Cari Blog Ini

Kamis, 20 November 2014

Tentang MENERIMA PEMBERIAN YANG BERSUMBER DARI HARTA YANG HARAM

Pertanyaan:
1. Apa hukum menerima hibah (pemberian) atau hadiah dari orang tua, kerabat, atau selain kerabat, sedangkan kita mengetahui bahwa harta mereka dihasilkan dari cara-cara yang haram, seperti hasil bekerja di bank yang telah kita ketahui bersama bahwa bank menggunakan muamalah riba yang dilaknat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya atau usaha-usaha haram lainnya? Juga ketika kita mengunjungi mereka, apa hukum menyantap jamuan yang mereka hidangkan?
2. Bagaimana dengan seorang anak yang hidup di bawah tanggungan nafkah orang tuanya yang berpenghasilan haram seperti riba atau yang lainnya?

Jawab:

Alhamdulillah, washshalatu wassalamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi washahbihi waman walah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﻼَﻝَ ﺑَﻴِّﻦٌ ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡَ ﺑَﻴِّﻦٌ ﻭَﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ ﺃُﻣُﻮْﺭٌ ﻣُﺸْﺘَﺒِﻬَﺎﺕٌ ﻻَ ﻳَﻌْﻠَﻤُﻬُﻦَّ ﻛَﺜِﻴﺮٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ، ﻓَﻤَﻦِ ﺍﺗَّﻘَﻰ ﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ ﺍﺳْﺘَﺒْﺮَﺃَ ﻟِﺪِﻳﻨِﻪِ ﻭَﻋِﺮْﺿِﻪِ، ﻭَﻣَﻦْ ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻰ ﺍﻟﺸُّﺒُﻬَﺎﺕِ ﻭَﻗَﻊَ ﻓِﻰ ﺍﻟْﺤَﺮَﺍﻡِ، ﻛَﺎﻟﺮَّﺍﻋِﻲ ﻳَﺮْﻋَﻰ ﺣَﻮْﻝَ ﺍﻟْﺤِﻤَﻰ ﻳُﻮﺷِﻚُ ﺃَﻥْ ﻳَﺮْﺗَﻊَ ﻓِﻴﻪِ، ﺃَﻻَ ﻭَﺇِﻥَّ ﻟِﻜُﻞِّ ﻣَﻠِﻚٍ ﺣِﻤًﻰ، ﺃَﻻَ ﻭَﺇِﻥَّ ﺣِﻤَﻰ ﺍﻟﻠﻪِ ﻣَﺤَﺎﺭِﻣُﻪُ، ﺃَﻻَ ﻭَﺇِﻥَّ ﻓِﻰ ﺍﻟْﺠَﺴَﺪِ ﻣُﻀْﻐَﺔً ﺇِﺫَﺍ ﺻَﻠَﺤَﺖْ ﺻَﻠَﺢَ ﺍﻟْﺠَﺴَﺪُ ﻛُﻠُّﻪُ ﻭَﺇِﺫَﺍ ﻓَﺴَﺪَﺕْ ﻓَﺴَﺪَ ﺍﻟْﺠَﺴَﺪُ ﻛُﻠُّﻪُ، ﺃَﻻَ ﻭَﻫِﻰَ ﺍﻟْﻘَﻠْﺐُ
“Sesungguhnya perkara yang halal dan haram itu jelas. Antara keduanya ada perkara-perkara syubhat (tidak jelas kehalalannya dan keharamannya) yang tidak diketahui hukumnya oleh kebanyakan manusia. Barangsiapa menjaga diri dari perkara-perkara syubhat maka sungguh dia telah berhati-hati dengan agama dan kehormatannya. Barangsiapa terjatuh dalam perkara syubhat maka hal itu akan menyeretnya terjatuh dalam perkara haram, seperti halnya seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah larangan, hampir saja dia terseret untuk menggembalakannya dalam daerah larangan. Ketahuilah bahwa setiap penguasa memiliki daerah larangan dan sesungguhnya daerah larangan Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah perkara-perkara yang haram. Ketahuilah bahwa sesungguhnya dalam jasad seseorang ada sekerat daging, jika sekerat daging itu baik maka baik pulalah seluruh jasadnya. Namun jika sekerat daging itu rusak, maka rusak pulalah seluruh jasadnya, ketahuilah bahwa itu adalah qalbu.” (HR. Al-Bukhari, no. 52, 2051 dan Muslim no. 1599 dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma)

Sikap wara’, yaitu berhati-hati dari sesuatu yang dikhawatirkan akan memudaratkan agama dan akhirat, adalah sikap yang terpuji dan dituntut dari seorang muslim. Seorang muslim yang tidak memiliki wara’ akan bermudah-mudahan dengan perkara syubhat yang tidak jelas kehalalan dan keharamannya, sehingga menyeretnya bermudah-mudahan dengan perkara haram, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma di atas. Namun seperti kata Al-Imam Al-’Allamah Al-’Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ dalam Kitabul Bai’, Babul Ijarah:
“Wajib atas setiap muslim untuk melihat setiap perkara dengan timbangan syariat dan akal yang sehat. Bukan dengan timbangan perasaan yang buta (yang merupakan permainan hawa nafsu). Karena hal inilah yang memudaratkan kaum muslimin sejak zaman para sahabat.”

Alhamdulillah, para ulama telah berbicara dan berfatwa dalam permasalahan-permasalahan ini.

(Jawaban permasalahan pertama)

Untuk permasalahan yang pertama, Al-Lajnah Ad-Da`imah yang diketuai oleh Al-Imam Al-’Allamah Abdul ‘Aziz bin Baz mengeluarkan fatwa yang rinci dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (22/330-331):
“Jika engkau mengetahui secara persis bahwa hadiah yang diberikan kepadamu dan makanan yang dihidangkan untukmu adalah harta yang dihasilkan dengan cara yang haram, maka jangan terima hadiah itu dan jangan makan hidangan itu. Demikian pula hukumnya jika seluruh harta mereka dihasilkan dengan cara yang haram.
Adapun jika harta mereka bercampur antara yang halal dan haram, tanpa ada kejelasan mana yang halal dan mana yang haram, maka ada khilaf (perbedaan pendapat) di antara ulama tentang hukum menerima hadiahnya dan memakan hidangannya serta muamalah semisalnya.
Ada yang berpendapat bahwa hukumnya haram secara mutlak. Ada yang berpendapat bahwa hukumnya haram jika lebih dari sepertiga hartanya adalah haram. Ada yang berpendapat, hukumnya haram jika mayoritas hartanya haram. Ada pula yang berpendapat, hukumnya halal secara mutlak, maka halal baginya untuk menerima hadiahnya dan memakan hidangannya.
Pendapat (yang terakhir) inilah yang zhahir (yang nampak) kebenarannya dengan dalil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima dan memakan seekor domba bakar (panggang) yang diberikan oleh seorang wanita Yahudi [1], serta keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
ﻭَﻃَﻌَﺎﻡُ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺃُﻭﺗُﻮﺍ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏَ ﺣِﻞٌّ ﻟَﻜُﻢْ
“Dan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nashara) halal bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 5)
Merupakan sesuatu yang diketahui bersama bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani makan harta riba dan tidak menjaga diri dari penghasilan yang haram. Mereka menghasilkan harta dengan cara yang halal dan haram. Sementara Allah Subhanahu wa Ta’ala mengizinkan untuk memakan sembelihan mereka dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakan sembelihan mereka. Sekian ahli hadits telah meriwayatkan dari hadits Sufyan Ats-Tsauri, dari Salamah bin Kuhail, dari Zirr bin Abdillah, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
ﺇِﻥَّ ﺭَﺟُﻼً ﺳَﺄَﻟَﻪُ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺇِﻥَّ ﻟِﻲْ ﺟَﺎﺭًﺍ ﻳَﺄْﻛُﻞُ ﺍﻟﺮِّﺑﺎَ ﻭَﺇﻧَِّﻪُ ﻻَ ﻳَﺰَﺍﻝُ ﻳَﺪْﻋُﻮْﻧِﻲ. ﻓَﻘَﺎﻝَ : ﻣَﻬْﻨَﺆُﻩُ ﻟَﻚَ ﻭَﺇِﺛْﻤُﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
“Bahwasanya seorang lelaki bertanya kepadanya dengan berkata, ‘Sesungguhnya aku mempunyai tetangga yang makan riba dan senantiasa mengundangku untuk makan di rumahnya.’ Maka Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Nikmatnya untukmu dan dosanya atas dirinya’.” [2]
Namun seandainya seorang muslim menjaga diri dari perbauran dengan mereka serta mengurangi frekuensi acara hadiah-menghadiahi dan kunjung-mengunjungi dengan mereka, kemudian membatasi diri dengan apa-apa yang membawa maslahat dan dituntut oleh kebutuhan saja, tentu hal itu lebih baik baginya.”

Pendapat ini pula yang difatwakan oleh Al-Imam Al-’Allamah Al-Albani rahimahullah sebagaimana dalam Al-Hawi Min Fatawa Al-Albani (hal. 428) ketika menjawab pertanyaan tentang seseorang yang mengetahui secara yakin bahwa kedua orang tuanya bermuamalah dengan jual beli yang haram dan mayoritas penghasilannya bersumber dari muamalah yang haram tersebut, apakah boleh baginya untuk menyantap hidangan yang disajikan oleh orang tuanya ketika berkunjung kepada mereka?
Beliau berfatwa:
“Boleh pada batas secukupnya, sekadar memenuhi kebutuhannya yang bersifat darurat, dan tidak lebih dari itu. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda dalam sebuah hadits shahih yang datang dari beberapa jalan periwayatan:
ﻛُﻞُّ ﻟَﺤْﻢٍ ﻧَﺒَﺖَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺴُّﺤْﺖِ ﻓَﺎﻟﻨَّﺎﺭُ ﺃَﻭْﻟَﻰ ﺑِﻪِ
“Setiap daging yang yang tumbuh dari sesuatu yang haram maka neraka lebih pantas baginya.” (HR. Ahmad, Ath-Thabarani, Ad-Darimi, Ibnu Hibban, Al-Hakim serta yang lainnya dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu dan sahabat lainnya, dishahihkan oleh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah pada hadits no. 2609)

Terkait dengan masalah ini, apakah disyariatkan bagi seseorang untuk menanyakan sumber harta yang dihibahkan atau dihadiahkan kepadanya dan menanyakan sumber makanan yang disuguhkan buatnya?
Jawabannya: Hal itu tidak disyariatkan. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menanyakan sumber domba bakar yang diberikan oleh wanita Yahudi kepadanya.
Al-Lajnah Ad-Da`imah berfatwa dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (22/344):
“Hal itu (yakni menanyakan sumber harta) bukan ajaran Nabi Muhammad bin Abdillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya serta sahabatnya yang mulia radhiallahu anhum. Juga karena hal itu akan menyebabkan adanya jarak atau kedengkian atau putusnya hubungan. Kami mewasiatkan kepadamu agar tidak bersikap berlebih-lebihan dalam perkara-perkara seperti ini yang justru akan menjerumuskan dirimu dalam kesulitan yang memberatkanmu.”

(Jawaban permasalahan kedua)

Permasalahan yang kedua serupa dengan permasalahan pertama. Untuk permasalahan ini, secara khusus Al-Lajnah Ad-Da`imah telah berfatwa dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah (22/344-345):
“Engkau berkewajiban untuk menasihati ayahmu dengan menerangkan haramnya riba serta azab yang Allah Subhanahu wa Ta’ala siapkan bagi pelakunya. Dan tidak boleh bagimu menerima darinya apa yang engkau ketahui bahwa dia menghasilkannya dengan muamalah riba. Wajib atasmu untuk mencari rizki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mencurahkan seluruh kemampuanmu dalam menempuh usaha-usaha yang syar’i (halal) menurut ketetapan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa bertakwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memudahkan urusannya.”

Demikian pula fatwa Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah sebagaimana dalam Al-Hawi Min Fatawa Al-Albani (hal. 428):
“Jika dia hidup di bawah tanggungan ayahnya yang diyakini olehnya bermuamalah riba, sementara pendidikan yang dijalaninya hanyalah merupakan jalan untuk mencari rizki dan bukan perkara wajib atasnya, maka wajib atasnya untuk menempuh segala macam usaha yang mampu diupayakannya (dalam mencari rizki) agar bisa berlepas diri dari nafkah ayahnya yang bersumber dari kemaksiatan. Meskipun terpaksa meninggalkan pendidikannya, karena pendidikan itu sendiri tidak wajib atas dirinya. Sehingga dirinya bisa berusaha untuk menghasilkan rizki yang halal dengan jerih payah tangannya dan cucuran keringatnya sendiri. Hal ini lebih baik dan lebih kekal. Aku berkeyakinan bahwa mata pencaharian rizki masih luas medannya di negeri kalian pada khususnya, sehingga memungkinkannya untuk meninggalkan pendidikan meskipun sementara waktu, dalam rangka mengupayakan sendiri rizki yang mencukupinya dan menjaga dirinya dari nafkah ayahnya (yang kotor). Namun jika dia terpaksa hidup di bawah tanggungan nafkah ayahnya untuk memenuhi hajatnya yang bersifat darurat, dalam keadaan dirinya tidak suka dengan hal itu dan tidak melampaui batas daruratnya, maka tidak boleh baginya menuntut lebih dari sekadar untuk mempertahankan hidupnya dan mengatasi kepayahannya serta menjaga dirinya dari meminta-minta kepada manusia.”
Wallahu a’lam bish-shawab.

Bagaimana pula sikap kita jika ada suatu masjid atau fasilitas umum lainnya yang dibangun oleh seorang yang berpenghasilan haram seperti riba dan yang lainnya, apakah kita shalat di masjid itu dan menggunakan fasilitas-fasilitas umum itu?
Jawab:
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berfatwa dalam Asy-Syarhul Mumti’, Kitabul Bai’ Babul Ijarah dalam permasalahan ini:
“Tidak mengapa shalat di masjid itu meskipun dibangun dari harta riba atau usaha haram lainnya, karena dosa maksiat itu atas pelakunya sendiri. Adapun terkait dengan kita maka di hadapan kita ada masjid yang menghadap ke kiblat, dan tidak ada sesuatu apapun dalam masjid itu yang menghalangi kita untuk memanfaatkannya. Demikian pula kita mengatakan bahwa barangkali yang membangun masjid itu telah bertaubat dan dia membangunnya dalam rangka berlepas diri dari dosa dan dari hasil usahanya yang haram, berarti shalat kita di masjid itu merupakan dorongan dan dukungan baginya untuk bertaubat. Wajib atas setiap muslim untuk melihat setiap perkara dengan timbangan syariat dan akal yang sehat. Bukan dengan timbangan perasaan buta (yang menuruti hawa nafsu), karena hal inilah yang memudaratkan kaum muslimin sejak zaman para sahabat. Tidak ada yang menyeret Khawarij untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Khalifah Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu selain permainan perasaan buta mereka (yang menuruti hawa nafsu). Tuduhan dusta mereka bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu telah berkhianat dan telah kafir dengan sebab tahkim (menyerahkan penyelesaian masalah kepada utusannya) yang dilakukannya serta tuduhan dusta lainnya adalah dampak dari permainan perasaan buta mereka (yang menuruti hawa nafsu).”

Demikian pula hukum pemanfaatan fasilitas-fasilitas umum lainnya sama dengan ini.
Wallahul muwaffiq ila sawa`is sabil.

FOOTNOTE

[1] Sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
ﺇِﻥَّ ﻳَﻬُﻮْﺩِﻳَّﺔً ﺃَﺗَﺖْ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺑِﺸَﺎﺓٍ ﻣَﺴْﻤُﻮْﻣَﺔٍ، ﻓَﺄَﻛَﻞَ منها
“Bahwasanya seorang wanita Yahudi mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa seekor domba yang telah dibumbui racun , maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 2617 dan Muslim no. 2190)
Kisah ini terjadi pada masa penaklukan Khaibar. (Lihat Shahih Ash-Shirah An-Nabawiyyah hal. 352-353 dan Fathul Bari syarah hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pada Kitab Al-Maghazi, Bab Asy-Syah Al-lati Summat li An-Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bi Khaibar)

[2] Atsar ini diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Mushannaf (no. 14675) dan dishahihkan oleh Al-Imam Ahmad sebagaimana dalam Jami’ Al-’Ulum Wal Hikam syarah hadits An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma. Sufyan Ats-Tsauri berkata setelah meriwayatkan atsar ini:
ﻓَﺈِﻥْ ﻋَﺮَﻓْﺘَﻪُ ﺑِﻌَﻴْﻨِﻪِ ﻓَﻼَ ﺗُﺼِﺒْﻪُ
“Jika engkau mengetahui secara persis bahwa yang dihidangkan kepadamu adalah hartanya yang haram maka jangan engkau santap.”

Sumber: Asy Syariah online

###

Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah
Pertanyaan kedua dari fatwa no. 20399

Pertanyaan:
إذا كان الزوج يأتي بمال حرام وزوجته تنصحه أن يترك هذا المال ولكن لا يسمع للنصيحة هل تأكل الزوجة من هذا المال الحرام وهي لا يوجد لديها سوى هذا المال المحرم، وماذا على الزوجة هل تبقى معه أم تتركه وتطلب الطلاق، ولا يحل لها الحياة معه، وهذا المال هو تجارة في المحرمات؟
Jika seorang suami datang dengan membawa harta haram dan istrinya menasehatkannya untuk meninggalkan hal itu, akan tetapi suami tidak mendengarkan nasehat. Apakah istri boleh memakan harta yang haram tersebut padahal ia tidak mendapatkan yang lain kecuali harta haram ini. Apa yang harus dilakukan istri apakah tetap tinggal bersama suami itu, atau ia meninggalkannya dan meminta cerai. Apakah tidak halal baginya tinggal bersama suami tersebut. Harta ini berasal dari perdagangan yang haram.

Jawaban:
إذا كانت تعلم أن الكسب الذي يأتي به إلي البيت حرام فلا يجوز لها أن تأكل منه، وعليها أن تطالبه بالنفقة من كسب طيب، أو ترفع أمره إلى الجهة المسئولة، كالمحكمة الشرعية. وبالله التوفيق، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم
Jika istri mengetahui bahwa penghasilan yang datang ke rumah adalah haram, maka tidak boleh baginya makan darinya. Hendaknya ia meminta nafkah dari pekerjaan yang baik. Atau ia mengadukan permasalahan ini kepada pihak yang berwajib, seperti misalnya pengadilan syar’i.
Wabillaahit taufiq wa shollallahu ala Nabiyyinaa Muhammadin wa shohbihi wa sallam

Al-Lajnah ad-Daaimah lil buhuuts al-‘ilmiyyah wal iftaa’ (Komite Tetap dalam hal Pembahasan Ilmiyyah dan Fatwa)

Ketua: Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz
Wakil: Abdul Aziz bin Abdillah Aalusy Syaikh
Anggota: Abdullah bin Ghudayyan

(diterjemahkan: Al Ustadz Abu Utsman Kharisman)

###

asy Syaikh Rabi bin Hadiy al Madkhaliy hafidzahullah

Pertanyaan: 
Apakah boleh memakan di rumah orang yang bekerja di bank ribawi?

Jawaban:
Apabila kebanyakan harta mereka adalah dari harta yang haram, bahkan seluruh hartanya dari yang haram. MAKA TIDAK BOLEH MEMAKAN DARINYA.
Adapun kalau kebanyakannya halal, MAKA TIDAK MENGAPA. Barokallahu fikum.
Apabila sama antara harta dari hasil yang haram dan halal, MAKA DITINGGALKAN JUGA.
Namun apabila seluruh hartanya dari perkara yang haram, maka perkaranya lebih berat. Hukumnya seperti ia memakan harta riba:
لعن الله آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه
Allah melanat pemakan harta riba, orang yang menyerahkannya (nasabah), pencatat transaksinya dan dua saksinya.
Maka keadaannya seperti pemakan harta riba.

Dari kaset: Ar Radd ala Ahlil Bida Jihad (Membantah Ahlul Bidah adalah Jihad)

www .rabee .net/ar/questions .php?cat=50id=435

Alih bahasa: Ibrahim Abu Kaysa

forumsalafy .net

###

Bolehkah kita menerima hadiah dari bank?

Ustadz Muhammad as Sarbini:
Jangan menerima hadiah dari bank. Sebab, hadiahnya mengandung unsur bujukan untuk bermuamalah dengan bank seperti menabung yang mengandung riba. Lagi pula, hadiah itu bersumber dari riba yang tidak pantas diterima oleh orang yang bersifat wara’.

Asy Syariah Edisi 095

Tidak ada komentar:

Posting Komentar