Cari Blog Ini

Kamis, 18 Desember 2014

Tentang AMAR MA'RUF NAHI MUNGKAR KEPADA ISTRI DAN KELUARGA

Wahai suami...

Di antara hak istri atas suami adalah mendapatkan pendidikan dan perlakuan yang baik dari suaminya. Engkau bimbing dia, engkau ajak dia kepada yang ma’ruf, dan engkau cegah dia dari perkara yang mungkar. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” [at-Tahrim: 6]

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan perintahkanlah keluargamu untuk mendirikan shalat, dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” [Thaha: 132]

Allah Ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Dan beliau (Nabi Ismail ‘alaihis salam) memerintahkan keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan beliau adalah seorang yang diridhai di sisi Rabb-Nya.” [Maryam: 55]

Maka, wajib atas suami untuk menjalankan tanggung jawabnya kepada istri. Hendaknya suami selalu membantu istrinya agar tetap istiqamah di atas agama-Nya, dan semangat dalam mempelajari ilmu agama. Hendaknya pula, suami memerintahkan istrinya untuk menjalankan perkara yang ma’ruf dan mencegahnya dari perbuatan mungkar. Dengan upaya itulah, engkau akan mendapatkan pahala. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama para istri beliau. Beliau melakukan shalat malam. Ketika sudah mendekati waktu fajar, beliau membangunkan Aisyah seraya berkata, “Bangunlah engkau, dan shalatlah witir.”

Pernah suatu hari, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun di malam hari, lalu beliau berkata, “Subhanallah, apa yang telah diturunkan pada malam ini berupa fitnah-fitnah, dan apa yang diturunkan-Nya berupa perbendaharaan dunia. Siapa yang mau membangunkan mereka yang ada di kamar-kamar ini (istri-istri beliau)? Duhai, betapa banyak orang yang berpakaian di dunia, tapi telanjang di akhirat.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Semoga Allah merahmati suami yang dia bangun di malam hari untuk shalat malam, lalu dia pun membangunkan istrinya. Jika istrinya enggan/malas-malasan, sang suami memerciki wajahnya dengan air. Dan semoga Allah merahmati istri yang dia bangun di waktu malam untuk shalat malam, lalu dia pun membangunkan suaminya. Jika enggan/malas bangun, istri pun memerciki wajahnya dengan air.” (HR. Ahmad no.7103, 9254, 7410, 9627, 7404 dan 9625, Abu Dawud no.1113 dan 1238, an-Nasa’i no.1592, Ibnu Majah no.1326, lihat Shahihul Jami’ no. 3494)

Hendaknya suami memerintahkan istri agar berpegang teguh dengan agama Islam, istiqamah di atas agama, dan menjauhkannya dari perbuatan mungkar, seperti: meninggalkan shalat, mendengarkan musik, menggambar makhluk hidup, tabarruj, dll. Hendaknya suami berusaha menjaga kehormatannya, dan kemuliaannya, serta membantunya dalam menjalankan ketaatan kepada Rabb-Nya.

Itulah hak-hak istri atas suami.

(Fawaid dari dars Manhajus Salikin bab: ‘Isyratin Nisa oleh Asy-Syaikh Abdurrahman al-’Adeny hafizhahullah Ta’ala di Markiz Daril Hadits al-Fiyush)

###

al-Ustadz Abdul Mu’thi Sutarman, Lc.

Tali pernikahan menuntut seorang suami sebagai kepala keluarga untuk memikul tanggung jawab yang tidak ringan dalam mengurusi istri dan anak-anaknya. Tanggung jawab ini tidak hanya berupa pemberian nafkah dan kebutuhan lahiriah saja. Namun lebih dari itu, yaitu memerhatikan perkara agama dengan membimbing mereka kepada ketaatan serta mencegah mereka dari kemaksiatan dan penyimpangan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (at-Tahrim: 6)

Dahulu sahabat Malik bin al-Huwairits radhiallahu ‘anhu bercerita bahwa dia dan beberapa orang dari kaumnya datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menimba ilmu dan tinggal di sisi beliau selama dua puluh hari dua puluh malam. Malik bin al-Huwairits radiyallahu'anhu mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang yang penyayang. Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memandang bahwa kami telah merindukan keluarga, beliau menanyai kami tentang orang-orang yang kami tinggalkan. Kami pun memberi tahu beliau. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Kembalilah kalian kepada keluarga kalian. Tinggallah di tengah-tengah mereka dan ajarilah serta perintahlah mereka…’.” ( Shahih al-Bukhari, no. 631)

Orang yang terdekat dengan suami adalah anak-anak dan istrinya. Merekalah orang yang paling berhak mendapatkan arahan dan bimbingan kepada kebaikan. Inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, apabila masuk sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan beliau mengencangkan ikat pinggangnya (semangat beribadah) dan membangunkan keluarganya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (Thaha: 132)

Di antara sifat kemuliaan Nabi Ismail ‘alaihissalam yang diabadikan oleh al-Qur’an,
Dan ia menyuruh keluarganya untuk shalat dan menunaikan zakat, dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya.” (Maryam: 55)

Apabila seorang suami memberi perhatian penuh terhadap istri dari sisi bimbingan agama, dengan izin Allah subhanahu wa ta’ala, istrinya akan menjadi penyejuk mata baginya. Wanita yang seperti ini diharapkan mampu memberikan bimbingan yang baik terhadap putra-putrinya.

Dengan demikian, ia memiliki andil mencetak generasi masa depan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri, orang tua, masyarakat, dan agamanya.

Suami yang Jelek

Suami yang mencintai istrinya tidak akan membiarkannya terjerumus dalam perilaku yang menyimpang. Sebab, cinta yang sejati menuntut seseorang untuk membentengi kekasihnya dari jurang kehancuran.

Suami yang tidak peduli dengan kondisi istrinya dan membiarkannya larut dalam kenistaan kelak akan dimintai pertanggungjawaban atas kewajibannya dalam membimbing istrinya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Setiap kalian adalah penanggung jawab dan akan ditanya tentang tanggung jawabnya. Seorang penguasa adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanya tentang tanggung jawabnya, dan seorang lelaki adalah penanggung jawab terhadap keluarganya dan ia akan ditanyai tentang tugasnya.” (HR. Ahmad, al-Bukhari, dan Muslim dari Ibnu Umar radiyallahu'anhum)

Lelaki yang tidak peduli terhadap istrinya yang melanggar batasan-batasan agama adalah lelaki yang jelek. Ia berhak mendapatkan murka dari Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Tiga golongan yang Allah subhanahu wa ta’ala haramkan mereka dari (memasuki) surga: orang yang kecanduan khamr, orang yang durhaka (kepada orang tuanya), dan ad-dayyuts, yaitu yang membiarkan istrinya berbuat zina.” (HR. Ahmad dalam Musnad dari Ibnu Umar radiyallahu'anhum dan dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami no. 3052)

Al-Munawi rahimahullah menerangkan, “Tiga golongan ini dihukumi kafir jika mereka menganggap halal perbuatannya. Surga itu haram atas orang-orang kafir selama-lamanya.
Apabila mereka menganggap perbuatan itu haram, yang dimaksud dengan surga itu haram atas mereka ialah mereka terhalangi dari memasukinya sebelum dibersihkan dengan api neraka. Apabila mereka sudah bersih, baru dimasukkan ke dalam surga.” (Faidhul Qadir 3/420)

Kecemburuan yang Nyaris Hilang

Cemburu ada yang terpuji dan ada yang tercela. Adapun yang terpuji dalah kecemburuan seseorang ketika melihat kekasihnya berbuat yang tidak baik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya cemburu ada yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala dan ada yang dibenci Allah…. Adapun cemburu yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala adalah cemburu dalam perkara yang mencurigakan, sedang cemburu yang dibenci Allah subhanahu wa ta’ala adalah cemburu pada perkara yang tidak mencurigakan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, an-Nasai, dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no. 2221)

Disebutkan dalam ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud (7/320) bahwa cemburu dalam perkara yang mencurigakan, seperti seorang lelaki cemburu terhadap para mahramnya bila melihat mereka melakukan perbuatan yang diharamkan, termasuk yang dicintai Allah subhanahu wa ta’ala. 
Adapun cemburu pada perkara yang tidak mencurigakan, seperti seorang cemburu kepada ibunya jika ia dinikahi oleh ayah tiri, demikian pula kecemburuan para mahramnya, yang seperti ini termasuk yang dibenci Allah subhanahu wa ta’ala. Sebab, apa yang Allah subhanahu wa ta’ala halalkan bagi kita, kita wajib meridhainya.
Allah subhanahu wa ta’ala juga cemburu bila hamba-Nya berbuat maksiat sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala cemburu dan sesungguhnya seorang mukmin itu cemburu. Kecemburuan Allah subhanahu wa ta’ala adalah jika seorang mukmin melakukan apa yang diharamkan Allah subhanahu wa ta’ala kepadanya.” (HR. Ahmad, al-Bukhari, dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)

Ibnul Arabi rahimahullah menerangkan, “Orang mukmin yang paling kuat cemburunya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, beliau tegas dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar dan melakukan pembalasan hukuman karena Allah subhanahu wa ta’ala. Beliau tidak peduli dalam hal ini pada celaan orang yang mencela.” (Faidhul Qadir 2/387)

Al-Munawi rahimahullah berkata, “Orang yang paling mulia dan paling tinggi tekadnya adalah orang yang paling cemburu. Seorang mukmin yang cemburu pada tempatnya telah mencocoki Allah subhanahu wa ta’ala pada salah satu sifat-Nya. Barang siapa mencocoki Allah subhanahu wa ta’ala pada salah satu sifat-Nya, sifat itu akan menjadi kendalinya dan akan memasukkannya ke (hadapan) Allah subhanahu wa ta’ala serta mendekatnya kepada rahmat-Nya.” (Tuhfatul Arus, Istambuli, hlm. 387)

Seperti inilah bimbingan Islam yang sangat mulia. Masih adakah kiranya arahan seperti ini pada hati-hati para lelaki di zaman sekarang?! Sungguh, sulit didapatkan. Justru kebanyakan mereka membawa istri atau anak-anak perempuannya ke jalan-jalan umum untuk dipamerkan dan membiarkan mereka membuka aurat di jalan-jalan hingga menjadi umpan para perampok kehormatan dan kesucian.

Fenomena Pembiaran Maksiat pada Istri

Entah karena takut istri atau bersikap masa bodoh, dan yang pasti karena lemahnya iman, kita dapatkan tidak sedikit lelaki yang membiarkan istrinya terpaparkan pada kemudaratan. Hal ini bisa dilihat dalam banyak hal, di antaranya:

1. Istri dibiarkan bepergian tanpa mahram

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Janganlah wanita bepergian kecuali dengan mahramnya.” ( HR. Ahmad, al-Bukhari, dan Muslim dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)

Telah banyak korban berjatuhan karena melanggar aturan agama ini. Ada yang menjadi korban penipuan, perampokan, hingga pelecehan seksual.

Hukum larangan bepergian bagi wanita tanpa mahram berlaku umum, apakah bepergian dalam rangka ketaatan atau perkara yang mubah. Sesungguhnya syariat sangat sayang kepada manusia, namun amat disesalkan bahwa aturan yang mulia ini dianggap mengekang kebebasan mereka. Kadang kondisi suami lebih parah, ia justru menyuruh istrinya bekerja di luar negeri mencarikan nafkah untuknya dengan mempertaruhkan nyawa dan kehormatannya.

2. Berbaurnya laki-laki dan perempuan sudah menjadi pemandangan yang dianggap lumrah.

Padahal ini merupakan pintu yang lebar untuk terjadinya kekejian. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (al-Isra: 32)

3. Membiarkan istrinya berpenampilan seperti wanita-wanita yang fasik dan kafir, baik bentuk rambutnya, pakaiannya, gaya bicaranya, maupun yang semisalnya

Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Barang siapa menyerupai suatu kaum, ia termasuk bagian mereka.” ( Abu Dawud dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma. Lihat Shahih al-Jami’ no. 6149)

Lebih parah lagi, dia bangga ketika istrinya tampil di hadapan manusia dengan penampilan ala barat (kafir).

4. Tidak menasihati istrinya ketika berpakaian seperti para lelaki

Padahal wanita yang seperti ini diancam dengan laknat,
Allah subhanahu wa ta’ala melaknat wanita yang menyerupai lelaki dan para lelaki yang menyerupai wanita.” ( HR. Ahmad dan lain-lain, serta dinyatakan sahih oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahih al-Jami’)

5. Membiarkan istrinya melakukan perbuatan mungkar dan ucapan yang maksiat

Pembiaran seperti ini terjadi terkadang dilandasi oleh keyakinan suaminya yang sesat, yaitu bahwa setiap orang punya hak untuk bersuara dan mengekspresikan kemauannya. Orang seperti ini sangat bodoh karena dia tidak tahu bahwa setiap gerak-gerik dan ucapan manusia kelak akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (al-Isra: 36)

6. Membiarkan istri digoda oleh lelaki lain dan dicandai hingga sudah kelewat batas

Misalnya, dicium oleh lelaki lain, dicolek, dan dipegang-pegang tubuh atau bajunya. Lelaki seperti ini masih bercokol pada otaknya kebiasaan jahiliah yang memandang bahwa haknya suami dari istrinya adalah bagian setengah istrinya sampai bawah, adapun setengah tubuh istri ke atas maka siapa suka dan menaruh benih cinta. (Raudlatul Muhibbin 116, cetakan Dar ash-Shuma’i)

7. Mendiamkan istrinya berkhalwat (berdua-duaan) dengan lelaki yang bukan mahram

Padahal ini termasuk jalan pintas untuk terjadinya perzinaan.

8. Membiarkan istrinya dibonceng oleh lelaki yang bukan mahram dan terkadang oleh saudara laki-laki suami (ipar istri)

Padahal bermudah-mudah dalam hal ini bisa mengantarkan kepada penyimpangan istri dan tidak mustahil terjadi perselingkuhan dengan iparnya.

Masih banyak lagi bentuk ketidakberesan tingkah laku dan ucapan yang dilakukan oleh wanita yang disikapi dingin oleh suaminya. Sudah hilang darinya sifat kecemburuan dan telah lenyap jiwa kelaki-lakiannya. Yang paling mengerikan, suami yang seperti ini diancam dengan azab yang abadi, apabila ia meyakini bahwa hal tersbut halal/boleh, sebagaimana keterangan al-Munawi rahimahullah di atas.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa melimpahkan rahmat dan bimbingannya kepada kita untuk bisa menempuh jalan keselamatan.

Wallahu a’lam bish-shawab.

AsySyariah.com

###

Al Ustadz Ayip Syafruddin hafizhahullah

Pertanyaan: Apakah termasuk orang-orang yang sabar membiarkan anaknya berbuat maksiat contohnya berkata-kata yang jelek?

Jawaban:

Ya tidak boleh, bukan sabar namanya.
Ya kalau ada orang tua membiarkan anggota keluarganya berbuat kemungkaran berbuat kejelekan terus dibiarkan dayuts namanya!

Maka sebagai pimpinan keluarga harus mengarahkan, membimbing memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah perbuatan-perbuatan munkar yang terjadi di dalam rumah. Terjadi dan dilakukan oleh orang-orang yang berada di bawah tanggung jawab kita. Bimbing mereka, nasehati mereka terus berikan pemahaman untuk senantiasa istiqamah di atas al haq.

Jadi tidak termasuk sabar yang demikian, itu namanya lembek lemah. Tidak boleh membiarkan kemungkaran, yang berada di dalam atau dikerjakan oleh orang-orang yang berada di bawah tanggung jawab kita.
ﻣَﻦْ ﺭَﺃَﻯ ﻣِﻨْﻜُﻢْ ﻣُﻨْﻜَﺮﺍً ﻓَﻠْﻴُﻐَﻴِّﺮْﻩُ  ﺑِﻴَﺪِﻩِ، ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ ﻳَﺴْﺘَﻄِﻊْ ﻓَﺒِﻠِﺴَﺎﻧِﻪِ، ﻓَﺈِﻥْ ﻟَﻢْ  ﻳَﺴْﺘَﻄِﻊْ ﻓَﺒِﻘَﻠْﺒِﻪِ ﻭَﺫَﻟِﻚَ ﺃَﺿْﻌَﻒُ ﺍْﻹِﻳْﻤَﺎﻥِ
Apabila engkau melihat kemungkaran maka rubahlah dengan tanganmu, apabila tidak mampu rubah dengan lisan apabila tidak mampu dengan hatimu yang demikian ini adalah selemah lemah iman. (HR. Muslim)

Tidak boleh membiarkan harus diubah, apalagi itu orang yang berada dibawah kekuasaan kita. Harus kita rubah dengan memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

###

Al Ustadz Usamah Faishol Mahri hafizhahullah

Tanya: Ana orang awam, bagaimana sikap suami yang baik atau bijak dalam menyelesaikan masalah keluarga?

Jawab:

Kalau secara umum, seperti Umar bin Khattab radhiyallahu anhu' katakan: "Hendaknya seorang suami kepada istrinya seperti anak kecil kepada ibunya."
Minta dimanja, bermesraan, dimanja oleh istri kamu, ma'ruf antara suami istri tentang itu. Tetapi kata Umar (radhiyallahu anhu'), jika keluarganya dalam menghadapi masalah, mereka betul-betul dapati suaminya seorang pemimpin. Artinya ada waktunya di mana kamu mesra dengan istri kamu, manja, minta kasih sayang. Ada pula waktunya kamu harus tegas dalam memimpin, terutama itu perkara-perkara yang haram, yang dilarang oleh syariat, kemunkaran, menyalahi perintah Allah, perintah rasul-Nya. Kamu harus bimbing mereka ketika itu, tidak boleh (membiarkan). Dan betul-betul kekuasaan itu ada di tanganmu untuk membimbing mereka.
Dan watak wanita, mereka itu minta dipimpin, tidak bisa dilepas. Apalagi memimpin, tidak bisa. Mereka minta dipimpin, cuma karena keangkuhan saja terkadang sok mau mimpin keluarganya, tidak akan bisa dan bertentangan dengan bawaan dia sebagai wanita, tabiatnya dipimpin.

Ilmu tentunya hal yang terbaik yang akan membimbing kita untuk itu. Bagaimana menyelesaikan setiap masalah dengan bijak. Tidak berarti kepemimpinan itu kamu menjadi orang yang otoriter dan keras, bukan! Tetapi tegas, betul-betul keputusanmu yang menjadi keputusan. Makanya sering diarahkan, anak, istri, pentingnya ilmu dalam rumah tangga. Kepemimpinan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah dari suami, dari bapak, dengan bimbingan ilmu. Kalau dengan perasaan dan mengikuti hawa nafsu kita, rusak semuanya.
Makanya harus seimbang, bagaimana kamu belajar ilmu, anak dan istrimu pun harus diajari ilmu. Agar tidak selegenje, kamunya ngerti ilmu, kamu paham, harus begini dan harus begitu. Sementara ini tidak paham, kosong. Kamunya ingin begini, ini tidak paham kenapa harus begitu. Kamu bilang ini tidak boleh, dia tidak mengerti kenapa tidak boleh begitu, dia tidak mengerti ilmu. Makanya kewajiban kamu pula membimbing mereka, ngaji, belajar benar, membaca ilmu yang bermanfaat.

Selain itu juga, selain kepada istri, kepada anak. Lebih baik anak itu diberi pengertian sebagai orang tuanya. Dalam setiap hal, bagaimana… atas dasar kemauan dan pengertian dia, mau melakukan ini, mau meninggalkan itu. Sadarkan kalau ini jelek, harusnya ditinggalkan! Ini baik, harus dia lakukan! Mungkin di masa dia kecil, perlu sedikit paksaan, tapi semakin dia beranjak lebih dewasa, lebih dewasa, harus didewasakan.
Kalau orang arab, pepatah mereka mengatakan, "kalau anak itu sudah semakin besar, anggap dia temanmu."
Jangan kamu anggap anak kamu yang bisa kamu doktrin, dan kamu (atur), "Ayo begini! Tidak boleh begini!"
Dia sudah dewasa, sudah punya perasaan, minta diorangkan. Kamu ajak duduk, kamu ajak ngomong dengan baik tentang masa depanmu. Ajak dia dewasa biar berpikir: Ini ketaatan kepada Allah, yang menciptakan kamu Allah, ini haram dilarang, kejelekannya begini...
Diajak dewasa, ini jauh lebih manfaat. Kalau kamu paksa, mungkin di depan kamu dia mau melakukan, (kalau) kamu tidak ada? (Apakah dia masih mau mekakukannya?)
Nash`alullaha taufiq.

TIS (Thalab Ilmu Syar'i)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar