Cari Blog Ini

Kamis, 09 April 2015

Tentang SIAPA YANG LEBIH BERHAK DALAM HAL IQAMAH

al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Yang pertama harus kita ketahui adalah bahwa iqamat merupakan hak imam. Dialah yang menentukan iqamat, bukan muadzin apalagi jamaah. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh para ulama, di antaranya al-Imam at-Tirmidzi. Beliau mengatakan, “Sebagian ahli ilmu mengatakan bahwa muadzin lebih berhak dalam hal azan, sedangkan imam lebih berhak dalam hal iqamat.”
Dalam kitab al-Mughni (2/72) karya Ibnu Qudamah disebutkan, “Tidak boleh dikumandangkan iqamat sampai imam mengizinkannya.”
Dalam kitab al-Majmu’ (3/138) karya an-Nawawi disebutkan, “Asy-Syafi’i berkata dalam kitab al-Umm, ‘Wajib bagi imam untuk mengontrol keadaan para muadzin agar mereka azan di awal waktu dan tidak menunggu mereka dalam hal iqamat. Imam juga wajib memerintahkan muadzin untuk mengumandangkan iqamat pada waktunya.’ Ini teks ucapan beliau. Ulama yang semazhab dengan kami berkata, ‘Waktu azan diserahkan kepada pandangan muadzin. Ia tidak perlu bertanya dulu kepada imam. Adapun waktu iqamat diserahkan kepada imam, sehingga muadzin tidak boleh mengumandangkan iqamat melainkan dengan isyarat dari imam’.”
Dalam kitab Musykil al-Atsar karya ath-Thahawi disebutkan, “Iqamat diserahkan kepada imam, bukan kepada muadzin.”

Pernyataan para ulama tersebut berdasarkan apa yang mereka pahami dari hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Di antaranya hadits Jabir bin Samuroh radhiallahu 'anhu, ia berkata:
ﻛَﺎﻥَ ﻣُﺆَﺫِّﻥُ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻳُﻤْﻬِﻞُ ﻓَﻼَ ﻳُﻘِﻴﻢُ ﺣَﺘَّﻰ ﺇِﺫَﺍ ﺭَﺃَﻯ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻗَﺪْ ﺧَﺮَﺝَ ﺃَﻗَﺎﻡَ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ ﺣِﻴﻦَ ﻳَﺮَﺍﻩُ
“Adalah muadzin Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menunggu sehingga ia tidak mengumandangkan iqamat sampai ia melihat Rasulullah keluar (dari rumahnya). Ia mengumandangkan iqamat saat melihat beliau shallallahu 'alaihi wasallam.” (Hasan, HR. at-Tirmidzi, Abwabu ash-Shalah, Bab Annal Imam Ahaq bil Imamah, dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albani)

Demikian pula hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma, (ia berkata):
ﺃَﺧَّﺮَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰُّ ﻫَﺬِﻩِ ﺍﻟﺼَّﻼَﺓَ ﻓَﺠَﺎﺀَ ﻋُﻤَﺮُ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﺭَﻗَﺪَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀُ ﻭَﺍﻟْﻮِﻟْﺪَﺍﻥُ
“Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengakhirkan shalat ini (isya). Umar lalu mengatakan, ‘Wahai Rasulullah, wanita-wanita dan anak-anak telah tertidur’.” (Sahih, HR. al-Bukhari)

Beberapa ulama berdalil dengan hadits ini dalam masalah ini. Tampak dari kejadian tersebut bahwa para sahabat menunggu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hal iqamat karena beliau adalah imam. Sampai-sampai Umar radhiallahu 'anhu mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bahwa para wanita dan anak-anak telah tertidur, menunjukkan bahwa waktu sudah cukup malam. Setelah itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar lalu melaksanakan shalat isya. Terdapat pula riwayat dari sahabat Ali radhiallahu 'anhu:
ﺍﻟْﻤُﺆَﺫِّﻥُ ﺃَﻣْﻠَﻚُ ﺑِﺎﻟْﺄَﺫَﺍﻥِ ﻭَﺍﻟْﺈِﻣَﺎﻡُ ﺃَﻣْﻠَﻚُ ﺑِﺎﻟْﺈِﻗَﺎﻣَﺔِ
“Muadzin lebih berhak dalam hal azan, dan imam lebih berhak dalam hal iqamat.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf, Abu Hafsh al-Kattani, dan al-Baihaqi dalam as-Sunan ash-Shughra. Riwayat ini disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits adh-Dha’ifah pada pembahasan hadits no. 46691. Lihat takhrijnya pada kitab tersebut)

Di antara hikmahnya adalah terkadang terjadi sesuatu pada imam, atau ada kebutuhan tertentu padanya, dia juga yang menentukan waktunya agar tepat menurut Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan selaras dengan kondisi makmum. Oleh karena itu, adalah pantas jika iqamat tersebut menunggu izin atau perintahnya. (Mathalibu Ulin Nuha, Kasysyaful Qina’ dan Syarh Zadul Mustaqni’ karya al-Hamd)

Atas dasar ini, ketika imam memerintahkan atau mengizinkan muadzin untuk iqamat, hendaknya segera dikumandangkan, baik saat itu ada jamaah yang sedang shalat sunnah maupun tidak. Tidak mesti menunggu jamaah menyelesaikan shalat sunnahnya. Jadi, waktu iqamat diserahkan kepada imam dan pertimbangannya.

Sumber: Majalah Asy Syariah online

###

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiri hafizhahullah

Soal:
هل يَجوز أَنْ يُؤَّذَن شَخْص ويُقيم آخر؟
Apakah diperbolehkan adzan dan iqomah dengan orang yang berbeda?
ATAU
Apakah boleh seseorang adzan sementara yang iqamah orang lain?

Jawaban:
لا مانِع من ذلِك لكِن تُوكل الإِقامة للمُؤَذن إنه أدْرى وأحْرى وأعْرَف بالوَقت أعْرف بِحال الإِمام، ومتى يوجد الإِمام ومَتى يَيْأَس النَّاس من وجوده
Hal tersebut tidak mengapa. Akan tetapi iqomah diwakilkan (hak tersebut) kepada muadzin, karena
dialah yang lebih mengerti, berhati-hati, dan paham terhadap waktu yang semestinya. Dan dia lebih paham terhadap kondisi imamnya, kapan imam tiba, dan kapan para makmum merasa putus asa (jenuh) akibat ketidakhadiran (keterlambatan) imam tersebut.

Alih bahasa: Ustadz Abu Hatim al Jagiry

Sumber:
ar .alnahj .net/fatwa/132

Forum Salafy Indonesia