Cari Blog Ini

Kamis, 20 November 2014

Tentang MENERIMA PEMBERIAN YANG BERSUMBER DARI HARTA YANG HARAM

Pertanyaan:
1. Apa hukum menerima hibah (pemberian) atau hadiah dari orang tua, kerabat, atau selain kerabat, sedangkan kita mengetahui bahwa harta mereka dihasilkan dari cara-cara yang haram, seperti hasil bekerja di bank yang telah kita ketahui bersama bahwa bank menggunakan muamalah riba yang dilaknat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya atau usaha-usaha haram lainnya? Juga ketika kita mengunjungi mereka, apa hukum menyantap jamuan yang mereka hidangkan?
2. Bagaimana dengan seorang anak yang hidup di bawah tanggungan nafkah orang tuanya yang berpenghasilan haram seperti riba atau yang lainnya?

Jawab:

Alhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi washahbihi waman walah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻼَﻝَ ﺑَﻴِّﻦٌ ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡَ ﺑَﻴِّﻦٌ ﻭَﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ ﺃُﻣُﻮْﺭٌ ﻣُﺸْﺘَﺒِﻬَﺎﺕٌ ﻻَ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻬُﻦَّ ﻛَﺜِﻴﺮٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ، ﻓَﻤَﻦِ ﺍﺗَّﻘَﻰ ﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ ﺍﺳْﺘَﺒْﺮَﺃَ ﻟِﺪِﻳﻨِﻪِ ﻭَﻋِﺮْﺿِﻪِ، ﻭَﻣَﻦْ ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻰ ﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻰ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡِ، ﻛَﺎﻟﺮَّﺍﻋِﻲ ﻳَﺮْﻋَﻰ ﺣَﻮْﻝَ ﺍﻟْﺤِﻤَﻰ ﻳُﻮﺷِﻚُ ﺃَﻥْ ﻳَﺮْﺗَﻊَ ﻓِﻴﻪِ، ﺃَﻻَ ﻭَﺇِﻥَّ ﻟِﻜُﻞِّ ﻣَﻠِﻚٍ ﺣِﻤًﻰ، ﺃَﻻَ ﻭَﺇِﻥَّ ﺣِﻤَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻣَﺤَﺎﺭِﻣُﻪُ، ﺃَﻻَ ﻭَﺇِﻥَّ ﻓِﻰ ﺍﻟْﺠَﺴَﺪِ ﻣُﻀْﻐَﺔً ﺇِﺫَﺍ ﺻَﻠَﺤَﺖْ ﺻَﻠَﺢَ ﺍﻟْﺠَﺴَﺪُ ﻛُﻠُّﻪُ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻓَﺴَﺪَﺕْ ﻓَﺴَﺪَ ﺍﻟْﺠَﺴَﺪُ ﻛُﻠُّﻪُ، ﺃَﻻَ ﻭَﻫِﻰَ ﺍﻟْﻘَﻠْﺐُ
“Sesungguhnya perkara yang halal dan haram itu jelas. Antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (tidak jelas kehalalannya dan keharamannya) yang tidak diketahui hukumnya oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa menjaga diri dari perkara-perkara syubhat maka sungguh dia telah berhati-hati dengan agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjatuh dalam perkara syubhat maka hal itu akan menyeretnya terjatuh dalam perkara haram, seperti halnya seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah larangan, hampir saja dia terseret untuk menggembalakannya dalam daerah larangan. Ketahuilah bahwa setiap penguasa memiliki daerah larangan dan sesungguhnya daerah larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah perkara-perkara yang haram. Ketahuilah bahwa sesungguhnya dalam jasad seseorang ada sekerat daging, jika sekerat daging itu baik maka baik pulalah seluruh jasadnya. Namun jika sekerat daging itu rusak, maka rusak pulalah seluruh jasadnya, ketahuilah bahwa itu adalah qalbu.” (HR. Al-Bukhari, no. 52, 2051 dan Muslim no. 1599 dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma)

Sikap wara’, yaitu berhati-hati dari sesuatu yang dikhawatirkan akan memudaratkan agama dan akhirat, adalah sikap yang terpuji dan dituntut dari seorang muslim. Seorang muslim yang tidak memiliki wara’ akan bermudah-mudahan dengan perkara syubhat yang tidak jelas kehalalan dan keharamannya, sehingga menyeretnya bermudah-mudahan dengan perkara haram, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma di atas. Namun seperti kata Al-Imam Al-’Allamah Al-’Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ dalam Kitabul Bai’, Babul Ijarah:
“Wajib atas setiap muslim untuk melihat setiap perkara dengan timbangan syariat dan akal yang sehat. Bukan dengan timbangan perasaan yang buta (yang merupakan permainan hawa nafsu). Karena hal inilah yang memudaratkan kaum muslimin sejak zaman para sahabat.”

Alhamdulillah, para ulama telah berbicara dan berfatwa dalam permasalahan-permasalahan ini.

(Jawaban permasalahan pertama)

Untuk permasalahan yang pertama, Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai oleh Al-Imam Al-’Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz mengeluarkan fatwa yang rinci dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (22/330-331):
“Jika engkau mengetahui secara persis bahwa hadiah yang diberikan kepadamu dan makanan yang dihidangkan untukmu adalah harta yang dihasilkan dengan cara yang haram, maka jangan terima hadiah itu dan jangan makan hidangan itu. Demikian pula hukumnya jika seluruh harta mereka dihasilkan dengan cara yang haram.
Adapun jika harta mereka bercampur antara yang halal dan haram, tanpa ada kejelasan mana yang halal dan mana yang haram, maka ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara ulama tentang hukum menerima hadiahnya dan memakan hidangannya serta muamalah semisalnya.
Ada yang berpendapat bahwa hukumnya haram secara mutlak. Ada yang berpendapat bahwa hukumnya haram jika lebih dari sepertiga hartanya adalah haram. Ada yang berpendapat, hukumnya haram jika mayoritas hartanya haram. Ada pula yang berpendapat, hukumnya halal secara mutlak, maka halal baginya untuk menerima hadiahnya dan memakan hidangannya.
Pendapat (yang terakhir) inilah yang zhahir (yang nampak) kebenarannya dengan dalil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima dan memakan seekor domba bakar (panggang) yang diberikan oleh seorang wanita Yahudi [1], serta keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ﻭَﻃَﻌَﺎﻡُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺃُﻭﺗُﻮﺍ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏَ ﺣِﻞٌّ ﻟَﻜُﻢْ
“Dan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nashara) halal bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 5)
Merupakan sesuatu yang diketahui bersama bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani makan harta riba dan tidak menjaga diri dari penghasilan yang haram. Mereka menghasilkan harta dengan cara yang halal dan haram. Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan untuk memakan sembelihan mereka dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan sembelihan mereka. Sekian ahli hadits telah meriwayatkan dari hadits Sufyan Ats-Tsauri, dari Salamah bin Kuhail, dari Zirr bin Abdillah, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
ﺇِﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﺳَﺄَﻟَﻪُ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺇِﻥَّ ﻟِﻲْ ﺟَﺎﺭًﺍ ﻳَﺄْﻛُﻞُ ﺍﻟﺮِّﺑﺎَ ﻭَﺇﻧَِّﻪُ ﻻَ ﻳَﺰَﺍﻝُ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻧِﻲ. ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻣَﻬْﻨَﺆُﻩُ ﻟَﻚَ ﻭَﺇِﺛْﻤُﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
“Bahwasanya seorang lelaki bertanya kepadanya dengan berkata, ‘Sesungguhnya aku mempunyai tetangga yang makan riba dan senantiasa mengundangku untuk makan di rumahnya.’ Maka Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Nikmatnya untukmu dan dosanya atas dirinya’.” [2]
Namun seandainya seorang muslim menjaga diri dari perbauran dengan mereka serta mengurangi frekuensi acara hadiah-menghadiahi dan kunjung-mengunjungi dengan mereka, kemudian membatasi diri dengan apa-apa yang membawa maslahat dan dituntut oleh kebutuhan saja, tentu hal itu lebih baik baginya.”

Pendapat ini pula yang difatwakan oleh Al-Imam Al-’Allamah Al-Albani rahimahullah sebagaimana dalam Al-Hawi Min Fatawa Al-Albani (hal. 428) ketika menjawab pertanyaan tentang seseorang yang mengetahui secara yakin bahwa kedua orang tuanya bermuamalah dengan jual beli yang haram dan mayoritas penghasilannya bersumber dari muamalah yang haram tersebut, apakah boleh baginya untuk menyantap hidangan yang disajikan oleh orang tuanya ketika berkunjung kepada mereka?
Beliau berfatwa:
“Boleh pada batas secukupnya, sekadar memenuhi kebutuhannya yang bersifat darurat, dan tidak lebih dari itu. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam sebuah hadits shahih yang datang dari beberapa jalan periwayatan:
ﻛُﻞُّ ﻟَﺤْﻢٍ ﻧَﺒَﺖَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴُّﺤْﺖِ ﻓَﺎﻟﻨَّﺎﺭُ ﺃَﻭْﻟَﻰ ﺑِﻪِ
“Setiap daging yang yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih pantas baginya.” (HR. Ahmad, Ath-Thabarani, Ad-Darimi, Ibnu Hibban, Al-Hakim serta yang lainnya dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dan sahabat lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah pada hadits no. 2609)

Terkait dengan masalah ini, apakah disyariatkan bagi seseorang untuk menanyakan sumber harta yang dihibahkan atau dihadiahkan kepadanya dan menanyakan sumber makanan yang disuguhkan buatnya?
Jawabannya: Hal itu tidak disyariatkan. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanyakan sumber domba bakar yang diberikan oleh wanita Yahudi kepadanya.
Al-Lajnah Ad-Da`imah berfatwa dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (22/344):
“Hal itu (yakni menanyakan sumber harta) bukan ajaran Nabi Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya serta sahabatnya yang mulia radhiallahu anhum. Juga karena hal itu akan menyebabkan adanya jarak atau kedengkian atau putusnya hubungan. Kami mewasiatkan kepadamu agar tidak bersikap berlebih-lebihan dalam perkara-perkara seperti ini yang justru akan menjerumuskan dirimu dalam kesulitan yang memberatkanmu.”

(Jawaban permasalahan kedua)

Permasalahan yang kedua serupa dengan permasalahan pertama. Untuk permasalahan ini, secara khusus Al-Lajnah Ad-Da`imah telah berfatwa dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (22/344-345):
“Engkau berkewajiban untuk menasihati ayahmu dengan menerangkan haramnya riba serta azab yang Allah Subhanahu wa Ta’ala siapkan bagi pelakunya. Dan tidak boleh bagimu menerima darinya apa yang engkau ketahui bahwa dia menghasilkannya dengan muamalah riba. Wajib atasmu untuk mencari rizki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mencurahkan seluruh kemampuanmu dalam menempuh usaha-usaha yang syar’i (halal) menurut ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memudahkan urusannya.”

Demikian pula fatwa Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah sebagaimana dalam Al-Hawi Min Fatawa Al-Albani (hal. 428):
“Jika dia hidup di bawah tanggungan ayahnya yang diyakini olehnya bermuamalah riba, sementara pendidikan yang dijalaninya hanyalah merupakan jalan untuk mencari rizki dan bukan perkara wajib atasnya, maka wajib atasnya untuk menempuh segala macam usaha yang mampu diupayakannya (dalam mencari rizki) agar bisa berlepas diri dari nafkah ayahnya yang bersumber dari kemaksiatan. Meskipun terpaksa meninggalkan pendidikannya, karena pendidikan itu sendiri tidak wajib atas dirinya. Sehingga dirinya bisa berusaha untuk menghasilkan rizki yang halal dengan jerih payah tangannya dan cucuran keringatnya sendiri. Hal ini lebih baik dan lebih kekal. Aku berkeyakinan bahwa mata pencaharian rizki masih luas medannya di negeri kalian pada khususnya, sehingga memungkinkannya untuk meninggalkan pendidikan meskipun sementara waktu, dalam rangka mengupayakan sendiri rizki yang mencukupinya dan menjaga dirinya dari nafkah ayahnya (yang kotor). Namun jika dia terpaksa hidup di bawah tanggungan nafkah ayahnya untuk memenuhi hajatnya yang bersifat darurat, dalam keadaan dirinya tidak suka dengan hal itu dan tidak melampaui batas daruratnya, maka tidak boleh baginya menuntut lebih dari sekadar untuk mempertahankan hidupnya dan mengatasi kepayahannya serta menjaga dirinya dari meminta-minta kepada manusia.”
Wallahu a’lam bish-shawab.

Bagaimana pula sikap kita jika ada suatu masjid atau fasilitas umum lainnya yang dibangun oleh seorang yang berpenghasilan haram seperti riba dan yang lainnya, apakah kita shalat di masjid itu dan menggunakan fasilitas-fasilitas umum itu?
Jawab:
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berfatwa dalam Asy-Syarhul Mumti’, Kitabul Bai’ Babul Ijarah dalam permasalahan ini:
“Tidak mengapa shalat di masjid itu meskipun dibangun dari harta riba atau usaha haram lainnya, karena dosa maksiat itu atas pelakunya sendiri. Adapun terkait dengan kita maka di hadapan kita ada masjid yang menghadap ke kiblat, dan tidak ada sesuatu apapun dalam masjid itu yang menghalangi kita untuk memanfaatkannya. Demikian pula kita mengatakan bahwa barangkali yang membangun masjid itu telah bertaubat dan dia membangunnya dalam rangka berlepas diri dari dosa dan dari hasil usahanya yang haram, berarti shalat kita di masjid itu merupakan dorongan dan dukungan baginya untuk bertaubat. Wajib atas setiap muslim untuk melihat setiap perkara dengan timbangan syariat dan akal yang sehat. Bukan dengan timbangan perasaan buta (yang menuruti hawa nafsu), karena hal inilah yang memudaratkan kaum muslimin sejak zaman para sahabat. Tidak ada yang menyeret Khawarij untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu selain permainan perasaan buta mereka (yang menuruti hawa nafsu). Tuduhan dusta mereka bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu telah berkhianat dan telah kafir dengan sebab tahkim (menyerahkan penyelesaian masalah kepada utusannya) yang dilakukannya serta tuduhan dusta lainnya adalah dampak dari permainan perasaan buta mereka (yang menuruti hawa nafsu).”

Demikian pula hukum pemanfaatan fasilitas-fasilitas umum lainnya sama dengan ini.
Wallahul muwaffiq ila sawa`is sabil.

FOOTNOTE

[1] Sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
ﺇِﻥَّ ﻳَﻬُﻮْﺩِﻳَّﺔً ﺃَﺗَﺖْ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺑِﺸَﺎﺓٍ ﻣَﺴْﻤُﻮْﻣَﺔٍ، ﻓَﺄَﻛَﻞَ منها
“Bahwasanya seorang wanita Yahudi mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa seekor domba yang telah dibumbui racun , maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 2617 dan Muslim no. 2190)
Kisah ini terjadi pada masa penaklukan Khaibar. (Lihat Shahih Ash-Shirah An-Nabawiyyah hal. 352-353 dan Fathul Bari syarah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pada Kitab Al-Maghazi, Bab Asy-Syah Al-lati Summat li An-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bi Khaibar)

[2] Atsar ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannaf (no. 14675) dan dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad sebagaimana dalam Jami’ Al-’Ulum Wal Hikam syarah hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma. Sufyan Ats-Tsauri berkata setelah meriwayatkan atsar ini:
ﻓَﺈِﻥْ ﻋَﺮَﻓْﺘَﻪُ ﺑِﻌَﻴْﻨِﻪِ ﻓَﻼَ ﺗُﺼِﺒْﻪُ
“Jika engkau mengetahui secara persis bahwa yang dihidangkan kepadamu adalah hartanya yang haram maka jangan engkau santap.”

Sumber: Asy Syariah online

###

Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah
Pertanyaan kedua dari fatwa no. 20399

Pertanyaan:
إذا كان الزوج يأتي بمال حرام وزوجته تنصحه أن يترك هذا المال ولكن لا يسمع للنصيحة هل تأكل الزوجة من هذا المال الحرام وهي لا يوجد لديها سوى هذا المال المحرم، وماذا على الزوجة هل تبقى معه أم تتركه وتطلب الطلاق، ولا يحل لها الحياة معه، وهذا المال هو تجارة في المحرمات؟
Jika seorang suami datang dengan membawa harta haram dan istrinya menasehatkannya untuk meninggalkan hal itu, akan tetapi suami tidak mendengarkan nasehat. Apakah istri boleh memakan harta yang haram tersebut padahal ia tidak mendapatkan yang lain kecuali harta haram ini. Apa yang harus dilakukan istri apakah tetap tinggal bersama suami itu, atau ia meninggalkannya dan meminta cerai. Apakah tidak halal baginya tinggal bersama suami tersebut. Harta ini berasal dari perdagangan yang haram.

Jawaban:
إذا كانت تعلم أن الكسب الذي يأتي به إلي البيت حرام فلا يجوز لها أن تأكل منه، وعليها أن تطالبه بالنفقة من كسب طيب، أو ترفع أمره إلى الجهة المسئولة، كالمحكمة الشرعية. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Jika istri mengetahui bahwa penghasilan yang datang ke rumah adalah haram, maka tidak boleh baginya makan darinya. Hendaknya ia meminta nafkah dari pekerjaan yang baik. Atau ia mengadukan permasalahan ini kepada pihak yang berwajib, seperti misalnya pengadilan syar’i.
Wabillaahit taufiq wa shollallahu ala Nabiyyinaa Muhammadin wa shohbihi wa sallam

Al-Lajnah ad-Daaimah lil buhuuts al-‘ilmiyyah wal iftaa’ (Komite Tetap dalam hal Pembahasan Ilmiyyah dan Fatwa)

Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz
Wakil: Abdul Aziz bin Abdillah Aalusy Syaikh
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan

(diterjemahkan: Al Ustadz Abu Utsman Kharisman)

###

asy Syaikh Rabi bin Hadiy al Madkhaliy hafidzahullah

Pertanyaan: 
Apakah boleh memakan di rumah orang yang bekerja di bank ribawi?

Jawaban:
Apabila kebanyakan harta mereka adalah dari harta yang haram, bahkan seluruh hartanya dari yang haram. MAKA TIDAK BOLEH MEMAKAN DARINYA.
Adapun kalau kebanyakannya halal, MAKA TIDAK MENGAPA. Barokallahu fikum.
Apabila sama antara harta dari hasil yang haram dan halal, MAKA DITINGGALKAN JUGA.
Namun apabila seluruh hartanya dari perkara yang haram, maka perkaranya lebih berat. Hukumnya seperti ia memakan harta riba:
لعن الله آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه
Allah melanat pemakan harta riba, orang yang menyerahkannya (nasabah), pencatat transaksinya dan dua saksinya.
Maka keadaannya seperti pemakan harta riba.

Dari kaset: Ar Radd ala Ahlil Bida Jihad (Membantah Ahlul Bidah adalah Jihad)

www .rabee .net/ar/questions .php?cat=50id=435

Alih bahasa: Ibrahim Abu Kaysa

forumsalafy .net

###

Bolehkah kita menerima hadiah dari bank?

Ustadz Muhammad as Sarbini:
Jangan menerima hadiah dari bank. Sebab, hadiahnya mengandung unsur bujukan untuk bermuamalah dengan bank seperti menabung yang mengandung riba. Lagi pula, hadiah itu bersumber dari riba yang tidak pantas diterima oleh orang yang bersifat wara’.

Asy Syariah Edisi 095

Tentang BERAMAL TANPA ILMU

Ibnu Qayyim al-Jauziyyah

Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Orang-orang kafir, amal-amal mereka laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila didatangi ‘air’ itu, dia tidak mendapati apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya. Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih. Apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barang siapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah dia mempunyai cahaya sedikit pun.” (an-Nur: 39—40)

Allah Azza wa Jalla menyebutkan dua permisalan untuk orang-orang kafir, permisalan fatamorgana dan permisalan kegelapan yang bertumpuk-tumpuk. Ini karena orang-orang yang berpaling dari petunjuk dan kebenaran itu ada dua macam. Salah satunya adalah seseorang yang mengira bahwa dirinya di atas suatu kebenaran, lalu menjadi jelas baginya saat terbukti hakikatnya berbeda dengan apa yang dia kira. Inilah kondisi orang-orang yang bodoh dan kondisi para pengikut bid’ah. Mereka mengira bahwa mereka berada di atas petunjuk dan ilmu. Ketika hakikatnya tersingkap, menjadi jelas bagi mereka bahwa ternyata mereka tidak berada di atas petunjuk. Mereka juga tahu, keyakinan dan amal mereka yang berasal dari ilmu mereka, hanya fatamorgana yang berada di tanah datar, yang terlihat oleh mata yang memandangnya sebagai air padahal tiada nyatanya.

Demikian pula amalan-amalan yang bukan karena Allah Azza wa Jalla dan tidak berlandaskan perintah-Nya. Si pelaku menyangkanya bermanfaat baginya, padahal tidak demikian. Amalan inilah yang dikatakan oleh Allah Azza wa Jalla:
“Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23)

Coba perhatikan, bagaimana Allah Azza wa Jalla menjadikan fatamorgana itu di atas tanah yang datar lagi kosong, tidak ada bangunan, pepohonan, dan tumbuhan. Di situlah tempat terjadinya fatamorgana: tanah yang kosong, tidak ada sesuatu. Memang, fatamorgana itu sesuatu yang tidak ada nyatanya. Permisalan ini sesuai dengan amalan dan kalbu mereka yang kosong dari iman dan hidayah.

Perhatikanlah firman-Nya,
“Orang yang dahaga menyangkanya air.”
Artinya, ketika orang yang sangat dahaga melihat fatamorgana, mengiranya sebagai air sehingga ia mengejarnya. Tetapi, ternyata ia tidak mendapatkan apa-apa. Fatamorgana itu menipunya di saat ia sangat membutuhkan air. Demikian juga keadaan mereka. Ketika amal mereka bukan karena taat kepada Rasul shallallahu alaihi wasallam dan bukan karena Allah Azza wa Jalla, amal mereka dijadikan laksana fatamorgana. Amalan itu akan ditampakkan kepada mereka saat mereka sangat kehausan dan sangat membutuhkannya, namun mereka tidak mendapatkan apa-apa. Mereka justru mendapati Allah Azza wa Jalla yang akan membalasi amal mereka dan akan memenuhi hisab mereka.

Dalam sebuah hadits tentang hari kiamat dalam kitab ash-Shahih, dari hadits sahabat Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam,
“Lalu didatangkan Jahannam dan ditampakkan laksana fatamorgana. Dikatakan kepada Yahudi, ‘Apa yang kalian sembah?’ Mereka mengatakan ‘Kami dahulu menyembah Uzair, putra Allah.’ Lantas dikatakan kepada mereka, ‘Kalian berdusta. Allah tidak memiliki istri dan anak, lantas apa yang kalian maukan sekarang?’ Mereka menjawab, ‘Kami menginginkan Engkau beri kami minum.’ Dikatakan kepada mereka, ‘Minumlah!’ Akhirnya mereka berjatuhan di Jahannam. Kemudian dikatakan kepada orang-orang Nasrani, ‘Apa yang kalian sembah?’ Mereka menjawab, ‘Kami menyembah al-Masih, putra Allah.’ Dikatakan kepada mereka, ‘Kalian dusta. Allah tidak memiliki istri atau anak, lantas apa yang kalian inginkan?’ Mereka menjawab, ‘Kami menginginkan Engkau memberi kami minum.’ Dikatakan kepada mereka, ‘Minumlah!’ Akhirnya mereka berjatuhan.”

Inilah kondisi setiap pelaku kebatilan. 'Kebaikan' mereka akan mengkhianati mereka saat mereka sangat membutuhkannya, karena kebatilan itu tidak ada nyatanya. Sama dengan namanya, batil (yang dalam bahasa Arab berarti ‘sesuatu yang akan lenyap’), jika sebuah keyakinan tidak sesuai dengan (tuntunan) dan tidak benar, yang terkait dengannya juga batil.

Demikian pula jika tujuan sebuah amalan itu batil, seperti beramal karena selain Allah Azza wa Jalla atau tidak di atas perintah-Nya, amalnya batil dengan sebab kebatilan tujuannya. Pelakunya akan merasa celaka karena sia-sianya amal tersebut. Ia justru akan mendapatkan kebalikan dari apa yang dia angan-angankan. Ia tersiksa dengan lenyapnya manfaat amalannya dan perolehan yang sebaliknya. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla berfirman,
“Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (an-Nur: 39)

Inilah permisalan seseorang yang dia mengira dirinya berada di atas petunjuk.

Macam yang kedua, adalah pemilik permisalan kegelapan yang bertumpuk-tumpuk. Mereka adalah orang-orang yang mengetahui kebenaran dan petunjuk, namun lebih mengutamakan kegelapan kebatilan dan kesesatan daripada kebenaran tersebut. Akhirnya, menumpuklah kegelapan tabiatnya, kegelapan jiwanya, kegelapan kebodohannya, dan kegelapan kesesatan serta hawa nafsu, yang mereka tidak mengamalkan ilmu mereka sehingga mereka menjadi bodoh.

Keadaan mereka laksana seseorang yang berada di lautan yang dalam lagi tidak bertepi, sementara itu ombak meliputinya. Di atas ombak itu ada ombak lagi. Di atasnya lagi ada awan yang gelap. Jadilah ia berada di kegelapan lautan, kegelapan ombak, dan kegelapan awan. Ini seperti kegelapan yang ia berada padanya. Kegelapan yang Allah Azza wa Jalla tidak mengeluarkannya darinya menuju cahaya iman.

Dua permisalan ini, permisalan fatamorgana yang dia kira sumber kehidupan, yaitu air, dan permisalan kegelapan-kegelapan yang berlawanan dengan cahaya, mirip dengan permisalan orang-orang munafik dan orang-orang mukmin, yaitu permisalan air dan api. Allah Azza wa Jalla menjadikan bagian bagi mukminin dari keduanya adalah kehidupan dan cahayanya, sedangkan bagian untuk munafik adalah kegelapan yang merupakan lawan dari cahaya dan kematian yang merupakan lawan dari kehidupan.

Demikian juga orang-orang kafir dalam dua permisalan ini. Bagian mereka hanyalah fatamorgana yang menipu orang yang melihatnya —sesuatu yang tidak ada kenyataannya— dan bagian mereka adalah kegelapan-kegelapan yang berlapis-lapis.

Bisa jadi, maksud ayat ini adalah keadaan salah satu dari kelompok-kelompok orang kafir. Mereka kehilangan sumber kehidupan dan cahaya karena mereka berpaling dari wahyu. Oleh karena itu, dua permisalan ini adalah untuk satu golongan.

Namun, bisa jadi pula, maksudnya adalah macam-macam keadaan orang kafir. Permisalan pertama adalah mereka yang beramal tanpa ilmu, hanya dengan kebodohan dan baik sangka terhadap para pendahulu (nenek moyangnya). Mereka mengira telah berbuat baik. Adapun permisalan kedua adalah bagi yang lebih menyukai kesesatan daripada petunjuk dan mendahulukan yang batil daripada yang haq. Mereka buta padahal sebelumnya melihatnya. Mereka pun mengingkari padahal sebelumnya mengetahui. Inilah keadaan orang-orang yang dimurkai. Adapun yang pertama adalah keadaan orang-orang yang sesat.

(Diterjemahkan dan disusun dari beberapa buku Ibnul Qayyim, oleh al-Ustadz Qomar Suaidi)

Sumber: Asy Syariah Edisi 080

Tentang NIAT YANG BENAR DALAM MENUNTUT ILMU

Ilmu merupakan ibadah. Sebagian ulama bahkan mengatakan: “Ilmu adalah shalat yang tersembunyi dan ibadah hati.” (Hilyah Thalibul ‘Ilm, hal. 9)

Maka tentunya dibutuhkan keikhlasan dalam menuntutnya, yakni benar-benar karena Allah, bukan karena kepentingan dunia. Allah berfirman:
“Dan mereka tidak diperintahkan kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya.” (Al-Bayyinah: 5)
Nabi shallallahu alaihi wasallam juga bersabda:
“Barangsiapa mempelajari ilmu yang diharapkan dengannya wajah Allah (ilmu syariat), ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan bagian dari dunia, maka ia tidak akan mendapatkan bau jannah (surga) pada hari kiamat.” (Shahih, HR. Ahmad, Abu Dawud, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi. Lihat Shahihul Jami’ no. 6159)

Juga hendaknya ia berniat menghilangkan kebodohan dari dirinya karena bodoh itu sifat tercela, lebih-lebih menurut agama. Oleh karenanya, Nabi Musa alaihis salam berlindung kepada Allah dari kebodohan, katanya:
“Ya Allah sungguh aku berlindung kepada-Mu agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh.” (Al-Baqarah: 67)
Demikian pula Nabi Yusuf alaihis salam berlindung kepada Allah dari kebodohan. Allah juga menasehatkan hal ini kepada Nabi Nuh alaihis salam:
“Sesungguhnya Aku memperingatkanmu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak berpengetahuan.” (Hud: 46)
Sebaliknya, ilmu syariat adalah sesuatu yang terpuji dan dianjurkan. Maka tentu saja, niat untuk berilmu dan menghindari kebodohan adalah niat yang baik.

Al-Imam Ahmad rahimahullah pernah ditanya oleh muridnya yang bernama Al-Muhanna. Katanya: “Apakah amalan yang terbaik?” Jawab Al-Imam Ahmad: “Menuntut ilmu.” Aku katakan: “Untuk siapa keutamaan ini?” Jawabnya: “Bagi yang niatnya benar.” Aku katakan: “Bagaimana niat yang benar?” Jawabnya: “Berniat untuk ber-tawadhu’ padanya dan untuk menghilangkan kebodohan dari dirinya.” Dalam riwayat lain: “Juga dari umatnya.” (Adab Syar’iyyah, 2/38 dan Kitabul ‘Ilmi, Ibnu ‘Utsaimin hal. 27)

Termasuk niat yang baik adalah untuk membela syariat. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan, hendaknya penuntut ilmu berniat mencari ilmu untuk membela syariat. Karena membela syariat tidak mungkin dilakukan kecuali oleh para pembawa syariat itu. Ilmu itu persis seperti senjata, dan sesungguhnya bid’ah baru akan terus muncul sehingga terkadang sebuah bid’ah tidak muncul di jaman terdahulu dan tidak terdapat dalam buku-buku. Sehingga tidak mungkin membela syariat ini kecuali seorang penuntut ilmu. (Kitabul ‘Ilmi, Ibnu ‘Utsaimin, hal. 28)
Wallahu a’lam.

Sumber: Syariah Edisi 2

###

Al Imam Azzurnuji rahimahullah berkata:
"Sudah semestinya bagi orang yang menuntut ilmu agama untuk meniatkan tujuannya kepada ridha Allah dan negeri akhirat.
Juga meniatkan untuk menghilangkan kebodohan pada dirinya dari berbagai bentuk kebodohan.
Juga meniatkan pula untuk menghidupkan agama dan menegakkan Islam. Karena tegaknya Islam itu dengan ilmu. Tidak akan benar perkara zuhud dan takwa jika dengan kebodohan."
(Ta'limul Muta'allim Thariqut Ta'allum-Imam Az Zurnuji, hal. 59-60, cet. Darush Shahabah 2013)

Tentang MENJILAT JARI JEMARI KETIKA MAKAN

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﺃَﻛَﻞَ ﺃَﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻃَﻌَﺎﻣًﺎ، ﻓَﻼَ ﻳَﻤْﺴَﺢْ ﺃَﺻَﺎﺑِﻌَﻪُ ﺣَﺘَّﻰ ﻳَﻠْﻌَﻘَﻬَﺎ ﺃَﻭْ ﻳُﻠْﻌِﻘَﻬَﺎ
“Bila salah seorang di antara kalian makan, janganlah segera mengusap jari-jemarinya sampai dia jilat atau dia berikan pada orang lain untuk dijilat.” (HR. Al-Bukhari no. 5456 dan Muslim no. 2031 dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu anhuma)

Anas bin Malik radhiallahu anhu berkata:
"Apabila Rasulullah shallallahu alaihi wasallam makan, beliau menjilati ketiga jari-jarinya."

Tentang MAKAN SECUKUPNYA

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda:
ﻣَﺎ ﻣَﻠَﺄَ ﺍﺑْﻦُ ﺁﺩَﻡَ ﻭِﻋَﺎﺀً ﺷَﺮًّﺍ ﻣِﻦْ ﺑَﻄْﻨِﻪِ، ﺑِﺤَﺴْﺐِ ﺍﺑْﻦُ ﺁﺩَﻡَ ﺃَﻛْﻼَﺕٍ ﻳُﻘِﻤْﻦَ ﺻُﻠْﺒَﻪُ ، ﻓَﺈِﻥْ ﻻَ ﻣُﺤَﺎﻟَﺔَ ﻓَﺜُﻠُﺚٌ ﻟِﻄَﻌَﺎﻣِﻪِ ﻭَﺛُﻠُﺚٌ ﻟِﺸَﺮَﺍﺑِﻪِ ﻭَﺛُﻠُﺚٌ ﻟِﻨَﻔَﺴِﻪِ
“Tidaklah anak Adam memenuhi bejana yang lebih jelek daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam itu beberapa suapan yang dapat menegakkan tulang punggungnya. Jika itu tidak mungkin dia lakukan, maka sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga untuk nafasnya.” (HR. At- Tirmidzi no. 2380, dishahihkan oleh Al-Imam Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Tentang MEMUNGUT DAN MEMAKAN MAKANAN YANG JATUH, DAN MAKAN SAMPAI PIRING BERSIH

Dari Anas bin Malik radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﺳَﻘَﻄَﺖْ ﻟُﻘْﻤَﺔُ ﺃَﺣَﺪِﻛُﻢْ ﻓَﻠْﻴُﻤِﻂْ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﺍﻟْﺄَﺫَﻯ، ﻭَﻟْﻴَﺄْﻛُﻠْﻬَﺎ، ﻭَﻻَ ﻳَﺪَﻋْﻬَﺎ ﻟِﻠﺸَّﻴْﻄَﺎﻥِ. ﻭَﺃَﻣَﺮَﻧَﺎ ﺃَﻥْ ﻧَﺴْﻠُﺖَ ﺍﻟْﻘَﺼْﻌَﺔَ، ﻗَﺎﻝَ: ﻓَﺈِﻧَّﻜُﻢْ ﻻَ ﺗَﺪْﺭُﻭْﻥَ ﻓِﻲ ﺃَﻱِّ ﻃَﻌَﺎﻣِﻜُﻢُ ﺍﻟْﺒَﺮَﻛَﺔُ
“Jika jatuh suapan salah seorang di antara kalian, hendaknya ia memungutnya dan membersihkan kotoran yang menempel padanya, lalu memakannya, dan jangan dia biarkan suapan itu untuk setan.” Beliau juga memerintahkan kami untuk membersihkan piring hidangan. Beliau mengatakan, “Sesungguhnya kalian tidak mengetahui di mana barakah makanan kalian.” (HR. Muslim no. 2034)

Tentang BERNAFAS KETIKA MINUM

Termasuk sunnah adalah minum dengan tiga kali bernafas. Yaitu dengan tidak menghabiskan minumnya dengan sekali teguk, akan tetapi dengan cara menjauhkan tempat minum dari mulut untuk bernafas setelah meneguknya, dan hal ini dilakukan sebanyak tiga kali.

Anas bin Malik radhiallahu anhu berkata:
ﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﻳَﺘَﻨَﻔَّﺲُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺸَّﺮَﺍﺏِ ﺛَﻼَﺛًﺎ، ﻭَﻳَﻘُﻮْﻝُ : ﺇِﻧَّﻪُ ﺃَﺭْﻭَﻯ ﻭَﺃْﺑَﺮَﺃَ ﻭَﺃَﻣْﺮَﺃَ. ﻗَﺎﻝَ ﺃَﻧَﺲٌ: ﻓَﺄَﻧَﺎ ﺃَﺗَﻨَﻔَّﺲُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺸَّﺮَﺍﺏِ ﺛَﻼَﺛًﺎ
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa bernafas ketika minum sebanyak tiga kali, dan beliau mengatakan:
"Sesungguhnya yang demikian itu lebih memuaskan, lebih menghilangkan dahaga, dan lebih mudah ditelan."
Anas pun mengatakan, "Maka aku pun bernafas tiga kali ketika minum.”
(HR. Muslim no. 2028)

Tentu saja bernafas ini di luar gelas, karena beliau sendiri melarang untuk bernafas atau meniup di dalam gelas.

Abu Qatadah radhiallahu anhu berkata:
ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﻧَﻬَﻰ ﺃَﻥْ ﻳُﺘَﻨَﻔَّﺲَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺈِﻧَﺎﺀِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melarang bernafas di dalam bejana.” (HR. Al-Bukhari no. 5630 dan Muslim no. 2035)

Hal ini disebutkan pula oleh Al-Imam An-Nawawi ketika memberikan bab pada hadits di atas:
ﺑَﺎﺏ ﻛَﺮَﺍﻫَﺔِ ﺍﻟﺘَّﻨَﻔُّﺲِ ﻓِﻲ ﻧَﻔْﺲِ ﺍﻹِﻧَﺎﺀِ ﻭَﺍﺳْﺘِﺤْﺒَﺎﺏِ ﺍﻟﺘَّﻨَﻔُّﺲِ ﺛَﻼَﺛًﺎ ﺧَﺎﺭِﺝَ ﺍﻹِﻧَﺎﺀِ
(Bab tentang dibencinya bernafas di dalam bejana dan disenanginya bernafas tiga kali di luar bejana).