Cari Blog Ini

Sabtu, 18 Oktober 2014

Tentang SALAT BERJAMAAH DI MASJID

Keutamaan Sholat Berjamaah 

Sholat berjamaah memiliki keutamaan yang lebih besar dibandingkan sholat sendirian. Semakin banyak orang yang ikut sholat berjamaah, semakin besar keutamaan dan pahalanya.
وَإِنَّ صَلَاةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ وَصَلَاتُهُ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ وَمَا كَثُرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى
Sesungguhnya sholat seorang laki-laki bersama laki-laki yang lain lebih suci dibandingkan sholatnya sendirian. Sholat seseorang bersama dua orang lebih suci dibandingkan sholatnya bersama seorang laki-laki. Semakin banyak (jamaah sholat) semakin dicintai Allah Ta’ala. (H.R Abu Dawud, anNasaai, Ahmad, dishahihkan Ibnu Khuzaimah, dihasankan al-Albany) 

Jika sholat berjamaah dilakukan di masjid yang dikumandangkan adzan, maka keutamaannya adalah 25 atau 27 derajat lebih baik dibandingkan sholat sendirian.
صَلَاةُ الرَّجُلِ فِي الْجَمَاعَةِ تُضَعَّفُ عَلَى صَلَاتِهِ فِي بَيْتِهِ وَفِي سُوقِهِ خَمْسًا وَعِشْرِينَ ضِعْفًا وَذَلِكَ أَنَّهُ إِذَا تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الْمَسْجِدِ لَا يُخْرِجُهُ إِلَّا الصَّلَاةُ لَمْ يَخْطُ خَطْوَةً إِلَّا رُفِعَتْ لَهُ بِهَا دَرَجَةٌ وَحُطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةٌ فَإِذَا صَلَّى لَمْ تَزَلْ الْمَلَائِكَةُ تُصَلِّي عَلَيْهِ مَا دَامَ فِي مُصَلَّاهُ اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِ اللَّهُمَّ ارْحَمْهُ وَلَا يَزَالُ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاةٍ مَا انْتَظَرَ الصَّلَاةَ
Sholat seseorang berjamaah melebihi sholatnya di rumahnya atau di pasarnya 25 lipat. Yang demikian itu karena jika ia berwudhu kemudian menyempurnakan wudhunya kemudian keluar menuju masjid tidaklah yang mengeluarkannya kecuali sholat, tidaklah ia melangkahkan kaki kecuali akan mengangkat satu derajat dan menghapus satu dosa. Jika ia sholat, senantiasa Malaikat bersholawat untuknya selama ia berada di tempat sholatnya. Malaikat akan berdoa: Ya Allah bersholawatlah untuknya, Ya Allah rahmatilah ia. Seseorang senantiasa berada dalam keadaan sholat selama menunggu sholat. (H.R al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
الْمُؤَذِّنُ يُغْفَرُ لَهُ مَدَى صَوْتِهِ وَيَشْهَدُ لَهُ كُلُّ رَطْبٍ وَيَابِسٍ وَشَاهِدُ الصَّلَاةِ يُكْتَبُ لَهُ خَمْسٌ وَعِشْرُونَ صَلَاةً وَيُكَفَّرُ عَنْهُ مَا بَيْنَهُمَا
Seorang muadzin (yang mengumandangkan adzan) akan diampuni sepanjang (jangkauan) suaranya dan setiap yang basah dan kering akan bersaksi untuknya, dan orang yang ikut sholat akan tercatat mendapatkan kelipatan 25 sholat (sendirian) dan akan diampuni di antara keduanya (sholat yang dilakukan dengan sholat sebelumnya). (H.R Abu Dawud, Ibnu Majah, dishahihkan Ibnu Hibban dan dinyatakan hasan shahih oleh al-Albany) 

Keutamaan Sholat Berjamaah Tidak Ketinggalan Takbirotul Ihram Imam Selama 40 Hari Berturut-Turut
مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ التَّكْبِيرَةَ الْأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاق
Barangsiapa yang sholat untuk Allah 40 hari berjamaah, mengikuti takbir pertama (Imam) tercatat dua pembebasan: pembebasan dari anNaar dan pembebasan dari kemunafikan. (H.R atTirmidzi dari Anas bin Malik, dihasankan al-Albany) 

Keutamaan Sholat Isya dan Subuh Berjamaah
مَنْ صَلَّى الْعِشَاءَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا قَامَ نِصْفَ اللَّيْلِ وَمَنْ صَلَّى الصُّبْحَ فِي جَمَاعَةٍ فَكَأَنَّمَا صَلَّى اللَّيْلَ كُلَّه
Barangsiapa yang sholat Isya berjamaah, maka seakan-akan ia melakukan qiyaamul lail separuh malam, dan barangsiapa yang (juga kemudian) sholat Subuh berjamaah maka seakan-akan ia sholat malam seluruhnya. (H.R Muslim dari Utsman bin Affan) 

(dikutip dari buku 'Fiqh Bersuci dan Sholat Sesuai Tuntunan Nabi', Abu Utsman Kharisman)

WA al-I'tishom

WA Al Istifadah
WALIS
http://walis-net.blogspot.com/p/depan.html

###

Allah Ta’ala berfirman;
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’ (shalat berjamah).” [QS. Al-Baqarah: 43]

Perhatikanlah firman Allah Ta’ala berikut ini;
وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِنْ وَرَائِكُمْ وَلْتَأْتِ طَائِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّوا فَلْيُصَلُّوا مَعَكَ وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ وَدَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَوْ تَغْفُلُونَ عَنْ أَسْلِحَتِكُمْ وَأَمْتِعَتِكُمْ فَيَمِيلُونَ عَلَيْكُمْ مَيْلَةً وَاحِدَةً وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ كَانَ بِكُمْ أَذًى مِنْ مَطَرٍ أَوْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَنْ تَضَعُوا أَسْلِحَتَكُمْ وَخُذُوا حِذْرَكُمْ إِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” [QS. An-Nisaa:102]

Dalam kondisi perang, Allah tetap memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan shalat wajib secara berjamaah. Bagaimana keadaan kita yang aman dan tentram, tidak diliputi rasa takut untuk melangkah ke masjid?! Tentunya lebih-lebih lagi wajib pergi ke masjid untuk menunaikan shalat jamaah.

Perhatikan pula apa yang dikabarkan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu;
أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلٌ أَعْمَى، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ، فَسَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ، فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ، فَرَخَّصَ لَهُ، فَلَمَّا وَلَّى، دَعَاهُ، فَقَالَ: «هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ؟» قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: «فَأَجِبْ» رواه مسلم
“Seorang buta (tuna netra) pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berujar “Wahai Rasulullah, saya tidak memiliki seseorang yang akan menuntunku ke masjid.” Lalu dia meminta keringanan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk shalat di rumah. Ketika sahabat itu berpaling, beliau kembali bertanya: “Apakah engkau mendengar panggilan shalat (adzan)?” laki-laki itu menjawab; “Benar.” Beliau bersabda: “Penuhilah seruan tersebut (hadiri jamaah shalat)!” [HR. Muslim]

Dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memberikan udzur (keringanan) kepada shahabat tersebut, padahal dia seorang yang buta, tidak memiliki penuntun yang akan menuntunnya ke masjid, bagaimana dengan orang-orang yang matanya masih bisa melihat dunia yang terang-benderang, masih sehat jasmani?! Tentu lebih-lebih tidak ada udzur baginya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ، وَصَلَاةُ الْفَجْرِ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا، وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ، فَتُقَامَ، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ، ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ، فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ
“Shalat yang dirasakan berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya` dan shalat subuh, sekiranya mereka mengetahui keutamaannya, niscaya mereka akan mendatanginya sekalipun dengan merangkak. Sungguh aku berkeinginan untuk menyuruh seseorang sehingga shalat didirikan, kemudian kusuruh seseorang dan ia mengimami manusia, lalu aku bersama beberapa orang membawa kayu bakar untuk menjumpai suatu kaum yang tidak menghadiri shalat (jamaah), lantas aku bakar rumah-rumah mereka.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Berkata Ibnul Mundzir rahimahullah: “Keinginan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membakar rumah-rumah orang-orang yang tidak menghadiri shalat (jamaah) adalah dalil yang jelas tentang wajibnya shalat berjamaah, karena tidak boleh bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam membakar rumah orang yang tidak hadir dalam shalat sunnah dan apa saja dari perkara yang bukan wajib.” [al-Awsath: 4/134]

Berkata Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: “Sungguh aku memandang bahwa tidaklah orang yang meninggalkannya (shalat jamaah) melainkan orang munafiq dengan kemunafiqan yang jelas.”

Bahkan sebagian shahabat seperti Ibnu Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari dan Ali bin Abi Thalib berpendapat tidak sahnya shalat seseorang yang meninggalkan shalat jamaah, padahal dia telah mendengarkan seruan adzan.

###

Asy Syaikh Ibnu Baaz rahimahulloh

Pertanyaan:
Apa hukum bagi seseorang yang mendengar adzan, namun ia tidak pergi ke masjid, akan tetapi ia menunaikan sholat-sholatnya di rumah atau di tempat ia bekerja?

Jawaban:
YANG DEMIKIAN TIDAK BOLEH, bahkan wajib baginya untuk memenuhi panggilan adzan. Sebagaimana sabda Nabi Shollallohu ‘alaihi wasallam:
ﻣﻦ ﺳﻤﻊ ﺍﻟﻨﺪﺍﺀ ﻓﻠﻢ ﻳﺄﺗﻪ ﻓﻼ ﺻﻼﺓ ﻟﻪ ﺇﻻ ﻣﻦ ﻋﺬﺭ
“Barang siapa yang mendengar adzan, kemudian ia tidak memenuhinya, maka tidak ada sholat baginya, kecuali seorang yang memiliki udzur.”
Dikatakan kepada Ibnu Abbas, “Apa yang dimaksud udzur?” Beliau menjawab, “Rasa takut dan sakit.”
Suatu ketika ada seorang buta datang menemui Rasululloh Shollallohu ‘alaihi wasallam, “Wahai Rasululloh, saya tidak memiliki seorang yang mengantar saya ke masjid, apakah ada rukhsoh (keringanan) bagi saya untuk sholat di rumah?” Rasululloh bertanya,
ﻫﻞ ﺗﺴﻤﻊ ﺍﻟﻨﺪﺍﺀ ﺑﺎﻟﺼﻼﺓ؟ ﻗﺎﻝ: ﻧﻌﻢ. ﻗﺎﻝ: ﻓﺄﺟﺐ
“Apakah engkau mendengar adzan?" Dia menjawab : “Ya.” Maka beliau Shollallohu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Maka penuhilah!”
Apabila orang yang buta saja, yang tidak ada orang yang mengantarnya tidak ada rukhsoh baginya, maka terlebih lagi bagi yang selainnya. Maka wajib atas setiap muslim untuk bersegera (memenuhi panggilan sholat) pada waktunya dengan berjama’ah. Adapun kalau jaraknya jauh, dia tidak mendengar adzan, maka tidak mengapa untuk sholat di rumahnya. Namun apabila ia mau menanggung kepayahan dan bersabar atasnya, kemudian dia sholat dengan berjamaah, maka yang demikian lebih baik dan lebih afdhol.

Sumber:
Al Fatawa Asy Syar’iyyah fil Masail Al ‘Ashriyyah min Fatawa ‘Ulama Biladil Haram (hal. 193-194)

Alih bahasa: Ibrohim Abu Kaysa

###

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan حفظه الله

Pertanyaan:
مجموعة من الأشخاص يصلون في الاستراحة جماعة ولا يصلون في المسجد الذي يبعد عنهم ثلاثمائة متر تقريبا فما الحكم في ذلك؟
Ada sekelompok orang yang melaksanakan shalat jamaah di tempat peristirahatan dan mereka tidak shalat di masjid karena jaraknya sedikit jauh sekitar tiga ratus meter.
Apa hukum perbuatan mereka ini?

Jawaban:
لا يجوز لهم هذا، إذا كانوا يسمعون النداء فيجب عليهم الإجابة والحضور: مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ، قيل وما العذر؟ قال: خوف أو مرض، فمن سمع النداء وجب عليه الذهاب إليه إلا إذا كان بعيدا، الأذان بالميكرفون مثلا الميكرفون يروح عشرات الكيلوات؛ لكن الصوت المجرد هذا هو المقصود، صوت المجرد من سمعه وجب عليه الحضور
Tidak boleh mereka melakukan ini!
Jika mereka mendengar suara adzan, maka wajib bagi mereka untuk mendatangi dan hadir di masjid tersebut.
Sebagaimana (dalam) hadits:
Barang siapa yang mendengar adzan kemudian dia tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya, kecuali dia sedang berudzur.
Ditanyakan kepada beliau: Apa udzur itu?
Beliau menjawab: Rasa takut dan sakit.
Maka barang siapa yang mendengar adzan, wajib baginya untuk mendatangi masjid tersebut kecuali jarak masjidnya sangat jauh.
Misalnya suara adzan dengan mikrofon bisa terdengar sejauh puluhan kilometer.
Akan tetapi, yang dimaksud dalam hadits adalah suara adzan dengan tanpa mikrofon, maka sejauh suara adzan dengan tanpa mikrofon itulah yang wajib untuk seseorang mendatanginya.

Sumber:
www .alfawzan .af .org .sa/node/14784

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Shalat.

Rukun Islam setelah syahadat. Salah satu hak Allah yang wajib ditunaikan setelah tauhid.

Wajar bila Umar ibnul Khaththab berkata, "Jika kalian melihat seseorang menyia-nyiakan urusan shalat, maka -demi Allah- untuk urusan yang lainnya dari hak Allah lebih mungkin lagi untuk disia-siakan."

Al Hasan ibn Ali berkata juga, "Wahai anak adam bagaimana akan datang kemulian dari agamamu jika urusan shalatmu engkau remehkan?"

Ikhwatii fillah rahimakumullah,
Coba jangan engkau tunjukkan nasehat di atas untuk orang lain, akan tetapi tunjuklah diri kita masing-masing.

Jangan-jangan kita sendiri telah sedikit meremehkan?

Atau, bahkan mungkin lebih!

Coba resapilah perbuatan Said ibn Abdilaziz. Beliau jika terluput dari shalat berjama'ah di mesjid maka beliau pun menangis.

Menangis?

Ya. Sedih dan menyesal karena telah tertinggal jama'ah shalat di mesjid.

Sampai seperti itu?

Ya.

Para salaf sangat menjaga urusan ini.

Imam Waki' memberitakan keadaan shahabatnya Imam al A'masy. Imam Waki' berkata, "Hampir 70th lamanya, beliau (Imam al A'masy) tidak pernah tertinggal takbir yang pertama (takbiratul ihram bersama imam)."

70 tahun!

Sa'id ibn al Musayyab berkata pula tentang keadaan dirinya, "Selama 40th tidaklah aku pernah tertinggal shalat berjama'ah."

40 tahun!

Kok bisa?

Beliau jelaskan, "Tidaklah seorang muadzdzin mengumandangkan adzan kecuali aku telah berada di mesjid."

Ikhwatii fillah rahimakumullah,
Lalu tersisa bagi kita pertanyaan.

Pernahkah walau sekali kita menangis karena luput berjama'ah?

Atau, kira-kira berapa kali kita sudah terluput dari takbiratul ihramnya imam?

Allah musta'an.

Imam Waki' berkata, "Barang siapa yang meremehkan urusan takbir yang pertama (takbiratul ihram) maka cucilah tanganmu darinya (jangan anggap dia)."

Duhai, alangkah kasihannya diri-diri kita ini.

Semoga bermanfaat nasehat ini bagi penulis sendiri dan juga bagi kaum muslimin.

Wallahu 'alam.

[Atsar-atsar dinukil dari Hayatus Salaf, 171-173]

Wa Sedikit Faidah Saja (SFS)

catatankajianku .blogspot .com

Tentang BERBICARA DAN BERHUBUNGAN DENGAN TUNANGAN

Asy-Syaikh Abdullah Al-Bukhary hafizhahullah

Pertanyaan: Bolehkah saya mengambil nomor HP wanita pinangan saya dan berbicara tentangnya?

Jawaban:
Maksudnya untuk membicarakannya atau untuk berbicara dengannya? Apakah tidak boleh membicarakannya?!
(hadirin tertawa)
Mungkin maksudnya untuk berbicara dengannya, jika berdasarkan konteks pertanyaannya. Tidak boleh berbicara dengannya walaupun dalam perkara-perkara agama dan mendapat izin keluarganya. Jangan engkau ambil, baik nomor HP wanita pinanganmu ataupun wanita mana saja yang ingin engkau pinang sebagai istri kedua atau ketiga atau keempat. Jangan berbicara walaupun dalam perkara agama ataupun perkara yang engkau katakan ini, walaupun keluarganya mengizinkannya, karena dia adalah wanita yang bukan mahram bagimu. Dia belum menjadi istrimu. Memang engkau telah melamarnya dan dia adalah pinanganmu. Namun untuk berbicara melebihi pinangan tersebut maka tidak boleh. Meminang wanita memiliki hukum-hukum yang telah ditentukan. Adapun dengan engkau mengambil nomornya lalu engkau berbicara panjang lebar dengannya dalam perkara-perkara agama, misalnya apa yang akan engkau katakan?!
Apakah engkau akan bertanya kepadanya: “Apakah anti (engkau) menjalankan agama dengan baik dan mengerjakan shalat ataukah tidak?!”
Bagaimana berbicara semacam ini dan untuk apa engkau berbicara semacam ini?!
Karena sesungguhnya hal itu akan menyeret kepada perkara-perkara yang engkau dan dia tidak membutuhkannya, baarakallahu fiik.
Bahkan syaithan sangat bersemangat di waktu-waktu semacam ini untuk menanamkam hal-hal yang akan menimbulkan perselisihan dan permusuhan antara suami istri, atau tepatnya antara pihak yang meminang dan yang dipinang, sehingga akan muncul hal-hal yang tidak terpuji akibatnya berupa pembatalan, lalu hal itu akan menyebabkan pihak pria membicarakan aib wanita yang telah dipinangnya, dan demikian juga wanita tersebut membicarakan aib pria yang telah meminangnya tadi.

Sumber:
ar[dot]miraath[dot]net

Alih Bahasa: Abu Almass

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata:

Bila yang dimaksud dengan hubungan sebelum pernikahan itu adalah sebelum dukhul (jima’) setelah dilangsungkannya akad nikah maka tidak ada dosa dalam hubungan tersebut karena terjadinya setelah akad nikah dan si wanita telah menjadi istrinya walaupun belum terjadi dukhul. Adapun hubungan yang terjalin sebelum akad nikah, di tengah masa pinangan atau sebelum pinangan maka tidak dibolehkan, haram hukumnya. Seorang laki-laki tidak diperkenankan bernikmat-nikmat mendengarkan ucapan seorang wanita ajnabiyyah (bukan mahramnya), memandang wajahnya, ataupun berkhalwat (berdua-duaan) dengannya. Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda:
“Tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya dan tidak boleh seorang wanita safar kecuali bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 1341)
Kesimpulannya, bila seorang laki-laki berkumpul dengan seorang wanita setelah terjadi akad nikah maka tidak ada dosa dalam hal ini. Adapun sebelum akad walaupun telah diadakan pinangan dan diterima pinangan tersebut maka tidak boleh, haram hukumnya karena wanita itu belum menjadi istri/mahramnya sampai terjalin akad nikah di antara keduanya. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/600)

Sumber: Asy Syariah Edisi 018

Tentang MENGANGKAT KEDUA TANGAN KETIKA BERDOA

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah ditanya,"Bagaimanakah kaidah mengangkat tangan ketika berdoa?”
(Liqo’at Al Bab Al Maftuh, 51/13, Asy Syabkah Al Islamiyah)

Beliau rahimahullah menjawab:

Mengangkat tangan ketika berdoa ada tiga keadaan:

Pertama: Ada dalil yang menunjukkan untuk mengangkat tangan.
Kondisi ini menunjukkan dianjurkannya mengangkat tangan ketika berdoa. Contohnya adalah ketika berdoa meminta diturunkannya hujan. Jika seseorang meminta hujan pada khutbah jumat atau khutbah shalat istisqo, maka dia hendaknya mengangkat tangan. Contoh lainnya adalah mengangkat tangan ketika berdoa di Bukit Shofa dan Marwah, berdoa di Arofah, berdoa ketika melempar Jumroh Al Ula pada hari-hari tasyriq dan juga Jumroh Al Wustho. Oleh karena itu, ketika menunaikan haji ada enam tempat (yang dianjurkan) untuk mengangkat tangan (ketika berdoa) yaitu:
[1] Ketika berada di Shofa,
[2] Ketika berada di Marwah,
[3] Ketika berada di Arofah,
[4] Ketika berada di Muzdalifah setelah shalat shubuh,
[5] Di Jumroh Al Ula di hari-hari tasyriq,
[6] Di Jumroh Al Wustho di hari-hari tasyriq.
Kondisi semacam ini tidak diragukan lagi dianjurkan untuk mengangkat tangan ketika itu karena adanya petunjuk dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini.

Kedua:
Tidak ada dalil yang menunjukkan untuk mengangkat tangan.
Contohnya adalah doa di dalam shalat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca doa istiftah: Allahumma ba’id baini wa baina khothoyaya kama ba’adta bainal masyriqi wal maghribi. Juga membaca doa duduk di antara dua sujud: Robbighfirli. Juga berdoa ketika tasyahud akhir. Namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan pada semua kondisi ini. Begitu pula dalam khutbah Jumat, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat kedua tangannya kecuali jika meminta hujan (ketika khutbah tersebut). Barangsiapa mengangkat tangan dalam kondisi-kondisi ini dan semacamnya, maka dia telah terjatuh dalam perkara yang diada-adakan dalam agama (bid’ah) dan melakukan semacam ini terlarang.

Ketiga:
Tidak ada dalil yang menunjukkan mengangkat tangan ataupun tidak. Maka hukum asalnya adalah mengangkat tangan karena ini termasuk adab dalam berdoa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesunguhnya Allah Maha Pemalu lagi Maha Mulia. Dia malu terhadap hamba-Nya, jika hamba tersebut menengadahkan tangan kepada-Nya, lalu kedua tangan tersebut kembali dalam keadaan hampa.” (HR. Abu Daud no. 1488 dan At Tirmidzi no. 3556. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abi Daud mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menceritakan seseorang yang menempuh perjalanan jauh dalam keadaan kusut dan penuh debu, lalu dia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya mengatakan, “Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!” Padahal makanannya itu haram, pakaiannya haram, dan dia dikenyangkan dari yang haram. Bagaimana mungkin doanya bisa dikabulkan? (HR. Muslim no. 1015)
Dalam hadits tadi, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan mengangkat kedua tangan sebagai sebab terkabulnya doa.

Inilah pembagian keadaan dalam mengangkat tangan ketika berdoa. Namun, ketika keadaan kita mengangkat tangan, apakah setelah memanjatkan doa diperbolehkan mengusap wajah dengan kedua tangan? Yang lebih tepat adalah tidak mengusap wajah dengan kedua telapak tangan sehabis berdoa karena hadits yang menjelaskan hal ini adalah hadits yang lemah (dho’if) yang tidak dapat dijadikan hujjah (dalil). Apabila kita melihat seseorang membasuh wajahnya dengan kedua tangannya setelah selesai berdoa, maka hendaknya kita jelaskan padanya bahwa yang termasuk petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah tidak mengusap wajah setelah selesai berdoa karena hadits yang menjelaskan hal ini adalah hadits yang lemah (dho’if‏).

###

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya (11/181) mengatakan:
Tidak disyari’atkan untuk mengangkat kedua tangan (ketika berdoa) pada kondisi yang kita tidak temukan di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat tangan pada saat itu. Contohnya adalah berdoa ketika selesai shalat lima waktu, ketika duduk di antara dua sujud dan ketika berdoa sebelum salam, juga ketika khutbah jumat atau shalat ied. Dalam kondisi seperti ini hendaknya kita tidak mengangkat tangan (ketika berdoa) karena memang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan demikian padahal beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suri tauladan kita dalam hal ini. Namun ketika meminta hujan pada saat khutbah jumat atau khutbah ied, maka disyariatkan untuk mengangkat tangan sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau menegaskan:
Kondisi yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengangkat tangan, maka tidak boleh bagi kita untuk mengangkat tangan. Karena perbuatan Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam termasuk sunnah, begitu pula apa yang beliau tinggalkan juga termasuk sunnah.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata lagi dalam Majmu’ Fatawa-nya (11/178):
Begitu pula berdoa sesudah shalat lima waktu setelah selesai berdzikir, maka tidak terlarang untuk berdoa ketika itu karena terdapat hadits yang menunjukkan hal ini. Namun perlu diperhatikan bahwa tidak perlu mengangkat tangan ketika itu. Alasannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan demikian. Wajib bagi setiap muslim senantiasa untuk berpedoman pada Al Kitab dan As Sunnah dalam setiap keadaan dan berhati-hati dalam menyelisihi keduanya. Wallahu waliyyut taufik.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam Majmu’ Fatawa-nya (11/181) mengatakan:
Adapun shalat sunnah, maka aku tidak mengetahui adanya larangan mengangkat tangan ketika berdoa setelah selesai shalat. Hal ini berdasarkan keumuman dalil. Namun lebih baik berdoa sesudah selesai shalat sunnah tidak dirutinkan. Alasannya, karena tidak terdapat dalil yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan hal ini. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukannya, maka hal tersebut akan dinukil kepada kita karena kita ketahui bahwa para sahabat radhiyallahu ‘anhum jami’an rajin untuk menukil setiap perkataan atau perbuatan beliau baik ketika bepergian atau tidak, atau kondisi lainnya. Adapun hadits yang masyhur (sudah tersohor di tengah-tengah umat) bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di dalam shalat, seharusnya engkau merendahkan diri dan khusyu’. Lalu hendaknya engkau mengangkat kedua tanganmu (sesudah shalat), lalu katakanlah: Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!”
Hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah), sebagaimana hal ini dijelaskan oleh Ibnu Rajab dan ulama lainnya. Wallahu waliyyut taufiq.

###

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله

Pertanyaan:
بارك الله فيكم، يقول السائل ماحكم رفع اليدين بالدعاء بين الأذان والإقامه؟
Semoga Allah memberkahi Anda, wahai Syaikh kami.
Ada yang bertanya, bagaimana hukum mengangkat tangan ketika berdoa antara adzan dan iqamah?

Jawaban:
بناء على عمومات السنة، أرى أنه لا مانع من ذلك إن شاء الله تعالى ولكن، أنبه إلى شيء، وهو أنه بعد الفريضة لا ترفع اليدان، وبعد النافلة أو بين الأذان و الإقامة فلا بأس بهذا إن شاء الله تعالى لعمومات السنة في هذا الباب، والله أعلم
Atas dasar keumuman sunnah, maka aku berpendapat ini tidak mengapa, insya Allah.
Akan tetapi, saya ingatkan tentang satu perkara, yaitu bahwasanya selesai shalat fardhu tidak disyariatkan berdoa mengangkat tangan.
Adapun ketika selesai shalat sunnah atau doa antara azan dan iqamah, maka ini tidak mengapa mengangkat tangan berdasarkan keumuman sunnah pada bab ini.
Wallahu alam.

Sumber:
ar .miraath .net/fatwah/2420

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang BERDOA KETIKA SUJUD DALAM SHALAT

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺃﻵ ، ﻭَﺇِﻧِّﻲ ﻧُﻬِﻴْﺖُ ﺃَﻥ ﺃَﻗْﺮَﺃَ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ ﺭَﺍﻛِﻌًﺎ ﺃَﻭْ ﺳَﺎﺟِﺪً ﺍ، ﻓَﺄَﻣَّﺎ ﺍﻟﺮُّﻛُﻮْﻉُ ﻓَﻌَﻈِّﻤُﻮْﺍ ﻓِﻴْﻪِ ﺍﻟﺮَّﺏَّ ﻋﺰ ﻭ ﺟﻞ ﻭَﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟﺴُّﺠُﻮْﺩُ ﻓَﺎﺟْﺘَﻬِﺪُﻭْﺍ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀَ ﻓَﻘَﻤِﻦٌ ﺃَﻥْ ﻳُﺴْﺘَﺠَﺎﺏَ ﻟَﻜُﻢْ
“Sungguh, aku dilarang untuk membaca al-Qur’an ketika ruku’ dan sujud. Adapun ketika ruku’ maka agungkanlah Rabb di dalamnya. Adapun saat sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa karena pantas doa kalian dikabulkan.” (HR. Muslim no. 1074 dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengabarkan,
ﺃَﻗْﺮَﺏُ ﻣَﺎ ﻳَﻜُﻮْﻥُ ﺍﻟْﻌَﺒْﺪُ ﻣِﻦْ ﺭَﺑِّﻪِ ﻭَ ﻫُﻮَ ﺳَﺎﺟِﺪٌ، ﻓَﺄَﻛْﺜِﺮُﻭﺍ ﺍﻟﺪُّﻋَﺎﺀَ ﻓِﻴْﻪِ
“Sedekat-dekatnya hamba dengan Rabbnya adalah di saat si hamba sedang sujud, maka perbanyaklah doa di dalam sujud.” (HR. Muslim no. 1083 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Dibolehkan berdoa dalam sujud dengan doa yang ada dalam al-Qur’an, seperti ketika sujud seseorang membaca doa,
ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻏْﻔِﺮْﻟَﻨَﺎ ﺫُﻧُﻮْ ﺑَﻨَﺎ ﻭَﺍِﺳْﺮَﺍﻓَﻨَﺎ ﻓِﻰ ﺍَﻣْﺮِﻥَ ﻭَﺛَﺒِّﺖْ ﺍَﻗْﺪَﺍﻣَﻨَﺎ ﻭَﺍﻧْﺼُﺮْﻧَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡِ ﺍﻟْﻜَﺎﻓِﺮِﻳْﻦَ۝
“Wahai Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami, kokohkanlah telapak-telapak kaki kami (tetapkanlah pendirian kami) dan tolonglah kami dari orang-orang kafir.” (Ali Imran: 147)
atau berdoa,
ﺭَﺑَّﻨَﺂﺍٰﺗِﻨَﺎ ﻓِﻰ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎﺣَﺴَﻨَﺔً ﻭَﻓِﻰ ﺍﻟْﺎٰﺧِﺮَﺓِ ﺣَﺴَﻨَﺔً ﻭَﻗِﻨَﺎ ﻋَﺬَﺍ ﺏَ ﺍﻟﻨَّﺎﺭِ۝
“Wahai Rabb kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta lindungi kami dari azab neraka.” (al-Baqarah: 201)
Hal ini dibolehkan karena yang mengucapkannya tidak bersengaja untuk membaca al-Qur’an, tapi ia bermaksud berdoa dengan doa yang ada dalam al-Qur’an, maka doa yang dibacanya termasuk zikir. (asy-Syarhul Mumti’, 3/133)

###

Pertanyaan kepada asy-Syaikh Shalih al Fauzan hafizhahullah:

Diriwayatkan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam doa yang dibaca ketika sujud. Apakah boleh untuk membaca doa yang lain atau mulai dengan dzikir “ ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺭَﺑِّﻰَ ﺍﻷَﻋْﻠَﻰ ”  kemudian membaca doa yang lain?

Beliau menjawab:

Seharusnya memulai membaca:
ﺳُﺒْﺤَﺎﻥَ ﺭَﺑِّﻰَ ﺍﻷَﻋْﻠَﻰ
Dzikir ini wajib di antara kewajiban-kewajiban shalat. Jika dia meninggalkan dengan sengaja maka shalatnya tidak sah dan adapun doa (setelah dzikir di atas) maka dia sunnah dibaca apa yang mudah bagimu dan apa yang Allah bukakan atasmu.

Sumber:‏
alfawzan[dot]af[dot]org[dot]sa

Ustadz Abu Muhammad Arsyad Hafizhahullah