanlah nikmat. Jadi, TIDAK DISYARI’ATKAN SUJUD SYUKUR PADANYA.”
(Dari Dars ‘Umdah al-Fiqh)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar