Cari Blog Ini

Sabtu, 11 Oktober 2014

Tentang KHITAN BAGI WANITA

Pertanyaan: Bagaimana hukum sunat bagi perempuan menurut hukum Islam? Jazakumullah khair sebelumnya atas jawabannya. (Heru R – heruxxxxxx@gmail.com)

Dijawab oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

Bismillah.
Khitan bagi wanita juga disyariatkan sebagaimana halnya bagi pria. Memang, masih sering muncul kontroversi seputar khitan bagi wanita, baik di dalam maupun di luar negeri. Perbedaan dan perdebatan tersebut terjadi karena berbagai alasan dan sudut pandang yang berbeda. Yang kontra bisa jadi karena kurangnya informasi tentang ajaran Islam, kesalahan penggambaran tentang khitan yang syar’i bagi wanita, dan mungkin juga memang sudah antipati terhadap Islam. Lepas dari kontroversi tersebut, selaku seorang muslim, kita punya patokan dalam menyikapi segala perselisihan, yaitu dikembalikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya.

“Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Hal itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (an-Nisa’: 59)

Setelah kita kembalikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, serta telah jelas apa yang diajarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, kewajiban kita adalah menerima ajaran tersebut sepenuhnya dan tunduk sepenuhnya dengan senang hati tanpa rasa berat. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, apabila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukumi (mengadili) di antara mereka ialah ucapan, “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (an-Nur: 51)

Tentang sunat bagi wanita, tidak diperselisihkan tentang disyariatkannya. Hanya saja para ulama berbeda pendapat, apakah hukumnya hanya sunnah atau sampai kepada derajat wajib. Pendapat yang kuat (rajih) adalah wajib dengan dasar bahwa ini adalah ajaran para nabi sebagaimana dalam hadits, “Fitrah ada lima –atau lima hal termasuk fitrah–: khitan, mencukur bulu kemaluan, mencabut bulu ketiak, menggunting kuku, dan menggunting kumis.” (Sahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Fitrah dalam hadits ini ditafsirkan oleh ulama sebagai tuntunan para nabi, tentu saja termasuk Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, dan kita diperintah untuk mengikuti ajarannya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim, seorang yang hanif.” (an-Nahl: 123)

Alasan yang kedua, ini adalah pembeda antara muslim dan kafir (nonmuslim). Pembahasan ini dapat dilihat lebih luas dalam kitab Tuhfatul Maudud karya Ibnul Qayyim rahimahullah dan Tamamul Minnah karya asy-Syaikh al-Albani rahimahullah.

Bagian Manakah yang Dikhitan?

Ini adalah pembahasan yang sangat penting karena hal inilah yang menjadi sebab banyaknya kontroversi. Dari sinilah pihak-pihak yang kontra memandang sinis terhadap khitan untuk kaum wanita. Perlu diingat, jangan sampai kita membenci ajaran agama Islam dan berburuk sangka terhadapnya, lebih-lebih jika kita tidak tahu secara benar tentang ajaran Islam dalam hal tersebut, termasuk masalah ini.

Perlu diketahui, khitan wanita telah dikenal di berbagai negeri di Afrika, Asia, dan wilayah yang lain. Di Afrika dikenal istilah khitan firauni (khitan ala Fir’aun) yang masih berlangsung sampai sekarang. Karena sekarang banyak pelakunya dari muslimin, pihak-pihak tertentu memahami bahwa itulah ajaran Islam dalam hal khitan wanita, padahal yang melakukan khitan firauni bukan hanya muslimah. Khitan tersebut sangat sadis dan sangat bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Seperti apakah khitan firauni tersebut? Ada beberapa bentuk:
1. Dipangkas kelentitnya (clitoridectomy).
2. Ada juga yang dipotong sebagian bibir dalam vaginanya.
3. Ada juga yang dijahit sebagian lubang tempat keluar haidnya.

Sebuah pertanyaan diajukan kepada al-Lajnah ad-Daimah:
Kami wanita-wanita muslimah dari Somalia. Kami tinggal di Kanada dan sangat tertekan dengan adat dan tradisi yang diterapkan kepada kami, yaitu khitan firauni, yang pengkhitan memotong klitoris seluruhnya, dengan sebagian bibir dalam kemaluan dan sebagian besar bibir luar kemaluan. Itu bermakna menghilangkan organ keturunan yang tampak pada wanita, yang berakibat memperjelek vagina secara total, yang diistilahkan dengan ar-ratq, yang mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa bagi wanita saat malam pernikahan dan saat melahirkan. Bahkan karena hal itu, tidak jarang sampai mereka memerlukan operasi. Selain itu, hal ini juga menyebabkan seksualitas yang dingin dan menyebabkan berbagai macam kasus medis, seorang wanita kehilangan kehidupan, kesehatan, atau kemampuannya berketurunan. Saya akan melampirkan sebagian hasil studi secara medis yang menerangkam hal itu. Kami ingin mengetahui hukum syar’i tentang perbuatan ini. Sungguh, fatwa anda semua terkait dengan masalah ini menjadi keselamatan banyak wanita muslimah di banyak negeri. Semoga/Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan taufik kepada anda semua dan memberikan kebaikan. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan anda sekalian simpanan kebaikan bagi muslimin dan muslimat.

Jawab:
Apabila kenyataannya seperti yang disebutkan, khitan model seperti yang disebutkan dalam pertanyaan tidak diperbolehkan karena mengandung mudarat yang sangat besar terhadap seorang wanita. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak boleh memberikan mudarat.”
Khitan yang disyariatkan adalah dipotongnya sebagian kulit yang berada di atas tempat senggama. Itu pun dipotong sedikit, tidak seluruhnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada pengkhitan, “Apabila kamu mengkhitan, potonglah sedikit saja dan jangan kamu habiskan. Hal itu lebih mencerahkan wajah dan lebih menyenangkan suami.” (HR. Al-Hakim, ath-Thabarani, dan selain keduanya)
Allah Subhanahu wa Ta’ala lah yang memberi taufik. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya.
(Tertanda: Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz [Ketua], Abdul Aziz Alu Syaikh [Wakil Ketua], Abdullah Ghudayyan [Anggota], Shalih al-Fauzan [Anggota], dan Bakr Abu Zaid [Anggota]. Fatwa no. 20118)

Dalam pandangan ulama Islam dalam berbagai mazhab, yang dipotong ketika wanita dikhitan adalat kulit yang menutupi kelentit yang berbentuk semacam huruf V yang terbalik. Dalam bahasa Arab bagian ini disebut qulfah dan dalam bahasa Inggris disebut prepuce. Bagian ini berfungsi menutupi klitoris atau kelentit pada organ wanita, fungsinya persis seperti kulup pada organ pria yang juga dipotong dalam khitan pria. Khitan wanita dengan cara semacam itu mungkin bisa diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan prepucectomy. Berikut ini kami nukilkan beberapa penjelasan para ahli fikih:

• Ibnu ash-Shabagh rahimahullah mengatakan, “Yang wajib atas seorang pria adalah dipotong kulit yang menutupi kepala kemaluan sehingga terbuka semua. Adapun wanita, dia memiliki selaput (kulit lembut yang menutupi klitoris, -pen) semacam jengger ayam yang terletak di bagian atas kemaluannya dan berada di antara dua bibir kemaluannya. Itu dipotong dan pokoknya (klitorisnya) yang seperti biji kurma ditinggal (tidak dipotong).”

• Al-Mawardi rahimahullah berkata, “Khitan wanita adalah dengan memotong kulit lembut pada vagina yang berada di atas tempat masuknya penis dan di atas tempat keluarnya air kencing, yang menutupi (kelentit) yang seperti biji kurma. Yang dipotong adalah kulit tipis yang menutupinya, bukan bijinya.”

• Dalam kitab Hasyiyah ar-Raudhul Murbi’ disebutkan, “Di atas tempat keluarnya air kencing ada kulit yang lembut semacam pucuk daun, berada di antara dua bibir kemaluan, dan dua bibir tersebut meliputi seluruh kemaluan. Kulit tipis tersebut dipotong saat khitan. Itulah khitan wanita.”

• Al-’Iraqi rahimahullah mengatakan, “Khitan adalah dipotongnya kulup yang menutupi kepala penis seorang pria. Pada wanita, yang dipotong adalah kulit tipis di bagian atas vagina.”

Dari kutipan-kutipan di atas, jelaslah kiranya seperti apa khitan yang syar’i bagi wanita. Namun, ada pendapat lain dari kalangan ulama masa kini, di antaranya asy-Syaikh al-Albani, yaitu yang dipotong adalah klitoris itu sendiri, bukan kulit lembut yang menutupinya, kulup, atau prepuce. Sebelum ini, penulis pun cenderung kepada pendapat ini. Tetapi, tampaknya pendapat ini lemah, dengan membandingkan dengan ucapan-ucapan ulama di atas. Namun, pemilik pendapat ini pun tidak mengharuskan semua wanita dikhitan, karena tidak setiap wanita tumbuh klitorinya. Beliau hanya mewajibkan khitan yang demikian pada wanita-wanita yang kelentitnya tumbuh memanjang. Ini biasa terjadi di daerah-daerah yang bersuhu sangat panas, semacam Sa’id Mesir (Epper Egypt), Sudan, dan lain-lain. Banyak wanita di daerah tersebut memiliki kelentit yang tumbuh, bahkan sebagian mereka tumbuhnya pesat hingga sulit melakukan ‘hubungan’. (Rawai’uth Thib al-Islami, I/109, program Syamilah)

Berdasarkan keterangan di atas, jelaslah khitan yang tidak syar’i, yaitu khitan firauni, khitan menurut pendapat yang lemah, dan khitan syar’i sebagaimana penjelasan ulama di atas. Oleh karena itu, tiada celah bagi siapa pun untuk mengingkari khitan yang syar’i, karena khitan yang syar’i bagi wanita sejatinya sama dengan khitan bagi pria. Tidak ada kerugian sama sekali bagi yang bersangkutan. Bahkan, wanita tersebut akan mendapatkan berbagai maslahat karena banyaknya hikmah yang terkandung. Di antaranya, dikhitan akan lebih bersih karena kotoran di sekitar kelentit akan mudah dibersihkan, persis dengan hikmah khitan pada kaum pria. Bahkan, khitan akan sangat membantu wanita dalam hubungannya dengan suaminya, karena dia akan lebih mudah terangsang dan mencapai puncak yang dia harapkan. Hikmah yang paling utama adalah kita bisa melaksanakan tuntunan para nabi ‘alaihimussalam dan beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan melaksanakannya.

Yang aneh, orang-orang yang anti-Islam di satu sisi mendiskreditkan Islam dengan alalasan khitan wanita, padahal khitan ini juga dilakukan di negeri nonmuslim, walau tidak dengan nama khitan. Bahkan, tindakan ini menjadi pengobatan atau solusi bagi wanita yang kesulitan mencapai orgasme, dan solusi ini berhasil.
Pada 1958, Dr. McDonald meluncurkan sebuah makalah di majalah General Practitioner yang menyebutkan bahwa dia melakukan operasi ringan untuk melebarkan kulup wanita pada 40 orang wanita, baik dewasa maupun anak-anak, karena besarnya kulup mereka dan menempel dengan klitoris. Operasi ringan ini bertujuan agar klitoris terbuka dengan cara menyingkirkan kulup tanpa menghabiskannya. Dr. McDonald menyebutkan bahwa dirinya dibanjiri ucapan terima kasih oleh wanita-wanita dewasa tersebut setelah operasi. Sebab, menurut mereka, mereka bisa merasakan kepuasan dalam hubungan biologis pertama kali dalam kehidupannya.
Seorang dokter ahli operasi kecantikan di New York ditanya tentang cara mengurangi kulup klitoris dan apakah hal itu operasi yang aman. Dia menjawab, caranya adalah menghilangkan kulit yang menutupi klitoris. Kulit ini terdapat di atas klitoris, menyerupai bentuk huruf V yang terbalik. Terkadang kulit ini kecil/sempit, ada pula yang panjang hingga menutupi klitoris. Akibatnya, kepekaan pada wilayah ini berkurang sehingga mengurangi kepuasan seksual. Sesungguhnya memotong kulit ini berarti mengurangi penutup klitoris.
David Haldane pernah melakukan wawancara –yang kemudian diterbitkan di majalah Forum UK di Inggris– dengan beberapa ahli spesialis yang melakukan penelitian tentang pemotongan kulup pada vagina. Di antara hasil wawancara tersebut sebagaimana berikut ini.
David Haldane melakukan wawancara dengan dr. Irene Anderson, yang menjadi sangat bersemangat dalam hal ini setelah mencobanya secara pribadi. Operasi ini dilakukan terhadapnya pada 1991 sebagai pengobatan atas kelemahan seksualnya. Ia mendapatkan hasil yang luar biasa sebagaimana penuturannya. Ia kemudian mempraktikkannya pada sekitar seratus orang wanita dengan kasus yang sama (kelemahan seksual). Semua menyatakan puas dengan hasilnya, kecuali tiga orang saja. (Khitanul Inats)

Sungguh benar sabda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam kepada para pengkhitan wanita saat itu, “Apabila engkau mengkhitan, potonglah sedikit saja dan jangan engkau habiskan. Hal itu lebih mencerahkan wajah dan lebih menguntungkan suami.” (HR. Ath-Thabarani, dll. Lihat ash-Shahihah no. 722)
Sungguh, hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ini termasuk mukjizat yang nyata. Selaku seorang muslim, kita jelas meyakininya. Ringkas kata, orang-orang kafir pun mengakui kebenarannya.

Selanjutnya kami merasa perlu menerangkan langkah-langkah pelaksanaan khitan wanita karena informasi tentang hal ini sangat minim di masyarakat kita, bahkan bisa dikatakan hampir tidak ada penjelasan yang mendetail. Yang ada hanya bersifatnya global, padahal informasi ini sangat urgen. Sebetulnya, rasanya tabu untuk menjelaskan di forum umum semacam ini. Namun, ini adalah syariat yang harus diketahui dengan benar, dan “Sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran.” Kami menyadari bahwa kekurangan informasi dalam hal ini bisa berefek negatif yang luar biasa:
1. Anggapan yang negatif terhadap syariat Islam.
2. Bagi yang sudah menerima Islam dan ajarannya, lalu ingin mempraktikkannya, bisa jadi salah praktik (malpraktik), akhirnya sunnah ini tidak terlaksana dengan benar. Bahkan, bisa jadi terjerumus ke dalam praktik khitan firauni yang kita sebut di atas sehingga terjadilah kezaliman terhadap wanita yang bersangkutan, dan mungkin kepada orang lain.

Maka dari itu, sebelumnya kami mohon maaf. Kami hanya ingin menjelaskan langkah-langkah khitan. Jika ada kata-kata yang kurang berkenan, harap dimaklumi.

Tata Cara Pelaksanaan Khitan Wanita

1. Siapkan kejiwaan anak yang hendak dikhitan. Hilangkan rasa takut dari dirinya. Bekali orang tuanya dengan menjelaskan hukumnya dengan bahasa yang sederhana dan.menyenangkan.
2. Sterilkan alat-alat dan sterilkan pula daerah yang hendak dikhitan.
3. Gerakkan atau tarik qulfah (prepuce) ke belakang hingga terpisah atau tidak lekat lagi dengan klitoris, hingga tampak pangkal atas prepuce yang bersambung dengan klitoris. Hal ini akan mempermudah pemotongan kulit bagian luar sekaligus bagian dalam prepuce tersebut tanpa melukai sedikit pun klitorisnya sehingga prepuce tidak tumbuh kembali. Apabila prepuce dan klitoris sulit dipisahkan, hendaknya khitan ditunda sampai hal itu mudah dilakukan.
4. Lakukan bius lokal pada lokasi –meski dalam hal ini ada perbedaan pendapat ulama– dan tunggu sampai bius itu benar-benar bekerja.
5. Qulfah (prepuce) ditarik ke atas dari ujungnya menggunakan jepit bedah untuk dijauhkan dari klitoris. Perlu diperhatikan, penarikan tersebut diusahakan mencakup kulit luar dan kulit dalam prepuce, lalu dicapit dengan jepit arterial. Perlu diperhatikan juga, jangan sampai klitoris ikut tercapit.
Setelah itu, potong kulit yang berada di atas pencapit dengan gunting bengkok, lalu biarkan tetap dicapit sekitar 5-10 menit untuk menghindari pendarahan, baru setelah itu dilepas.
Jika terjadi pendarahan setelah itu, bisa dicapit lagi, atau bisa dijahit dengan senar 0/2 dengan syarat tidak bertemu dan menempel lagi antara sisi prepuce yang telah terpotong.
Tutuplah luka dengan kasa steril dan diperban. Perban bisa dibuang setelah 4 jam. Apabila terjadi pendarahan di rumah, tahan lagi dengan kapas dan konsultasikan ke dokter.
Hari-hari berikutnya, jaga kebersihannya dengan air garam atau semacamnya. Sangat perlu diperhatikan, jangan sampai dua sisi prepuce yang telah terpotong bertemu lagi atau menyambung, atau tersambung dan menempel dengan klitoris.
Semoga bermanfaat, walhamdulillah awwalan wa akhiran.

Sumber:
Majalah Asy Syariah no. 91/VIII/1434 H/2013, hal. 82-86, dan 90

Tentang ARISAN

al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini

Arisan dikenal oleh sebagian orang Arab dengan istilah jam’iyyah (kumpulan peserta arisan). Ini termasuk masalah kontemporer yang tengah marak ditekuni oleh banyak kaum muslimin mengingat manfaat yang mereka rasakan darinya. Masalah ini diperselisihkan oleh ulama ahli fatwa masa kini.

1. Ada yang berpendapat haram

Al-‘Allamah Shalih al-Fauzan hafizhahullah berfatwa, “Ini dinamakan pengutangan di antara sekumpulan orang (arisan) dan perkara ini kehalalannya diragukan. Sebab, arisan adalah piutang dengan syarat adanya timbal balik dengan diutangi pula dan termasuk piutang yang menarik manfaat. Karena dua alasan tersebut, arisan haram. Di antara ulama ada yang berfatwa boleh dengan alasan manfaat yang ditarik karena pengutangan itu tidak khusus pada salah satu pihak (pemiutang) melainkan pada kedua belah pihak. Menurut saya, yang rajih (terkuat) adalah pendapat pertama (yang mengharamkan). Dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
ﻛُﻞُّ ﻗَﺮْﺽٍ ﺟَﺮَّ ﻣَﻨْﻔَﻌَﺔً ﻓَﻬُﻮَ ﺭِﺑًﺎ
“Setiap piutang yang menarik suatu manfaat, hal itu adalah riba.” (Lihat kitab Asna al-Mathalib hlm. 240, al-Ghammaz ‘ala al-Lammaz hlm. 173, dan Tamyiz al-Khabits min ath-Thayyib hlm. 124)
Seluruh ulama telah sepakat atas makna yang terkandung pada hadits ini, sementara itu arisan termasuk dalam makna ini. Selain itu, arisan termasuk pengutangan yang mengandung syarat diutangi pula sebagai timbal baliknya, padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam melarang adanya dua akad dalam satu akad. Wallahu a’lam.”

2. Ada yang berpendapat boleh

Ini adalah fatwa Ibnu Baz —bersama Haiat Kibar al-‘Ulama (Dewan Ulama Besar Kerajaan Arab Saudi) yang dipimpinnya— dan Ibnu ‘Utsaimin. Berikut kutipan fatwa mereka.

• Al-Imam Ibnu Baz rahimahullah ditanya mengenai hukum arisan. Gambarannya, sekelompok pengajar mengumpulkan sejumlah uang di akhir bulan dari gaji mereka, lalu mereka memberikannya kepada salah.seorang dari mereka, lalu diberikan kepada orang berikutnya di akhir bulan berikutnya, demikian seterusnya sampai seluruh peserta mengambil uang yang telah dikumpulkannya selama ini. Beliau rahimahullah menjawab, “Hal itu tidak mengapa. Arisan adalah piutang yang tidak mengandung syarat memberi tambahan manfaat kepada siapa pun. Majelis Haiat Kibar al-‘Ulama telah mempelajari masalah ini dan mayoritas mereka membolehkannya mengingat adanya maslahat untuk seluruh peserta arisan tanpa mengandung mudarat. Hanya Allah yang memberi taufik.”

• Al-Imam Ibnu ‘Utsaimin berfatwa dalam syarah Bulughul Maram, “Terjadi masalah di kalangan para pegawai yang gajinya dipotong setiap bulan (untuk dikumpulkan) senilai tertentu menurut kesepakatan mereka. Uang itu lantas diberikan kepada salah seorang dari mereka di bulan pertama, lalu kepada orang kedua di bulan kedua, dan seterusnya hingga uang itu bergilir kepada seluruh peserta (arisan). Apakah masalah ini tergolong piutang yang menarik manfaat/riba? Jawabannya, tidak. Hal itu bukan piutang yang menarik manfaat/riba, karena tidak ada peserta yang mendapatkan uang lebih dari jumlah yang telah diberikannya. Ada yang berkata, bukankah disyaratkan piutang itu dibayar sepenuhnya kepadanya, yang berarti syarat pada piutang (yang menarik manfaat/riba)? Kami jawab, bahwa hal itu bukan syarat adanya akad lain, tetapi semata-mata syarat agar utang itu dilunasi. Artinya, peserta memberikannya kepada peserta lainnya dengan syarat ia mengembalikannya kepadanya senilai itu juga, tidak lebih dari itu. Berdasarkan keterangan ini, pendapat bahwa arisan termasuk piutang yang menarik manfaat/riba adalah anggapan yang keliru. Sebab, arisan adalah piutang yang tidak mengandung penarikan manfaat/riba sama sekali. Seandainya peserta memiutangi uang senilai seribu dengan syarat dikembalikan dua ribu, tentu saja hal itu tidak boleh, karena tergolong piutang yang menarik manfaat/riba.”

Alhasil, yang benar menurut kami adalah pendapat yang membolehkan. Adapun kedua alasan yang dikemukakan oleh al-‘Allamah al-Fauzan sebagai dasar untuk menghukumi haramnya arisan telah terbantah pada kedua fatwa ini. Arisan bukan piutang yang menarik manfaat/riba, karena setiap peserta arisan tidak mengambil uang lebih dari uangnya sendiri yang dikumpulkannya selama berjalannya arisan. Arisan bukan pengutangan yang mengandung syarat diutangi pula sebagai timbal baliknya. Sebab, setiap peserta yang mendapat undian (giliran) untuk mendapatkan sejumlah uang arisan yang terkumpul berarti dia diutangi oleh peserta arisan berikutnya (yang belum dapat giliran). Adapun peserta yang telah dapat giliran, setorannya untuk membayar utangnya kepada peserta-peserta yang belum dapat giliran. Demikianlah seterusnya hingga berakhir. Jadi, tidak ada sama sekali persyaratan akad lain yang membonceng padanya untuk memetik riba. Wallahu a’lam.

Namun, pada perkembangannya ada model-model arisan yang diboncengi dengan lelang motor atau semacamnya yang perlu diwaspadai. Sebab, boleh jadi itu tergolong pengutangan yang menarik manfaat/riba sehingga haram. Hal itu apabila peserta arisan yang mendapat giliran di putaran-putaran berikutnya atau putaran terakhir diuntungkan oleh peserta-peserta sebelumnya dengan mendapat kelebihan dari nilai uang yang dikumpulkannya selama arisan berlangsung. Wallahul musta’an.

Sumber: Asy Syariah Edisi 085

Tentang NIKAH MUT'AH

Ketika Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu diangkat sebagai Amirul Mukminin, beliau berkhutbah, “Sesungguhnya dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memang mengizinkan kita selama tiga hari untuk melakukan mut’ah, tetapi setelah itu beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengharamkannya. Demi Allah, tidaklah aku mengetahui ada seseorang yang melakukan mut’ah dalam keadaan dia muhshan kecuali pasti akan aku rajam dia dengan batu. Kecuali jika dia mampu mendatangkan empat saksi yang memberikan kesaksian bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menghalalkannya setelah diharamkan.” (HR. Ibnu Majah, 1963)

Ath-Thahawi mengatakan, “Inilah Umar yang telah melarang mut’ah untuk kaum wanita di hadapan para sahabat yang lain dan beliau tidak diingkari. Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat sepakat dengan beliau untuk melarang mut’ah. Kesepakatan mereka ini —untuk melarang mut’ah— adalah dalil bahwa hukum diperbolehkannya mut’ah telah dihapus, sekaligus sebagai hujah.” (Ma’anis Sunan, 2/258)

Al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan, “Pendapat yang benar dan dipilih, pengharaman dan pembolehan nikah mut’ah masing-masing terjadi sebanyak dua kali. Sebelum peristiwa Khaibar dihalalkan, kemudian pada saat perang Khaibar diharamkan. Lalu ketika terjadi Fathu Makkah —termasuk Perang Authas karena bersambung—, nikah mut’ah diperbolehkan lagi. Akan tetapi, tiga hari kemudian, nikah mut’ah diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat.”

Muhammad bin al-Hanafiyyah rahimahullah berkata:
ﻋَﻦْ ﻋَﻠِﻲٍّ ﺃَﻧَّﻪُ ﺳَﻤِﻊَ ﺍﺑْﻦَ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﻳُﻠَﻴِّﻦُ ﻓِﻲ ﻣُﺘْﻌَﺔِ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻣَﻬْﻠًﺎ ﻳَﺎ ﺍﺑْﻦَ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ، ﻓَﺈِﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ , ﻧَﻬَﻰ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﻳَﻮْﻡَ ﺧَﻴْﺒَﺮَ ﻭَﻋَﻦْ ﻟُﺤُﻮﻡِ ﺍﻟْﺤُﻤُﺮِ ﺍﻟْﺈِﻧْﺴِﻴَّﺔِ
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bersikap lunak tentang praktik mut’ah atas kaum wanita. Lalu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pun menegur, “Hati-hati, wahai Ibnu Abbas! Sebab sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang praktik mut’ah pada Perang Khaibar. Demikian juga, beliau melarang untuk mengonsumsi keledai peliharaan.” (HR. al-Bukhari no. 1407, Muslim no. 4216, Ahmad 1/79, an-Nasa’i 6/125, at-Tirmidzi no. 1121, dan Ibnu Majah 1961, dan ini adalah lafadz Muslim)

Abu ‘Awanah meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari ar-Rabi’ bin Sabrah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, “Sebelum meninggal dunia, Ibnu Abbas telah rujuk dari fatwa tersebut (fatwa pembolehan mut'ah).” (al-Mustakhraj, no. 4057)

Rabi’ bin Sabrah radhiyallahu ‘anhu berkata,
ﺃَﻣَﺮَﻧَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ , ﺑِﺎﻟْﻤُﺘْﻌَﺔِ ﻋَﺎﻡَ ﺍﻟْﻔَﺘْﺢِ ﺣِﻴﻦَ ﺩَﺧَﻠْﻨَﺎ ﻣَﻜَّﺔَ، ﺛُﻢَّ ﻟَﻢْ ﻧَﺨْﺮُﺝْ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺣَﺘَّﻰ ﻧَﻬَﺎﻧَﺎ ﻋَﻨْﻬَﺎ
“Pada tahun Fathu Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan kami untuk melakukan mut’ah ketika kami memasuki kota Makkah. Kemudian, tidaklah kami keluar meninggalkan kota Makkah kecuali dalam keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengharamkannya untuk kami.” (HR. Muslim no. 1406)

Pada saat itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ، ﺇِﻧِّﻲ ﻗَﺪْ ﻛُﻨْﺖُ ﺃَﺫِﻧْﺖُ ﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻲ ﺍ ﺳْﺎﻟِْﺘِﻤْﺘَﺎﻉِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ، ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻗَﺪْ ﺣَﺮَّﻡَ ﺫَﻟِﻚَ ﺇِﻟَﻰ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ، ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﻣِﻨْﻬُﻦَّ ﺷَﻲْﺀٌ ﻓَﻠْﻴُﺨَﻞِّ ﺳَﺒِﻴﻠَﻪُ ﻭَ ﺗَﺄْﺧُﺬُﻭﺍ ﻣِﻤَّﺎ ﺁﺗَﻴْﺘُﻤُﻮﻫُﻦَّ ﺷَﻴْﺌًﺎ
“Wahai manusia, sesungguhnya dahulu aku pernah mengizinkan kalian untuk melakukan mut’ah atas kaum wanita. Sesungguhnya Allah telah Subhanahu wata’ala mengharamkan mut’ah sampai hari kiamat. Barang siapa masih terikat mut’ah dengan wanita, tinggalkanlah dia dan janganlah kalian mengambil kembali barang yang telah diberikan.” (HR. Muslim no. 1406)

Al-Qurthubi menyatakan, “Seluruh riwayat bersepakat bahwa masa diperbolehkannya nikah mut’ah tidaklah terlalu lama. Kemudian setelah itu nikah mut’ah diharamkan. Berikutnya, ulama salaf dan khalaf telah berijma’ tentang diharamkannya nikah mut’ah, kecuali kaum Rafidhah yang tidak perlu dianggap.” (Taudhihul Ahkam, karya Alu Bassam 5/294)

Tentang GELAR HAJI DAN HAJJAH

Asy-Syaikh Shalih As-Suhaimy hafizhahullah

Pertanyaan: Orang-orang yang telah melaksanakan haji di daerah kami jika datang salah seorang dari mereka, dia tidak mau disebut “si fulan”, tetapi harus disebut “Haji Fulan”?

Jawaban:
Ini merupakan perkara yang sangat berbahaya sekali. Sebagian orang ada yang sampai menggantung tulisan namanya di rumahnya agar dia dipanggil “Haji Fulan” dan membuatnya dengan ukuran besar. Dia menggantungnya di dalam rumahnya atau di dekat ruang tamu. Tidak diragukan lagi bahwa hal ini tidak diperbolehkan. Dan dikhawatirkan akan menyeret kepada riya’. Para shahabat yang melaksanakan haji yang jumlahnya sekitar 120 ribu, tidak ada seorang dari mereka yang digelari “haji”.

Ditranskrip dan diterjemahkan oleh:
Abu Almass bin Jaman Al-Ausathy

Tentang KENCING SAMBIL BERDIRI

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah

Pertanyaan:
هل يجوز أن يبول الإنسان واقفا، علما أنه لا يأتي الجسم والثوب شيء من ذلك؟
Bolehkah seseorang kencing dengan berdiri, dalam kondisi badan dan bajunya tidak terkenai percikan air kencing sedikitpun?

Jawab:
لا حرج في البول قائما ،لاسيما عند الحاجة إليه، إذا كان المكان مستورا لا يرى فيه أحد عورة البائل، ولا يناله شيء من رشاش البول، لما ثبت عن حذيفة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم أتى سباطة قوم فبال قائما متفق على صحته، ولكن الأفضل البول عن جلوس؛ لأن هذا هو الغالب من فعل النبي صلى الله عليه وسلم، وأستر للعورة، وأبعد عن الإصابة بشيء من رشاش البول
Tidak mengapa kencing dengan berdiri, terutama ketika ada keperluan, apabila tempatnya tertutup, tidak ada seorang pun yang melihat aurat orang yang kencing itu, dan tidak terkenai percikan air kencing sedikitpun.
Hal ini berdasarkan hadits yang telah pasti dari shahabat Hudzaifah radhiyallahu anhu bahwa Nabi Shallallahu alahi wa Sallam mendatangi tempat pembuangan sampah suatu kaum, lalu beliau kencing dengan berdiri. Hadits ini disepakati keshahihahnnya.
Namun, YANG LEBIH UTAMA adalah kencing dengan duduk. Karena inilah MAYORITAS yang diperbuat oleh Rasulullah Shallallahu alahi wa Sallam (ketika kencing), di samping lebih menutup aurat, dan lebih aman dari terkenai percikan air kencing.
(Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwiah 6/377)

Sumber: manhajul-anbiya .net

###

Syaikh Utsaimin rahimahullah dalam Syarhul Mumti' berkata,
"Buang air kecil dalam keadaan berdiri adalah boleh dengan dua syarat:
Yang pertama hendaknya aman dari percikan air kencingnya.
Yang kedua hendaknya auratnya aman dari penglihatan manusia."
(Dinukil dari Al Halal wal Haram fil Islam Syaikh Muhammad Shalih Utsaimin, hal. 121, cet. Darul Muslim 2008)

###

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah ketika membawakan hadits Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu yang menerangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing berdiri sebagaimana telah lewat di atas, beliau mengatakan dengan judul bab (Bolehnya) Kencing Berdiri dan Jongkok.
Jadi, dipahami di sini bolehnya kencing dalam keadaan berdiri dan duduk, walaupun dalam hal ini terdapat perselisihan pendapat di kalangan ahli ilmu. Didapatkan pula dari perbuatan sahabat seperti Ali bin Abi Thalib, ‘Umar ibnul Khaththab, Zaid bin Tsabit, dan selainnya radhiyallahu ‘anhum, mereka kencing dengan berdiri. Ini menunjukkan perbuatan ini dibolehkan dan tidak makruh apabila memang aman dari percikan air kencing. (‘Aunul Ma’bud, 1/29)
Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Sebagian ahlul ilmi menyenangi bagi orang yang kencing dalam keadaan duduk untuk menjauh dari manusia. Mereka juga memandang tidak apa-apa kencing di dekat orang lain bila dilakukan dengan berdiri karena kencing dalam keadaan berdiri lebih menjaga dubur dan lebih selamat dari percikan najis. Pendapat seperti ini diriwayatkan dari ‘Umar.” (al-Ausath, 1/322)

###

Al Ustadz Abdul Haq Balikpapan hafizhahullah

Tanya:
Apa hukum kencing berdiri?

Jawab:
Tentang kencing sambil berdiri, ini terjadi khilaf di kalangan para ulama tentang hukumnya. Aisyah radhiyallahu ta'ala 'anha, siapa Aisyah? Istri nabi, beliau mengatakan:
من حدثكم أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يبول قائما فلا تصدقوه ما كان يبول إلا قاعدا
Barangsiapa yang mengatakan bahwa rasulullah 'alaihi shallatu wasallam kencing dalam keadaan berdiri, maka sungguh dia telah berdusta.
Artinya, yang beliau ketahui nabi apabila menunaikan hajahnya, kencing itu dalam kondisi apa? Duduk.
Namun sahabat yang lain, seperti dinukilkan dalam (oleh) Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ta'ala anhuma, beliau mengatakan:
أتى النبى (صلى الله عليه وسلم) سباطة قوم فبال قائما
Aku melihat nabi pernah kencing dalam kondisi berdiri, di sisi tempat sampah sebuah kaum.
Ini yang diketahui Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ta'ala anhuma. Sehingga kita perhatikan dua riwayat ini, seakan-akan bertentangan iya kan? Sehingga para ulama berselisih, berbeda pendapat tentang hukumnya. Apa hukum kencing berdiri. Aisyah menjelaskan apa yang beliau ketahui, Hudzaifah juga menceritakan apa yang beliau ketahui. Dan dua-duanya hadits, peristiwa, yang sama-sama dialami oleh nabi, disaksikan oleh para sahabat.
Maka di sini para ulama mengambil jalan tengah, bahwa asal hukumnya yang afdhal adalah seseorang kencing dalam kondisi duduk selama memungkinkan. Kenapa? Karena lebih menjaga dari percikan najisnya. Namun boleh apabila tidak dikhawatirkan akan percikan najisnya, untuk kencing dalam kondisi berdiri. Terlebih kondisinya tidak memungkinkan. Seperti settingan, yang sudah ada di sebagian tempat. Memang disetting untuk berdiri, yang duduk tidak ada. Meskipun kita menyatakan kalau ada yang duduk, tempatnya lebih tertutup, itu yang afdhal.
Tapi kalau misalnya sudah disetting memang untuk berdiri, ada kan? Langsung berdiri, buka, langsung kencing. Tentunya tidak mengapa, namun tetap dijaga percikan-percikannya. Namun yang afdhal, seperti yang kita sebutkan dalam kondisi duduk. Kencing dalam kondisi duduk. Wallahu ta'ala a'lam.

TIS (Thalab Ilmu Syar'i)