Cari Blog Ini

Kamis, 18 Desember 2014

Tentang WANITA BEKERJA, BERSEKOLAH, DAN BERAKTIVITAS DI LUAR RUMAH

Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah

Seorang wanita perlu mengetahui bahwa tempat asalnya berdiam adalah dalam rumahnya, dan rumah ini pula yang menjadi tempatnya bekerja. Dalil-dalil dari syariat yang mulia telah menetapkan dan mempersaksikan tentang hal ini, di antaranya:

- Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Ummahatul Mukminin:
ﻭَﻗَﺮْﻥَ ﻓِﻲ ﺑُﻴُﻮﺗِﻜُﻦَّ
“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian.” (Al-Ahzab: 33)
Makna ayat ini, kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah, adalah perintah untuk selalu menetap dalam rumah. Walaupun sasaran pembicaraan dalam ayat ini ditujukan kepada para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun secara makna wanita selain mereka juga termasuk di dalam perintah ini. (Al-Jami’ li Ahkamil Quran, 14/117)

- Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
ﻻَ ﺗُﺨْﺮِﺟُﻮْﻫُﻦَّ ﻣِﻦْ ﺑُﻴُﻮْﺗِﻬِﻦَّ ﻭَﻻَ ﻳَﺨْﺮُﺟْﻦَ
“Janganlah kalian mengeluarkan mereka (istri-istri yang telah ditalak) dari rumah-rumah mereka dan janganlah mereka keluar.” (Ath-Thalaq: 1)
Walaupun ayat di atas berkenaan dengan wanita/istri yang tengah menjalani masa ‘iddah, namun kata ulama, hukumnya tidaklah khusus bagi mereka namun juga berlaku bagi wanita yang lain. (Daurul Mar’ah fi Tarbiyatul Usrah, Asy-Syaikh Shalih bin Abdillah Alu Fauzan, hal. 1)

- Pelajaran dari kisah antara Nabi Musa ‘alaihissalam dengan dua orang wanita di Madyan, yang Allah kisahkan kepada kita dalam Tanzil-Nya:
ﻭَﻟَﻤَّﺎ ﻭَﺭَﺩَ ﻣَﺎﺀَ ﻣَﺪْﻳَﻦَ ﻭَﺟَﺪَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺃُﻣَّﺔً ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ ﻳَﺴْﻘُﻮْﻥَ ﻭَﻭَﺟَﺪَ ﻣِﻦْ ﺩُﻭْﻧِﻬِﻢُ ﺍﻣْﺮَﺃﺗَﻴْﻦِ ﺗَﺬُﻭْﺩَﺍﻥِ ﻗَﺎﻝَ ﻣَﺎ ﺧَﻄْﺒُﻜُﻤَﺎ ﻗَﺎﻟَﺘَﺎ ﻻَ ﻧَﺴْﻘِﻲْ ﺣَﺘَّﻰ ﻳُﺼْﺪِﺭَ ﺍﻟﺮِّﻋَﺎﺀُ ﻭَﺃَﺑُﻮْﻧَﺎ ﺷَﻴْﺦٌ ﻛَﺒِﻴْﺮٌ . ﻓَﺴَﻘَﻰ ﻟَﻬُﻤَﺎ ﺛُﻢَّ ﺗَﻮَﻟَّﻰ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻈِّﻞِّ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺏِّ ﺇِﻧِّﻲ ﻟِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻟْﺖَ ﺇِﻟَﻲَّ ﻣِﻦْ ﺧَﻴْﺮٍ ﻓَﻘِﻴْﺮٌ. ﻓَﺠَﺎﺀَﺗْﻪُ ﺇِﺣْﺪَﺍﻫُﻤَﺎ ﺗَﻤْﺸِﻲ ﻋَﻠَﻰ ﺍﺳْﺘِﺤْﻴَﺎﺀٍ ﻗَﺎﻟَﺖْ ﺇِﻥَّ ﺃَﺑِﻲْ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻙَ ﻟِﻴَﺠْﺰِﻳَﻚَ ﺃَﺟْﺮَ ﻣَﺎ ﺳَﻘَﻴْﺖَ ﻟَﻨَﺎ ﻓَﻠَﻤَّﺎ ﺟَﺎﺀَﻩُ ﻭَﻗَﺺَّ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﺍﻟْﻘَﺼَﺺَ ﻗَﺎﻝَ ﻻَ ﺗَﺨَﻒْ ﻧَﺠَﻮْﺕَ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻘَﻮْﻡِ ﺍﻟﻈَّﺎﻟِﻤِﻴْﻦ. َﻗَﺎﻟَﺖْ ﺇِﺣْﺪَﺍﻫُﻤَﺎ ﻳَﺎﺃَﺑَﺖِ ﺍﺳْﺘَﺄْﺟِﺮْﻩُ ﺇِﻥَّ ﺧَﻴْﺮَ ﻣَﻦِ ﺍﺳْﺘَﺄْﺟَﺮْﺕَ ﺍﻟْﻘَﻮِﻱُّ ﺍْﻷَﻣِﻴْﻦُ
“Tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan, di sana ia menjumpai sekumpulan orang yang sedang meminumkan ternak mereka dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat ternaknya. Musa berkata: ‘Apa maksud kalian berbuat begini, kenapa kalian tidak ikut meminumkan ternak kalian bersama mereka?’ Kedua wanita itu menjawab: ‘Kami tidak dapat meminumkan ternak kami sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan ternak mereka, sedangkan ayah kami telah berusia lanjut.’ Maka Musa memberi minum ternak itu untuk menolong keduanya, kemudian ia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat memerlukan suatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.' Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu sembari berjalan dengan malu-malu, ia berkata: ‘Ayahku memanggilmu untuk membalas kebaikanmu memberi minum ternak kami.’ Maka tatkala Musa mendatangi ayahnya, ia menceritakan kisah dirinya. Ayahnya pun berkata: ‘Janganlah takut, engkau telah selamat dari orang-orang yang zalim itu (Fir’aun dan pengikutnya).’ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Wahai ayahku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja pada kita adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya’.” (Al-Qashash: 23-26)
Karena sifat wara dan takwa yang ada pada keduanya, kedua wanita ini enggan untuk bercampur (ikhtilath) dengan para penggembala tersebut. Adapun keduanya keluar rumah untuk memberi minum ternaknya adalah karena darurat, di mana sang ayah telah berusia senja sehingga tak mampu lagi mengurus ternak yang ada. Perjumpaan dengan Nabi Musa ‘alaihissalam membuahkan gagasan di benak salah seorang dari wanita tersebut bahwa telah tiba saatnya untuk mengembalikan perkara pada tempat yang semestinya, ia pun berkata kepada sang ayah: “Wahai ayahku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja pada kita, karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja pada kita adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” Sang ayah pun menyambut usulan putrinya, kemudian berkata kepada Nabi Musa:
ﻗَﺎﻝَ ﺇِﻧِّﻲ ﺃُﺭِﻳﺪُ ﺃَﻥْ ﺃُﻧْﻜِﺤَﻚَ ﺇِﺣْﺪَﻯ ﺍﺑْﻨَﺘَﻲَّ ﻫَﺎﺗَﻴْﻦِ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥْ ﺗَﺄْﺟُﺮَﻧِﻲ ﺛَﻤَﺎﻧِﻲَ ﺣِﺠَﺞٍ ﻓَﺈِﻥْ ﺃَﺗْﻤَﻤْﺖَ ﻋَﺸْﺮًﺍ ﻓَﻤِﻦْ ﻋِﻨْﺪِﻙَ ﻭَﻣَﺎ ﺃُﺭِﻳْﺪُ ﺃَﻥْ ﺃَﺷُﻖَّ ﻋَﻠَﻴْﻚَ ﺳَﺘَﺠِﺪُﻧِﻲ ﺇِﻥْ ﺷَﺎﺀَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺼَّﺎﻟِﺤِﻴْﻦَ
“Berkatalah sang ayah: ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua putriku ini, atas dasar engkau bekerja denganku selama delapan tahun dan jika engkau cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah suatu kebaikan darimu, aku tidaklah hendak memberatkanmu. Dan engkau Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik’.” (Al-Qashash: 27) [Daurul Mar’ah, hal. 1]

- Shalat di masjid sebagai satu amalan yang utama disyariatkan kepada kaum lelaki, banyak pahala akan diraih terlebih bila shalat itu dilakukan di Masjid Nabawi. Namun ternyata bersamaan dengan itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kaum wanita untuk shalat di rumah mereka. Ketika istri Abu Humaid As-Sa’idi datang kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menyatakan: “Wahai Rasulullah, aku senang shalat berjamaah bersamamu.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
ﻗَﺪْ ﻋَﻠِﻤْﺖُ ﺃَﻧَّﻚِ ﺗُﺤِﺒِّﻴْﻦَ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ ﻣَﻌِﻲْ , ﻭَﺻَﻼَﺗُﻚِ ﻓِﻲْ ﺑَﻴْﺘِﻚِ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻚِ ﻣِﻦْ ﺻَﻼَﺗِﻚِ ﻓِﻲْ ﺣُﺠْﺮَﺗِﻚِ , ﻭَﺻَﻼَﺗُﻚِ ﻓِﻲ ﺣُﺠْﺮَﺗِﻚِ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣِﻦْ ﺻَﻼَﺗِﻚِ ﻓِﻲ ﺩَﺍﺭِﻙِ , ﻭَﺻَﻼَﺗُﻚِ ﻓِﻲْ ﺩَﺍﺭِﻙِ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻚِ ﻣِﻦْ ﺻَﻼَﺗِﻚِ ﻓِﻲ ﻣَﺴْﺠِﺪِ ﻗَﻮْﻣِﻚِ , ﻭَﺻَﻼَﺗُﻚِ ﻓِﻲ ﻣَﺴْﺠِﺪِ ﻗَﻮْﻣِﻚِ ﺧَﻴْﺮٌ ﻟَﻚِ ﻣِﻦ ْﺻَﻼَﺗِﻚِ ﻓِﻲ ﻣَﺴْﺠِﺪِﻱْ
“Sungguh aku tahu engkau senang shalat jamaah denganku, namun shalatmu di ruang yang khusus yang ada di rumahmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di kamarmu, shalatmu di kamarmu lebih baik daripada shalatmu di rumahmu, shalatmu di rumahmu lebih baik daripada shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lebih baik daripada shalatmu di masjidku.” (HR. Ahmad, 6/371, dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah, hal. 155)
Bila seorang wanita tetap tinggal di rumahnya, ia akan bisa menunaikan tugas-tugas dalam rumahnya, memenuhi hak-hak suaminya, mendidik anak-anaknya dan membekali dirinya dengan kebaikan. Sementara bila seorang wanita sering keluar rumah, ia akan menyia-nyiakan sekian banyak kewajiban yang dibebankan kepadanya. (Nashihati Lin Nisa’, Ummu Abdillah Al-Wadi‘iyyah, hal. 101)

Dari penjelasan di atas, janganlah dipahami bahwa wanita dilarang secara mutlak untuk keluar dari rumahnya. Bahkan terdapat keterangan dari syariat tentang kebolehan wanita keluar dari rumahnya saat ada kebutuhan dan karena darurat.
- ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkisah:
“Suatu malam, Saudah bintu Zam’ah radhiallahu ‘anha keluar dari rumahnya untuk membuang hajat. Ketika itu ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu melihatnya dan mengenalinya. ‘Umar pun berkata: “Engkau Saudah, demi Allah, tidak tersembunyi bagi kami.” Saudah pun kembali menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia ceritakan kejadian tersebut kepada beliau. Saat itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang makan malam di rumahku. Dalam keadaan tangan beliau sedang memegang tulang yang padanya ada sisa daging, turunlah wahyu, beliau pun berkata:
ﻗَﺪْ ﺃَﺫِﻥَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻟَﻜُﻦَّ ﺃَﻥْ ﺗَﺨْﺮُﺟْﻦَ ﻟِﺤَﻮَﺍﺋِﺠِﻜُﻦَّ
“Allah telah mengizinkan kalian untuk keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 5237 dan Muslim no. 2170)

- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi tuntunan kepada para suami untuk tidak melarang istri mereka shalat di masjid, bila si istri minta izin padanya. “Apabila istri salah seorang dari kalian minta izin ke masjid maka janganlah ia melarangnya.” (HR. Al-Bukhari no. 873 dan Muslim no. 442)
Dan beliau menyatakan:
ﻻَ ﺗَﻤْﻨَﻌُﻮْﺍ ﺇِﻣَﺎﺀَََََََ ﺍﻟﻠﻪِ ﻣَﺴَﺎﺟِﺪَ ﺍﻟﻠﻪِ
“Janganlah kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 900 dan Muslim no. 442)

- Dari sejarah para shahabiyyah, kita mengetahui ada di antara mereka yang keluar menyertai mahram mereka ke medan jihad untuk memberi minum kepada mujahidin dan mengobati orang yang luka.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata:
ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮْﻝُ ﺍﻟﻠﻪ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢ ﻳَﻐْﺰُﻭْ ﺑِﺄُﻡِّ ﺳُﻠَﻴْﻢٍ ﻭَﻧِﺴْﻮَﺓ ﻣِﻦَ ﺍﻷﻧْﺼَﺎﺭِ ﻣَﻌَﻪُ ﺇِﺫَﺍ ﻏَﺰَﺍ ﻓَﻴَﺴْﻘِﻴْﻦَ ﺍﻟْﻤَﺎﺀَ ﻭَﻳُﺪَﺍﻭِﻳْﻦَ ﺍﻟْﺠَﺮْﺣَﻰ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berperang bersama Ummu Sulaim dan beberapa wanita dari kalangan Anshar ikut bersama beliau ketika beliau berperang. Mereka memberi minum dan mengobati mujahidin yang terluka.” (HR. Muslim no. 1810)
Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anhu bertutur: “Aku pernah berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tujuh kali peperangan, aku menjaga dan mengurus tunggangan-tunggangan mereka (mujahidin), membuatkan makanan untuk mereka, mengobati orang yang luka dan merawat orang sakit.” (HR. Muslim no. 1812)

- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bila hendak safar, beliau mengundi di antara istri-istrinya untuk menentukan siapa di antara mereka yang akan menyertai beliau dalam safarnya.

Keluarnya wanita dari rumahnya ini merupakan pengecualian dari hukum asal dan disebabkan kepentingan yang darurat dengan memperhatikan dan menjaga adab-adab ketika keluar rumah seperti berhijab dan sebagainya, dan juga tidak ada fitnah dan kerusakan yang akan timbul saat ia keluar rumah. Adapun bila wanita keluar rumah untuk bekerja karena memperhatikan bualan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu syaithaniyyah bahwasanya bila wanita tetap tinggal di rumahnya ia akan menjadi pengangguran, maka hal ini tidaklah dibolehkan oleh syariat yang agung dan sempurna ini. Bila sampai wanita keluar dari rumahnya karena memenuhi ajakan manis nan berbisa dari pengikut hawa nafsu tersebut maka akan terjadilah kerusakan yang besar di tengah masyarakat dan sendi-sendi keluarga pun akan hancur.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata: “Islam menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki kewajiban yang khusus agar keduanya dapat menjalankan perannya, hingga sempurnalah bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yang sesuai baginya seperti mengajar anak-anak perempuan, mengurusi sekolah mereka, merawat dan mengobati mereka dan pekerjaan yang semisalnya yang khusus bagi wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam rumahnya berarti ia menyia-nyiakan rumah berikut penghuninya. Hal tersebut berdampak terpecahnya keluarga baik secara hakiki maupun maknawi.” (Khatharu Musyarakatil Mar’ah lir Rijal fi Maidanil ‘Amal, hal. 5)

Sumber: Asy Syariah online

###

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani Rahimahullah pernah ditanya terkait aktivitas kaum Hawa di luar rumah. Beliau Rahimahullah menuturkan bahwa pokok masalah (hukum asal) pembicaraan tentang wanita ini berdasar firman Allah Subhanahu wa Taala terkait individu para istri Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu.” (Al-Ahzab: 33)
Lantas beliau Rahimahullah mengutip pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah: “Sesungguhnya, hukum asal bagi laki-laki (adalah) pergi dan keluar (dari rumah). Sedangkan bagi wanita (adalah) tetap tinggal di rumah, tidak keluar, kecuali jika ada keperluan yang mengharuskan dia keluar rumah.”
Lebih lanjut, beliau Rahimahullah menuturkan bahwa dalam Shahih Al-Bukhari, tatkala Allah Subhanahu wa Taala mewajibkan hijab kepada kaum wanita, Nabi Shallallahu `alaihi wa sallam bersabda:
قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ
“Allah telah mengizinkan bagi kalian (para wanita) untuk keluar (rumah) tatkala kalian memiliki keperluan.” (Lihat Shahih Al-Bukhari, Kitabun Nikah, Bab Khurujun Nisa` li Hawa`ijihinna, hadits no. 5237)
Maka, bila seorang wanita keluar dari rumahnya dengan memakai jilbabnya, tidak memakai parfum (wewangian), lantaran ada keperluan, maka yang demikian diperbolehkan. Apabila dia keluar rumah diiringi pelanggaran terhadap hal-hal yang kami isyaratkan tadi (seperti tidak menutup aurat atau mengenakan wewangian) atau mengganggu sebagian kewajiban di rumahnya, maka berlakulah ayat Al-Qur`an:
“Dan hendaklah kamu tetap di rumah-rumahmu.”
Tidak boleh bagi seorang wanita keluar (rumah) dan meninggalkan anak-anaknya bersama pembantu. Karena, seorang ibu lebih mengetahui apa saja kebutuhan yang diminta anak-anaknya. Dia pun mengetahui kebaikan apa saja bagi anak-anaknya berkenaan dengan arahan dan pendidikan.
(Masa`il Nisa`iyyah Mukhtarah min Fiqhi Al-’Allamah Al-Albani Rahimahullah, Ummu Ayyub Nurah bintu Ahsan Ghawi, hal. 79)

###

Pertanyaan: Bolehkah seorang perawat muslimah bekerja di bagian kewanitaan pada salah satu rumah sakit hingga ia bisa merawat pasien-pasien wanita. Di tempat kerjanya ini, ia memakai pakaian yang syar‘i namun tidak bisa mengenakan jilbab (pakaian luar yang longgar/lapang dan menutupi seluruh tubuh dari kepala sampai telapak kaki) dikarenakan dalam pelaksanaan tugas/pekerjaannya tidak memungkinkan baginya mengenakan jilbab tersebut. Namun tidak ada laki-laki yang mondar-mandir di ruang kerjanya kecuali hanya para pelayan (tukang sapu dan semisalnya) dan apoteker. Pada waktu lain, ia diminta untuk tugas jaga –shift malam– sehingga sepanjang malam ia berada di rumah sakit dan sangat mungkin laki-laki masuk ke tempatnya sementara tidak ada mahram yang mendampinginya. Lalu apa yang harus dilakukan perawat itu? Sebelumnya perlu diketahui suami si perawat mampu memberikan belanja kepadanya tanpa ia harus bekerja.

Asy-Syaikh Al-’Allamah Abu Abdirrahman Muhammad Nashiruddin Al-Albani menjawab:

Apabila kita mengingat hukum yang ada, maka kita ketahui bahwa asalnya seorang wanita muslimah itu harus berdiam/ tinggal di dalam rumahnya dan tidak boleh keluar rumah kecuali bila memang ada keperluan. Di samping itu, disampaikan pada kami dari pertanyaan yang ada bahwa suami si wanita (perawat tersebut) mampu menafkahinya. Maka dengan begitu kami memandang, wanita itu tidak boleh bekerja di luar rumahnya. Bila ia memang tetap berkeinginan bekerja di bidang medis untuk merawat/ mengobati pasien wanita secara khusus, ia bisa membuka praktek di rumah sehingga tidak perlu keluar untuk bekerja di rumah sakit. Karena dengan bekerjanya si wanita di rumah sakit berarti ia menghadapkan dirinya pada ikhtilath (campur baur laki-laki dan perempuan tanpa hijab/tabir penghalang) baik yang kecil maupun yang besar seperti yang disebutkan dalam pertanyaan. Sehingga ia terjatuh ke dalam pelanggaran syariat, sedikit ataupun banyak, sementara ia sebenarnya bisa menghindarinya.

Adapun pertanyaan yang menyebutkan bahwa si wanita dengan profesinya sebagai perawat di rumah sakit, ia tidak bisa mengenakan jilbab karena demikian tuntutan pekerjaannya, akan tetapi masih bisa mengenakan pakaian yang menutupi auratnya maka aku nyatakan bahwa hal itu bukanlah alasan. Kecuali bila kita gambarkan bahwa jilbab itu adalah (model) satu potong pakaian yang dikenakan wanita untuk menutupi tubuhnya dari atas kepala sampai ke telapak kaki dan kita anggap model jilbab memang harus demikian, itu merupakan perkara ta’abbudiyyah. Yakni dibebani para wanita untuk senantiasa mengenakan hijab/pakaian dengan model tersebut. Bila kita tetapkan jilbab itu demikian, maka perbuatan si wanita jelas teranggap sebagai penyelisihan lain yang dilakukannya karena ia tidak mengenakan jilbab tersebut dengan alasan pekerjaan. Ia menggantinya dengan pakaian model lain yang bisa menutupi tubuhnya. Namun perlu diketahui, jilbab itu ditinjau dari sisi jenis dan model/bentuknya. Dan sebenarnya bukannya model/bentuk jilbab yang dituju, tapi model itu hanyalah satu perantara untuk menutup aurat wanita. Dengan begitu boleh bagi seorang wanita memakai pakaian apa yang diinginkannya namun dalam batasan syarat-syarat yang ada sebagaimana yang telah aku sebutkan dalam kitab Hijabul Mar`ah Al-Muslimah. Seandainya pakaian yang dikenakannya itu bukanlah jilbab secara bahasa yakni tidak terdiri dari satu potong pakaian (yang lebar/ lapang, yang bisa menutupi dari atas kepala sampai telapak kaki) maka hendaklah ia mengenakan pakaian yang terdiri dari tiga potong. Akan tetapi yang penting dari semua itu, pakaian pengganti jilbab tersebut dapat menggantikan fungsi jilbab. Bila seperti itu keadaannya maka tidak ada masalah bagi perawat tersebut dan tidak pula yang lainnya untuk tidak mengenakan jilbab namun menggantinya dengan pakaian lain yang bisa menggantikan fungsi jilbab secara sempurna.

Kesimpulannya, wanita keluar dari rumahnya merupakan perkara yang menyelisihi hukum asal. Dan masuknya si wanita ke rumah sakit yang di dalamnya berbaur laki-laki dan perempuan merupakan ikhtilath yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Seandainya di sana ada rumah sakit khusus wanita, maka yang jadi direkturnya semestinya wanita, pelayan/ pekerjanya juga wanita, demikian pula para pasien (berikut perawatnya). Seharusnya memang di negeri-negeri Islam ada rumah sakit yang demikian di mana para wanita secara khusus yang mengurusnya, baik dokter, direktur, pelayan/pekerjanya, dan semisalnya (semuanya wanita). Adapun bila rumah sakitnya seperti yang disebutkan dalam pertanyaan, rumah sakit yang ikhtilath, maka kami nasehatkan agar wanita muslimah yang beriman kepada Rabbnya hendaknya bertakwa kepada Allah dan hendaklah ia tetap tinggal di rumahnya.

[Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 474-475]

###

Pertanyaan: Apakah dibolehkan bagi seorang wanita keluar ke pasar untuk membeli kebutuhan-kebutuhannya dan kebutuhan putrinya tanpa sepengetahuan suaminya?

Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjawab:

“Yang wajib bagi seorang wanita adalah ia tidak keluar dari rumahnya menuju pasar atau tempat lainnya kecuali dengan izin suaminya. Bila memang memungkinkan kebutuhannya dibelikan oleh suaminya atau laki-laki lainnya dari kalangan mahramnya atau selain mereka, itu lebih baik bagi si wanita daripada harus keluar sendiri dari rumahnya. Bila memang terpaksa keluar rumah tanpa izin suaminya, dia wajib menjaga dirinya dari perkara yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan dengan memakai hijab yang sempurna menutupi wajahnya dan selainnya, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
ﻭَﻗَﺮْﻥَ ﻓِﻲ ﺑُﻴُﻮﺗِﻜُﻦَّ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺒَﺮَّﺟْﻦَ ﺗَﺒَﺮُّﺝَ ﺍﻟْﺠَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔِ ﺍﻟْﺄُﻭﻟَﻰ
"Tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang awal.” (Al-Ahzab: 33)
Dan firman-Nya:
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﻗُﻞْ ﻟِﺄَﺯْﻭَﺍﺟِﻚَ ﻭَﺑَﻨَﺎﺗِﻚَ ﻭَﻧِﺴَﺎﺀِ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﻳُﺪْﻧِﻴﻦَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻦَّ ﻣِﻦْ ﺟَﻠَﺎﺑِﻴﺒِﻬِﻦَّ
"Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, putri-putrimu, dan kepada wanita-wanitanya orang-orang yang beriman: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka di atas tubuh mereka…’.” (Al-Ahzab: 59)
Jilbab adalah pakaian luar yang dikenakan wanita untuk menutupi kepala dan tubuhnya yang dipakai di atas tsiyab (pakaian yang sudah dikenakan di atas tubuhnya).

Demikian pula firman-Nya:
ﻭَﺇِﺫَﺍ ﺳَﺄَﻟْﺘُﻤُﻮﻫُﻦَّ ﻣَﺘَﺎﻋًﺎ ﻓَﺎﺳْﺄَﻟُﻮﻫُﻦَّ ﻣِﻦْ ﻭَﺭَﺍﺀِ ﺣِﺠَﺎﺏٍ
"Dan apabila kalian meminta sesuatu keperluan kepada mereka maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka.” (Al-Ahzab: 53)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

[Fatawa Al-Mar`ah Al-Muslimah, hal. 557]

###

Asy-Syaikh al-'Allaamah 'Ubaid bin 'Abdillah al-Jaabiry -hafidzahullah ta'alaa -

P E R T A N Y A A N :
هل يجوز للمرأة أن تذهب إلى السوق لقضاء حوائجها وتماكس الباعة؟
Apakah boleh bagi wanita pergi ke pasar untuk memenuhi kebutuhannya dan melakukan tawar-menawar harga barang ? 

J A W A B A N :
المرأة المسلمة العاقلة التي تخشى الله -سبحانه وتعالى- وتصون عرضها، وعفتها، فإنها لا تخرجُ من بيتها إلا لما لابد لها منه
Seorang wanita muslimah yang berakal lagi takut kepada Allah -subhana wa ta'alaa- dan yang menjaga harga diri dan kehormatannya MAKA ia tidak keluar dari rumahnya KECUALI karena suatu hal yang harus baginya untuk keluar.
فإذا كان يوجد من يقضي لها حوائجها زوجها أو أبنائها أو إخوة لها، فليس لها أن تخرج، لأن الأصل في المرأة القرار في البيت، وعدم تعريضها للخروج ومخالطة الرجال في الأسواق وغيرها
Jikalau ada seseorang yang mampu memenuhi kebutuhannya, baik suaminya atau anak-anaknya atau saudara laki-lakinya MAKA tidak boleh baginya untuk keluar. KARENA hukum asal dari seorang wanita adalah menetap di rumah dan tidak memberi kelonggaran untuk ia keluar rumah dan bercampur baur dengan laki-laki baik di pasar maupun selainnya.
لكن إذا كان هناك أمر لا يستطيع أهلها من الرجال أن يقضوا حاجتها منه، أمر لا يستطيعهُ غيرها، فهي تخرج بما فرض الله عليها من حجاب، من حجاب صافي، من الثياب الفضفاضة الواسعة، ومن الخمار، ومن الجلباب الذي تقوم مقامه عندنا العُبي، وأن تكون العباءة على الرأس لا علي الكتف
Akan tetapi, jika ada suatu perkara yang keluarganya dari kalangan laki-laki TIDAK MAMPU untuk menyelesaikan keperluannya, suatu urusan  yang tidak bisa melakukannya selain ia sendiri, maka boleh baginya untuk keluar dengan (mengenakan) apa yang telah Allah wajibkan baginya berupa hijab¹,
- hijab yang polos (tidak bercorak dan mencolok), yang longgar dan lebar, 
- juga mengenakan khimar², 
- dan kemudian jilbab³ yang serupa dengannya yang di tempat kami dinamakan al-'Ubyu, dan hendaknya pemakaian abaya digunakan di atas kepala bukan di atas pundak.
ثم تتكلم مع البائع بكلام ليس فيه خضوع بالقول، فالمرأة منهية عن الخضوع بالقول، أما إذا اضطرت أنها تماكس البائع والآن يسمونها مكاسرة، فإذا قال لها هذه البضاعة بـ مائة، فتقول:لا هذه قيمتها في السوق ثمانون ريال، بصوتها ليس فيه خضوع في القول وليس فيه ممازحة، ولا مضاحكة، ولا أي كلام يعني يجعله يسترسل معها في الحديث، فلا مانع من ذلك إن شاء الله تعالى
Kemudian, (hendaknya) dia berbicara kepada penjual dengan perkataan yang TIDAK melemah-lembut, karena seorang wanita dilarang berbicara (kepada laki-laki) dengan lemah-lembut (sehingga mengundang syahwat).
Namun jika TERPAKSA dia harus menawar kepada penjual -sekarang dinamakan dengan memberi kortingan- , (misalnya seperti) jika seorang penjual mengatakan bahwa barang ini harganya 100 riyal, kemudian dijawab olehnya:  
"Tidak, barang ini harga pasarnya 80 riyal,"
- dengan perkataan yang tidak dilembutkan, 
- tidak disertai canda, 
- tidak pula tawa, 
- dan tidak ada dialog yang bertele-tele dalam berbincang,
maka hal yang seperti ini tidak apa-apa -insyaa Allaah ta'alaa-.

Catatan kaki dari penerjemah:

1. Hijab adalah kain atau pakaian yang dipakai dari atas kepala menjulur ke seluruh tubuh dan tidak ada yang nampak kecuali matanya.

2. Khimar adalah kain penutup kepala yang menjulur ke leher.

3. Jilbab adalah pakaian yang luas yang menutupi seluruh badan. Sehingga seorang wanita wajib memakai jilbab itu pada pakaian luarnya dari ujung kepalanya turun sampai menutupi wajahnya, segala perhiasannya dan seluruh badannya sampai menutupi kedua ujung kakinya. Digunakan di atas khimar.

Wallahu a'lam bis showab.

Sumber: 
http://ar.alnahj.net/fatwa/137  

Alih Bahasa: 
Abu Kuraib Habib bin Ahmad Bandung hafidzahullah [FBF-1]

WA Forum Berbagi Faidah [FBF] | www.alfawaaid.net

turut menyebarkan: syarhus sunnah lin nisaa`

Diposting ulang oleh Nisaa` As Sunnah

###

Asy Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin rahimahullah

Seorang wanita bertanya melalui suratnya:
Saya bertanya, apakah keluarnya seorang wanita untuk bekerja hukumnya halal ataukah haram? Perlu diketahui, saya keluar untuk bekerja setelah lulus. Akan tetapi, saya sering mengintrospeksi diri saya sendiri tentang keluarku ini. Saya berkata, “Apakah Rabbku ‘azza wa jalla ridha terhadap diriku ataukah tidak?” Berikanlah faidah dan nasihat kepada saya, semoga Anda diberi pahala. (Seorang pemudi di Yaman)

Jawab:
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Saya bershalawat dan bersalam terhadap Nabi kita Muhammad, penutup para nabi dan imam orang-orang terpilih, juga terhadap keluarga dan sahabat beliau, serta orang-orang yang mengikuti beliau hingga hari akhir.
Keluarnya seorang wanita dari rumahnya untuk sebuah keperluan, tidak mengapa. Terlebih lagi apabila keluarnya itu adalah untuk memenuhi kebutuhan orang lain, seperti keluar untuk ke madrasah untuk mengajari kaum wanita dari kalangan muslimin. Dalam keadaan ini, keluarnya akan mendapat pahala karena dia keluar untuk memenuhi kebutuhan dan mewujudkan maslahat orang lain.
Akan tetapi, ketika keluar dari rumahnya, dia wajib tidak bertabarruj dan tidak memakai wewangian. Selain itu, dia wajib memakai hijab yang syar’i, yaitu yang menutupi wajah dan (anggota badan) yang menimbulkan fitnah (godaan). Dia juga tidak boleh bercampur baur dengan kaum pria karena campur baur dengan kaum pria adalah sebab terjadinya fitnah.
Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Shaf terbaik untuk kaum lelaki ialah yang paling awal, yang paling jelek adalah shaf terakhir. Sedangkan shaf terbaik bagi wanita adalah shaf terakhir, yang paling jelek adalah shaf pertama.”
Shaf wanita yang terbaik adalah yang paling belakang karena paling jauh dari campur baur dan paling tidak berdekatan dengan kaum lelaki. Ini adalah isyarat dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bahwa semakin jauh seorang wanita dari bercampur dengan lelaki, hal ini semakin baik.
Karena itu, Anda boleh keluar dari rumah, wahai wanita, untuk bekerja di madrasah. Demikian pula untuk melakukan pekerjaan lain yang memerlukan keluar dari rumah, selama pekerjaan tersebut tidak ada campur baur dengan lelaki, tanpa bertabarruj ataupun memakai wewangian.

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

###

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rohimahulloh

Soal:
Apa hukumnya wanita bekerja dan berdagang serta menyibukkan diri dengan perdagangan? Dan apa syarat yang harus dipenuhinya jika hal itu diperbolehkan muslimah bekerja dengan berdagang?

Jawab:
Jika dia membutuhkan hal itu maka tidak apa-apa dan hendaklah ia berhijab, sebagaimana dahulu wanita pada jaman Nabi shollallohu alaihi wa sallam melakukannya. Adapun jika Alloh subhanahu wa ta’ala telah memberinya kecukupan rizki maka keselamatan itu tidak bisa ditandingi dengan sesuatu apapun (yakni menetap di rumah bagi wanita itu lebih selamat).
Dan wanita itu adalah aurot, dan dia hampir-hampir tidak bisa selamat dari gangguan orang-orang fasik di pasar dan di jalan-jalan. Maka yang baik baginya adalah tidak melakukannya kecuali jika ia yang menanggung nafkah keluarganya atau tidak ada baginya laki-laki yang menanggung nafkahnya, maka hal itu tidak mengapa insya Alloh. Dan seharusnya ia berhijab dan menjaga kehormatannya dan tidak melembutkan suaranya untuk memfitnah manusia. Dan kepada Alloh tempat mengadu.
Telah dikabarkan kepadaku bahwa para pengusaha memilih wanita-wanita muda yang menggoda (ditempatkan untuk SPG, marketing, pramuniaga, kasir, dan sebagainya) supaya orang-orang mau datang dan membeli dagangan mereka, maka Alloh tidak membalas kebaikan pada para pedagang yang seperti itu, karena sesungguhnya mereka adalah pedagang yang menebar fitnah dan mereka sendiri telah terfitnah, padahal seharusnya mereka bersyukur dan memuji Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang telah memudahkan rizki bagi mereka.

Sumber Asli:
Ghorotul Asyrithoh hal. 148

Saya (Abu Masud) mengutipnya via risalah Ahammu Fatawan Nisa hal.108-109

ummuyusuf .com

###

Asy Syaikh Muhammad bin Hadi Al Madkhaly

Apakah boleh memasukkan anak perempuan yang berumur lebih sembilan (9) tahun belajar di sekolah yang dicampur antara laki-laki dan perempuan? Perlu diketahui bahwa di daerah kami tidak ada sekolah yang memisahkan antara putra dan putri.

Jawab:

”Saya katakan kepadanya, Tidak Boleh. Keselamatan Modal Utama. Itu lebih penting dibanding keuntungan yang ingin diperoleh. Seorang anak perempuan bila sudah mencapai usia sembilan (9) tahun, maka seharusnya bagi Si Wali untuk mendidiknya berhijab, berhias dengan sifat malu dan menjaga kehormatan diri. Bila tidak didapatkan (tempat belajar khusus wanita), hendaknya Dia (Ayah/Wali) beserta Ibunya belajar di rumah. Ia ajarkan kitabullah dan ia ajarkan ilmu yang bermanfaat, dan ini lebih bermanfaat di sisi Allah Insya Allah. Dengan itu terjagalah keselamatan dirinya, penjagaan atas kehormatan, dan menjauhkannya dari tempat-tempat yang buruk. Bisa jadi hal-hal buruk tadi justru menimpamu sehingga engkau akan menyesal seumur hidup. Kemudian engkau sangat menyesalinya, lalu berangan-angan seandainya aku dahulu berada di bawah tanah. Tidak boleh seseorang bermudah-mudahan dalam permasalahan ini. Iya, dalam kondisi wanita itu berbeda-beda. Sebagian wanita di usia sembilan (9) tahun sudah tampak “kedewasaannya”, sempurna seperti wanita dewasa meskipun belum datang haidhnya, dan sudah sangat dekat dengan masa balighnya (ihtilam). Sebagian wanita ada yang sudah haidh di usia dua belas (12) tahun, sebelas (11) tahun, tiga belas (13) tahun atau kurang lebih dari itu, bukankah demikian realitanya? Sehingga usia wanita sembilan (9) tahun itu sudah sangat dekat dengan masa balighnya (ihtilam). Terlebih lagi wanita yang sudah tampak kedewasaannya, yaitu pada bagian tubuhnya, dan sifat kedewasaan lainnya. Maka yang seharusnya bagimu wahai Saudara Muslim, agar engkau bertaqwa kepada Allah di dalam menjaga putrimu. Dia merupakan Amanah yang ada di pundakmu."

###

al-Lajnah ad-Daimah

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, “Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj sebagaimana tabarruj orang-orang jahiliah yang pertama.” (al-Ahzab: 33)
Apakah ayat ini khusus bagi istri-istri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam? Apa pandangan syariat tentang wanita keluar rumah menuju masjid atau untuk menunaikan keperluannya?

Jawab:

Ayat yang disebutkan tidaklah khusus untuk istri-istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan, perintah dalam ayat di atas berlaku umum untuk seluruh wanita yang beriman. Walaupun ayat tersebut asalnya turun untuk istri-istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi secara hukum mencakup seluruh wanita orang-orang yang beriman. Maka dari itu, semua wanita mukminah diperintah untuk tetap tinggal di rumah-rumah mereka, untuk menaati Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya, tidak melunakkan suara saat berbicara dengan lelaki dengan ucapan/suara yang membuat orang fasik dan menyimpan nifak punya keinginan syahwat terhadap mereka. Mereka hanyalah diperbolehkan berucap dengan ucapan yang ma’ruf, tidak dilembutkan dan tidak mendayu-dayu, serta bukan ucapan yang di luar kebiasaan. Tidak boleh pula mereka berhias dengan perhiasan orang-orang jahiliah yang pertama. Akan tetapi, ada perbedaan antara istri-istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan wanita yang lainnya. Pada diri istri-istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam perkara ketaatan lebih ditekankan daripada terhadap wanita yang lain, karena keberadaan mereka yang menempati rumah kepemimpinan Islamiah (suami mereka adalah pemimpin umat). Ketaatan mereka akan menjaga kedudukan dan kemuliaan kepemimpinan tersebut serta memberikan pengaruh yang lebih besar kepada seluruh wanita mukmin yang lain. Oleh karena itu, dilipatgandakan balasan dan pahala mereka melebihi wanita-wanita yang lain. Demikian pula azab, apabila terjadi kemaksiatan.

Ayat tersebut tidak berarti melarang para wanita keluar rumah sama sekali. Mereka boleh keluar apabila ada kebutuhan, seperti ke masjid untuk mengerjakan shalat, mendengarkan nasihat, dan menghadiri perayaan islami dua hari Id di mushalla (tanah lapang tempat ditegakkannya shalat id). Demikian pula untuk menunaikan kemaslahatan yang dibutuhkan, seperti keluar untuk berobat, silaturahim dengan tetap memerhatikan hijab, tidak tabarruj (berhias), tidak memakai wangi-wangian, tidak lemah gemulai dalam berjalan, dan mendayu-dayu dalam berbicara. Hal ini karena para istri Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan seluruh wanita mukmin keluar rumah menuju masjid untuk shalat setelah turunnya ayat ini. Demikian pula untuk menunaikan haji dan umrah, buang hajat, ziarah, dan silaturahim di antara mereka. Siapa yang keluar namanya dalam undian (apabila suaminya memiliki istri lebih dari satu), dia pun bisa ikut suaminya dalam safar. Hal ini tidak diingkari oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu, perkara tersebut terus-menerus dilakukan tanpa ada pengingkaran, sepanjang yang kami tahu.

[Fatwa no. 3229, kitab Fatawa al-Lajnah ad-Daimah, 17/222—224]

Ketua: Abdul Aziz ibn Abdillah ibn Baz
Wakil Ketua: Abdurrazzaq Afifi
Anggota: Abdullah ibn Qu’ud dan Abdullah bin Ghudayyan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar