Cari Blog Ini

Kamis, 18 Desember 2014

Tentang BANGGA DIRI

Asy-Syaikh Hamad bin Ibrahim Al-Utsman hafizhahullah berkata:
"Ujub atau merasa kagum dan bangga dengan diri sendiri menjadikan pelakunya memuliakan dirinya sendiri, sehingga dia merasa senang dan cukup dengan apa yang dia miliki, akibatnya dia menganggap bahwa kebenaran tidak muncul kecuali dari dirinya, seakan-akan dia memang diberi tugas khusus untuk membawanya. Ini merupakan sifat orang-orang kafir sebagaimana firman Allah Ta’ala:
فَلَمَّا جَاءَتْهُمْ رُسُلُهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَرِحُوْا بِمَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُوْنَ
“Maka tatkala para rasul yang diutus kepada mereka membawa keterangan-keterangan yang jelas, orang-orang kafir itu merasa senang dengan ilmu yang mereka miliki, akibatnya mereka ditimpa apa yang dahulu selalu mereka jadikan sebagai bahan olok-olokan.” (QS. Ghafir: 83)
Jika seseorang merasa kagum dengan dirinya dan merasa cukup dengan apa yang dia miliki, maka sempurna sudah kerugiannya, karena dia tidak akan mungkin menoleh kepada perkataan orang lain, apalagi menerimanya jika itu merupakan kebenaran.

Abu Wahb al-Marwazi Rohimahulloh berkata:
"Aku bertanya kepada Ibnul Mubarak tentang kesombongan,  Beliau menjawab, '(Kesombongan) adalah engkau meremehkan dan merendahkan manusia.' Kemudian aku bertanya kepadanya mengenai ujub (bangga diri). Beliau pun menjawab, '(Ujub) adalah engkau memandang bahwa dirimu memiliki sesuatu yang tidak ada pada selainmu." (an-Nubadz fi Adabi Thalabil Ilmi)

Dalam hadits ibnu ‘Abbas, Rasulullah bersabda;
ﺍﻟﻤﻬﻠﻜﺎﺕ ﺛﻼﺙ: ﺇﻋﺠﺎﺏ ﺍﺩﻣﺮﺀ ﺑﻨﻔﺴﻪ، ﻭ ﺷﺢ ﻣﻄﺎﻉ ﻭ ﻫﻮﻯ ﻣﺘﺒﻊ
"Yang menghancurkan itu ada tiga, yaitu bangga seseorang terhadap dirinya, kikir yang ditaati dan hawa nafsu yang diikuti." (Dihasankan oleh Al Albani)

Berkata Abu Darda' radhiyallahu ’anhu:
“Tanda kebodohan ada tiga: merasa bangga dengan dirinya, banyak berbicara dalam perkara yang tidak bermanfaat bagi dirinya, dan melarang sesuatu kemudian dia mendatanginya.”

Dan diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu beliau berkata:
“Berbangga diri membahayakan hati-hati.”

Dan berkata yang lainnya: “Berbangganya seseorang dengan dirinya merupakan dalil kurang akalnya.”

Dan mereka juga mengatakan:
“Tidaklah anda melihat orang yang berbangga dengan dirinya kecuali menginginkan kepemimpinan.”
(Lihat Jami’ Bayan Ilmi 570-571)

Masruq rahimahullah berkata:
“Cukuplah seorang termasuk berilmu, manakala dia takut kepada Allah Azza wa Jalla. Dan cukuplah seseorang termasuk dalam kebodohan (jahil) manakala dia merasa ujub (bangga) dengan ilmunya.”
(Akhlaqul ‘Ulama` Al-Ajurri hal. 47)

Mutharrif bin Abdillah Asy-Syakhir rahimahullah berkata:
“Sungguh aku tidur hingga Shubuh lalu aku merasa menyesal, lebih aku sukai dibandingkan aku shalat semalam suntuk lalu aku merasa kagum pada diriku sendiri.” (Mukhtashar Minhaajul Qaashidiin hal. 274)

Al-Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata:
لَوْ أَنَّ الْمُبْتَدِعَ تَوَاضَعَ لِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ نَبِيِّهِ لَاتَّبَعَ وَمَا ابْتَدَعَ، وَلَكِنَّهُ أُعْجِبَ بِرَأْيِهِ فَاقْتَدَى بِمَا اخْتَرَعَ
“Seandainya seorang mubtadi’ tawadhu’ kepada Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya, niscaya dia akan mengikuti kebenaran dan tidak akan mengada-adakan bid’ah, tetapi dia merasa kagum dengan pendapatnya sehingga lebih mengikuti apa yang dia buat-buat.” (At-Tadzkirah fil Wa’zhi, hal. 97)

Sufyan Ats-Tsaury rahimahullah berkata:
"Waspadailah hal-hal yang akan merusak amalmu, karena sesungguhnya yang akan merusak amalmu adalah riya’.
Kalau bukan riya’ maka dengan engkau merasa kagum dengan dirimu sendiri hingga dikhayalkan kepadamu bahwa engkau lebih mulia dibandingkan saudaramu yang mana saja. Padahal bisa jadi engkau tidak bisa beramal sebaik yang dia kerjakan, dan bisa jadi dia lebih wara’ terhadap hal-hal yang diharamkan oleh Allah dibandingkan dirimu dan amalnya lebih suci dibandingkan dirimu.
Jika engkau tidak merasa kagum dengan dirimu, maka waspadailah jangan sampai engkau senang dengan pujian manusia. Pujian mereka adalah dengan engkau senang jika mereka memuliakan dirimu karena amal yang engkau lakukan dan mereka menilai engkau memiliki kemuliaan dan kedudukan di hati mereka dengan sebab amal tersebut. Atau engkau memiliki kebutuhan yang engkau minta kepada mereka dalam banyak perkara, padahal menurutmu dengan amalmu tersebut engkau hanya menginginkan kemuliaan di negeri akhirat dan engkau tidak menginginkan yang lainnya dengan amal tersebut.
Maka cukuplah dengan banyak mengingat kematian untuk menjadikan seseorang menganggap rendah dunia ini dan menjadikan cinta kepada akhirat, dan cukuplah dengan panjang angan-angan akan menjadikan seseorang sedikit rasa takutnya dan membuatnya lancang melakukan berbagai kemaksiatan, dan cukuplah penyesalan mendalam pada hari kiamat nanti bagi siapa saja yang mengetahui ilmu namun tidak mengamalkannya.”
(Hilyatul Auliyaa', VI/391)

Ibnu Hibban rahimahullah berkata:
إِنَّهُ لَا يَتَكَّبَرُ عَلَى أَحَدٍ حَتَّى يُعْجَبَ بِنَفْسِهِ وَيَرَى لَهَا عَلَى غَيْرِهَا الْفَضْلَ
“Sesungguhnya seseorang tidak akan menyombongkan diri kepada seorang pun hingga dia merasa kagum dengan dirinya dan menganggap dirinya memiliki keutamaan atas orang lain.” (Raudhatul ‘Uqalaa’, hal. 61)

Orang yang kagum dengan dirinya sendiri hanya merasakan dirinya saja yang memiliki keuatamaan dan terus memperhatikannya, dan penilaian semacam ini mengakibatkan kekurangan dan tidak meraih keutamaan. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. (Iqtidhaa’us Shiraathil Mustaqiim I/453)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
وَالْعُجْبُ مِنْ بَابِ الْإِشْرَاكِ بِالنَّفْسِ وَهَذَا حَالُ الْمُسْتَكْبِرِ، فَالْمُرَائِي لَا يُحَقِّقُ قَوْلَهُ: إِيَّاكَ نَعْبُدُ . وَالْمُعْجَبُ لَا يُحَقِّقُ قَوْلَهُ: وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Ujub termasuk perbuatan menyekutukan Allah dengan diri sendiri, dan ini merupakan keadaan orang yang sombong. Jadi kalau orang yang beramal karena riya’ dia tidak merealisasikan firman Allah: “Hanya kepada-Mu kami beribadah”, sedangkan orang yang ujub tidak merealisasikan firman-Nya: “Hanya kepada-Mu memohon pertolongan.” (Al-Fataawaa Al-Kubraa, V/247-248)

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
وَأَمَّا الْكِبْرُ فَأَثَرٌ مِنْ آثَارِ الْعُجْبِ وَالْبَغْيِ مِنْ قَلْبٍ قَدْ امْتَلَأَ بِالْجَهْلِ وَالظُّلْمِ وَتَرَحَّلَتْ مِنْهُ الْعُبُوْدِيَّةُ وَنَزَلَ عَلَيْهِ الْمَقْتُ فَنَظَرُهُ إِلَى النَّاسِ شَزْرٌ وَمَشْيُهُ بَيْنَهُمْ تَبَخْتُرٌ وَمُعَامَلُتُهُ لَهُمْ مُعَاملَةُ الْإِسْتِئْثَارِ لَا الْإِيْثَارِ وَلَا الْإِنْصَافِ
“Adapun kesombongan maka hal itu termasuk salah satu pengaruh dari sifat ujub dan melanggar hak orang lain yang muncul dari hati yang penuh kebodohan dan kezhaliman, sifat sebagai seorang hamba telah meninggalkan hati tersebut dan kemurkaan telah menimpanya, akibatnya pandangan dia kepada manusia adalah pandangan merendahkan, cara berjalan dia di tengah-tengah mereka penuh kecongkakan, dan cara bermuamalah dengan mereka seperti orang yang mementingkan diri sendiri dan tidak mementingkan orang lain serta tidak bersikap adil.” (Ar-Ruuh, II/703)

Dan berkata Al Imam Ibnul Qoyim dalam “Al Fawaid":
“Dari tanda-tanda kebahagiaan dan keberuntungan adalah setiap bertambah ilmunya bertambah pula ketawadukan dan belas kasihnya, dan setiap bertambah amalannya bertambah pula ketakutan dan kewaspadaannya, dan setiap bertambah umurnya berkurang ketamakannya, dan setiap bertambah hartanya bertambah pula kedermawanan dan pemberiannya, dan setiap bertambah martabat dan kedudukannya, bertambah pula kedekatannya dengan masyarakat, penunaiannya terhadap kebutuhan mereka, dan ketawadukannya disisi mereka.
Dan dari tanda-tanda kebinasaan adalah setiap bertambah ilmunya bertambah pula kesombongan dan kecongkakannya, dan setiap bertambah amalannya bertambah pula sifat berbangga diri, meremehkan orang lain dan berpersangka baik dengan dirinya, dan setiap bertambah umurnya bertambah pula ketamakannya, dan setiap bertambah hartanya bertambah pula kebakhilan dan kekikirannya, dan setiap bertambah martabat dan kedudukannya, bertambah pula takabur dan keangkuhannya, semua perkara ini merupakan musibah dan ujian dari Allah yang dengannya Allah menguji hamba-hamba-Nya, maka beberapa kaum akan berbahagia dengannya dan beberapa kaum lainnya akan celaka dengannya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar