Cari Blog Ini

Kamis, 18 Desember 2014

Tentang MENINGGALKAN PERKARA YANG SAMAR DAN MERAGUKAN

Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.”

Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya, juga At-Tirmidzi, An-Nasa’i dalam Sunan-nya mengeluarkan hadits ini dari jalan Syu’bah dari Buraid bin Abi Maryam dari Abul Haura’ dari Al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma. Hadits ini shahih, dishahihkan oleh para imam ahli hadits, termasuk di antaranya Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitabnya Ash-Shahihul Musnad Mimma Laysa fish-Shahihain (1/222-224).

Berkata Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullah: “Hadits di atas memiliki kisah.” (Sunan At-Tirmidzi, 4/77)
Kisah yang dimaksud oleh Al-Imam At-Tirmidzi di sini dibawakan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (1/201). Al-Hasan bin Ali radhiallahu ‘anhuma menceritakan kepada Abul Haura’ bahwa ketika masih kecil ia pernah mengambil sebutir kurma dari kurma sedekah lalu memakannya. Melihat hal tersebut, kakek beliau yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam segera mengeluarkan kurma itu dari mulut Al-Hasan dan membuangnya. Lalu seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apa masalahnya wahai Rasulullah bila anak kecil ini memakan kurma tersebut?” Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab, “Sesungguhnya kami keluarga Muhammad tidaklah halal memakan harta sedekah."
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda, “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu. Karena kejujuran itu adalah ketenangan di hati sedangkan kedustaan itu adalah keraguan.”

Hadits ini bila ditinjau secara makna hampir sama dengan makna hadits An-Nu‘man ibnu Basyir radhiallahu 'anhu:
“Siapa yang berhati-hati/ menjaga dirinya dari syubhat (perkara yang samar) maka sungguh ia telah menjaga agamanya dan kehormatannya. Dan siapa yang jatuh ke dalam syubhat berarti ia jatuh dalam keharaman.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 52, 2051 dan Muslim no. 1599)

Berkata Al-Qadhi rahimahullah, “Dalam kejujuran itu ada keberhasilan (kesuksesan) dan keselamatan sekalipun manusia terkadang memandang di situ ada kebinasaan. Maka bila engkau mendapatkan dirimu dalam keadaan ragu terhadap sesuatu, tinggalkanlah perkara tersebut. Karena jiwa seorang mukmin yang sempurna keimanannya merasa tenang dengan kejujuran yang bisa menyelamatkan dirinya dari kebinasaan dan akan merasa ragu dengan kedustaan. Keraguanmu terhadap sesuatu merupakan perkara yang dikhawatirkan keharamannya maka berhati-hatilah engkau dari perkara tersebut, sedangkan ketenanganmu terhadap sesuatu merupakan tanda benarnya hal tersebut, maka ambillah.” (Faidhul Qadir, 3/528)

Al-Munawi rahimahullah berkata: “Hadits ini merupakan salah satu kaidah agama dan pokok dari sifat wara`, di mana wara` ini merupakan poros keyakinan dan menenangkan dari gelapnya keraguan dan kecemasan yang mencegah cahaya keyakinan.” (Faidhul Qadir, 3/529)

Wara’ adalah suatu sikap meninggalkan perkara yang syubhat (samar atau tidak jelas halal haramnya) karena khawatir terjatuh ke dalam perkara yang diharamkan. (At-Ta‘rifat, Al-Jurjani, 1/325, Subulus Salam, 2/261)

Berkata Abu Abdirrahman Al-Umari Az-Zahid, “Apabila seorang hamba memiliki sifat wara`, niscaya dia akan meninggalkan perkara yang meragukannya menuju kepada perkara yang tidak meragukannya.” (Jami`ul Ulum, 1/281)

Sementara Hassan bin Abi Sinan rahimahullah mengatakan, “Tidak ada sesuatu yang lebih ringan/mudah daripada sikap wara`. Apabila ada sesuatu yang meragukanmu maka tinggalkanlah.” (Jami`ul Ulum, 1/281)

Al-Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata, “Aku telah mendengar Yahya bin Abi Katsir menyatakan, seorang alim adalah orang yang takut kepada Allah Subhanahu wa Taala. Dan (yang) takut kepada Allah Subhanahu wa Taala adalah orang yang wara’.”
(Akhlaqul ‘Ulama` Al-Ajurri hal. 47)

Ahmad bin Abdurrahman bin Qudamah Al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Wara’ itu memiliki empat tingkatan:
1. Berpaling dari setiap perkara yang dinyatakan keharamannya.
2. Wara‘ dari setiap perkara syubhat yang sebenarnya tidak diwajibkan untuk dijauhi, namun disenangi baginya untuk meninggalkannya. Dalam perkara ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tinggalkan perkara yang meragukanmu menuju kepada perkara yang tidak meragukanmu.”
3. Wara‘ dari sebagian perkara yang halal karena khawatir jatuh kepada perkara yang haram.
4. Wara‘ dari setiap perkara yang tidak ditegakkan karena Allah dan ini merupakan wara‘nya para shiddiqin (orang-orang yang benar imannya).”
(Mukhtashar Minhajil Qashidin hal. 88)

###

Abu Ubaidah Iqbal bin Damiri Al Jawy

Dari Abu Abdillah an-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
إِنَّ الحَلالَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَات لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس، ِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِه، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ. أَلا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَىً. أَلا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ، أَلا وإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَت فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهيَ القَلْبُ
Sesungguhnya yang halal telah nyata (jelas) dan yang haram telah nyata. Dan di antara keduanya ada perkara yang tidak jelas, yang tidak diketahui kebanyakan orang. Maka barangsiapa menjaga dirinya dari melakukan perkara yang syubhat (meragukan), maka selamatlah agama dan harga dirinya, tetapi siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman. Tak ubahnya seperti gembala yang menggembala di tepi pekarangan, dikhawatirkan ternaknya akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah, setiap raja itu memiliki larangan, dan larangan Allah adalah sesuatu yang diharamkannya. Ketahuilah, bahwa dalam setiap tubuh manusia terdapat segumpal daging, jika segumpal daging itu baik maka baik pula seluruh badannya, namun jika segumpal daging tersebut rusak, maka rusaklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, gumpalan darah itu adalah hati. [HR. Al-Bukhari dan Muslim]

Faedah-faedah Hadis:
1. Hadits ini menunjukkan bahwa perkara yang ada dihadapan kita terbagi menjadi tiga macam;
a. Perkara yang telah nyata kehalalannya, tidak tersamarkan padanya sedikit pun, seperti makan daging ayam, kambing, sapi, onta dan lainnya.
b. Perkara yang telah nyata keharamannya, tidak tersamarkan padanya sedikit pun, seperti makan daging anjing, babi, bangkai, minum khamer dan yang lainnya.
c. Perkara yang tersamarkan, apakah dia halal ataukah haram?
Perkara yang ketiga ini tidak diketahui oleh kebanyakan orang, kecuali para ulama. Para ulama tahu hukumnya, apakah itu halal ataukah haram dengan dalil nash al-Quran dan sunnah atau qiyas yang dibenarkan. Jenis perkara yang masih tersamarkan kehalalan dan keharamannya lebih utama ditinggalkan, karena hal ini lebih selamat dan lebih menjaga dirinya serta terlepas dari tanggungan.
2. Maksud dari sabda beliau: “Siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, maka dia terjatuh kepada keharaman” adalah barangsiapa menerjang sesuatu yang masih tersamarkan, dalam keadaan dia sendiri tidak tahu apakah yang dia lakukan adalah perkara yang halal atau haram, maka hal ini membuat dirinya tidak aman kalau seandainya ternyata perkara yang dia lakukan adalah haram dalam keadaan dia tidak mengetahuinya.
3. Di antara bentuk keselamatan dari perkara yang haram adalah menjauhi segala bentuk syubhat.
4. Keutamaan sifat Wara’, yaitu menjauhi segala perkara yang dikuatirkan akan memadaratkan dirinya di Akherat.
5. Hikmah Allah menyebutkan bahwa di sana ada perkara yang masih syubhat (samar) adalah mendorong manusia untuk mempelajari ilmu agama yang benar, karena dengan ilmu ini akan jelas baginya, mana yang halal dan mana yang haram.
6. Metode pengajaran yang baik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, yang mana beliau memberikan permisalan atau contoh dalam pengajarannya agar lebih mendekatkan kepada pemahaman.
7. Wajib bagi setiap muslim memperhatikan keadaan hatinya, karena baik dan buruk, bagus atau rusaknya suatu amalan tergantung dari baik dan buruknya hati. Jika hatinya buruk atau jelek maka akan membuahkan amalan yang buruk atau jelek. Oleh karena itu, sepantasnya bagi setiap muslim memohon kepada Allah agar hatinya tetap sehat, senantiasa ingat kepada Allah dan tetap dikokohkan diatas ketaatan kepada Allah. Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdoa dalam sujud shalatnya:
يَا مُقَلِّبَ القُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
Wahai Dzat yang membolak balikkan hati, teguhkanlah hatiku berada di atas agamamu. [HR. Ahmad dan at-Tirmidzi, dishahihkan asy-Syaikh al-Albani dan asy-Syaikh Muqbil]
Waffaqallahul Jami’ li kulli khairin.

Pelajaran Forum KIS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar