Cari Blog Ini

Kamis, 18 Desember 2014

Tentang MENUNDUKKAN PANDANGAN

Allah Ta’ala berfirman;
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.” [QS. An-Nuur: 30]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda;
لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ
“Tidaklah (boleh) seorang laki-laki melihat aurat laki-laki, dan perempuan melihat aurat perempuan.” [HR. Muslim]

Menjaga pandangan itu lebih berat dari pada menjaga lisan, sebagaimana yang dikatakan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu;
حفظ البصر أشدّ من حفظ اللّسان
“Menjaga pandangan itu lebih berat daripada menjaga lisan.” [Kitab al-Wara’, karya Ibnu Abid Dunya hal. 62]

Berkata Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu;
إذا مرّت بك امرأة فغمّض عينيك حتّى تجاوزك
“Apabila ada seorang wanita lewat di hadapanmu, maka pejamkanlah matamu sampai dia berlalu darimu.” [Kitab al-Wara’, karya Ibnu Abid Dunya hal. 66]

Berkata Sa’id bin Abil Hasan, ‘Sesungguhnya para wanita asing itu membuka dada-dada mereka dan tidak berjilbab’. Maka al-Hasan al-Bashri berkata kepada saudaranya, ‘Palingkanlah pandangan dari mereka, Allah Ta’ala berfirman;
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya.” [QS. An-Nuur:30]
[lihat kitab al-Wara’, karya Ibnu Abid Dunya hal.62]

Berkata Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah;
إنّ التّقوى سبب لغضّ البصر، وتحصين الفرج
“Sesungguhnya ketaqwaan itu merupakan sebab untuk menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan.” [Fathul Bari: 9/109]

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah;
“Allah Ta’ala telah memerintahkan dalam Kitab-Nya (al-Quran) untuk menundukkan pandangan, dan hal ini ada macam: menundukkan pandangan dari aurat (orang lain) dan menundukkannya dari tempat yang mengundang syahwat;
Yang pertama, seperti seorang laki-laki menundukkan pandangannya dari aurat orang lain, hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam;
لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ
“Tidaklah (boleh) seorang laki-laki melihat aurat laki-laki, dan perempuan melihat aurat perempuan.” [HR. Muslim]
Wajib bagi setiap insan menutup auratnya.
Adapun yang kedua, adalah menundukkan pandangan dari perhiasan yang tidak tampak pada wanita asing (bukan mahram). Dan hal ini lebih berat daripada yang pertama.” [Majmu’ Fatawa: 15/414-436]

###

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah

Pertanyaan:
Apakah bisa dipahami bahwa maksud dari keharaman memandang wanita ajnabiyyah (non mahram) adalah memandang wajahnya ditambah dengan memandang auratnya, ataukah yang diharamkan memandang auratnya saja?

Jawaban:
Yang diharamkan tidak hanya memandang auratnya, bahkan seluruhnya dilarang. Karena Allah berfirman dalam Al-Qur`an:
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman (kaum mukminin): Hendaklah mereka menundukkan sebagian dari pandangan mereka dan hendaklah mereka menjaga kemaluan mereka.” (An-Nur: 30)
Sekalipun wanita itu terbuka wajahnya, tidaklah berarti boleh memandang wajahnya. Karena terdapat perintah untuk menundukkan pandangan. Laki-laki menundukkan pandangannya dari melihat wanita. Demikian pula sebaliknya, wanita diperintahkan menundukkan pandangannya dari melihat laki-laki.
“Katakanlah kepada wanita-wanita yang beriman (kaum mukminat): Hendaklah mereka menundukkan sebagian dari pandangan mereka.” (An-Nur: 31)
Apabila seorang wanita berjalan di pasar, ia melihat laki-laki, melihat gelang yang dipakai laki-laki, melihat wajah mereka, tangan dan betis mereka, ini memang bukan aurat laki-laki. Namun bersamaan dengan itu, si wanita harus menundukkan pandangannya walaupun si lelaki tidak membuka auratnya. Karena hal ini merupakan penutup jalan menuju kerusakan (saddun lidz-dzari’ah).
Tatkala Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kaum mukminin untuk menundukkan pandangan dari melihat wajah-wajah wanita yang mungkin terbuka, demikian pula ketika Dia memerintahkan para wanita untuk menundukkan pandangan mereka dari melihat laki-laki, bukanlah karena permasalahan yang berkaitan dengan hukum syar’i tentang aurat semata. Namun semuanya itu menegaskan ditutupnya jalannya menuju kerusakan. Karena dikhawatirkan bila si lelaki memandangi wajah seorang wanita lantas mengagumi kecantikannya, akan menyeret si lelaki kepada perbuatan nista. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:
“Sesungguhnya Allah menetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina…”
Demikian pula wanita diperintahkan menundukkan pandangannya dari lelaki karena khawatir ia akan terfitnah dengan keelokan wajah si lelaki, besarnya ototnya, lurusnya lengannya dan bagian-bagian tubuh lain yang dapat membuat fitnah. Maka datanglah perintah yang melarang masing-masing jenis dari melihat lawan jenis (yang bukan mahramnya) dalam rangka menutup jalan menuju kerusakan.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 461-462)

###

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah

Pertanyaan:
Apa hukum wanita melihat pria di televisi, seperti melihat kepada para dai dan masayikh serta ulama ketika mereka menyampaikan ceramah?

Jawaban:
Demi Allah, ini merupakan bencana, yaitu masalah media ini dengan tampilnya pria di hadapan wanita dan wanita di hadapan pria. Ini merupakan musibah. Dia bisa mendengarkan nasehat dan pelajaran (agama) melalui radio tanpa melihat gambar (pria).

Ditranskrip dan diterjemahkan oleh: Abu Almass bin Jaman Al-Ausathy
Kamis, 6 Jumaadal Ula 1435 H
Daarul Hadits Ma’bar Yaman

forumsalafy .net

###

Soal:
Bolehkah seorang wanita (akhwat) melihat sekumpulan laki-laki dari balik kerudungnya? Mohon jawabannya, jazakumullah khairan.
(Akhwat di Kroya)

Jawab:
Allah berfirman:
“Katakanlah kepada kaum mukminin, hendaklah mereka menundukkan pandangan-pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka, yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengabarkan terhadap apa yang mereka perbuat.” (An-Nur: 30)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
“…maka zinanya mata itu adalah dengan memandang…” (HR. Al-Bukhari 11/503 dan Muslim 4/2046)
Ulama sepakat, sebagaimana dinukilkan Al-Imam An-Nawawi dalam Syarah Muslim bahwasanya memandang laki-laki dengan syahwat haram hukumnya.
Sebagian ulama membolehkan untuk memandang laki-laki secara mutlak. Mereka berdalil dengan kisah ‘Aisyah yang melihat orang-orang Habasyah yang sedang bermain tombak (perang-perangan) di masjid sampai ia bosan dan berlalu.
Al-Imam An-Nawawi menjawab dalil mereka ini bahwasanya peristiwa itu mungkin terjadi ketika ‘Aisyah belum baligh.
Namun Al-Hafidz Ibnu Hajar membantahnya dengan mengatakan ucapan ‘Aisyah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menutupinya dengan selendang beliau menunjukkan peristiwa ini terjadi setelah turunnya perintah hijab. (Dan ‘Aisyah dihijabi oleh beliau menunjukkan bahwa ‘Aisyah telah baligh.)
Al-Imam An-Nawawi memberi kemungkinan yang lain, beliau mengatakan: “Dimungkinkan ‘Aisyah hanya memandang kepada permainan tombak mereka bukan memandang wajah-wajah dan tubuh-tubuh mereka. Dan bila pandangan jatuh ke wajah dan tubuh mereka tanpa sengaja bisa segera dipalingkan ke arah lain saat itu juga.” (Lihat Fathul Bari, 2/445)
Dengan demikian, hendaklah seorang wanita memiliki rasa malu dan jangan membiarkan pandangan matanya jatuh kepada sesuatu yang tidak diperkenankan baginya, termasuk memandang laki-laki yang bukan mahramnya.
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
(Demikian jawaban ini dinukilkan dari kitab Nashihati Lin Nisa karya Ummu Abdillah Al-Wadi‘iyyah hafizhahallah, putri Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi‘i)

Sumber: Syariah Edisi 3

Tentang BERSUNGGUH-SUNGGUH DI DALAM BERIBADAH PADA SEPULUH HARI TERAKHIR BULAN RAMADAN

Pertanyaan kedelapan dari fatwa no. 2392:
Bagaimana cara menghidupkan Lailatul Qadar apakah dengan shalat atau membaca Al-Quran, membaca sejarah nabi, membaca nasihat-nasihat dan bimbingan serta mengadakan perayaan hal itu di masjid?

Jawaban:

Yang pertama: 
Dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir di bulan ramadhan, yang tidak pernah bersungguh-sungguh pada waktu selainnya dengan melakukan shalat malam, membaca Al-Quran dan doa.
Al-Bukhary dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu anha: Bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wasallam dahulu jika memasuki sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, beliau menghidupkan malam-malamnya, membangunkan istri-istrinya dan mengencangkan sarungnya (menjauhi bergaul dengan istri-istrinya).
Dan dalam riwayat Ahmad dan Muslim: Adalah Nabi sangat bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir (ramadhan) yang tidak pernah bersungguh-sungguh pada selainnya.

Yang kedua:
Nabi shallallahu alaihi wasallam menganjurkan untuk menghidupkan lailatul qadar karena keimanan dan mengharap pahala. Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: Barang siapa yang melakukan shalat malam pada lailatul qadar karena keimanan dan mengharap pahala, dia diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. (HR jamaah selain Ibnu Majah)
Hadits ini menunjukkan atas disyariatkannya menghidupkan lailatul qadar dengan shalat malam.

Yang ketiga:
Di antara doa yang paling bagus yang dibaca pada lailatul qadar adalah doa yang Nabi ajarkan kepada Aisyah radhiyallahu anha. At-Tirmidzy meriwayatkan hadits dan beliau menshahihkannya dari Aisyah radhiyallahu anha, dia berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana menurut anda, seandainya saya tahu, suatu malam itu adalah lailatul qadar, apa yang mesti saya baca padanya?
Beliau menjawab: Bacalah olehmu:
اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
Ya Allah sesungguhnya Engkau itu Maha Pemaaf, dan mencintai sifat pemaaf, maka maafkanlah diriku.

Yang keempat:
Adapun mengkhususkan suatu malam dari ramadhan bahwasanya itu adalah lailatul qadar, maka ini butuh kepada dalil yang menentukan (kalau itu lailatul qadar) bukan malam lainnya. Akan tetapi malam-malam ganjil sepuluh terakhir itu lebih pantas dari selainnya. Dan malam ke-27 itu yang lebih pantas untuk lailatul qadar dari selainnya. Berdasarkan beberapa hadits yang menunjukkan apa yang telah kami sebutkan.

Yang kelima:
Dan adapun melakukan bidah maka ini tidak boleh, baik di bulan ramadhan ataupun di luar ramadhan. Telah tetap dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Barang siapa yang mengada-ada dalam urusan kami ini suatu perkara yang bukan darinya maka hal itu tertolak.
Dalam riwayat lain: Barang siapa yang beramal suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.
Maka apa yang dilakukan pada sebagian malam ramadhan berupa perayaan maka kami tidak mengetahui kalau itu ada asalnya. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu alaihi wasallam dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan.

Wabillahit taufiq. Semoga shalawat dan salam terlimpah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan shahabatnya.

Dewan Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa
Anggota: Abdullah bin Quud
Ketua: Abdulaziz bin Abdullah bin Baaz

Sumber: alifta .com

Alih Bahasa:
Ustadz Abu Hafs Umar al Atsary

forumsalafy .net

###

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan حفظه الله

Pertanyaan:
أرجو الإفادة عن فضائل العشر الأواخر من رمضان؟
Saya mengharap penjelasan tentang keutamaan sepuluh hari terakhir Ramadhan?

Jawaban:
فضائل العشر الأواخر عظيمة وذلك لأن النبي صلى الله عليه وسلم كان يجتهد فيها أكثر من اجتهاده في أول الشهر فكان عليه الصلاة والسلام يجتهد في التهجد في هذه الليالي أكثر من تهجده في أول الشهر. وكان عليه الصلاة والسلام يعتكف في العشر الأواخر من رمضان بمعنى أنه يمكث في المسجد لذكر الله وللعبادة ولا يخرج منه إلا لحاجة الإنسان طيلة العشر الأواخر مما يدل على مزيتها وفضيلتها. كذلك فإن أكثر ما يُرْجَى مُصَادفة ليلة القدر في هذه العشر الأواخر؛ لأن النَّبي صلى الله عليه وسلم أخبر أنها ترجى في العشر الأواخر خاصة فكان صلى الله عليه وسلم يجتهد في هذه العشر طلباً لليلة القدر
Keutamaan sepuluh hari terakhir Ramadhan sangatlah besar, dikarenakan Nabi shallallahu alaihi wasallam beliau sangat bersungguh-sungguh (di dalam beribadah) pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, lebih dari kesungguhan beliau pada awal bulan Ramadhan.
Dan beliau alaihi sholaatu wasallam sangat bersungguh-sungguh di dalam shalat malam pada sepuluh malam terakhir Ramadhan, lebih dari kesungguhan beliau pada awal malam bulan Ramadhan.
Dan beliau shallallahu alaihi wasallam beritikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, yaitu beliau tinggal di dalam masjid untuk berdzikir kepada Allah dan beribadah. Beliau tidak keluar kecuali untuk sebuah kebutuhan yang mendesak selama sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Ini semua menunjukkan keistimewaan dan keutamaan sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Dan juga kemungkinan besar, di sepuluh hari terakhir Ramadan itulah diharapkan untuk didapatkannya malam lailatul qodr, dikarenakan Nabi shallallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa malam lailatul qodr bisa diharapkan di sepuluh malam terakhir Ramadhan secara khusus.
Maka beliau shallalahu alaihi wasallam sangatlah bersungguh-sungguh pada sepuluh hari terakhir Ramadhan ini dalam rangka mendapatkan malam lailatul qodr.

Sumber:
www .alfawzan .af .org .sa/node/14891

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin

Beliau rahimahullah berkata, "Di antara yang menunjukkan keutamaan 10 terakhir Ramadhan adalah bahwa Nabi dulu membangunkan keluarga beliau (isteri-isteri beliau) pada malam tersebut, untuk shalat dan dzikir, demi mendapatkan keuntungan besar pada malam-malam yang dibarakahi tersebut, yang sangat ditekankan untuk diisi dengan ibadah. Karena memang itu kesempatan dan ghanimah besar dalam umur bagi barangsiapa yang diberi taufiq oleh Allah 'Azza wa Jalla. Maka tidak sepantasnya bagi seorang yang berakal untuk terluput dari kesempatan yang sangat mahal ini, untuk dirinya dan keluarganya. Sementara, itu hanya beberapa malam saja. Namun, bisa jadi dalam waktu yang singkat itu, dia mendapatkan anugerah besar dari Rabb-nya Ta'ala, sehingga itu menjadi kebahagian untuknya di dunia dan di akhirat. Sehingga, suatu kerugian yang sangat besar dan berat, ternyata kamu lihat kebanyakan dari kaum muslimin menghabiskan waktu yang sangat mahal ini untuk hal-hal yang tidak bermanfaat bagi mereka." (Majmu' Fatawa wa Rasa'il 20/339)

Majmuah Manhajul Anbiya

Sumber: manhajul-anbiya .net

###

Asy Syaikh Shalih Fauzan bin Abdillah al Fauzan حفظه الله

Pertanyaan:
ما هو الدعاء الذي يستجاب في ليلة القدر وإذا الإنسان صادف هذه الليلة ما الدعاء المشروع؟
Apa doa yang mustajab dan disyariatkan ketika seseorang menghadapi malam lailatul qodr?

Jawaban:
سألت عائشة رضي الله عنها رسول الله صلى الله عليه وسلم، إذا أدركت ليلة القدر ما ذا تقول قال قولي (اللهم انك عفو تحب العفو فاعفو عني)، ويكرر هذا الدعاء وما تيسر معهُ من الأدعية الصالحة والأدعية كثير والحمد لله، الأدعية القرآنية والأدعية النبوية أو ما يسر الله لهُ من الدعاء الموافق من الكتاب والسنة
Aisyah radiyallahu anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam: Jika saya menjumpai malam lailatul qadr doa apa yang harus saya ucapkan?
Beliau menjawab: Ucapkanlah Allohumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwaa fa'fu'anni
Dan hendaknya dia mengulang-ulang doa ini dan juga berdoa dengan doa-doa yang mudah baginya dari doa-doa yang baik, dan alhamdulillah doa-doa (yang baik) itu sangat banyak baik doa yang bersumber dari Al Quran atau dari hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam atau doa yang sesuai dengan al Kitab dan Sunnah.

Sumber:
www .alfawzan .af .org .sa/print/15614

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang BANGGA DIRI

Asy-Syaikh Hamad bin Ibrahim Al-Utsman hafizhahullah berkata:
"Ujub atau merasa kagum dan bangga dengan diri sendiri menjadikan pelakunya memuliakan dirinya sendiri, sehingga dia merasa senang dan cukup dengan apa yang dia miliki, akibatnya dia menganggap bahwa kebenaran tidak muncul kecuali dari dirinya, seakan-akan dia memang diberi tugas khusus untuk membawanya. Ini merupakan sifat orang-orang kafir sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوْا بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُوْنَ
“Maka tatkala para rasul yang diutus kepada mereka membawa keterangan-keterangan yang jelas, orang-orang kafir itu merasa senang dengan ilmu yang mereka miliki, akibatnya mereka ditimpa apa yang dahulu selalu mereka jadikan sebagai bahan olok-olokan.” (QS. Ghafir: 83)
Jika seseorang merasa kagum dengan dirinya dan merasa cukup dengan apa yang dia miliki, maka sempurna sudah kerugiannya, karena dia tidak akan mungkin menoleh kepada perkataan orang lain, apalagi menerimanya jika itu merupakan kebenaran.

Abu Wahb al-Marwazi Rohimahulloh berkata:
"Aku bertanya kepada Ibnul Mubarak tentang kesombongan,  Beliau menjawab, '(Kesombongan) adalah engkau meremehkan dan merendahkan manusia.' Kemudian aku bertanya kepadanya mengenai ujub (bangga diri). Beliau pun menjawab, '(Ujub) adalah engkau memandang bahwa dirimu memiliki sesuatu yang tidak ada pada selainmu." (an-Nubadz fi Adabi Thalabil Ilmi)

Dalam hadits ibnu ‘Abbas, Rasulullah bersabda;
ﺍﻟﻤﻬﻠﻜﺎﺕ ﺛﻼﺙ: ﺇﻋﺠﺎﺏ ﺍﺩﻣﺮﺀ ﺑﻨﻔﺴﻪ، ﻭ ﺷﺢ ﻣﻄﺎﻉ ﻭ ﻫﻮﻯ ﻣﺘﺒﻊ
"Yang menghancurkan itu ada tiga, yaitu bangga seseorang terhadap dirinya, kikir yang ditaati dan hawa nafsu yang diikuti." (Dihasankan oleh Al Albani)

Berkata Abu Darda' radhiyallahu ’anhu:
“Tanda kebodohan ada tiga: merasa bangga dengan dirinya, banyak berbicara dalam perkara yang tidak bermanfaat bagi dirinya, dan melarang sesuatu kemudian dia mendatanginya.”

Dan diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu beliau berkata:
“Berbangga diri membahayakan hati-hati.”

Dan berkata yang lainnya: “Berbangganya seseorang dengan dirinya merupakan dalil kurang akalnya.”

Dan mereka juga mengatakan:
“Tidaklah anda melihat orang yang berbangga dengan dirinya kecuali menginginkan kepemimpinan.”
(Lihat Jami’ Bayan Ilmi 570-571)

Masruq rahimahullah berkata:
“Cukuplah seorang termasuk berilmu, manakala dia takut kepada Allah Azza wa Jalla. Dan cukuplah seseorang termasuk dalam kebodohan (jahil) manakala dia merasa ujub (bangga) dengan ilmunya.”
(Akhlaqul ‘Ulama` Al-Ajurri hal. 47)

Mutharrif bin Abdillah Asy-Syakhir rahimahullah berkata:
“Sungguh aku tidur hingga Shubuh lalu aku merasa menyesal, lebih aku sukai dibandingkan aku shalat semalam suntuk lalu aku merasa kagum pada diriku sendiri.” (Mukhtashar Minhaajul Qaashidiin hal. 274)

Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata:
لَوْ أَنَّ الْمُبْتَدِعَ تَوَاضَعَ لِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ نَبِيِّهِ لَاتَّبَعَ وَمَا ابْتَدَعَ، وَلَكِنَّهُ أُعْجِبَ بِرَأْيِهِ فَاقْتَدَى بِمَا اخْتَرَعَ
“Seandainya seorang mubtadi’ tawadhu’ kepada Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, niscaya dia akan mengikuti kebenaran dan tidak akan mengada-adakan bid’ah, tetapi dia merasa kagum dengan pendapatnya sehingga lebih mengikuti apa yang dia buat-buat.” (At-Tadzkirah fil Wa’zhi, hal. 97)

Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah berkata:
"Waspadailah hal-hal yang akan merusak amalmu, karena sesungguhnya yang akan merusak amalmu adalah riya’.
Kalau bukan riya’ maka dengan engkau merasa kagum dengan dirimu sendiri hingga dikhayalkan kepadamu bahwa engkau lebih mulia dibandingkan saudaramu yang mana saja. Padahal bisa jadi engkau tidak bisa beramal sebaik yang dia kerjakan, dan bisa jadi dia lebih wara’ terhadap hal-hal yang diharamkan oleh Allah dibandingkan dirimu dan amalnya lebih suci dibandingkan dirimu.
Jika engkau tidak merasa kagum dengan dirimu, maka waspadailah jangan sampai engkau senang dengan pujian manusia. Pujian mereka adalah dengan engkau senang jika mereka memuliakan dirimu karena amal yang engkau lakukan dan mereka menilai engkau memiliki kemuliaan dan kedudukan di hati mereka dengan sebab amal tersebut. Atau engkau memiliki kebutuhan yang engkau minta kepada mereka dalam banyak perkara, padahal menurutmu dengan amalmu tersebut engkau hanya menginginkan kemuliaan di negeri akhirat dan engkau tidak menginginkan yang lainnya dengan amal tersebut.
Maka cukuplah dengan banyak mengingat kematian untuk menjadikan seseorang menganggap rendah dunia ini dan menjadikan cinta kepada akhirat, dan cukuplah dengan panjang angan-angan akan menjadikan seseorang sedikit rasa takutnya dan membuatnya lancang melakukan berbagai kemaksiatan, dan cukuplah penyesalan mendalam pada hari kiamat nanti bagi siapa saja yang mengetahui ilmu namun tidak mengamalkannya.”
(Hilyatul Auliyaa', VI/391)

Ibnu Hibban rahimahullah berkata:
إِنَّهُ لَا يَتَكَّبَرُ عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يُعْجَبَ بِنَفْسِهِ وَيَرَى لَهَا عَلَى غَيْرِهَا الْفَضْلَ
“Sesungguhnya seseorang tidak akan menyombongkan diri kepada seorang pun hingga dia merasa kagum dengan dirinya dan menganggap dirinya memiliki keutamaan atas orang lain.” (Raudhatul ‘Uqalaa’, hal. 61)

Orang yang kagum dengan dirinya sendiri hanya merasakan dirinya saja yang memiliki keuatamaan dan terus memperhatikannya, dan penilaian semacam ini mengakibatkan kekurangan dan tidak meraih keutamaan. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. (Iqtidhaa’us Shiraathil Mustaqiim I/453)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
وَالْعُجْبُ مِنْ بَابِ الْإِشْرَاكِ بِالنَّفْسِ وَهَذَا حَالُ الْمُسْتَكْبِرِ، فَالْمُرَائِي لَا يُحَقِّقُ قَوْلَهُ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ . وَالْمُعْجَبُ لَا يُحَقِّقُ قَوْلَهُ: وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Ujub termasuk perbuatan menyekutukan Allah dengan diri sendiri, dan ini merupakan keadaan orang yang sombong. Jadi kalau orang yang beramal karena riya’ dia tidak merealisasikan firman Allah: “Hanya kepada-Mu kami beribadah”, sedangkan orang yang ujub tidak merealisasikan firman-Nya: “Hanya kepada-Mu memohon pertolongan.” (Al-Fataawaa Al-Kubraa, V/247-248)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
وَأَمَّا الْكِبْرُ فَأَثَرٌ مِنْ آثَارِ الْعُجْبِ وَالْبَغْيِ مِنْ قَلْبٍ قَدْ امْتَلَأَ بِالْجَهْلِ وَالظُّلْمِ وَتَرَحَّلَتْ مِنْهُ الْعُبُوْدِيَّةُ وَنَزَلَ عَلَيْهِ الْمَقْتُ فَنَظَرُهُ إِلَى النَّاسِ شَزْرٌ وَمَشْيُهُ بَيْنَهُمْ تَبَخْتُرٌ وَمُعَامَلُتُهُ لَهُمْ مُعَاملَةُ الْإِسْتِئْثَارِ لَا الْإِيْثَارِ وَلَا الْإِنْصَافِ
“Adapun kesombongan maka hal itu termasuk salah satu pengaruh dari sifat ujub dan melanggar hak orang lain yang muncul dari hati yang penuh kebodohan dan kezhaliman, sifat sebagai seorang hamba telah meninggalkan hati tersebut dan kemurkaan telah menimpanya, akibatnya pandangan dia kepada manusia adalah pandangan merendahkan, cara berjalan dia di tengah-tengah mereka penuh kecongkakan, dan cara bermuamalah dengan mereka seperti orang yang mementingkan diri sendiri dan tidak mementingkan orang lain serta tidak bersikap adil.” (Ar-Ruuh, II/703)

Dan berkata Al Imam Ibnul Qoyim dalam “Al Fawaid":
“Dari tanda-tanda kebahagiaan dan keberuntungan adalah setiap bertambah ilmunya bertambah pula ketawadukan dan belas kasihnya, dan setiap bertambah amalannya bertambah pula ketakutan dan kewaspadaannya, dan setiap bertambah umurnya berkurang ketamakannya, dan setiap bertambah hartanya bertambah pula kedermawanan dan pemberiannya, dan setiap bertambah martabat dan kedudukannya, bertambah pula kedekatannya dengan masyarakat, penunaiannya terhadap kebutuhan mereka, dan ketawadukannya disisi mereka.
Dan dari tanda-tanda kebinasaan adalah setiap bertambah ilmunya bertambah pula kesombongan dan kecongkakannya, dan setiap bertambah amalannya bertambah pula sifat berbangga diri, meremehkan orang lain dan berpersangka baik dengan dirinya, dan setiap bertambah umurnya bertambah pula ketamakannya, dan setiap bertambah hartanya bertambah pula kebakhilan dan kekikirannya, dan setiap bertambah martabat dan kedudukannya, bertambah pula takabur dan keangkuhannya, semua perkara ini merupakan musibah dan ujian dari Allah yang dengannya Allah menguji hamba-hamba-Nya, maka beberapa kaum akan berbahagia dengannya dan beberapa kaum lainnya akan celaka dengannya.”

Tentang MENINGGALKAN PERKARA YANG SAMAR DAN MERAGUKAN

Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.”

Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya, juga At-Tirmidzi, An-Nasa’i dalam Sunan-nya mengeluarkan hadits ini dari jalan Syu’bah dari Buraid bin Abi Maryam dari Abul Haura’ dari Al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma. Hadits ini shahih, dishahihkan oleh para imam ahli hadits, termasuk di antaranya Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitabnya Ash-Shahihul Musnad Mimma Laysa fish-Shahihain (1/222-224).

Berkata Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah: “Hadits di atas memiliki kisah.” (Sunan At-Tirmidzi, 4/77)
Kisah yang dimaksud oleh Al-Imam At-Tirmidzi di sini dibawakan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (1/201). Al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma menceritakan kepada Abul Haura’ bahwa ketika masih kecil ia pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah lalu memakannya. Melihat hal tersebut, kakek beliau yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam segera mengeluarkan kurma itu dari mulut Al-Hasan dan membuangnya. Lalu seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apa masalahnya wahai Rasulullah bila anak kecil ini memakan kurma tersebut?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, “Sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidaklah halal memakan harta sedekah."
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.”

Hadits ini bila ditinjau secara makna hampir sama dengan makna hadits An-Nu‘man ibnu Basyir radhiallahu 'anhu:
“Siapa yang berhati-hati/ menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh ke dalam syubhat berarti ia jatuh dalam keharaman.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 52, 2051 dan Muslim no. 1599)

Berkata Al-Qadhi rahimahullah, “Dalam kejujuran itu ada keberhasilan (kesuksesan) dan keselamatan sekalipun manusia terkadang memandang di situ ada kebinasaan. Maka bila engkau mendapatkan dirimu dalam keadaan ragu terhadap sesuatu, tinggalkanlah perkara tersebut. Karena jiwa seorang mukmin yang sempurna keimanannya merasa tenang dengan kejujuran yang bisa menyelamatkan dirinya dari kebinasaan dan akan merasa ragu dengan kedustaan. Keraguanmu terhadap sesuatu merupakan perkara yang dikhawatirkan keharamannya maka berhati-hatilah engkau dari perkara tersebut, sedangkan ketenanganmu terhadap sesuatu merupakan tanda benarnya hal tersebut, maka ambillah.” (Faidhul Qadir, 3/528)

Al-Munawi rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan salah satu kaidah agama dan pokok dari sifat wara`, di mana wara` ini merupakan poros keyakinan dan menenangkan dari gelapnya keraguan dan kecemasan yang mencegah cahaya keyakinan.” (Faidhul Qadir, 3/529)

Wara’ adalah suatu sikap meninggalkan perkara yang syubhat (samar atau tidak jelas halal haramnya) karena khawatir terjatuh ke dalam perkara yang diharamkan. (At-Ta‘rifat, Al-Jurjani, 1/325, Subulus Salam, 2/261)

Berkata Abu Abdirrahman Al-Umari Az-Zahid, “Apabila seorang hamba memiliki sifat wara`, niscaya dia akan meninggalkan perkara yang meragukannya menuju kepada perkara yang tidak meragukannya.” (Jami`ul Ulum, 1/281)

Sementara Hassan bin Abi Sinan rahimahullah mengatakan, “Tidak ada sesuatu yang lebih ringan/mudah daripada sikap wara`. Apabila ada sesuatu yang meragukanmu maka tinggalkanlah.” (Jami`ul Ulum, 1/281)

Al-Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata, “Aku telah mendengar Yahya bin Abi Katsir menyatakan, seorang alim adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Taala. Dan (yang) takut kepada Allah Subhanahu wa Taala adalah orang yang wara’.”
(Akhlaqul ‘Ulama` Al-Ajurri hal. 47)

Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Wara’ itu memiliki empat tingkatan:
1. Berpaling dari setiap perkara yang dinyatakan keharamannya.
2. Wara‘ dari setiap perkara syubhat yang sebenarnya tidak diwajibkan untuk dijauhi, namun disenangi baginya untuk meninggalkannya. Dalam perkara ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu.”
3. Wara‘ dari sebagian perkara yang halal karena khawatir jatuh kepada perkara yang haram.
4. Wara‘ dari setiap perkara yang tidak ditegakkan karena Allah dan ini merupakan wara‘nya para shiddiqin (orang-orang yang benar imannya).”
(Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 88)

###

Abu Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy

Dari Abu Abdillah an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس، ِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ. أَلا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَىً. أَلا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلا وإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَت فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهيَ القَلْبُ
Sesungguhnya yang halal telah nyata (jelas) dan yang haram telah nyata. Dan di antara keduanya ada perkara yang tidak jelas, yang tidak diketahui kebanyakan orang. Maka barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang syubhat (meragukan), maka selamatlah agama dan harga dirinya, tetapi siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman. Tak ubahnya seperti gembala yang menggembala di tepi pekarangan, dikhawatirkan ternaknya akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah, setiap raja itu memiliki larangan, dan larangan Allah adalah sesuatu yang diharamkannya. Ketahuilah, bahwa dalam setiap tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh badannya, namun jika segumpal daging tersebut rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, gumpalan darah itu adalah hati. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Faedah-faedah Hadis:
1. Hadits ini menunjukkan bahwa perkara yang ada dihadapan kita terbagi menjadi tiga macam;
a. Perkara yang telah nyata kehalalannya, tidak tersamarkan padanya sedikit pun, seperti makan daging ayam, kambing, sapi, onta dan lainnya.
b. Perkara yang telah nyata keharamannya, tidak tersamarkan padanya sedikit pun, seperti makan daging anjing, babi, bangkai, minum khamer dan yang lainnya.
c. Perkara yang tersamarkan, apakah dia halal ataukah haram?
Perkara yang ketiga ini tidak diketahui oleh kebanyakan orang, kecuali para ulama. Para ulama tahu hukumnya, apakah itu halal ataukah haram dengan dalil nash al-Quran dan sunnah atau qiyas yang dibenarkan. Jenis perkara yang masih tersamarkan kehalalan dan keharamannya lebih utama ditinggalkan, karena hal ini lebih selamat dan lebih menjaga dirinya serta terlepas dari tanggungan.
2. Maksud dari sabda beliau: “Siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman” adalah barangsiapa menerjang sesuatu yang masih tersamarkan, dalam keadaan dia sendiri tidak tahu apakah yang dia lakukan adalah perkara yang halal atau haram, maka hal ini membuat dirinya tidak aman kalau seandainya ternyata perkara yang dia lakukan adalah haram dalam keadaan dia tidak mengetahuinya.
3. Di antara bentuk keselamatan dari perkara yang haram adalah menjauhi segala bentuk syubhat.
4. Keutamaan sifat Wara’, yaitu menjauhi segala perkara yang dikuatirkan akan memadaratkan dirinya di Akherat.
5. Hikmah Allah menyebutkan bahwa di sana ada perkara yang masih syubhat (samar) adalah mendorong manusia untuk mempelajari ilmu agama yang benar, karena dengan ilmu ini akan jelas baginya, mana yang halal dan mana yang haram.
6. Metode pengajaran yang baik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang mana beliau memberikan permisalan atau contoh dalam pengajarannya agar lebih mendekatkan kepada pemahaman.
7. Wajib bagi setiap muslim memperhatikan keadaan hatinya, karena baik dan buruk, bagus atau rusaknya suatu amalan tergantung dari baik dan buruknya hati. Jika hatinya buruk atau jelek maka akan membuahkan amalan yang buruk atau jelek. Oleh karena itu, sepantasnya bagi setiap muslim memohon kepada Allah agar hatinya tetap sehat, senantiasa ingat kepada Allah dan tetap dikokohkan diatas ketaatan kepada Allah. Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa dalam sujud shalatnya:
يَا مُقَلِّبَ القُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
Wahai Dzat yang membolak balikkan hati, teguhkanlah hatiku berada di atas agamamu. [HR. Ahmad dan at-Tirmidzi, dishahihkan asy-Syaikh al-Albani dan asy-Syaikh Muqbil]
Waffaqallahul Jami’ li kulli khairin.

Pelajaran Forum KIS

Tentang DZIKIR SEBELUM TIDUR

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa duduk di sebuah tempat dan tidak berdzikir kepada Allah maka akan diberikan kekurangan oleh Allah. Dan barangsiapa mengambil tempat tidurnya dan tidak berdzikir kepada Allah maka dia tidak mendapatkan dari-Nya melainkan kekurangan.”
(Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud dalam Sunan beliau no. 4805, 5059 dan An-Nasa`i dalam kitab ‘Amal Al-Yaum Wal Lailah no. 404, dan dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab As-Shahihah no. 78, dan Shahih Sunan Abu Dawud no. 4065)

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu berkata:
“Tidur ketika berdzikir adalah dari setan dan jika kalian ingin (mengetahuinya) maka cobalah. Dan apabila seseorang dari kalian menuju pembaringannya dan dia ingin tidur, maka hendaklah dia berdzikir kepada Allah.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad no. 1208 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Adabul Mufrad no. 918)

1. Membaca takbir 34 kali, tahmid 33 kali, dan tasbih 33 kali

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma,
ﻋَﻦِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲِّ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗَﺎﻝَ: ﺧَﺼْﻠَﺘَﺎﻥِ ﺃَﻭْ ﺧَﻠَّﺘَﺎﻥِ ﻻَ ﻳُﺤَﺎﻓِﻆُ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻤَﺎ ﻋَﺒْﺪٌ ﻣُﺴْﻠِﻢٌ ﺇِﻻَّ ﺩَﺧَﻞَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔَ ﻫُﻤَﺎ ﻳَﺴِﻴﺮٌ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻌْﻤَﻞُ ﺑِﻬِﻤَﺎ ﻗَﻠِﻴﻞٌ ﻳُﺴَﺒِّﺢُ ﻓِﻲ ﺩُﺑُﺮِ ﻛُﻞِّ ﺻَﻼَﺓٍ ﻋَﺸْﺮًﺍ ﻭَﻳَﺤْﻤَﺪُ ﻋَﺸْﺮًﺍ ﻭَﻳُﻜَﺒِّﺮُ ﻋَﺸْﺮًﺍ ﻓَﺬَﻟِﻚَ ﺧَﻤْﺴُﻮﻥَ ﻭَﻣِﺎﺋَﺔٌ ﺑِﺎﻟﻠِّﺴَﺎﻥِ ﻭَﺃَﻟْﻒٌ ﻭَﺧَﻤْﺴُﻤِﺎﺋَﺔٍ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤِﻴﺰَﺍﻥِ ﻭَﻳُﻜَﺒِّﺮُ ﺃَﺭْﺑَﻌًﺎ ﻭَﺛَﻼَﺛِﻴﻦَ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺧَﺬَ ﻣَﻀْﺠَﻌَﻪُ ﻭَﻳَﺤْﻤَﺪُ ﺛَﻼَﺛًﺎ ﻭَﺛَﻼَﺛِﻴﻦَ ﻭَﻳُﺴَﺒِّﺢُ ﺛَﻼَﺛًﺎ ﻭَﺛَﻼَﺛِﻴﻦَ ﻓَﺬَﻟِﻚَ ﻣِﺎﺋَﺔٌ ﺑِﺎﻟﻠِّﺴَﺎﻥِ ﻭَﺃَﻟْﻒٌ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻤِﻴﺰَﺍﻥِ . ﻓَﻠَﻘَﺪْ ﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻳَﻌْﻘِﺪُﻫَﺎ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻛَﻴْﻒَ ﻫُﻤَﺎ ﻳَﺴِﻴﺮٌ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻌْﻤَﻞُ ﺑِﻬِﻤَﺎ ﻗَﻠِﻴﻞٌ ﻗَﺎﻝَ : ﻳَﺄْﺗِﻲ ﺃَﺣَﺪَﻛُﻢْ - ﻳَﻌْﻨِﻲ ﺍﻟﺸَّﻴْﻄَﺎﻥَ - ﻓِﻲ ﻣَﻨَﺎﻣِﻪِ ﻓَﻴُﻨَﻮِّﻣُﻪُ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﻳَﻘُﻮﻟَﻪُ ﻭَﻳَﺄْﺗِﻴﻪِ ﻓِﻲ ﺻَﻼَﺗِﻪِ ﻓَﻴُﺬَﻛِّﺮُﻩُ ﺣَﺎﺟَﺔً ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﻳَﻘُﻮﻟَﻬَﺎ
Dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Ada dua sifat (amalan) yang tidaklah seorang muslim menjaga keduanya (senantiasa mengamalkannya) kecuali dia akan masuk jannah. Dua amalan itu (sebenarnya) ringan, akan tetapi yang mengamalkannya sedikit:
(1) bertasbih setelah selesai dari setiap shalat wajib sebanyak sepuluh kali, bertahmid sepuluh kali, dan bertakbir sepuluh kali. Maka itulah 150 kali (dalam lima kali shalat sehari semalam) yang diucapkan oleh lisan, dan 1500 dalam timbangan (di akhirat).
(2) bertakbir 34 kali ketika hendak tidur, bertahmid 33 kali dan bertasbih 33 kali. Maka itulah 100 kali yang diucapkan oleh lisan dan 1000 dalam timbangan.”
Ibnu ‘Amr berkata, “Sungguh aku telah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menghitungnya (menghitung dzikir) dengan tangannya (yaitu jarinya).”
Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimana bisa keduanya ringan namun sedikit yang mengamalkannya?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Syaithan mendatangi salah seorang dari kalian ketika hendak tidur, lalu menjadikannya tertidur sebelum mengucapkan dzikir-dzikir tersebut, dan syaithan pun mendatanginya setelah shalatnya, lalu mengingatkannya tentang kebutuhannya (lalu dia pun pergi) sebelum mengucapkannya.” (HR. Abu Dawud no.5065, dishahihkan oleh Al Albani)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Ali dan Fathimah radhiallahu anhuma ketika keduanya meminta budak kepada Nabi untuk dijadikan pembantu di rumahnya,
ﺃَﻻَ ﺃَﺩُﻟُّﻜُﻤَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺧَﻴْﺮِ ﻣِﻤَّﺎ ﺳَﺄَﻟْﺘُﻤَﺎﻧِﻲ؟ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﺧَﺬْﺗُﻤَﺎ ﻣَﻀَﺎﺟِﻌَﻜُﻤَﺎ ﻓَﻜَﺒِّﺮَﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﺃَﺭْﺑَﻌًﺎ ﻭَﺛَﻼﺛِﻴْﻦَ , ﻭَﺍﺣْﻤَﺪَﺍ ﺛَﻼﺛًﺎ ﻭَﺛَﻼﺛِﻴْﻦَ , ﻭَﺳَﺒِّﺤَﺎ ﺛَﻼﺛًﺎ ﻭَﺛﻼﺛِﻴْﻦَ , ﻓَﺈِﻥَّ ﺫَﻟِﻚَ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻜُﻤَﺎ ﻣِﻤَّﺎ ﺳَﺄَﻟْﺘُﻤَﺎﻩُ
“Maukah aku tunjukkan yang lebih baik bagi kalian berdua daripada seorang pembantu? Bila kalian berdua hendak berbaring di tempat tidur kalian, bertakbirlah 34 kali, bertahmidlah 33 kali dan bertasbihlah 33 kali. Maka yang demikian itu lebih baik bagi kalian daripada apa yang kalian minta.” (HR. Al-Bukhari no. 3113 dan Muslim no. 2727)

Berkenaan hadits ini, Al-Imam Ibnu Hajar Al-’Asqalani Rahimahullah menjelaskan, bahwa dengan membiasakan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Taala niscaya akan diberikan kekuatan yang lebih besar dibanding kekuatan yang mampu dikerjakan oleh seorang pembantu. Atau (dengan membiasakan berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Taala) akan mempermudah urusan. Sekiranya terjadi seseorang diberi beragam urusan, dengan (dzikir) itu akan lebih memudahkan dibanding diberi seorang pembantu kepadanya. Yang jelas, kandungan hadits di atas memiliki maksud betapa manfaat tasbih (menyucikan Allah Subhanahu wa Taala) dikhususkan terhadap kampung akhirat, sedangkan manfaat adanya pembantu khusus menggapai (apa yang ada) di dunia saja. Padahal akhirat itu lebih baik dan lebih kekal adanya. (Fathul Bari, Bab ‘Amalil Mar`ah fi Baiti Zaujiha, penjelasan hadits no. 5361, 9/484)

2. Membaca ayat Kursi

Abu Hurairah berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menugaskanku untuk menjaga zakat Ramadhan. Tiba-tiba seseorang datang. Mulailah ia mengutil makanan zakat tersebut. Aku pun menangkapnya seraya mengancamnya, “Sungguh aku akan membawamu ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk aku adukan perbuatanmu ini kepada beliau.”
Orang yang mencuri itu berkata, “Aku butuh makanan, sementara aku memiliki banyak tanggungan keluarga. Aku ditimpa kebutuhan yang sangat.”
Karena alasannya tersebut, aku melepaskannya.
Di pagi harinya, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya, “Wahai Abu Hurairah, apa yang diperbuat tawananmu semalam?”
“Wahai Rasulullah, ia mengeluh punya kebutuhan yang sangat dan punya tanggungan keluarga. Aku pun menaruh iba kepadanya hingga aku melepaskannya,” jawabku.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sungguh dia telah berdusta kepadamu dan dia akan kembali lagi.”
Aku yakin pencuri itu akan kembali lagi karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan, “Dia akan kembali.”
Aku pun mengintainya, ternyata benar ia datang lagi dan mulai menciduk makanan zakat. Kembali aku menangkapnya seraya mengancam, “Sungguh aku akan membawamu ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk aku adukan perbuatanmu ini kepada beliau.”
“Biarkan aku karena aku sangat butuh makanan sementara aku memiliki tanggungan keluarga. Aku tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi.”
Aku kasihan kepadanya hingga aku melepaskannya.
Di pagi harinya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya, “Wahai Abu Hurairah, apa yang diperbuat oleh tawananmu?”
“Wahai Rasulullah, ia mengeluh punya kebutuhan yang sangat dan punya tanggungan keluarga, aku pun iba kepadanya hingga aku pun melepaskannya,” jawabku.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sungguh dia telah berdusta kepadamu dan dia akan kembali lagi.”
Di malam yang ketiga, aku mengintai orang itu yang memang ternyata datang lagi. Mulailah ia menciduk makanan. Segera aku menangkapnya dengan mengancam, “Sungguh aku akan membawamu ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk aku adukan perbuatanmu ini kepada beliau. Ini untuk ketiga kalinya engkau mencuri, sebelumnya engkau berjanji tidak akan mengulangi perbuatanmu tetapi ternyata engkau mengulangi kembali.”
“Lepaskan aku, sebagai imbalannya aku akan mengajarimu beberapa kalimat yang Allah akan memberikan manfaat kepadamu dengan kalimat-kalimat tersebut,” janji orang tersebut.
Aku berkata, “Kalimat apa itu?”
Orang itu mengajarkan, “Apabila engkau berbaring di tempat tidurmu, bacalah ayat Kursi hingga engkau baca sampai akhir ayat. Bila engkau membacanya maka terus menerus engkau mendapatkan penjagaan dari Allah dan setan sekali-kali tidak akan mendekatimu sampai pagi hari.”
Aku pun melepaskan orang itu, hingga di pagi hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kembali bertanya kepadaku, “Apa yang diperbuat tawananmu semalam?”
Aku menjawab, “Wahai Rasulullah, ia berjanji akan mengajariku beberapa kalimat yang Allah akan memberikan manfaat kepadaku dengan kalimat-kalimat tersebut, akhirnya aku membiarkannya pergi.”
“Kalimat apa itu?” tanya Rasulullah.
Aku berkata, “Orang itu berkata kepadaku: Apabila engkau berbaring di tempat tidurmu, bacalah ayat Kursi dari awal hingga akhir ayat. Ia katakan kepadaku: Bila engkau membacanya maka terus menerus engkau mendapatkan penjagaan dari Allah dan setan sekali-kali tidak akan mendekatimu sampai pagi hari.”
Sementara mereka (para shahabat) merupakan orang-orang yang sangat bersemangat terhadap kebaikan.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata, “Sungguh kali ini ia jujur kepadamu padahal ia banyak berdusta. Engkau tahu siapa orang yang engkau ajak bicara sejak tiga malam yang lalu, ya Abu Hurairah?”
“Tidak,” jawabku.
“Dia adalah setan,” kata Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam.
(Hadits di atas diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya)

Mengenai kalimat (( Sementara mereka (para shahabat) merupakan orang-orang yang sangat bersemangat terhadap kebaikan )), bisa jadi ucapan ini mudraj (selipan) dari ucapan sebagian perawinya. Perkataan ini dibawakan untuk meminta uzur kenapa Abu Hurairah melepaskan pencuri itu pada kali yang ketiga, yaitu karena ia –sebagaimana shahabat yang lain– begitu bersemangat mendapatkan pengajaran/pengetahuan yang bermanfaat. (Fathul Bari, 4/615-616)

Ayat Kursi adalah ayat 255 dari surat al-Baqarah yang lafadznya:
ﺍﻟﻠّﻪُ ﻻَ ﺇِﻟَـﻪَ ﺇِﻻَّ ﻫُﻮَ ﺍﻟْﺤَﻲُّ ﺍﻟْﻘَﻴُّﻮﻡُ ﻻَ ﺗَﺄْﺧُﺬُﻩُ ﺳِﻨَﺔٌ ﻭَﻻَ ﻧَﻮْﻡٌ ﻟَّﻪُ ﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﻣَﺎ ﻓِﻲ ﺍﻷَﺭْﺽِ ﻣَﻦ ﺫَﺍ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻳَﺸْﻔَﻊُ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺇِﻻَّ ﺑِﺈِﺫْﻧِﻪِ ﻳَﻌْﻠَﻢُ ﻣَﺎ ﺑَﻴْﻦَ ﺃَﻳْﺪِﻳﻬِﻢْ ﻭَﻣَﺎ ﺧَﻠْﻔَﻬُﻢْ ﻭَﻻَ ﻳُﺤِﻴﻄُﻮﻥَ ﺑِﺸَﻲْﺀٍ ﻣِّﻦْ ﻋِﻠْﻤِﻪِ ﺇِﻻَّ ﺑِﻤَﺎ ﺷَﺎﺀ ﻭَﺳِﻊَ ﻛُﺮْﺳِﻴُّﻪُ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﻭَﺍﺕِ ﻭَﺍﻷَﺭْﺽَ ﻭَﻻَ ﻳَﺆُﻭﺩُﻩُ ﺣِﻔْﻈُﻬُﻤَﺎ ﻭَﻫُﻮَ ﺍﻟْﻌَﻠِﻲُّ ﺍﻟْﻌَﻈِﻴﻢُ
Artinya: ”Allah, tidak ada Ilah melainkan Dia; Yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); Tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”

3. Membaca Dua Surat yaitu As-Sajdah dan Al-Mulk

Hal ini dijelaskan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam riwayat Jabir bin Abdullah radhiallahu anhu, beliau berkata:
“Adalah Rasulullah tidak tidur sehingga beliau membaca (surat) Alif Laam Mim Tanzil (as-Sajdah) dan Tabaarakalladzi biyadihi Al-Mulk (al-Mulk).” (HR. Al- Imam Al-Bukhari di dalam kitab Adabul Mufrad no. 1207 dan Al-Imam At-Tirmidzi di dalam Sunan beliau no. 3066, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam kitab beliau Shahih Sunan At-Tirmidzi no. 2316, Shahih Adabul Mufrad no. 917, Ash-Shahihah no. 585, Al-Misykat no. 2155 dan di dalam kitab Ar-Raudh no. 227)

4. Membaca Doa-doa di bawah ini:

Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan beliau no. 5045 dari Hafshah radhiallahu anha, beliau berkata:
Apabila Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hendak tidur beliau meletakkan tangan kanannya di atas pipi beliau, dan berkata:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﻗِﻨِﻲ ﻋَﺬَﺍﺑَﻚَ ﻳَﻮْﻡَ ﺗَﺒْﻌَﺚُ ﻋِﺒَﺎﺩَﻙ
“Ya Allah, lindungilah aku dari adzabmu pada hari Engkau membangkitkan hamba-hamba-Mu.”
Hadits ini juga diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi no. 3638 dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman radhiallahu anhu dan dari shahabat Al-Bara` bin ‘Azib radhiallahu anhu no. 3639, dan Al-Imam Al-Bukhari dalam kitab Adab Al-Mufrad no. 1215.

Diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi no. 3636 dari shahabat Anas bin Malik radhiallahu anhu, beliau berkata:
Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam apabila beranjak ke tempat pembaringan, beliau berdoa:
ﺍﻟْﺤَﻤْﺪُ ﻟِﻠَّﻪِ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺃَﻃْﻌَﻤَﻨَﺎ ﻭَﺳَﻘَﺎﻧَﺎ ﻭَﻛَﻔَﺎﻧَﺎ ﻭَﺁﻭَﺍﻧَﺎ ﻓَﻜَﻢْ ﻣِﻤَّﻦْ ﻟَﺎ ﻛَﺎﻓِﻲَ ﻟَﻪُ ﻭَﻟَﺎ ﻣُﺆْﻭِﻱَ
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi kami makan, minum, yang telah mencukupi dan melindungi kami. Betapa banyak orang yang tidak memiliki yang akan mencukupi dan melindunginya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih beliau no. 2715, dan Al-Imam Abu Dawud no. 5053.

Diriwayatkan Al-Imam Muslim dari shahabat Abu Hurairah no. 2714 bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
Apabila salah seorang dari kalian menuju pembaringannya, hendaklah dia mengambil ujung sarungnya lalu mengibaskannya ke tempat tidurnya. Dan hendaklah dia menyebut nama Allah karena dia tidak mengetahui apa yang akan terjadi kemudian. Dan bila dia akan berbaring, maka berbaringlah di atas lambung sebelah kanan dan mengucapkan:
ﺳُﺒْﺤَﺎﻧَﻚَ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺭَﺑِّﻲ ﺑِﻚَ ﻭَﺿَﻌْﺖُ ﺟَﻨْﺒِﻲ ﻭَﺑِﻚَ ﺃَﺭْﻓَﻌُﻪُ ﺇِﻥْ ﺃَﻣْﺴَﻜْﺖَ ﻧَﻔْﺴِﻲ ﻓَﺎﻏْﻔِﺮْ ﻟَﻬَﺎ ﻭَﺇِﻥْ ﺃَﺭْﺳَﻠْﺘَﻬَﺎ ﻓَﺎﺣْﻔَﻈْﻬَﺎ ﺑِﻤَﺎ ﺗَﺤْﻔَﻆُ ﺑِﻪِ ﻋِﺒَﺎﺩَﻙَ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴﻦ
“Maha Suci Engkau ya Allah, wahai Rabbku. Karena Engkau aku meletakkan lambungku dan karena Engkau aku mengangkatnya. Dan jika Engkau menahan jiwaku, maka ampunilah ia. Dan jika Engkau melepaskannya kembali maka peliharalah ia sebagaimana Engkau memelihara hamba-hamba-Mu yang shalih.”

Diriwayatkan Al-Imam Muslim dari Suhail dari Abu Shalih dan Abu Shalih mengatakan: Kami meriwayatkannya dari Abu Hurairah radhiallahu anhu. Suhail mengatakan Abu Shalih memerintahkan kami, apabila salah seorang dari kami akan tidur hendaklah dia tidur di atas lambung sebelah kanan kemudian berkata:
ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺭَﺏَّ ﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕِ ﻭَﺭَﺏَّ ﺍﻷَﺭْﺽِ ﻭَﺭَﺏَّ ﺍﻟْﻌَﺮْﺵِ ﺍﻟْﻌَﻈِﻴﻢِ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻭَﺭَﺏَّ ﻛُﻞِّ ﺷَﻰْﺀٍ ﻓَﺎﻟِﻖَ ﺍﻟْﺤَﺐِّ ﻭَﺍﻟﻨَّﻮَﻯ ﻭَﻣُﻨْﺰِﻝَ ﺍﻟﺘَّﻮْﺭَﺍﺓِ ﻭَﺍﻹِﻧْﺠِﻴﻞِ ﻭَﺍﻟْﻔُﺮْﻗَﺎﻥِ ﺃَﻋُﻮﺫُ ﺑِﻚَ ﻣِﻦْ ﺷَﺮِّ ﻛُﻞِّ ﺷَﻰْﺀٍ ﺃَﻧْﺖَ ﺁﺧِﺬٌ ﺑِﻨَﺎﺻِﻴَﺘِﻪِ ﺍﻟﻠَّﻬُﻢَّ ﺃَﻧْﺖَ ﺍﻷَﻭَّﻝُ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻗَﺒْﻠَﻚَ ﺷَﻰْﺀٌ ﻭَﺃَﻧْﺖَ ﺍﻵﺧِﺮُ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﺑَﻌْﺪَﻙَ ﺷَﻰْﺀٌ ﻭَﺃَﻧْﺖَ ﺍﻟﻈَّﺎﻫِﺮُ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﻓَﻮْﻗَﻚَ ﺷَﻰْﺀٌ ﻭَﺃَﻧْﺖَ ﺍﻟْﺒَﺎﻃِﻦُ ﻓَﻠَﻴْﺲَ ﺩُﻭﻧَﻚَ ﺷَﻰْﺀٌ ﺍﻗْﺾِ ﻋَﻨَّﺎ ﺍﻟﺪَّﻳْﻦَ ﻭَﺃَﻏْﻨِﻨَﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻔَﻘْﺮ
“Wahai Rabb kami, pemilik langit dan bumi serta pemilik ‘Arsy yang agung. Wahai Rabb kami dan Rabb segala sesuatu, Yang membelah biji-bijian, Yang menurunkan Taurat, Injil, dan Furqan. Aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan segala sesuatu, Engkaulah yang memegang ubun-ubunnya. Ya Allah, Engkau yang Awwal dan tidak ada sesuatupun sebelum-Mu, Engkau yang Akhir dan tidak ada sesuatupun setelah-Mu, Engkau yang Zhahir tidak ada sesuatu di atas Engkau, dan Engkau yang Batin dan tidak ada sesuatu di bawah-Mu. Tunaikanlah hutang kami dan cukupkanlah kami dari kefakiran.”

Tentang WANITA BEKERJA, BERSEKOLAH, DAN BERAKTIVITAS DI LUAR RUMAH

Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah

Seorang wanita perlu mengetahui bahwa tempat asalnya berdiam adalah dalam rumahnya, dan rumah ini pula yang menjadi tempatnya bekerja. Dalil-dalil dari syariat yang mulia telah menetapkan dan mempersaksikan tentang hal ini, di antaranya:

- Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Ummahatul Mukminin:
ﻭَﻗَﺮْﻥَ ﻓِﻲ ﺑُﻴُﻮﺗِﻜُﻦَّ
“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian.” (Al-Ahzab: 33)
Makna ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah perintah untuk selalu menetap dalam rumah. Walaupun sasaran pembicaraan dalam ayat ini ditujukan kepada para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun secara makna wanita selain mereka juga termasuk di dalam perintah ini. (Al-Jami’ li Ahkamil Quran, 14/117)

- Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
ﻻَ ﺗُﺨْﺮِﺟُﻮْﻫُﻦَّ ﻣِﻦْ ﺑُﻴُﻮْﺗِﻬِﻦَّ ﻭَﻻَ ﻳَﺨْﺮُﺟْﻦَ
“Janganlah kalian mengeluarkan mereka (istri-istri yang telah ditalak) dari rumah-rumah mereka dan janganlah mereka keluar.” (Ath-Thalaq: 1)
Walaupun ayat di atas berkenaan dengan wanita/istri yang tengah menjalani masa ‘iddah, namun kata ulama, hukumnya tidaklah khusus bagi mereka namun juga berlaku bagi wanita yang lain. (Daurul Mar’ah fi Tarbiyatul Usrah, Asy-Syaikh Shalih bin Abdillah Alu Fauzan, hal. 1)

- Pelajaran dari kisah antara Nabi Musa ‘alaihissalam dengan dua orang wanita di Madyan, yang Allah kisahkan kepada kita dalam Tanzil-Nya:
ﻭَﻟَﻤَّﺎ ﻭَﺭَﺩَ ﻣَﺎﺀَ ﻣَﺪْﻳَﻦَ ﻭَﺟَﺪَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃُﻣَّﺔً ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻳَﺴْﻘُﻮْﻥَ ﻭَﻭَﺟَﺪَ ﻣِﻦْ ﺩُﻭْﻧِﻬِﻢُ ﺍﻣْﺮَﺃﺗَﻴْﻦِ ﺗَﺬُﻭْﺩَﺍﻥِ ﻗَﺎﻝَ ﻣَﺎ ﺧَﻄْﺒُﻜُﻤَﺎ ﻗَﺎﻟَﺘَﺎ ﻻَ ﻧَﺴْﻘِﻲْ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﺼْﺪِﺭَ ﺍﻟﺮِّﻋَﺎﺀُ ﻭَﺃَﺑُﻮْﻧَﺎ ﺷَﻴْﺦٌ ﻛَﺒِﻴْﺮٌ . ﻓَﺴَﻘَﻰ ﻟَﻬُﻤَﺎ ﺛُﻢَّ ﺗَﻮَﻟَّﻰ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻈِّﻞِّ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺏِّ ﺇِﻧِّﻲ ﻟِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻟْﺖَ ﺇِﻟَﻲَّ ﻣِﻦْ ﺧَﻴْﺮٍ ﻓَﻘِﻴْﺮٌ. ﻓَﺠَﺎﺀَﺗْﻪُ ﺇِﺣْﺪَﺍﻫُﻤَﺎ ﺗَﻤْﺸِﻲ ﻋَﻠَﻰ ﺍﺳْﺘِﺤْﻴَﺎﺀٍ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﺇِﻥَّ ﺃَﺑِﻲْ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻙَ ﻟِﻴَﺠْﺰِﻳَﻚَ ﺃَﺟْﺮَ ﻣَﺎ ﺳَﻘَﻴْﺖَ ﻟَﻨَﺎ ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺟَﺎﺀَﻩُ ﻭَﻗَﺺَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟْﻘَﺼَﺺَ ﻗَﺎﻝَ ﻻَ ﺗَﺨَﻒْ ﻧَﺠَﻮْﺕَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡِ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴْﻦ. َﻗَﺎﻟَﺖْ ﺇِﺣْﺪَﺍﻫُﻤَﺎ ﻳَﺎﺃَﺑَﺖِ ﺍﺳْﺘَﺄْﺟِﺮْﻩُ ﺇِﻥَّ ﺧَﻴْﺮَ ﻣَﻦِ ﺍﺳْﺘَﺄْﺟَﺮْﺕَ ﺍﻟْﻘَﻮِﻱُّ ﺍْﻷَﻣِﻴْﻦُ
“Tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan, di sana ia menjumpai sekumpulan orang yang sedang meminumkan ternak mereka dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat ternaknya. Musa berkata: ‘Apa maksud kalian berbuat begini, kenapa kalian tidak ikut meminumkan ternak kalian bersama mereka?’ Kedua wanita itu menjawab: ‘Kami tidak dapat meminumkan ternak kami sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan ternak mereka, sedangkan ayah kami telah berusia lanjut.’ Maka Musa memberi minum ternak itu untuk menolong keduanya, kemudian ia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.' Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu sembari berjalan dengan malu-malu, ia berkata: ‘Ayahku memanggilmu untuk membalas kebaikanmu memberi minum ternak kami.’ Maka tatkala Musa mendatangi ayahnya, ia menceritakan kisah dirinya. Ayahnya pun berkata: ‘Janganlah takut, engkau telah selamat dari orang-orang yang zalim itu (Fir’aun dan pengikutnya).’ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Wahai ayahku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja pada kita adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya’.” (Al-Qashash: 23-26)
Karena sifat wara dan takwa yang ada pada keduanya, kedua wanita ini enggan untuk bercampur (ikhtilath) dengan para penggembala tersebut. Adapun keduanya keluar rumah untuk memberi minum ternaknya adalah karena darurat, di mana sang ayah telah berusia senja sehingga tak mampu lagi mengurus ternak yang ada. Perjumpaan dengan Nabi Musa ‘alaihissalam membuahkan gagasan di benak salah seorang dari wanita tersebut bahwa telah tiba saatnya untuk mengembalikan perkara pada tempat yang semestinya, ia pun berkata kepada sang ayah: “Wahai ayahku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja pada kita adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Sang ayah pun menyambut usulan putrinya, kemudian berkata kepada Nabi Musa:
ﻗَﺎﻝَ ﺇِﻧِّﻲ ﺃُﺭِﻳﺪُ ﺃَﻥْ ﺃُﻧْﻜِﺤَﻚَ ﺇِﺣْﺪَﻯ ﺍﺑْﻨَﺘَﻲَّ ﻫَﺎﺗَﻴْﻦِ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥْ ﺗَﺄْﺟُﺮَﻧِﻲ ﺛَﻤَﺎﻧِﻲَ ﺣِﺠَﺞٍ ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﺗْﻤَﻤْﺖَ ﻋَﺸْﺮًﺍ ﻓَﻤِﻦْ ﻋِﻨْﺪِﻙَ ﻭَﻣَﺎ ﺃُﺭِﻳْﺪُ ﺃَﻥْ ﺃَﺷُﻖَّ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺳَﺘَﺠِﺪُﻧِﻲ ﺇِﻥْ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴْﻦَ
“Berkatalah sang ayah: ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua putriku ini, atas dasar engkau bekerja denganku selama delapan tahun dan jika engkau cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan darimu, aku tidaklah hendak memberatkanmu. Dan engkau Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik’.” (Al-Qashash: 27) [Daurul Mar’ah, hal. 1]

- Shalat di masjid sebagai satu amalan yang utama disyariatkan kepada kaum lelaki, banyak pahala akan diraih terlebih bila shalat itu dilakukan di Masjid Nabawi. Namun ternyata bersamaan dengan itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kaum wanita untuk shalat di rumah mereka. Ketika istri Abu Humaid As-Sa’idi datang kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menyatakan: “Wahai Rasulullah, aku senang shalat berjamaah bersamamu.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
ﻗَﺪْ ﻋَﻠِﻤْﺖُ ﺃَﻧَّﻚِ ﺗُﺤِﺒِّﻴْﻦَ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ ﻣَﻌِﻲْ , ﻭَﺻَﻼَﺗُﻚِ ﻓِﻲْ ﺑَﻴْﺘِﻚِ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻚِ ﻣِﻦْ ﺻَﻼَﺗِﻚِ ﻓِﻲْ ﺣُﺠْﺮَﺗِﻚِ , ﻭَﺻَﻼَﺗُﻚِ ﻓِﻲ ﺣُﺠْﺮَﺗِﻚِ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺻَﻼَﺗِﻚِ ﻓِﻲ ﺩَﺍﺭِﻙِ , ﻭَﺻَﻼَﺗُﻚِ ﻓِﻲْ ﺩَﺍﺭِﻙِ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻚِ ﻣِﻦْ ﺻَﻼَﺗِﻚِ ﻓِﻲ ﻣَﺴْﺠِﺪِ ﻗَﻮْﻣِﻚِ , ﻭَﺻَﻼَﺗُﻚِ ﻓِﻲ ﻣَﺴْﺠِﺪِ ﻗَﻮْﻣِﻚِ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻚِ ﻣِﻦ ْﺻَﻼَﺗِﻚِ ﻓِﻲ ﻣَﺴْﺠِﺪِﻱْ
“Sungguh aku tahu engkau senang shalat jamaah denganku, namun shalatmu di ruang yang khusus yang ada di rumahmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di kamarmu, shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu, shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.” (HR. Ahmad, 6/371, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 155)
Bila seorang wanita tetap tinggal di rumahnya, ia akan bisa menunaikan tugas-tugas dalam rumahnya, memenuhi hak-hak suaminya, mendidik anak-anaknya dan membekali dirinya dengan kebaikan. Sementara bila seorang wanita sering keluar rumah, ia akan menyia-nyiakan sekian banyak kewajiban yang dibebankan kepadanya. (Nashihati Lin Nisa’, Ummu Abdillah Al-Wadi‘iyyah, hal. 101)

Dari penjelasan di atas, janganlah dipahami bahwa wanita dilarang secara mutlak untuk keluar dari rumahnya. Bahkan terdapat keterangan dari syariat tentang kebolehan wanita keluar dari rumahnya saat ada kebutuhan dan karena darurat.
- ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkisah:
“Suatu malam, Saudah bintu Zam’ah radhiallahu ‘anha keluar dari rumahnya untuk membuang hajat. Ketika itu ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu melihatnya dan mengenalinya. ‘Umar pun berkata: “Engkau Saudah, demi Allah, tidak tersembunyi bagi kami.” Saudah pun kembali menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia ceritakan kejadian tersebut kepada beliau. Saat itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang makan malam di rumahku. Dalam keadaan tangan beliau sedang memegang tulang yang padanya ada sisa daging, turunlah wahyu, beliau pun berkata:
ﻗَﺪْ ﺃَﺫِﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﻜُﻦَّ ﺃَﻥْ ﺗَﺨْﺮُﺟْﻦَ ﻟِﺤَﻮَﺍﺋِﺠِﻜُﻦَّ
“Allah telah mengizinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 5237 dan Muslim no. 2170)

- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi tuntunan kepada para suami untuk tidak melarang istri mereka shalat di masjid, bila si istri minta izin padanya. “Apabila istri salah seorang dari kalian minta izin ke masjid maka janganlah ia melarangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 873 dan Muslim no. 442)
Dan beliau menyatakan:
ﻻَ ﺗَﻤْﻨَﻌُﻮْﺍ ﺇِﻣَﺎﺀَََََََ ﺍﻟﻠﻪِ ﻣَﺴَﺎﺟِﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ
“Janganlah kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 900 dan Muslim no. 442)

- Dari sejarah para shahabiyyah, kita mengetahui ada di antara mereka yang keluar menyertai mahram mereka ke medan jihad untuk memberi minum kepada mujahidin dan mengobati orang yang luka.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata:
ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢ ﻳَﻐْﺰُﻭْ ﺑِﺄُﻡِّ ﺳُﻠَﻴْﻢٍ ﻭَﻧِﺴْﻮَﺓ ﻣِﻦَ ﺍﻷﻧْﺼَﺎﺭِ ﻣَﻌَﻪُ ﺇِﺫَﺍ ﻏَﺰَﺍ ﻓَﻴَﺴْﻘِﻴْﻦَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀَ ﻭَﻳُﺪَﺍﻭِﻳْﻦَ ﺍﻟْﺠَﺮْﺣَﻰ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berperang bersama Ummu Sulaim dan beberapa wanita dari kalangan Anshar ikut bersama beliau ketika beliau berperang. Mereka memberi minum dan mengobati mujahidin yang terluka.” (HR. Muslim no. 1810)
Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anhu bertutur: “Aku pernah berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tujuh kali peperangan, aku menjaga dan mengurus tunggangan-tunggangan mereka (mujahidin), membuatkan makanan untuk mereka, mengobati orang yang luka dan merawat orang sakit.” (HR. Muslim no. 1812)

- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bila hendak safar, beliau mengundi di antara istri-istrinya untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan menyertai beliau dalam safarnya.

Keluarnya wanita dari rumahnya ini merupakan pengecualian dari hukum asal dan disebabkan kepentingan yang darurat dengan memperhatikan dan menjaga adab-adab ketika keluar rumah seperti berhijab dan sebagainya, dan juga tidak ada fitnah dan kerusakan yang akan timbul saat ia keluar rumah. Adapun bila wanita keluar rumah untuk bekerja karena memperhatikan bualan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu syaithaniyyah bahwasanya bila wanita tetap tinggal di rumahnya ia akan menjadi pengangguran, maka hal ini tidaklah dibolehkan oleh syariat yang agung dan sempurna ini. Bila sampai wanita keluar dari rumahnya karena memenuhi ajakan manis nan berbisa dari pengikut hawa nafsu tersebut maka akan terjadilah kerusakan yang besar di tengah masyarakat dan sendi-sendi keluarga pun akan hancur.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata: “Islam menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki kewajiban yang khusus agar keduanya dapat menjalankan perannya, hingga sempurnalah bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yang sesuai baginya seperti mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka, merawat dan mengobati mereka dan pekerjaan yang semisalnya yang khusus bagi wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam rumahnya berarti ia menyia-nyiakan rumah berikut penghuninya. Hal tersebut berdampak terpecahnya keluarga baik secara hakiki maupun maknawi.” (Khatharu Musyarakatil Mar’ah lir Rijal fi Maidanil ‘Amal, hal. 5)

Sumber: Asy Syariah online

###

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah pernah ditanya terkait aktivitas kaum Hawa di luar rumah. Beliau Rahimahullah menuturkan bahwa pokok masalah (hukum asal) pembicaraan tentang wanita ini berdasar firman Allah Subhanahu wa Taala terkait individu para istri Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
Lantas beliau Rahimahullah mengutip pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah: “Sesungguhnya, hukum asal bagi laki-laki (adalah) pergi dan keluar (dari rumah). Sedangkan bagi wanita (adalah) tetap tinggal di rumah, tidak keluar, kecuali jika ada keperluan yang mengharuskan dia keluar rumah.”
Lebih lanjut, beliau Rahimahullah menuturkan bahwa dalam Shahih Al-Bukhari, tatkala Allah Subhanahu wa Taala mewajibkan hijab kepada kaum wanita, Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ
“Allah telah mengizinkan bagi kalian (para wanita) untuk keluar (rumah) tatkala kalian memiliki keperluan.” (Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitabun Nikah, Bab Khurujun Nisa` li Hawa`ijihinna, hadits no. 5237)
Maka, bila seorang wanita keluar dari rumahnya dengan memakai jilbabnya, tidak memakai parfum (wewangian), lantaran ada keperluan, maka yang demikian diperbolehkan. Apabila dia keluar rumah diiringi pelanggaran terhadap hal-hal yang kami isyaratkan tadi (seperti tidak menutup aurat atau mengenakan wewangian) atau mengganggu sebagian kewajiban di rumahnya, maka berlakulah ayat Al-Qur`an:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumah-rumahmu.”
Tidak boleh bagi seorang wanita keluar (rumah) dan meninggalkan anak-anaknya bersama pembantu. Karena, seorang ibu lebih mengetahui apa saja kebutuhan yang diminta anak-anaknya. Dia pun mengetahui kebaikan apa saja bagi anak-anaknya berkenaan dengan arahan dan pendidikan.
(Masa`il Nisa`iyyah Mukhtarah min Fiqhi Al-’Allamah Al-Albani Rahimahullah, Ummu Ayyub Nurah bintu Ahsan Ghawi, hal. 79)

###

Pertanyaan: Bolehkah seorang perawat muslimah bekerja di bagian kewanitaan pada salah satu rumah sakit hingga ia bisa merawat pasien-pasien wanita. Di tempat kerjanya ini, ia memakai pakaian yang syar‘i namun tidak bisa mengenakan jilbab (pakaian luar yang longgar/lapang dan menutupi seluruh tubuh dari kepala sampai telapak kaki) dikarenakan dalam pelaksanaan tugas/pekerjaannya tidak memungkinkan baginya mengenakan jilbab tersebut. Namun tidak ada laki-laki yang mondar-mandir di ruang kerjanya kecuali hanya para pelayan (tukang sapu dan semisalnya) dan apoteker. Pada waktu lain, ia diminta untuk tugas jaga –shift malam– sehingga sepanjang malam ia berada di rumah sakit dan sangat mungkin laki-laki masuk ke tempatnya sementara tidak ada mahram yang mendampinginya. Lalu apa yang harus dilakukan perawat itu? Sebelumnya perlu diketahui suami si perawat mampu memberikan belanja kepadanya tanpa ia harus bekerja.

Asy-Syaikh Al-’Allamah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin Al-Albani menjawab:

Apabila kita mengingat hukum yang ada, maka kita ketahui bahwa asalnya seorang wanita muslimah itu harus berdiam/ tinggal di dalam rumahnya dan tidak boleh keluar rumah kecuali bila memang ada keperluan. Di samping itu, disampaikan pada kami dari pertanyaan yang ada bahwa suami si wanita (perawat tersebut) mampu menafkahinya. Maka dengan begitu kami memandang, wanita itu tidak boleh bekerja di luar rumahnya. Bila ia memang tetap berkeinginan bekerja di bidang medis untuk merawat/ mengobati pasien wanita secara khusus, ia bisa membuka praktek di rumah sehingga tidak perlu keluar untuk bekerja di rumah sakit. Karena dengan bekerjanya si wanita di rumah sakit berarti ia menghadapkan dirinya pada ikhtilath (campur baur laki-laki dan perempuan tanpa hijab/tabir penghalang) baik yang kecil maupun yang besar seperti yang disebutkan dalam pertanyaan. Sehingga ia terjatuh ke dalam pelanggaran syariat, sedikit ataupun banyak, sementara ia sebenarnya bisa menghindarinya.

Adapun pertanyaan yang menyebutkan bahwa si wanita dengan profesinya sebagai perawat di rumah sakit, ia tidak bisa mengenakan jilbab karena demikian tuntutan pekerjaannya, akan tetapi masih bisa mengenakan pakaian yang menutupi auratnya maka aku nyatakan bahwa hal itu bukanlah alasan. Kecuali bila kita gambarkan bahwa jilbab itu adalah (model) satu potong pakaian yang dikenakan wanita untuk menutupi tubuhnya dari atas kepala sampai ke telapak kaki dan kita anggap model jilbab memang harus demikian, itu merupakan perkara ta’abbudiyyah. Yakni dibebani para wanita untuk senantiasa mengenakan hijab/pakaian dengan model tersebut. Bila kita tetapkan jilbab itu demikian, maka perbuatan si wanita jelas teranggap sebagai penyelisihan lain yang dilakukannya karena ia tidak mengenakan jilbab tersebut dengan alasan pekerjaan. Ia menggantinya dengan pakaian model lain yang bisa menutupi tubuhnya. Namun perlu diketahui, jilbab itu ditinjau dari sisi jenis dan model/bentuknya. Dan sebenarnya bukannya model/bentuk jilbab yang dituju, tapi model itu hanyalah satu perantara untuk menutup aurat wanita. Dengan begitu boleh bagi seorang wanita memakai pakaian apa yang diinginkannya namun dalam batasan syarat-syarat yang ada sebagaimana yang telah aku sebutkan dalam kitab Hijabul Mar`ah Al-Muslimah. Seandainya pakaian yang dikenakannya itu bukanlah jilbab secara bahasa yakni tidak terdiri dari satu potong pakaian (yang lebar/ lapang, yang bisa menutupi dari atas kepala sampai telapak kaki) maka hendaklah ia mengenakan pakaian yang terdiri dari tiga potong. Akan tetapi yang penting dari semua itu, pakaian pengganti jilbab tersebut dapat menggantikan fungsi jilbab. Bila seperti itu keadaannya maka tidak ada masalah bagi perawat tersebut dan tidak pula yang lainnya untuk tidak mengenakan jilbab namun menggantinya dengan pakaian lain yang bisa menggantikan fungsi jilbab secara sempurna.

Kesimpulannya, wanita keluar dari rumahnya merupakan perkara yang menyelisihi hukum asal. Dan masuknya si wanita ke rumah sakit yang di dalamnya berbaur laki-laki dan perempuan merupakan ikhtilath yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Seandainya di sana ada rumah sakit khusus wanita, maka yang jadi direkturnya semestinya wanita, pelayan/ pekerjanya juga wanita, demikian pula para pasien (berikut perawatnya). Seharusnya memang di negeri-negeri Islam ada rumah sakit yang demikian di mana para wanita secara khusus yang mengurusnya, baik dokter, direktur, pelayan/pekerjanya, dan semisalnya (semuanya wanita). Adapun bila rumah sakitnya seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, rumah sakit yang ikhtilath, maka kami nasehatkan agar wanita muslimah yang beriman kepada Rabbnya hendaknya bertakwa kepada Allah dan hendaklah ia tetap tinggal di rumahnya.

[Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 474-475]

###

Pertanyaan: Apakah dibolehkan bagi seorang wanita keluar ke pasar untuk membeli kebutuhan-kebutuhannya dan kebutuhan putrinya tanpa sepengetahuan suaminya?

Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab:

“Yang wajib bagi seorang wanita adalah ia tidak keluar dari rumahnya menuju pasar atau tempat lainnya kecuali dengan izin suaminya. Bila memang memungkinkan kebutuhannya dibelikan oleh suaminya atau laki-laki lainnya dari kalangan mahramnya atau selain mereka, itu lebih baik bagi si wanita daripada harus keluar sendiri dari rumahnya. Bila memang terpaksa keluar rumah tanpa izin suaminya, dia wajib menjaga dirinya dari perkara yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan dengan memakai hijab yang sempurna menutupi wajahnya dan selainnya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
ﻭَﻗَﺮْﻥَ ﻓِﻲ ﺑُﻴُﻮﺗِﻜُﻦَّ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺒَﺮَّﺟْﻦَ ﺗَﺒَﺮُّﺝَ ﺍﻟْﺠَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔِ ﺍﻟْﺄُﻭﻟَﻰ
"Tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang awal.” (Al-Ahzab: 33)
Dan firman-Nya:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﻗُﻞْ ﻟِﺄَﺯْﻭَﺍﺟِﻚَ ﻭَﺑَﻨَﺎﺗِﻚَ ﻭَﻧِﺴَﺎﺀِ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻳُﺪْﻧِﻴﻦَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻦَّ ﻣِﻦْ ﺟَﻠَﺎﺑِﻴﺒِﻬِﻦَّ
"Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, putri-putrimu, dan kepada wanita-wanitanya orang-orang yang beriman: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka di atas tubuh mereka…’.” (Al-Ahzab: 59)
Jilbab adalah pakaian luar yang dikenakan wanita untuk menutupi kepala dan tubuhnya yang dipakai di atas tsiyab (pakaian yang sudah dikenakan di atas tubuhnya).

Demikian pula firman-Nya:
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺳَﺄَﻟْﺘُﻤُﻮﻫُﻦَّ ﻣَﺘَﺎﻋًﺎ ﻓَﺎﺳْﺄَﻟُﻮﻫُﻦَّ ﻣِﻦْ ﻭَﺭَﺍﺀِ ﺣِﺠَﺎﺏٍ
"Dan apabila kalian meminta sesuatu keperluan kepada mereka maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.” (Al-Ahzab: 53)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

[Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 557]

###

Asy-Syaikh al-'Allaamah 'Ubaid bin 'Abdillah al-Jaabiry -hafidzahullah ta'alaa -

P E R T A N Y A A N :
هل يجوز للمرأة أن تذهب إلى السوق لقضاء حوائجها وتماكس الباعة؟
Apakah boleh bagi wanita pergi ke pasar untuk memenuhi kebutuhannya dan melakukan tawar-menawar harga barang ? 

J A W A B A N :
المرأة المسلمة العاقلة التي تخشى الله -سبحانه وتعالى- وتصون عرضها، وعفتها، فإنها لا تخرجُ من بيتها إلا لما لابد لها منه
Seorang wanita muslimah yang berakal lagi takut kepada Allah -subhana wa ta'alaa- dan yang menjaga harga diri dan kehormatannya MAKA ia tidak keluar dari rumahnya KECUALI karena suatu hal yang harus baginya untuk keluar.
فإذا كان يوجد من يقضي لها حوائجها زوجها أو أبنائها أو إخوة لها، فليس لها أن تخرج، لأن الأصل في المرأة القرار في البيت، وعدم تعريضها للخروج ومخالطة الرجال في الأسواق وغيرها
Jikalau ada seseorang yang mampu memenuhi kebutuhannya, baik suaminya atau anak-anaknya atau saudara laki-lakinya MAKA tidak boleh baginya untuk keluar. KARENA hukum asal dari seorang wanita adalah menetap di rumah dan tidak memberi kelonggaran untuk ia keluar rumah dan bercampur baur dengan laki-laki baik di pasar maupun selainnya.
لكن إذا كان هناك أمر لا يستطيع أهلها من الرجال أن يقضوا حاجتها منه، أمر لا يستطيعهُ غيرها، فهي تخرج بما فرض الله عليها من حجاب، من حجاب صافي، من الثياب الفضفاضة الواسعة، ومن الخمار، ومن الجلباب الذي تقوم مقامه عندنا العُبي، وأن تكون العباءة على الرأس لا علي الكتف
Akan tetapi, jika ada suatu perkara yang keluarganya dari kalangan laki-laki TIDAK MAMPU untuk menyelesaikan keperluannya, suatu urusan  yang tidak bisa melakukannya selain ia sendiri, maka boleh baginya untuk keluar dengan (mengenakan) apa yang telah Allah wajibkan baginya berupa hijab¹,
- hijab yang polos (tidak bercorak dan mencolok), yang longgar dan lebar, 
- juga mengenakan khimar², 
- dan kemudian jilbab³ yang serupa dengannya yang di tempat kami dinamakan al-'Ubyu, dan hendaknya pemakaian abaya digunakan di atas kepala bukan di atas pundak.
ثم تتكلم مع البائع بكلام ليس فيه خضوع بالقول، فالمرأة منهية عن الخضوع بالقول، أما إذا اضطرت أنها تماكس البائع والآن يسمونها مكاسرة، فإذا قال لها هذه البضاعة بـ مائة، فتقول:لا هذه قيمتها في السوق ثمانون ريال، بصوتها ليس فيه خضوع في القول وليس فيه ممازحة، ولا مضاحكة، ولا أي كلام يعني يجعله يسترسل معها في الحديث، فلا مانع من ذلك إن شاء الله تعالى
Kemudian, (hendaknya) dia berbicara kepada penjual dengan perkataan yang TIDAK melemah-lembut, karena seorang wanita dilarang berbicara (kepada laki-laki) dengan lemah-lembut (sehingga mengundang syahwat).
Namun jika TERPAKSA dia harus menawar kepada penjual -sekarang dinamakan dengan memberi kortingan- , (misalnya seperti) jika seorang penjual mengatakan bahwa barang ini harganya 100 riyal, kemudian dijawab olehnya:  
"Tidak, barang ini harga pasarnya 80 riyal,"
- dengan perkataan yang tidak dilembutkan, 
- tidak disertai canda, 
- tidak pula tawa, 
- dan tidak ada dialog yang bertele-tele dalam berbincang,
maka hal yang seperti ini tidak apa-apa -insyaa Allaah ta'alaa-.

Catatan kaki dari penerjemah:

1. Hijab adalah kain atau pakaian yang dipakai dari atas kepala menjulur ke seluruh tubuh dan tidak ada yang nampak kecuali matanya.

2. Khimar adalah kain penutup kepala yang menjulur ke leher.

3. Jilbab adalah pakaian yang luas yang menutupi seluruh badan. Sehingga seorang wanita wajib memakai jilbab itu pada pakaian luarnya dari ujung kepalanya turun sampai menutupi wajahnya, segala perhiasannya dan seluruh badannya sampai menutupi kedua ujung kakinya. Digunakan di atas khimar.

Wallahu a'lam bis showab.

Sumber: 
http://ar.alnahj.net/fatwa/137  

Alih Bahasa: 
Abu Kuraib Habib bin Ahmad Bandung hafidzahullah [FBF-1]

WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | www.alfawaaid.net

turut menyebarkan: syarhus sunnah lin nisaa`

Diposting ulang oleh Nisaa` As Sunnah

###

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah

Seorang wanita bertanya melalui suratnya:
Saya bertanya, apakah keluarnya seorang wanita untuk bekerja hukumnya halal ataukah haram? Perlu diketahui, saya keluar untuk bekerja setelah lulus. Akan tetapi, saya sering mengintrospeksi diri saya sendiri tentang keluarku ini. Saya berkata, “Apakah Rabbku ‘azza wa jalla ridha terhadap diriku ataukah tidak?” Berikanlah faidah dan nasihat kepada saya, semoga Anda diberi pahala. (Seorang pemudi di Yaman)

Jawab:
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Saya bershalawat dan bersalam terhadap Nabi kita Muhammad, penutup para nabi dan imam orang-orang terpilih, juga terhadap keluarga dan sahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti beliau hingga hari akhir.
Keluarnya seorang wanita dari rumahnya untuk sebuah keperluan, tidak mengapa. Terlebih lagi apabila keluarnya itu adalah untuk memenuhi kebutuhan orang lain, seperti keluar untuk ke madrasah untuk mengajari kaum wanita dari kalangan muslimin. Dalam keadaan ini, keluarnya akan mendapat pahala karena dia keluar untuk memenuhi kebutuhan dan mewujudkan maslahat orang lain.
Akan tetapi, ketika keluar dari rumahnya, dia wajib tidak bertabarruj dan tidak memakai wewangian. Selain itu, dia wajib memakai hijab yang syar’i, yaitu yang menutupi wajah dan (anggota badan) yang menimbulkan fitnah (godaan). Dia juga tidak boleh bercampur baur dengan kaum pria karena campur baur dengan kaum pria adalah sebab terjadinya fitnah.
Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Shaf terbaik untuk kaum lelaki ialah yang paling awal, yang paling jelek adalah shaf terakhir. Sedangkan shaf terbaik bagi wanita adalah shaf terakhir, yang paling jelek adalah shaf pertama.”
Shaf wanita yang terbaik adalah yang paling belakang karena paling jauh dari campur baur dan paling tidak berdekatan dengan kaum lelaki. Ini adalah isyarat dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa semakin jauh seorang wanita dari bercampur dengan lelaki, hal ini semakin baik.
Karena itu, Anda boleh keluar dari rumah, wahai wanita, untuk bekerja di madrasah. Demikian pula untuk melakukan pekerjaan lain yang memerlukan keluar dari rumah, selama pekerjaan tersebut tidak ada campur baur dengan lelaki, tanpa bertabarruj ataupun memakai wewangian.

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

###

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rohimahulloh

Soal:
Apa hukumnya wanita bekerja dan berdagang serta menyibukkan diri dengan perdagangan? Dan apa syarat yang harus dipenuhinya jika hal itu diperbolehkan muslimah bekerja dengan berdagang?

Jawab:
Jika dia membutuhkan hal itu maka tidak apa-apa dan hendaklah ia berhijab, sebagaimana dahulu wanita pada jaman Nabi shollallohu alaihi wa sallam melakukannya. Adapun jika Alloh subhanahu wa ta’ala telah memberinya kecukupan rizki maka keselamatan itu tidak bisa ditandingi dengan sesuatu apapun (yakni menetap di rumah bagi wanita itu lebih selamat).
Dan wanita itu adalah aurot, dan dia hampir-hampir tidak bisa selamat dari gangguan orang-orang fasik di pasar dan di jalan-jalan. Maka yang baik baginya adalah tidak melakukannya kecuali jika ia yang menanggung nafkah keluarganya atau tidak ada baginya laki-laki yang menanggung nafkahnya, maka hal itu tidak mengapa insya Alloh. Dan seharusnya ia berhijab dan menjaga kehormatannya dan tidak melembutkan suaranya untuk memfitnah manusia. Dan kepada Alloh tempat mengadu.
Telah dikabarkan kepadaku bahwa para pengusaha memilih wanita-wanita muda yang menggoda (ditempatkan untuk SPG, marketing, pramuniaga, kasir, dan sebagainya) supaya orang-orang mau datang dan membeli dagangan mereka, maka Alloh tidak membalas kebaikan pada para pedagang yang seperti itu, karena sesungguhnya mereka adalah pedagang yang menebar fitnah dan mereka sendiri telah terfitnah, padahal seharusnya mereka bersyukur dan memuji Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang telah memudahkan rizki bagi mereka.

Sumber Asli:
Ghorotul Asyrithoh hal. 148

Saya (Abu Masud) mengutipnya via risalah Ahammu Fatawan Nisa hal.108-109

ummuyusuf .com

###

Asy Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhaly

Apakah boleh memasukkan anak perempuan yang berumur lebih sembilan (9) tahun belajar di sekolah yang dicampur antara laki-laki dan perempuan? Perlu diketahui bahwa di daerah kami tidak ada sekolah yang memisahkan antara putra dan putri.

Jawab:

”Saya katakan kepadanya, Tidak Boleh. Keselamatan Modal Utama. Itu lebih penting dibanding keuntungan yang ingin diperoleh. Seorang anak perempuan bila sudah mencapai usia sembilan (9) tahun, maka seharusnya bagi Si Wali untuk mendidiknya berhijab, berhias dengan sifat malu dan menjaga kehormatan diri. Bila tidak didapatkan (tempat belajar khusus wanita), hendaknya Dia (Ayah/Wali) beserta Ibunya belajar di rumah. Ia ajarkan kitabullah dan ia ajarkan ilmu yang bermanfaat, dan ini lebih bermanfaat di sisi Allah Insya Allah. Dengan itu terjagalah keselamatan dirinya, penjagaan atas kehormatan, dan menjauhkannya dari tempat-tempat yang buruk. Bisa jadi hal-hal buruk tadi justru menimpamu sehingga engkau akan menyesal seumur hidup. Kemudian engkau sangat menyesalinya, lalu berangan-angan seandainya aku dahulu berada di bawah tanah. Tidak boleh seseorang bermudah-mudahan dalam permasalahan ini. Iya, dalam kondisi wanita itu berbeda-beda. Sebagian wanita di usia sembilan (9) tahun sudah tampak “kedewasaannya”, sempurna seperti wanita dewasa meskipun belum datang haidhnya, dan sudah sangat dekat dengan masa balighnya (ihtilam). Sebagian wanita ada yang sudah haidh di usia dua belas (12) tahun, sebelas (11) tahun, tiga belas (13) tahun atau kurang lebih dari itu, bukankah demikian realitanya? Sehingga usia wanita sembilan (9) tahun itu sudah sangat dekat dengan masa balighnya (ihtilam). Terlebih lagi wanita yang sudah tampak kedewasaannya, yaitu pada bagian tubuhnya, dan sifat kedewasaan lainnya. Maka yang seharusnya bagimu wahai Saudara Muslim, agar engkau bertaqwa kepada Allah di dalam menjaga putrimu. Dia merupakan Amanah yang ada di pundakmu."

###

al-Lajnah ad-Daimah

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj sebagaimana tabarruj orang-orang jahiliah yang pertama.” (al-Ahzab: 33)
Apakah ayat ini khusus bagi istri-istri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam? Apa pandangan syariat tentang wanita keluar rumah menuju masjid atau untuk menunaikan keperluannya?

Jawab:

Ayat yang disebutkan tidaklah khusus untuk istri-istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, perintah dalam ayat di atas berlaku umum untuk seluruh wanita yang beriman. Walaupun ayat tersebut asalnya turun untuk istri-istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi secara hukum mencakup seluruh wanita orang-orang yang beriman. Maka dari itu, semua wanita mukminah diperintah untuk tetap tinggal di rumah-rumah mereka, untuk menaati Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, tidak melunakkan suara saat berbicara dengan lelaki dengan ucapan/suara yang membuat orang fasik dan menyimpan nifak punya keinginan syahwat terhadap mereka. Mereka hanyalah diperbolehkan berucap dengan ucapan yang ma’ruf, tidak dilembutkan dan tidak mendayu-dayu, serta bukan ucapan yang di luar kebiasaan. Tidak boleh pula mereka berhias dengan perhiasan orang-orang jahiliah yang pertama. Akan tetapi, ada perbedaan antara istri-istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan wanita yang lainnya. Pada diri istri-istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam perkara ketaatan lebih ditekankan daripada terhadap wanita yang lain, karena keberadaan mereka yang menempati rumah kepemimpinan Islamiah (suami mereka adalah pemimpin umat). Ketaatan mereka akan menjaga kedudukan dan kemuliaan kepemimpinan tersebut serta memberikan pengaruh yang lebih besar kepada seluruh wanita mukmin yang lain. Oleh karena itu, dilipatgandakan balasan dan pahala mereka melebihi wanita-wanita yang lain. Demikian pula azab, apabila terjadi kemaksiatan.

Ayat tersebut tidak berarti melarang para wanita keluar rumah sama sekali. Mereka boleh keluar apabila ada kebutuhan, seperti ke masjid untuk mengerjakan shalat, mendengarkan nasihat, dan menghadiri perayaan islami dua hari Id di mushalla (tanah lapang tempat ditegakkannya shalat id). Demikian pula untuk menunaikan kemaslahatan yang dibutuhkan, seperti keluar untuk berobat, silaturahim dengan tetap memerhatikan hijab, tidak tabarruj (berhias), tidak memakai wangi-wangian, tidak lemah gemulai dalam berjalan, dan mendayu-dayu dalam berbicara. Hal ini karena para istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh wanita mukmin keluar rumah menuju masjid untuk shalat setelah turunnya ayat ini. Demikian pula untuk menunaikan haji dan umrah, buang hajat, ziarah, dan silaturahim di antara mereka. Siapa yang keluar namanya dalam undian (apabila suaminya memiliki istri lebih dari satu), dia pun bisa ikut suaminya dalam safar. Hal ini tidak diingkari oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu, perkara tersebut terus-menerus dilakukan tanpa ada pengingkaran, sepanjang yang kami tahu.

[Fatwa no. 3229, kitab Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 17/222—224]

Ketua: Abdul Aziz ibn Abdillah ibn Baz
Wakil Ketua: Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah ibn Qu’ud dan Abdullah bin Ghudayyan