Ketika Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu diangkat sebagai Amirul Mukminin, beliau berkhutbah, “Sesungguhnya dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memang mengizinkan kita selama tiga hari untuk melakukan mut’ah, tetapi setelah itu beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengharamkannya. Demi Allah, tidaklah aku mengetahui ada seseorang yang melakukan mut’ah dalam keadaan dia muhshan kecuali pasti akan aku rajam dia dengan batu. Kecuali jika dia mampu mendatangkan empat saksi yang memberikan kesaksian bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menghalalkannya setelah diharamkan.” (HR. Ibnu Majah, 1963)
Ath-Thahawi mengatakan, “Inilah Umar yang telah melarang mut’ah untuk kaum wanita di hadapan para sahabat yang lain dan beliau tidak diingkari. Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat sepakat dengan beliau untuk melarang mut’ah. Kesepakatan mereka ini —untuk melarang mut’ah— adalah dalil bahwa hukum diperbolehkannya mut’ah telah dihapus, sekaligus sebagai hujah.” (Ma’anis Sunan, 2/258)
Al-Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim mengatakan, “Pendapat yang benar dan dipilih, pengharaman dan pembolehan nikah mut’ah masing-masing terjadi sebanyak dua kali. Sebelum peristiwa Khaibar dihalalkan, kemudian pada saat perang Khaibar diharamkan. Lalu ketika terjadi Fathu Makkah —termasuk Perang Authas karena bersambung—, nikah mut’ah diperbolehkan lagi. Akan tetapi, tiga hari kemudian, nikah mut’ah diharamkan untuk selamanya sampai hari kiamat.”
Muhammad bin al-Hanafiyyah rahimahullah berkata:
ﻋَﻦْ ﻋَﻠِﻲٍّ ﺃَﻧَّﻪُ ﺳَﻤِﻊَ ﺍﺑْﻦَ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ ﻳُﻠَﻴِّﻦُ ﻓِﻲ ﻣُﺘْﻌَﺔِ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻣَﻬْﻠًﺎ ﻳَﺎ ﺍﺑْﻦَ ﻋَﺒَّﺎﺱٍ، ﻓَﺈِﻥَّ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ , ﻧَﻬَﻰ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﻳَﻮْﻡَ ﺧَﻴْﺒَﺮَ ﻭَﻋَﻦْ ﻟُﺤُﻮﻡِ ﺍﻟْﺤُﻤُﺮِ ﺍﻟْﺈِﻧْﺴِﻴَّﺔِ
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah mendengar Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma bersikap lunak tentang praktik mut’ah atas kaum wanita. Lalu, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pun menegur, “Hati-hati, wahai Ibnu Abbas! Sebab sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang praktik mut’ah pada Perang Khaibar. Demikian juga, beliau melarang untuk mengonsumsi keledai peliharaan.” (HR. al-Bukhari no. 1407, Muslim no. 4216, Ahmad 1/79, an-Nasa’i 6/125, at-Tirmidzi no. 1121, dan Ibnu Majah 1961, dan ini adalah lafadz Muslim)
Abu ‘Awanah meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari ar-Rabi’ bin Sabrah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, “Sebelum meninggal dunia, Ibnu Abbas telah rujuk dari fatwa tersebut (fatwa pembolehan mut'ah).” (al-Mustakhraj, no. 4057)
Rabi’ bin Sabrah radhiyallahu ‘anhu berkata,
ﺃَﻣَﺮَﻧَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ , ﺑِﺎﻟْﻤُﺘْﻌَﺔِ ﻋَﺎﻡَ ﺍﻟْﻔَﺘْﺢِ ﺣِﻴﻦَ ﺩَﺧَﻠْﻨَﺎ ﻣَﻜَّﺔَ، ﺛُﻢَّ ﻟَﻢْ ﻧَﺨْﺮُﺝْ ﻣِﻨْﻬَﺎ ﺣَﺘَّﻰ ﻧَﻬَﺎﻧَﺎ ﻋَﻨْﻬَﺎ
“Pada tahun Fathu Makkah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkan kami untuk melakukan mut’ah ketika kami memasuki kota Makkah. Kemudian, tidaklah kami keluar meninggalkan kota Makkah kecuali dalam keadaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengharamkannya untuk kami.” (HR. Muslim no. 1406)
Pada saat itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ، ﺇِﻧِّﻲ ﻗَﺪْ ﻛُﻨْﺖُ ﺃَﺫِﻧْﺖُ ﻟَﻜُﻢْ ﻓِﻲ ﺍ ﺳْﺎﻟِْﺘِﻤْﺘَﺎﻉِ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ، ﻭَﺇِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﻗَﺪْ ﺣَﺮَّﻡَ ﺫَﻟِﻚَ ﺇِﻟَﻰ ﻳَﻮْﻡِ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ، ﻓَﻤَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﻣِﻨْﻬُﻦَّ ﺷَﻲْﺀٌ ﻓَﻠْﻴُﺨَﻞِّ ﺳَﺒِﻴﻠَﻪُ ﻭَ ﺗَﺄْﺧُﺬُﻭﺍ ﻣِﻤَّﺎ ﺁﺗَﻴْﺘُﻤُﻮﻫُﻦَّ ﺷَﻴْﺌًﺎ
“Wahai manusia, sesungguhnya dahulu aku pernah mengizinkan kalian untuk melakukan mut’ah atas kaum wanita. Sesungguhnya Allah telah Subhanahu wata’ala mengharamkan mut’ah sampai hari kiamat. Barang siapa masih terikat mut’ah dengan wanita, tinggalkanlah dia dan janganlah kalian mengambil kembali barang yang telah diberikan.” (HR. Muslim no. 1406)
Al-Qurthubi menyatakan, “Seluruh riwayat bersepakat bahwa masa diperbolehkannya nikah mut’ah tidaklah terlalu lama. Kemudian setelah itu nikah mut’ah diharamkan. Berikutnya, ulama salaf dan khalaf telah berijma’ tentang diharamkannya nikah mut’ah, kecuali kaum Rafidhah yang tidak perlu dianggap.” (Taudhihul Ahkam, karya Alu Bassam 5/294)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar