Cari Blog Ini

Sabtu, 18 Oktober 2014

Tentang BERBICARA DAN BERHUBUNGAN DENGAN TUNANGAN

Asy-Syaikh Abdullah Al-Bukhary hafizhahullah

Pertanyaan: Bolehkah saya mengambil nomor HP wanita pinangan saya dan berbicara tentangnya?

Jawaban:
Maksudnya untuk membicarakannya atau untuk berbicara dengannya? Apakah tidak boleh membicarakannya?!
(hadirin tertawa)
Mungkin maksudnya untuk berbicara dengannya, jika berdasarkan konteks pertanyaannya. Tidak boleh berbicara dengannya walaupun dalam perkara-perkara agama dan mendapat izin keluarganya. Jangan engkau ambil, baik nomor HP wanita pinanganmu ataupun wanita mana saja yang ingin engkau pinang sebagai istri kedua atau ketiga atau keempat. Jangan berbicara walaupun dalam perkara agama ataupun perkara yang engkau katakan ini, walaupun keluarganya mengizinkannya, karena dia adalah wanita yang bukan mahram bagimu. Dia belum menjadi istrimu. Memang engkau telah melamarnya dan dia adalah pinanganmu. Namun untuk berbicara melebihi pinangan tersebut maka tidak boleh. Meminang wanita memiliki hukum-hukum yang telah ditentukan. Adapun dengan engkau mengambil nomornya lalu engkau berbicara panjang lebar dengannya dalam perkara-perkara agama, misalnya apa yang akan engkau katakan?!
Apakah engkau akan bertanya kepadanya: “Apakah anti (engkau) menjalankan agama dengan baik dan mengerjakan shalat ataukah tidak?!”
Bagaimana berbicara semacam ini dan untuk apa engkau berbicara semacam ini?!
Karena sesungguhnya hal itu akan menyeret kepada perkara-perkara yang engkau dan dia tidak membutuhkannya, baarakallahu fiik.
Bahkan syaithan sangat bersemangat di waktu-waktu semacam ini untuk menanamkam hal-hal yang akan menimbulkan perselisihan dan permusuhan antara suami istri, atau tepatnya antara pihak yang meminang dan yang dipinang, sehingga akan muncul hal-hal yang tidak terpuji akibatnya berupa pembatalan, lalu hal itu akan menyebabkan pihak pria membicarakan aib wanita yang telah dipinangnya, dan demikian juga wanita tersebut membicarakan aib pria yang telah meminangnya tadi.

Sumber:
ar[dot]miraath[dot]net

Alih Bahasa: Abu Almass

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata:

Bila yang dimaksud dengan hubungan sebelum pernikahan itu adalah sebelum dukhul (jima’) setelah dilangsungkannya akad nikah maka tidak ada dosa dalam hubungan tersebut karena terjadinya setelah akad nikah dan si wanita telah menjadi istrinya walaupun belum terjadi dukhul. Adapun hubungan yang terjalin sebelum akad nikah, di tengah masa pinangan atau sebelum pinangan maka tidak dibolehkan, haram hukumnya. Seorang laki-laki tidak diperkenankan bernikmat-nikmat mendengarkan ucapan seorang wanita ajnabiyyah (bukan mahramnya), memandang wajahnya, ataupun berkhalwat (berdua-duaan) dengannya. Nabi shallallahu alaihi wasallam telah bersabda:
“Tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan seorang wanita kecuali wanita itu bersama mahramnya dan tidak boleh seorang wanita safar kecuali bersama mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 1341)
Kesimpulannya, bila seorang laki-laki berkumpul dengan seorang wanita setelah terjadi akad nikah maka tidak ada dosa dalam hal ini. Adapun sebelum akad walaupun telah diadakan pinangan dan diterima pinangan tersebut maka tidak boleh, haram hukumnya karena wanita itu belum menjadi istri/mahramnya sampai terjalin akad nikah di antara keduanya. (Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, 2/600)

Sumber: Asy Syariah Edisi 018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar