Cari Blog Ini

Senin, 31 Oktober 2016

Demonstrasi Hanya Menambah Petaka

Demonstrasi Hanya Menambah Petaka

Oleh : Ustadz Muktar

Siapa pun dengan pasti akan memprediksi,”Pasti akan berakhir rusuh!”.

Hati semakin bersedih dan jiwa bertambah sesak melihat kenyataan pada beberapa tempat di negeri ini. Korban luka berjatuhan bahkan ada yang berakhir dengan meregang nyawa. Batu-batu beterbangan diselingi dengan asap dan api bom molotov. Benda-benda tumpul entah kayu, besi atau lainnya. Terlihat jelas berada di tangan-tangan sekelompok anak muda yang menamakan diri mereka sebagai Barisan Mahasiswa.

Pihak aparat keamanan yang berusaha mengikuti prosedur dan protap pengamanan, sesungguhnya telah cukup bersabar. Cacian dan celaan ditujukan kepada mereka. Aparat dilempari dan diludahi bahkan dipukuli, dan mereka pun manusia biasa. Sehingga terjadilah aksi baku balas antara demonstran dan aparat keamanan. Laa haula wa laa quwwata illa billah

Apa hasilnya? Kerugian dan kerugian lalu kerugian. Harta, nyawa, waktu, tenaga dan segala-segalanya. Tidak ada lagi rasa nyaman karena berganti ketakutan. Ketentraman masyarakat pun berangsur hilang setelah sebelumnya berkurang. Yang lebih menyedihkan lagi, pelaku-pelakunya justru berasal dari lapisan masyarakat yang disebut “kaum terpelajar”.

Ilustrasi di atas hanyalah sepenggal kisah dari catatan hitam dari aksi-aksi yang bernama demosntrasi, unjuk rasa, atau apapun nama lainnya. Dengan berbagai alasan yang dibumbui kata-kata menyentuh hati atau demi membela keadilan, aksi-aksi itupun dijalankan.”Melawan Tirani Lalim”,”Membela Hak-Hak Rakyat”,”Jihad Melawan Penguasa”,”Kami Menuntut Keadilan”,”Pemerintah Selalu Menyengsarakan Rakyat” dan masih seabreg slogan dan yel-yel lain kaum demonstran.

Sebenarnya bagaimanakah pandangan islam tentang hal ini? Berikut ini kami akan menukilkan fatwa dari beberapa ulama’ besar masa kini tentang hukum aksi demonstrasi atau unjuk rasa.

Fatwa Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Beliau pernah ditanya,

Apakah demonstrasi yang terdiri dari kaum laki-laki dan wanita dalam rangka menentang penguasa dan pemerintah termasuk salah satu sarana dakwah?

Apakah orang yang meninggal dunia saat aksi demonstrasi dapat disebut sebagai mati syahid di jalan Allah?

Beliau menjawab : “Saya berpendapat ;

Demontrasi yang terdiri dari kaum laki-laki dan wanita bukanlah sebuah solusi. Akan tetapi, demosntrasi hanya akan menjadi sebab munculnya fitnah, keburukan, kedzoliman dan pelanggaran bagi sebagian orang tanpa hak.

Namun,ada cara-cara yang sesuai syari’at Islam yaitu dengan mengirim surat, menasehati dan ajakan kepada kebaikan dengan menempuh langkah-langkah yang baik. Demikianlah yang ditempuh oleh para ulama’dan juga yang dilakukan para sahabat Nabi dan para pengikut mereka dengan baik.

Dengan cara mengirimkan surat atau berdialog secara langsung berhadapan dengan pihak pemimpin atau penguasa, tanpa menyebarluaskan di atas mimbar-mimbar atau tempat lain bahwa,”Pemerintah telah berbuat ini!Sehingga menjadi seperti itu!”.Wallahul musta’aan” ___________selesai

Fatwa Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani

Di dalam Silsilah Hadits Dhaifah pada hadits tentang kisah masuk Islamnya Umar bin Khattab dan keluarnya mereka bersama Nabi dalam dua barisan untuk melawan kaum musyrikin,Syaikh Al Albani menjelaskan,

“Hadits di atas munkar”. Kemudian beliau menjelaskan ;

”Barangkali itu adalah sebabnya atau menjadi sebab sebagian saudara- saudara kita, para dai, berdalil tentang disyari’atkannya demonstrasi yang dikenal pada masa ini. Bahwa : “ demonstrasi termasuk cara berdakwah Nabi”.

Dan beberapa kelompok Islam masih berdalih dengannya. Mereka lupa bahwa demonstrasi termasuk kebiasaan dan metode orang-orang kafir”_______________selesai

Fatwa Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin

Beliau pernah ditanya,

“Mengenai pemerintah yang berhukum dengan hukum yang tidak diturunkan Allah. Kemudian pemerintah mengizinkan sebagian masyarakat untuk melakukan aksi demonstrasi, yang dinamakan ‘ishoomiyyah (memperoleh kedudukan dengan hasil usaha sendiri)!Disertai undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah itu sendiri.Lalu,orang-orang tersebut melakukannya.

Apabila aksi mereka diingkari,mereka menjawab,”Kami tidak menentang pemerintah dan kami melakukannya dengan ketetapan pemerintah”.

Apakah hal ini diperbolehkan secara syari’at? Padahal ada pertentangan dengan dalil?

Beliau menjawab,

“Wajib bagimu untuk mengikuti Salaf!Apabila hal ini dilakukan oleh Salaf, maka pasti baik. Apabila tidak,pasti jelek. Tidak ada keraguan lagi jika demsontrasi itu jelek. Sebab, demonstrasi akan menghantarkan kepada kekacauan.Yang dilakukan oleh para demonstran maupun pihak lain.

Bahkan sering terjadi pelanggaran. Bisa saja pelanggaran terhadap kehormatan, harta maupun fisik orang. Karena dalam keadaan kacau/rusuh, orang seperti mabuk yang tidak mengetahui apa yang dia ucapkan dan apa yang dia lakukan!”___________selesai

Pembaca yang terhormat,

Demonstrasi seluruhnya buruk, Apakah diizinkan oleh pihak pemerintah maupun tidak? Jika ada sebagian pemerintah mengizinkan terselenggaranya aksi demosntrasi, maka hal itu hanyalah propaganda.

Misalnya dipulangkan ke hati, sungguh pemerintah manapun tidak akan menyukai bahkan sangat membenci. Namun, ia hanya berpura-pura saja.

Sebagaimana dia mengatakan,”Ini kan demokrasi!” Padahal demokrasi hanya akan membuka pintu kebebasan (tanpa aturan agama) bagi umat manusia. Hal ini bukanlah jalan Salaf!

Fatwa Syaikh Muqbil bin Hadi

Beliau mengatakan,

“Segala puji bagi Allah. Sungguh saya sering mengingatkan tentang (dampak negatif) demonstrasi di dalam khutbah hari raya maupun khutbah-khutbah jum’at”___________selesai

Fatwa Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan

Beliau menjelaskan,

“Agama kita bukan agama yang kacau tanpa aturan, akan tetapi agama kita adalah agama yang mapan, teratur rap, dan mengajarkan ketenangan. Demonstrasi bukan termasuk amalan umat Islam. Kaum muslimin tidak mengenal demonstrasi!

Islam adalah agama yang mengajarkan ketenangan,kasih saying, dan kestabilan. Di dalam Islam tidak ada ajaran kekacauan,kerusuhan maupun menimbulkan fitnah. Inilah agama Islam

Hak-hak masyarakat dapat diperoleh dengan permohonan dan cara-cara syar’i.Adapun demonstrasi hanya akan menyebabkan kerusakan harta.Maka,perkara yang demikian tidak boleh” __________selesai

Fatwa Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad

Beliau pernah ditanya,

”Apakah juga termasuk dalam pengertian hadits tersebut ; seseorang yang melakukan demosntrasi untuk menentang kenaikan harga dan urusan dunia semisalnya? Apabila terjadi kedzoliman di sana?”

Beliau menjawab,

“Demonstrasi termasuk tindakan bodoh! Hal ini tidak dikenal (pada masa lalu oleh umat Islam). Demonstrasi adalah perkara yang baru saja muncul yang diadopsi kaum muslimin dari orang-orang kafir”_______selesai

Disusun oleh Abu Nasim Mukhtar bin Rifa’i

Referensi : Fatawa Al Ulama’ Fii Tahriimi Al Mudhoharaat (sebuah lembaran buletin)

Diterbitkan oleh Kementrian Urusan Islam,Wakaf,Dakwah dan Irsyad Kerajaan Arab Saudi

http://salafy.or.id/blog/2012/04/13/demonstrasi-hanya-menambah-petaka/

Jumat, 28 Oktober 2016

Diam ketika melihat ahlu dholal

MUTIARA SALAF

أنت تكثر سواد أهل الضلال إذا كنت تراهم وتسكت عنهم ، أنت مؤيد ومشجع لهم إذا كنت تراهم يعيثون في الأرض فساداً وتسكت . المجموع280/14

Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhaly hafizhahullah berkata:

“Engkau memperbanyak jumlah Ahlu Dholal (adalah) jika engkau melihat mereka namun engkau diam (tidak mengingkari mereka). Engkau (adalah) pendukung dan supporter mereka jika engkau melihat mereka melakukan kerusakan di muka bumi, namun engkau hanya membisu”

(Majmu’ Fatawa 14/280)

🗞🗞🗞🗞🗞🗞🗞🗞🗞🗞

💻 Turut mempublikasikan
🌐 Majmu'ah Salafy Baturaja
📡 https://salafybaturaja.salafymedia.com

📲 https://telegram.me/salafybaturaja

🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓🍓

Biografi HAMNAH BINTU JAHSY radhiyallahu anha

Salafy Baturaja:
🌺 HAMNAH BINTU JAHSYI radhiallahu 'anha

Penulis : Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman Bintu ‘Imran

Wanita mana yang tidak sedih kehilangan suami tercinta. Demikianlah yang dialami Hamnah bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kematian saudaranya, Abdullah bin Jahsy radhiyallahu ‘anhu di perang Uhud, Hamnah bisa bersikap tegar. Begitupun dengan berita kematian pamannya, Hamzah bin Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu. Namun ketika sampai kabar kematian suaminya, ia pun tak kuasa menahan kesedihannya yang begitu mendalam. Sebagaimana para shahabat, ketegarannya menjalani ujian-ujian Allah telah mengantarkannya pada kemuliaan hidup di dunia dan di akhirat. Wanita mulia ini bernama Hamnah bintu Jahsy bin Ri’ab bin Ya’mur bin Shabrah bin Murrah bin Kabir bin Ghanm bin Dudan bin Asad Al-Asadiyah dari Bani Asad bin Khuzaimah. Dia bersaudara dengan istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha dan Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, istri ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu, serta ‘Abdullah bin Jahsy radhiyallahu ‘anhu yang gugur di perang Uhud. Ibunya adalah bibi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Umaimah bintu ‘Abdil Muththalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushay. Dialah satu di antara wanita-wanita yang berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hamnah radhiyallahu ‘anha dipersunting oleh seorang pemuda yang mulia, Mush’ab bin ‘Umair radhiyallahu ‘anhu bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin ‘Abdid Dar. Mereka dikaruniai seorang putri.

Tahun ketiga Hijriyah datang menjelang. Bulan Syawwal, tiba saat kaum muslimin kembali berhadapan dengan pasukan musyrikin di medan Uhud setelah memperoleh kemenangan di perang Badr. Mush’ab bin ‘Umair radhiyallahu ‘anhu adalah pemegang bendera Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan ini. Hamnah turut terjun dalam kecamuk perang untuk memberi minum pasukan, mengusung orang-orang yang terluka dan mengobatinya.

Peperangan berlangsung dahsyat. Dengan hikmah dari sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, pasukan muslimin saat itu mengalami kekalahan. Banyak shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang gugur dalam pertempuran itu.

Usai peperangan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama pasukan kembali ke Madinah. Para wanita menanti-nanti dengan penuh harap dan tanya, bagaimana keadaan ayah, suami, anak atau kerabat mereka yang turut berperang. Tak ada yang mendapatkan berita hingga mereka datang di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kepada beliau setiap wanita itu bertanya dan beliau mengabarkan keadaannya.

Begitu pula Hamnah, dia pun menghadap kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Wahai Hamnah, harapkanlah pahala bagi saudaramu, ‘Abdullah bin Jahsy,” kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hamnah beristirja’ dengan tabah. “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un. Kita ini milik Allah dan kepada-Nya kita akan kembali. Semoga Allah merahmatinya dan mengampuni dosanya,” ujarnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata lagi padanya, “Wahai Hamnah, harapkanlah pahala bagi pamanmu, Hamzah bin ‘Abdil Muththalib.” Hamnah kembali beristirja’, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’un. Semoga Allah merahmatinya dan mengampuni dosanya.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Hamnah, harapkanlah pahala bagi suamimu, Mush’ab bin ‘Umair.” Hamnah pun memekik, “Aduhai, peperangan!” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya padanya, “Mengapa engkau mengatakan seperti itu saat mendengar kabar Mush’ab, sementara engkau tidak mengatakannya untuk yang lain?” “Wahai Rasulullah,” jawab Hamnah, “Aku mengingat putrinya yang kini telah menjadi yatim.”

Hamnah menjalani kehidupannya bersama putrinya hingga datang seorang mulia yang mendapat kabar gembira dengan surga, Thalhah bin ‘Ubaidillah radhiyallahu ‘anhu, mengajaknya untuk bersanding dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Dari pernikahan itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengaruniai mereka dua orang anak, Muhammad dan ‘Imran.

Waktu pun berlalu. Sepulang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari perang Bani Al-Mushthaliq, terjadi peristiwa besar. ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dituduh dengan tuduhan keji yang disebarkan oleh gembong munafikin, ‘Abdullah bin Ubay bin Salul. Begitu tersebar berita itu dan begitu hebat pengaruhnya dalam diri orang-orang saat itu, hingga di antara para sahabat ada yang sampai terjatuh dalam kesalahan turut menyebarkan berita tersebut. Salah satunya adalah Hamnah. Ia melakukannya karena pembelaannya terhadap Zainab bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha yang juga istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara Zainab sendiri, Allah Subhanahu wa Ta’ala menjaganya dan tak ada yang keluar dari lisannya tentang ‘Aisyah kecuali kebaikan semata.

Ketika telah turun ayat bara’ah yang menyatakan kesucian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari perbuatan yang dituduhkan itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke mimbar dan berkhutbah. Beliau lalu memerintahkan ditegakkan hukum had atas tiga orang shahabat yang jatuh dalam kesalahan itu dengan dicambuk. Mereka adalah Hassan bin Tsabit, Misthah bin Utsatsah serta Hamnah bintu Jahsy, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai mereka semuanya.

Hamnah bintu Jahsy radhiyallahu ‘anha dengan dua saudara perempuannya, Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha dan Zainab radhiyallahu ‘anha adalah para wanita yang tertimpa istihadhah. Untuk itulah Hamnah pernah menghadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang kala itu tengah berada di rumah Zainab. Hamnah mengadu untuk meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalahnya, “Wahai Rasulullah, aku mengalami istihadhah dengan keluar darah yang sangat banyak dan terus-menerus. Apa yang hendak kauperintahkan padaku berkenaan dengan itu, karena aku telah terhalang melakukan puasa dan menunaikan shalat.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan jawaban kepadanya, “Sesungguhnya itu termasuk gangguan setan. Tentukan masa haidmu selama enam atau tujuh hari, kemudian mandilah. Apabila engkau telah suci, shalatlah selama duapuluh empat atau duapuluh tiga hari dan puasalah. Ini cukup bagimu. Lakukanlah seperti itu setiap bulan sebagaimana para wanita yang lain pada masa haid dan sucinya.”

Fatwa yang dia inginkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuahkan faidah yang terus dapat dipetik oleh kaum wanita hingga akhir zaman. Kebaikan yang begitu besar yang ada pada dirinya. Hamnah bintu Jahsy, semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhainya.

Sumber bacaan :
• Al-Ishabah, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (6/18, 7/586)
• Al-Isti’ab, karya Al-Imam Ibnu ‘Abdil Barr (4/1813)
• Ath-Thabaqatul Kubra, karya Al-Imam Ibnu Sa’d (8/241)
• Mukhtashar Siratir Rasul, karya Al-Imam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab (hal.161- 168)
• Siyar A’lamin Nubala’, karya Al-Imam Adz-Dzahabi (2/215-216)
• Tuhfatul Muhtaj, karya Al-Imam Ibnul Mulaqqin (1/235-236, 2/479-480)

Sumber: http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=435

🗞🗞🗞🗞🗞🗞🗞🗞🗞🗞

📝📡 Turut mempublikasikan
🌐 Majmu'ah Salafy Baturaja
📲 http://salafybaturaja.salafymedia.com

📟▶ Telegram http://tlgrm.me/salafybaturaja

🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷

Sepuluh Wasiat untuk Istri yang Mendambakan “Keluarga Bahagia tanpa Problema”

Sepuluh Wasiat untuk Istri yang Mendambakan “Keluarga Bahagia tanpa Problema”

Berikut ini sepuluh wasiat untuk wanita, untuk istri, untuk ibu rumah tangga dan ibunya anak-anak yang ingin menjadikan rumahnya sebagai pondok yang tenang dan tempat nan aman yang dipenuhi cinta dan kasih sayang, ketenangan dan kelembutan.

Wahai wanita mukminah!

Sepuluh wasiat ini aku persembahkan untukmu, yang dengannya engkau membuat ridla Tuhanmu, engau dapat membahagiakan suamimu dan engkau dapat menjaga tahtamu.

Wasiat Pertama: Takwa kepada Allah dan menjauhi maksiat

Bila engkau ingin kesengsaraan bersarang di rumahmu dan bertunas, maka bermaksiatlah kepada Allah!!

Sesungguhnya kemaksiatan menghancurkan negeri dan menggoncangkan kerajaan. Maka janganlah engkau goncangkan rumahmu dengan berbuat maksiat kepada Allah dan jangan engkau seperti Fulanah yang telah bermaksiat kepada Allah… Maka ia berkata dengan menyesal penuh tangis setelah dicerai oleh sang suami: “Ketaatan menyatukan kami dan maksiat menceraikan kami…”

Wahai hamba Allah… Jagalah Allah niscaya Dia akan menjagamu dan menjaga untukmu suamimu dan rumahmu. Sesungguhnya ketaatan akan mengumpulkan hati dan mempersatukannya, sedangkan kemaksiatan akan mengoyak hati dan mencerai-beraikan keutuhannya.

Karena itulah, salah seorang wanita shalihah jika mendapatkan sikap keras dan berpaling dari suaminya, ia berkata “Aku mohon ampun kepada Allah… itu terjadi karena perbuatan tanganku (kesalahanku)…”

Maka hati-hatilah wahai saudariku muslimah dari berbuat maksiat, khususnya:

- Meninggalkan shalat atau mengakhirkannya atau menunaikannya dengan cara yang tidak benar. Duduk di majlis ghibah dan namimah, berbuat riya’ dan sum’ah.

- Menjelekkan dan mengejek orang lain. Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan janganlah wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan).” (Al Hujuraat: 11)

- Keluar menuju pasar tanpa kepentingan yang sangat mendesak dan tanpa didampingi mahram. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَحَبُّ الْبِلادِ إِلَى اللهِ مَسَاجِدُهُمْ وَأَبْغَضَ الْبِلادِ إِلَى اللهِ أَسْوَاقُهُمْ

“Negeri yang paling dicintai Allah adalah masjid-masjidnya dan negeri yang paling dibenci Allah adalah pasar-pasarnya.”1

- Mendidik anak dengan pendidikan barat atau menyerahkan pendidikan anak kepada para pembantu dan pendidik-pendidik yang kafir.

- Meniru wanita-wanita kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk golongan mereka.”2

- Menyaksikan film-film porno dan mendengarkan nyanyian.

- Membaca majalah-majalah lawakan/humor.

- Membiarkan sopir dan pembantu masuk ke dalam rumah tanpa kepentingan mendesak.

- Membiarkan suami dalam kemaksiatannya.3

- Bersahabat dengan wanita-wantia fajir dan fasik. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الْمَرْءُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ

“Seseorang itu menurut agama temannya.”4

- Tabarruj (pamer kecantikan) dan sufur (membuka wajah)

Wasiat kedua: Berupaya mengenal dan memahami suami

Hendaknya seorang istri berupaya memahami suaminya. Ia tahu apa yang disukai suami maka ia berusaha memenuhinya. Dan ia tahu apa yang dibenci suami maka ia berupaya untuk menjauhinya, dengan catatan selama tidak dalam perkara maksiat kepada Allah, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al Khaliq (Allah Ta`ala). Berikut ini dengarkanlah kisah seorang istri yang bijaksana yang berupaya memahami suaminya.

Berkata sang suami kepada temannya: “Selama dua puluh tahun hidup bersama belum pernah aku melihat dari istriku perkara yang dapat membuatku marah.”

Maka berkata temannya dengan heran: “Bagaimana hal itu bisa terjadi.”

Berkata sang suami: “Pada malam pertama aku masuk menemui istriku, aku mendekat padanya dan aku hendak menggapainya dengan tanganku, maka ia berkata: ‘Jangan tergesa-gesa wahai Abu Umayyah.’ Lalu ia berkata: ‘Segala puji bagi Allah dan shalawat atas Rasulullah… Aku adalah wanita asing, aku tidak tahu tentang akhlakmu, maka terangkanlah kepadaku apa yang engkau sukai niscaya aku akan melakukannya dan apa yang engkau tidak sukai niscaya aku akan meninggalkannya.’ Kemudian ia berkata: ‘Aku ucapkan perkataaan ini dan aku mohon ampun kepada Allah untuk diriku dan dirimu.’”

Berkata sang suami kepada temannya: “Demi Allah, ia mengharuskan aku untuk berkhutbah pada kesempatan tersebut. Maka aku katakan: ‘Segala puji bagi Allah dan aku mengucapkan shalawat dan salam atas Nabi dan keluarganya. Sungguh engkau telah mengucapkan suatu kalimat yang bila engkau tetap berpegang padanya, maka itu adalah kebahagiaan untukmu dan jika engkau tinggalkan (tidak melaksanakannya) jadilah itu sebagai bukti untuk menyalahkanmu. Aku menyukai ini dan itu, dan aku benci ini dan itu. Apa yang engkau lihat dari kebaikan maka sebarkanlah dan apa yang engkau lihat dari kejelekkan tutupilah.’ Istri berkata: ‘Apakah engkau suka bila aku mengunjungi keluargaku?’ Aku menjawab: ‘Aku tidak suka kerabat istriku bosan terhadapku’ (yakni si suami tidak menginginkan istrinya sering berkunjung). Ia berkata lagi: ‘Siapa di antara tetanggamu yang engkau suka untuk masuk ke rumahmu maka aku akan izinkan ia masuk? Dan siapa yang engkau tidak sukai maka akupun tidak menyukainya?’ Aku katakan: ‘Bani Fulan adalah kaum yang shaleh dan Bani Fulan adalah kaum yang jelek.’”

Berkata sang suami kepada temannya: “Lalu aku melewati malam yang paling indah bersamanya. Dan aku hidup bersamanya selama setahun dalam keadaan tidak pernah aku melihat kecuali apa yang aku sukai. Suatu ketika di permulaan tahun, tatkala aku pulang dari tempat kerjaku, aku dapatkan ibu mertuaku ada di rumahku. Lalu ibu mertuaku berkata kepadaku: ‘Bagaimana pendapatmu tentang istrimu?’”

Aku jawab: “Ia sebaik-baik istri.”

Ibu mertuaku berkata: “Wahai Abu Umayyah.. Demi Allah, tidak ada yang dimiliki para suami di rumah-rumah mereka yang lebih jelek daripada istri penentang (lancang). Maka didiklah dan perbaikilah akhlaknya sesuai dengan kehendakmu.”

Berkata sang suami: “Maka ia tinggal bersamaku selama dua puluh tahun, belum pernah aku mengingkari perbuatannya sedikitpun kecuali sekali, itupun karena aku berbuat dhalim padanya.”5

Alangkah bahagia kehidupannya…! Demi Allah, aku tidak tahu apakah kekagumanku tertuju pada istri tersebut dan kecerdasan yang dimilikinya? Ataukah tertuju pada sang ibu dan pendidikan yang diberikan untuk putrinya? Ataukah terhadap sang suami dan hikmah yang dimilikinya? Itu adalah keutamaan Allah yang diberikannya kepada siapa yang Dia kehendaki.

Wasiat ketiga: Ketaatan yang nyata kepada suami dan bergaul dengan baik

Sesungguhnya hak suami atas istrinya itu besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَوْ كُنْتُ آمِرَا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya.”6

Hak suami yang pertama adalah ditaati dalam perkara yang bukan maksiat kepada Allah dan baik dalam bergaul dengannya serta tidak mendurhakainya. Bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِثْنَانِ لا تُجَاوِزُ صَلاتُهُمَا رُؤُوْسُهُمَا: عَبْدٌ آبَق مِنْ مَوَالِيْهِ حَتَّى يَرْجِعَ وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ

“Dua golongan yang shalatnya tidak akan melewati kepalanya, yaitu budak yang lari dari tuannya hingga ia kembali dan istri yang durhaka kepada suaminya hingga ia kembali.”7

Karena itulah Aisyah Ummul Mukminin berkata dalam memberi nasehat kepada para wanita: “Wahai sekalian wanita, seandainya kalian mengetahui hak suami-suami kalian atas diri kalian niscaya akan ada seorang wanita di antara kalian yang mengusap debu dari kedua kaki suaminya dengan pipinya.”8

Engkau termasuk sebaik-baik wanita!!

Dengan ketaatanmu kepada suamimu dan baiknya pergaulanmu terhadapnya, engkau akan menjadi sebaik-baik wanita, dengan izin Allah. Pernah ada yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wanita bagaimanakah yang terbaik?” Beliau menjawab:

اَلَّتِى تَسِرُّهُ إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيْعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلا تُخَالِفُهُ فِيْ نَفْسِهَا وَلا مَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ

“Yang menyenangkan suami ketika dipandang, taat kepada suami jika diperintah dan ia tidak menyalahi pada dirinya dan hartanya dengan yang tidak disukai suaminya.” (Isnadnya hasan)

Ketahuilah, engkau termasuk penduduk surga dengan izin Allah, jika engkau bertakwa kepada Allah dan taat kepada suamimu, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

اَلْمَرْأَةُ إِذَا صَلَّتْ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَأَحْصَنَتْ فَرْجَهَا، وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا، فَلْتَدْخُلُ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

“Bila seorang wanita shalat lima waktu, puasa pada bulan Ramadlan, menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, ia akan masuk surga dari pintu mana saja yang ia inginkan.”9

Wasiat keempat: Bersikap qana’ah (merasa cukup)

Kami menginginkan wanita muslimah ridla dengan apa yang diberikan (suami) untuknya baik itu sedikit ataupun banyak. Maka janganlah ia menuntut di luar kesanggupan suaminya atau meminta sesuatu yang tidak perlu. Dalam riwayat disebutkan “Wanita yang paling besar barakahnya.” Wahai siapa gerangan wanita itu?! Apakah dia yang menghambur-hamburkan harta menuruti selera syahwatnya dan mengenyangkan keinginannya? Ataukah dia yang biasa mengenakan pakaian termahal walau suaminya harus berhutang kepada teman-temannya untuk membayar harganya?! Sekali-kali tidak… demi Allah, namun (mereka adalah):

أَعْظَمُ النِّسَاءِ بَرَكَةٌ، أَيْسَرُّهُنَّ مُؤْنَةً

“Wanita yang paling besar barakahnya adalah yang paling ringan maharnya.”10

Renungkanlah wahai suadariku muslimah adabnya wanita salaf radliallahu ‘anhunna… Salah seorang dari mereka bila suaminya hendak keluar rumah ia mewasiatkan satu wasiat padanya. Apa wasiatnya? Ia berkata kepada sang suami: “Hati-hatilah engkau wahai suamiku dari penghasilan yang haram, karena kami bisa bersabar dari rasa lapar namun kami tidak bisa sabar dari api neraka…”

Adapun sebagian wanita kita pada hari ini apa yang mereka wasiatkan kepada suaminya jika hendak keluar rumah?! Tak perlu pertanyaan ini dijawab karena aku yakin engkau lebih tahu jawabannya dari pada diriku.

Wasiat kelima: Baik dalam mengatur urusan rumah, seperti mendidik anak-anak dan tidak menyerahkannya pada pembantu, menjaga kebersihan rumah dan menatanya dengan baik dan menyiapkan makan pada waktunya. Termasuk pengaturan yang baik adalah istri membelanjakan harta suaminya pada tempatnya (dengan baik), maka ia tidak berlebih-lebihan dalam perhiasan dan alat-alat kecantikan.

Renungkanlah semoga Allah menjagamu, kisah seorang wanita, istri seorang tukang kayu… Ia bercerita: “Jika suamiku keluar mencari kayu (mengumpulkan kayu dari gunung) aku ikut merasakan kesulitan yang ia temui dalam mencari rezki, dan aku turut merasakan hausnya yang sangat di gunung hingga hampir-hampir tenggorokanku terbakar. Maka aku persiapkan untuknya air yang dingin hingga ia dapat meminumnya jika ia datang. Aku menata dan merapikan barang-barangku (perabot rumah tangga) dan aku persiapkan hidangan makan untuknya. Kemudian aku berdiri menantinya dengan mengenakan pakaianku yang paling bagus. Ketika ia masuk ke dalam rumah, aku menyambutnya sebagaimana pengantin menyambut kekasihnya yang dicintai, dalam keadaan aku pasrahkan diriku padanya… Jika ia ingin beristirahat maka aku membantunya dan jika ia menginginkan diriku aku pun berada di antara kedua tangannya seperti anak perempuan kecil yang dimainkan oleh ayahnya.”

Wasiat keenam: Baik dalam bergaul dengan keluarga suami dan kerabat-kerabatnya, khususnya dengan ibu suami sebagai orang yang paling dekat dengannya. Wajib bagimu untuk menampakkan kecintaan kepadanya, bersikap lembut, menunjukkan rasa hormat, bersabar atas kekeliruannya dan engkau melaksanakan semua perintahnya selama tidak bermaksiat kepada Allah semampumu.

Berapa banyak rumah tangga yang masuk padanya pertikaian dan perselisihan disebabkan buruknya sikap istri terhadap ibu suaminya dan tidak adanya perhatian akan haknya. Ingatlah wahai hamba Allah, sesungguhnya yang bergadang dan memelihara pria yang sekarang menjadi suamimu adalah ibu ini, maka jagalah dia atas kesungguhannya dan hargailah apa yang telah dilakukannya. Semoga Allah menjaga dan memeliharamu. Maka adakah balasan bagi kebaikan selain kebaikan?

Wasiat ketujuh: Menyertai suami dalam perasaannya dan turut merasakan duka cita dan kesedihannya.

Jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu maka sertailah dia dalam duka cita dan kesedihannya. Aku ingin mengingatkan engkau dengan seorang wanita yang terus hidup dalam hati suaminya sampaipun ia telah meninggal dunia. Tahun-tahun yang terus berganti tidak dapat mengikis kecintaan sang suami padanya dan panjangnya masa tidak dapat menghapus kenangan bersamanya di hati suami. Bahkan ia terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah yang dihadapi. Sang suami terus mencintainya dengan kecintaan yang mendatangkan rasa cemburu dari istri yang lain, yang dinikahi sepeninggalnya. Suatu hari istri yang lain itu (yakni Aisyah radliallahu ‘anha) berkata:

مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ لِلنَّبِيِّ؟ مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ هَلَكَتْ قَبْلَ أَنْ يَتَزَوَّجَنِي، لَمَّا كُنْتُ أَسْمَعُهُ يَذْكُرُهَا

“Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal ia meninggal sebelum beliau menikahiku, mana kala aku mendengar beliau selalu menyebutnya.”11

Dalam riwayat lain:

مَا غِرْتُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ نِسَاءِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ وَمَا رَأَيْتُهَا وَلَكِنْ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُكْثِرُ ذِكْرَهَا

“Aku tidak pernah cemburu kepada seorangpun dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam banyak menyebutnya.”12

Suatu kali Aisyah berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam setelah beliau menyebut Khadijah:

كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلا خَدِيْجَةُ فَيَقُولُ لَهَا إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ

“Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita selain Khadijah?!” Maka beliau berkata kepada Aisyah: ‘Khadijah itu begini dan begini.’”13

Dalam riwayat Ahmad pada Musnadnya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “begini dan begini” (dalam hadits diatas) adalah sabda beliau:

آمَنَتْبِي حِيْنَ كَفَرَ النَّاسُ وَصَدَّقَتْنِي إِذْكَذَّبَنِي النَّاسُ رَوَاسَتْنِي بِمَالِهَا إِذْحَرَمَنِي النَّاسُ وَرَزَقَنِي اللهُ مِنْهَا الوَلَد

“Ia beriman kepadaku ketika semua orang kufur, ia membenarkan aku ketika semua orang mendustakanku, ia melapangkan aku dengan hartanya ketika semua orang meng-haramkan (menghalangi) aku dan Allah memberiku rezki berupa anak darinya.”14

Dialah Khadijah yang seorangpun tak akan lupa bagaimana ia mengokohkan hati Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan memberi dorongan kepada beliau. Dan ia menyerahkan semua yang dimilikinya di bawah pengaturan beliau dalam rangka menyampaikan agama Allah kepada seluruh alam.

Seorangpun tidak akan lupa perkataannya yang masyhur yang menjadikan Nabi merasakan tenang setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun wahyu pada kali yang pertama:

وَاللهُ لا يُخْزِيْكَ اللهُ أَبَدًا إِنَّكَ لَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَكْسِبُ الْمَعْدُوْمَ وَتُعِيْنُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ

“Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau menyambung silaturahmi, menanggung orang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.”15

Jadilah engkau wahai saudari muslimah seperi Khadijah, semoga Allah meridhainya dan meridlai kita semua.

Wasiat kedelapan: Bersyukur (berterima kasih) kepada suami atas kebaikannya dan tidak melupakan keutamaannya.

Siapa yang tidak tahu berterimakasih kepada manusia, ia tidak akan dapat bersyukur kepada Allah. Maka janganlah meniru wanita yang jika suaminya berbuat kebaikan padanya sepanjang masa (tahun), kemudian ia melihat sedikit kesalahan dari suaminya, ia berkata: “Aku sama sekali tidak melihat kebaikan darimu…” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ اَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ يَا رَسُولَ اللهِ وَلَمْ ذَلِكَ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ

“Wahai sekalian wanita bersedekahlah karena aku melihat mayoritas penduduk nereka adalah kalian.” Maka mereka (para wanita) berkata: “Ya Rasulullah kepada demikian?” Beliau menjawab: “Karena kalian banyak melaknat dan mengkufuri kebaikan suami.”16

Mengkufuri kebikan suami adalah menentang keutamaan suami dan tidak menunaikan haknya.

Wahai istri yang mulia! Rasa terima kasih pada suami dapat engkau tunjukkan dengan senyuman manis di wajahmu yang menimbulkan kesan di hatinya, hingga terasa ringan baginya kesulitan yang dijumpai dalam pekerjaannya. Atau engkau ungkapkan dengan kata-kata cinta yang memikat yang dapat menyegarkan kembali cintamu dalam hatinya. Atau memaafkan kesalahan dan kekurangannya dalam menunaikan hakmu. Namun di mana bandingan kesalahan itu dengan lautan keutamaan dan kebaikannya padamu.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لا يَنْظُرُ اللهَ إِلَى امْرَأَةٍ لا تَشْكُرُ زَوْجَهَا وَهِيَ لا تَسْتَغْنِيَ عَنْهُ

“Allah tidak akan melihat kepada istri yang tidak tahu bersyukur kepada suaminya dan ia tidak merasa cukup darinya.”17

Wasiat kesembilan: Menyimpan rahasia suami dan menutupi kekurangannya (aibnya).

Istri adalah tempat rahasia suami dan orang yang paling dekat dengannya serta paling tahu kekhususannya (yang paling pribadi dari diri suami). Bila menyebarkan rahasia merupakan sifat yang tercela untuk dilakukan oleh siapa pun maka dari sisi istri lebih besar dan lebih jelek lagi.

Sesungguhnya majelis sebagian wanita tidak luput dari membuka dan menyebarkan aib-aib suami atau sebagian rahasianya. Ini merupakan bahaya besar dan dosa yang besar. Karena itulah ketika salah seorang istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebarkan satu rahasia beliau, datang hukuman keras, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersumpah untuk tidak mendekati isti tersebut selama satu bulan penuh.

Allah Azza wa Jalla menurunkan ayat-Nya berkenaan dengan peristiwa tersebut.

وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ

“Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya suatu peristiwa. Maka tatkala si istri menceritakan peristiwa itu (kepada yang lain), dan Allah memberitahukan hal itu kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepada beliau) dan menyembunyikan sebagian yang lain.” (At Tahriim: 3)

Suatu ketika Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam mengunjungi putranya Ismail, namun beliau tidak mejumpainya. Maka beliau tanyakan kepada istri putranya, wanita itu menjawab: “Dia keluar mencari nafkah untuk kami.” Kemudian Ibrahim bertanya lagi tentang kehidupan dan keadaan mereka. Wanita itu menjawab dengan mengeluh kepada Ibrahim: “Kami adalah manusia, kami dalam kesempitan dan kesulitan.” Ibrahim ‘Alaihis Salam berkata: “Jika datang suamimu, sampaikanlah salamku padanya dan katakanlah kepadanya agar ia mengganti ambang pintunya.” Maka ketika Ismail datang, istrinya menceritakan apa yang terjadi. Mendengar hal itu, Ismail berkata: “Itu ayahku, dan ia memerintahkan aku untuk menceraikanmu. Kembalilah kepada keluargamu.” Maka Ismail menceraikan istrinya. (Riwayat Bukhari)

Ibrahim ‘Alaihis Salam memandang bahwa wanita yang membuka rahasia suaminya dan mengeluhkan suaminya dengan kesialan, tidak pantas untuk menjadi istri Nabi maka beliau memerintahkan putranya untuk menceraikan istrinya.

Oleh karena itu, wahai saudariku muslimah, simpanlah rahasia-rahasia suamimu, tutuplah aibnya dan jangan engkau tampakkan kecuali karena maslahat yang syar’i seperti mengadukan perbuatan dhalim kepada Hakim atau Mufti (ahli fatwa) atau orang yang engkau harapkan nasehatnya. Sebagimana yang dilakukan Hindun radliallahu ‘anha di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Hindun berkata: “Abu Sufyan adalah pria yang kikir, ia tidak memberiku apa yang mencukupiku dan anak-anakku. Apakah boleh aku mengambil dari hartanya tanpa izinnya?!”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ambillah yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang ma`ruf.”

Cukup bagimu wahai saudariku muslimah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَّ مِنْ شَرِ النَّاسِ عِنْدَ اللهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ أَحَدُهُمَا سِرُّ صَاحِبَهُ

“Sesungguhnya termasuk sejelek-jelek kedudukan manusia pada hari kiamat di sisi Allah adalah pria yang bersetubuh dengan istrinya dan istri yang bersetubuh dengan suaminya, kemudian salah seorang dari keduanya menyebarkan rahasia pasanannya.”18

Wasiat terakhir: Kecerdasan dan kecerdikan serta berhati-hati dari kesalahan-kesalahan.

- Termasuk kesalahan adalah: Seorang istri menceritakan dan menggambarkan kecantikan sebagian wanita yang dikenalnya kepada suaminya, padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang yang demikian itu dengan sabdanya:

لا تُبَاشِرُ مَرْأَةُ الْمَرْأَةَ فَتَنْعَتَهَا لِزَوْجِهَا كَأَنَّهُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا

“Janganlah seorang wanita bergaul dengan wanita lain lalu ia mensifatkan wanita itu kepada suaminya sehingga seakan-akan suaminya melihatnya.”19

Tahukah engkau mengapa hal itu dilarang?!

- Termasuk kesalahan adalah apa yang dilakukan sebagian besar istri ketika suaminya baru kembali dari bekerja. Belum lagi si suami duduk dengan enak, ia sudah mengingatkannya tentang kebutuhan rumah, tagihan, tunggakan-tunggakan dan uang jajan anak-anak. Dan biasanya suami tidak menolak pembicaraan seperti ini, akan tetapi seharusnyalah seorang istri memilih waktu yang tepat untuk menyampaikannya.

- Termasuk kesalahan adalah memakai pakaian yang paling bagus dan berhias dengan hiasan yang paling bagus ketika keluar rumah. Adapun di hadapan suami, tidak ada kecantikan dan tidak ada perhiasan.

Dan masih banyak lagi kesalahan lain yang menjadi batu sandungan (penghalang) bagi suami untuk menikmati kesenangan dengan istrinya. Istri yang cerdas adalah yang menjauhi semua kesalahan itu.

Footnote:

1Riwayat Muslim dalam Al-Masajid: (bab Fadlul Julus fil Mushallahu ba’dash Shubhi wa Fadlul Masajid)
2Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud, dishahihkan oleh Al Albany, lihat “Irwaul Ghalil“, no. 1269 dan “Shahihul Jami’” no. 6149
3Lihat kitab “Kaif Taksabina Zaujak?!” oleh Syaikh Ibrahim bin Shaleh Al Mahmud, hal. 13
4Riwayat Ahmad dan Tirmidzi, ia berkata: Hadits hasan gharib. Berkata Al Albany: “Hadits ini sebagaimana dikatakan oleh Tirmidzi.” Lihat takhrij “Misykatul Masabih” no. 5019
5Al Masyakil Az Zaujiyyah wa Hululuha fi Dlaw`il Kitab wa Sunnah wal Ma’ariful Haditsiyah oleh Muhammad Utsman Al Khasyat, hal. 28-29
6Riwayat Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan Al Albany, lihat “Shahihul Jami`us Shaghir” no. 5294
7Riwayat Thabrani dan Hakim dalam “Mustadrak“nya, dishahihkan Al Albany hafidhahullah sebagaimana dalam “Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah” no. 288
8Lihat kitab “Al Kabair” oleh Imam Dzahabi hal. 173, cetakan Darun Nadwah Al Jadidah
9Riwayat Ibnu Nuaim dalam “Al Hilyah“. Berkata Syaikh Al Albany: “Hadits ini memiliki penguat yang menaikkannya ke derajat hasan atau shahih.” Lihat “Misykatul Mashabih” no. 3254
10Hadits lemah, diriwayatkan Hakim dan dishahihkannya dan disepakati Dzahabi. Namun Al Albany mengisyaratkan kelemahan hadits ini. Illatnya pada Ibnu Sukhairah dan pembicaraaan tentangnya disebutkan secara panjang lebar pada tempatnya, lihatlah dalam “Silsilah Al Ahadits Ad Dlaifah” no. 1117
11Semuanya dari riwayat Bukhari dalam shahihnya kitab “Manaqibul Anshar“, bab Tazwijun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Khadijah wa Fadluha radliallahu ‘anha.
12Semuanya dari riwayat Bukhari dalam shahihnya kitab “Manaqibul Anshar“, bab Tazwijun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Khadijah wa Fadluha radliallahu ‘anha.
13Semuanya dari riwayat Bukhari dalam shahihnya kitab “Manaqibul Anshar“, bab Tazwijun Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Khadijah wa Fadluha radliallahu ‘anha.
14Diriwayatkan Ahmad dalam Musnadnya 6/118 no. 24908. Aku katakan: Al Hafidh Ibnu Hajar membawakan riwayat ini dalam “Fathul Bari“, ia berkata: “Dalam riwayat Ahmad dari hadits Masruq dari Aisyah.” Dan ia menyebutkannya, kemudian mendiamkannya. Di tempat lain (juz 7/138), ia berkata: “Diriwayatkan Ahmad dan Thabrani.” Kemudian membawakan hadits tersebut. Berkata Syaikh kami Abdullah Al Hakami hafidhahullah: “Mungkin sebab diamnya Al Hafidh rahimahullah karena dalam sanadnya ada rawi yang bernama Mujalid bin Said Al Hamdani. Dalam “At Taqrib” hal. 520, Al Hafidh berkata: “Ia tidak kuat dan berubah hapalannya pada akhir umurnya.” Al Haitsami bersikap tasahul (bermudah-mudah) dalam menghasankan hadits ini, beliau berkata dalam Al Majma’ (9/224): “Diriwayatkan Ahmad dan isnadnya hasan.”
15Muttafaq alaihi, diriwayatkan Bukhari dalam “Kitab Bad’il Wahyi” dan Muslim dalam “Kitabul Iman”
16Diriwayatkan Bukhari dalam “Kitab Al Haidl“, (bab Tarkul Haidl Ash Shaum) dan diriwayatkan Muslim dalam “Kitabul Iman” (bab Nuqshanul Iman binuqshanith Thaat)
17Diriwayatkan Nasa’i dalam “Isyratun Nisa’” dengan isnad yang shahih.
18Diriwayatkan Muslim dalam “An Nikah” (bab Tahrim Ifsya’i Sirril Mar’ah).
19Diriwayatkan Bukhari dalam “An Nikah” (bab Laa Tubasyir Al Mar’atul Mar’ah). Berkata sebagian ulama: “Hikmah dari larangan itu adalah kekhawatiran kagumnya orang yang diceritakan terhadap wanita yang sedang digambarkan, maka hatinya tergantung dengannya (menerawang membayangkannya) sehingga ia jatuh kedalam fitnah. Terkadang yang menceritakan itu adalah istrinya -sebagaimana dalam hadits dia atas- maka bisa jadi hal itu mengantarkan pada perceraiannya. Menceritakan kebagusan wanita lain kepada suami mengandung kerusakan-kerusakan yang tidak terpuji akibatnya.

(Sumber: الأسرة بلا مشاكل karya Mazin bin Abdul Karim Al Farih. Edisi Indonesia: Rumah Tangga Tanpa Problema; bab Sepuluh Wasiat untuk Istri yang Mendambakan “Keluarga Bahagia tanpa Problema“, hal. 59-82. Penerjemah: Ummu Ishâq Zulfâ bintu Husein. Editor: Abû ‘Umar ‘Ubadah. Penerbit: Pustaka Al-Haura’, cet. ke-2, Jumadits Tsani 1424H,

**********
http://walis-net.blogspot.com/2016/10/sepuluh-wasiat-untuk-istri-yang.html

Read full article at http://walis-net.blogspot.com/2016/10/sepuluh-wasiat-untuk-istri-yang_27.html

Tentang MUTALAWWIN

Salafymedia.com:
🔷🔴🔵⚫ *TALAWWUN _(MBUNGLON/MENCLA-MENCLE)_ BUKAN CIRI AHLUSSUNNAH*

Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi'i _rahimahullah_ berkata :

"... Kami tidak siap untuk menjual agama kami, dan tidak pula menjual dakwah kami, meskipun kami diberi (imbalan) seluruh Yaman. Dakwah  di sisi kami lebih mulia dari diri-diri kami, keluarga, dan harta kami. Dan kami siap makan walau dengan tanah. Kami tidak akan mengkhianati agama dan negara. Dan kami tidak akan ber _talawwun_ (mbunglon/mencla-mencle). Talawwun bukanlah ciri Ahlussunnah"

*Sumber :  Fatawa Masyayikh As-Salafiyyah*

📝[الباعث على شرح الحوادث (٥٧)].

---*****---Teks Arabic---****---

▪| قَالَ الشَّيخ العلّامة مُقْبِل بُنِّ هَادِّي الْوَادِعِيِّ -رَحِمهُ الله-:

”... لسنا مستعدين أن نبيع ديننا ،ولا نبيع دعوتنا ، ولو أعطينا اليمن كله فالدعوة عندنا اعز من أنفسنا ومن أهلينا وأموالنا ، ومستعدون أن نأكل ولو التراب ولا نخون ديننا وبلدنا ولا نتلون ؛ التلون ليس من شيمة أهل السنة“.

📝[الباعث على شرح الحوادث (٥٧)].

--------

✏ Alih Bahasa : Abdurrahman Abu Lu'lu' _hafidzahullah_
✅ Muroja'ah : Al Ustadz Syafi'i Al Idrus _hafidzahullah_

📝 *Forum Ahlussunnah Ngawi* 📚

Read full article at http://www.ittibaussalaf.com/2016/10/mutalawwin-warna-warni.html

Menyikapi Ahlul Bid'ah

BEGINILAH SEHARUSNYA SIKAP KITA TERHADAP AHLUL BID’AH
( Bandingkan Fatwa Beliau Dengan Sikap Para Asatidzah Rodja-hadahumullah-Terhadap Dedengkot Bid’ah )

 

Berkata asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah:

Tidak boleh memuliakan ahlul bid’ah dan memuji mereka, walaupun pada mereka ada sedikit kebenaran:

Karena menyanjung dan memuji mereka akan membuat bid’ah mereka tersebar. Dan (hal itu) juga menjadikan para mubtadi’ berada dalam barisan orang yang dijadikan teladan dari kalangan pengemban dakwah di tengah-tengah ummat ini. Para Salaf telah memperingatkan kita dari sikap percaya terhadap ahli bid’ah, dari memuji mereka, dan duduk bersama mereka.

Thuwailibul ‘Ilmisy Syar’i (TwIS)

Muraja’ah: al-Ustadz Abu ‘Utsman Kharisman hafizhahullah

Sumber: Muhadharah Zhahiratut Tabdi’ wat Tafsiq wat Takfir wa Dhawabituha

✅ Dinukil dari: Telegram Qanah as-Sunnah

=============================

Arabic

✍ قال الشيخ صالح الفوزان
– حفظه الله -:

[ﻻ ﻳﺠﻮﺯ ﺗﻌﻈﻴﻢ ﺍﻟﻤﺒﺘﺪﻋﺔ ﻭﺍﻟﺜﻨﺎﺀ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻭﻟﻮ ﻛﺎﻥ ﻋﻨﺪﻫﻢ ﺷﻲﺀ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﻖ :
ﻷﻥ ﻣﺪﺣﻬﻢ ﻭﺍﻟﺜﻨﺎﺀ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻳﺮﻭّﺝ ﺑﺪﻋﺘﻬﻢ ﻭﻳﺠﻌﻞ ﺍﻟﻤﺒﺘﺪﻋﺔ ﻓﻲ ﺻﻔﻮﻑ ﺍﻟﻤﻘﺘﺪﻯ
ﺑﻬﻢ ﻣﻦ ﺭﺟﺎﻻﺕ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻣﺔ
ﻭﺍﻟﺴﻠﻒ ﺣﺬّﺭﻭﻧﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺜﻘﺔ ﺑﺎﻟﻤﺒﺘﺪﻋﺔ ﻭﻣﻦ ﺍﻟﺜﻨﺎﺀ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻭ ﻣﻦ ﻣﺠﺎﻟﺴﺘﻬﻢ.]

المصدر:
ﻣﻦ ﻣﺤﺎﺿﺮﺓ ﻇﺎﻫﺮﺓ ﺍﻟﺘﺒﺪﻳﻊ ﻭﺍﻟﺘﻔﺴﻴﻖ ﻭ ﺍﻟﺘﻜﻔﻴﺮ ﻭ ﺿﻮﺍﺑطها

⚔🛡Anti Terrorist Menyajikan Bukti & Fakta Yang Nyata
Klik ➡️JOIN⬅️ Channel Telegram: http://bit.ly/tukpencarialhaq
http://tukpencarialhaq.com || http://tukpencarialhaq.wordpress.com

 

 

 

 

Read full article at http://tukpencarialhaq.com/2016/10/24/beginilah-seharusnya-sikap-kita-terhadap-ahlul-bidah/

Rabu, 26 Oktober 2016

PENDAPAT IMAM AHMAD RAHIMAHULLAH TENTANG MEMBERONTAK KEPADA PENGUASA YANG ZHALIM (Bantahan terhadap DR. Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji)

Jika mengamati metode para Quthbiyyin dan yang berjalan di atas manhaj mereka maka akan engkau dapati mereka menyamarkan dan memutarbalikkan nash-nash agar mencocoki madzhab mereka dan kebatilan mereka.

Dan diantara perkara-perkara tersebut adalah :

Bolehnya memberontak kepada Penguasa yang zhalim, sama saja apakah penguasa yang fasiq atau penguasanya seorang pelaku bid’ah selama bid’ahnya tidak dihukumi sebagai kekufuran (kafir).

Dan diantara mereka yang memasukkan syubhat dan tadlis (penipuan/pengaburan) terhadap kaum muslimin adalah seorang yang bernama DR. Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji penulis buku “Al Imamatu Al ‘Udzhma”. ¹ (Dia menggambarkan bahwasanya Ahlussunnah berbeda pendapat pada masalah ini dengan perselisihan yang kuat yang tidak mungkin untuk digabung pendapat-pendapat mereka).

Diantara bentuk tadlis dan talbisnya kepada umat dengan mengatakan :

“Menjadikan riwayat-riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah menjadi sebuah bentuk kontradiksi pada hukum memberontak kepada penguasa yang zhalim, dan mengatakan bahwa telah jelas dari Imam Ahmad membolehkan untuk mencabut ketaatan kepada penguasa yang pelaku bid’ah, dan bahwasanya beliau (Imam Ahmad) menetapkan hal yang demikian.”

Dan saya punya catatan tersendiri terhadap masalah ini :
Tentang nukilannya terhadap Imam Ahmad dengan tegas dan jelas untuk mencabut (ketaatan) dari penguasa yang mubtadi’ (ahlu/pelaku bid’ah).

Sampai nampaklah kepada kalian akan bentuk pengaburannya dan penyesatannya terhadap para pembaca, maka penulis kitab “Al Imamah Al Uzhma ‘inda Ahlissunnah” tatkala berbicara tentang madzhab Al Imam Ahmad tentang keluar memberontak terhadap para penguasa menyebutkan bahwa riwayat-riwayat darinya terdapat kontradiksi pada hukum keluar memberontak terhadap penguasa baik itu penguasa yang zhalim ataupun mubtadi’, dan bahwasanya hal tersebut sulit untuk digabungkan antara keduanya.
Diantara kontradiksi tersebut yakni apa yang telah tsabit dari Al Imam Ahmad bahwasanya beliau mengharamkan keluar memberontak terhadap penguasa yang pelaku bid’ah dan memerintahkannya untuk bersabar terhadap mereka.

Pada ucapannya (Abdullah Ad Dumaiji) : “bahkan telah jelas bahwa beliau (Imam Ahmad membolehkan) untuk mencabut (ketaatan) dari penguasa yang mubtadi’ jika mampu, dan menyebutkan bahwa Ibnu Abi Ya’la dalam akhir kitabnya (Thabaqat Al Hanabilah) menyebutkan bahwa sanadnya muttashil (tersambung) bahwa hal tersebut adalah pendapat Imam Ahmad, dia (Ad Dumaiji) mengatakan dalam kitabnya : bahwasanya Imam Ahmad berkata : ” Barangsiapa diantara mereka yang mengajak kepada suatu kebid’ahan maka jangan mengikutinya dan tidak ada kehormatan padanya, dan jika kalian mampu untuk melepaskannya (menurunkannya dari kursi penguasa,-red) maka lakukanlah.”

Maka inilah bentuk pernyataan yang jelas dari beliau (Imam Ahmad) rahimahullah bahwa jika kaum muslimin mampu untuk mencabut tampuk kekuasaan penguasa mubtadi maka hendaklah mereka lakukan.
(Catatan kaki : Kitab Al Imamah Al Uzhma hal. 539)

Maka pada perkataannya (Abdullah bin Umar Ad Dumaiji) ini terkumpul padanya beberapa kesalahan dan pengaburan.

Dan bantahannya :

1⃣ Pertama:

Perkataannya (yakni Abdullah bin Umar Ad Dumaijiy) :

“Dan disebutkan oleh Ibnu Abi Ya’la di akhir kitabnya Thabaqat Al Hanabilah”…

Dan jika engkau memperhatikan pada kitab Thabaqat Al Hanabilah oleh Ibnu Abi Ya’la rahimahullah maka engkau akan mendapati bahwa pemahaman pendapat tersebut tidak disebutkan oleh Ibnu Abi Ya’la di kitabnya tersebut, dan sesungguhnya itu adalah apa yang disandarkan oleh sang muhaqqiq yaitu Asy Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi rahimahullah seperti pada lampiran catatan terhadap kitab tersebut pada halaman 261 sedangkan pendapat yang dinukilnya tersebut dimulai dari halaman 291 (???), maka menyandarkan pendapat ini kepada Ibnu Abi Ya’la adalah sebuah angan-angan yang jelas sekali.

2⃣ Kedua :

Perkataannya (Abdullah bin Umar Ad Dumaiji) :

….”Bahkan telah jelas (pendapat Imam Ahmad) untuk mencabut ketaatan dari penguasa mubtadi.”…

Dan ucapannya :

…”disebutkan di dalamnya dengan sanad yang tersambung (bahwa hal tersebut) adalah pendapat yang dipahami oleh Al Imam Ahmad…”

Dan perkataannya :

..” dan beliau (Imam Ahmad) berkata..”

(Bantahan) ;

Maka dari semua ungkapan-ungkapan ini akan dipahami bahwasanya yang berpendapat demikian adalah Al Imam Ahmad rahimahullah, dan ini tidak benar, ini hanyalah pendapat dari Abul Fadhl Abdul Wahid bin Abdul Aziz At-Tamimi rahimahullah dan bukan pendapat/pemahaman yang dipegang oleh Al Imam Ahmad rahimahullah.

3⃣ Ketiga :

“disebutkan di dalamnya dengan sanad yang tersambung (bahwa hal tersebut) adalah pendapat yang dipahami oleh Al Imam Ahmad…”

⬆️Adalah kesalahan yang sangat nyata, (maka bagaimana bisa) Abul Fadhl menghikayatkan aqidah ini dari imam Ahmad secara langsung (???) sebagaimana yang dia sering katakan ..”Imam ahmad telah berkata…..”, padahal Abul Fadhl wafat tahun 410 H dan Imam Ahmad sebagaimana yang telah diketahui wafat pada tahun 241 H, maka jarak antara mereka adalah 169 tahun (!!!).
Maka bagaimana bisa dikatakan sanadnya tersambung (???)

4⃣ Keempat :

Dan aqidah ini yang dihikayatkan oleh Abul Fadhl At Tamimi padanya terdapat beberapa perkara yang tidak sejalan dengan apa yang diyakini oleh Al Imam Ahmad rahimahullah, dan Abul Fadhl Abdul Wahid At Tamimi ini aqidahnya lebih condong kepada Al Asyà’irah, dan antara dia dan Abu Bakr Al Baqilaniy terjalin hubungan yang erat, dan telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebuah penjelasan yang memuaskan, diantaranya beliau mengatakan :

…”dan yang paling dekat hubungannya kepada Al Asya’irah adalah At Tamimiyyun yakni Abul Hasan dan anak cucunya, dan antara Abul Hasan (catatan : nampak bahwasanya yang benar adalah Abul Fadhl) At Tamimi dan antara Al Qadhi Abu Bakr bin Al Baqilaniy terdapat hubungan persahabatan yang erat sebagaimana yang telah diketahui dan dikenal.
Oleh karena itu Al Hafidz Abu Bakr Al Baihaqi di dalam kitabnya yang beliau tulis pada Manaqib Al Imam Ahmad tatkala beliau menyebutkan i’tiqadnya menyandarkan dari apa-apa yang dinukilkannya dari perkataan Abul Fadhl Abdul Wahid bin Abil Hasan At Tamimi….”
{ Catatan pinggir : Majmu’ Fatawa 4 – 167/168 }

Maka perkara ini, yaitu (bolehnya) mencabut (ketaatan dari penguasa yang) mubtadi’ adalah perkara-perkara yang menyelisihi dari yang apa-apa dinukilkan dari Al Imam Ahmad dan murid-murid beliau sebagaimana yang engkau sebutkan tadi.

Maka dari itu telah nampak jelas bahwa tidak bolehnya menyandarkan ucapan/perkataan/pendapat Abul Fadhl Abdul Wahid At Tamimi kepada Al Imam Ahmad pada perkara ini, maka terlebih lagi dengan menjadikan hal tersebut dengan perkara yang berlawanan dengan riwayat-riwayat yang shahih dari Al Imam Ahmad!!!

Wallahu A’lam
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad dan kepada keluarganya.

شيء من العبث القطبي …. نموذج من تلبيسات الدميجي في كتابه(((الإمامة العظمى))) – المنبر الإسلامي – شبكة سحاب السلفية

http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=45483

Catatan kaki:

(1) Kitab Abdullah ad Dumaiji yang dibantah di situs Sahab As-Salafiyah ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:
http://wisatabuku.com/konsep-kepemimpinan-dalam-islam/

 

Read full article at http://tukpencarialhaq.com/2016/10/26/siapakah-doktor-abdullah-ad-dumaiji-yang-dijadikan-sandaran-fatwa-oleh-jafar-salih-untuk-menjustifikasi-bolehnya-menggerakkan-massa-berdemonstrasi-menuntut-pemerintah/

Selasa, 25 Oktober 2016

Tentang TUKANG PARKIR

HUKUM KERJA TUKANG PARKIR

PERTANYAAN

Bismillah..,
Afwan Ustadz ada yg ikhwan yg bertanya ...

Apakah Parkir HARAM,...?
soalnya yang bayar kebanyakan dari orang" China, yang Uangnya itu SUYBHAT, Halal atau Haram.

JAWABAN

InsyaAllah yang didapat petugas parkir adalah halal, selama lokasi parkirnya adalah di tempat-tempat yg mubah seperti pertokoan, pasar, dan semisalnya.

Namun jika ia menjadi petugas parkir di tempat maksiat seperti tempat karaoke, diskotek, dan semisalnya, maka itu yg tdk diperbolehkan, krn membantu kemaksiatan.

Nabi pernah menerima hadiah dari Yahudi yg banyak bermuamalah dgn riba. Shg boleh kita bermuamalah jual beli, sewa menyewa, dan semisalnya dgn orang-orang kafir

_________
Ustadz Kharisman hafizhahullah

Read full article at http://walis-net.blogspot.com/2016/10/hukum-kerja-tukang-parkir.html

Senin, 17 Oktober 2016

MEMBANTAH SYUBHAT "jika kita tidak ikut pemilu, maka orang kafir akan naik, menguasai, memimpin kita"

MEMBANTAH SYUBHAT "jika kita tidak ikut pemilu, maka orang kafir akan naik, menguasai, memimpin kita"

PERTANYAAN

Assalamu'alaikum, ustadz afwan mau tanya. Ada yang mengatakan bahwa jika kita tidak ikut pemilu, maka orang kafir akan naik, menguasai, memimpin kita. Lalu apa yang harus kita lakukan ustadz?

Baarakallahu fiik, wajazaakallahu khoyr.

JAWABAN

Waalaikumussalam warahmatullahi wabarokaatuh.

Secara asal, rakyat tidaklah dilibatkan dalam pemilihan pemimpin.

Bisa dilihat dalam sejarah Nabi dan para Sahabatnya terutama Khulafaur Rasyidin.

Pimpinan berikutnya bisa merupakan penunjukan dari pimpinan sebelumnya, ataupun dipilih oleh sekelompok kecil Ahlul Halli wal Aqdi. Rakyat jelata tidak dilibatkan. Mereka tinggal membaiat pemimpin yg telah terpilih oleh orang-orang khusus itu. Tentunya orang-orang khusus yg memilih pemimpin adalah yg terdepan dalam keilmuan dan ketaqwaan. Bahkan Ahlul Halli wa alAqdi yg menghasilkan terpilihnya Utsman bin Affan, mayoritasnya adalah orang-orang yg dijamin masuk Surga oleh Nabi. Rakyat kecil yg awam, tinggal menerima hasil. Kalau mereka semua dilibatkan, tentunya mereka akan memilih berdasarkan keawaman atau hawa nafsu mereka.

Jika kita menginginkan pemimpin yg baik, maka perbaikilah keadaan diri kita sebagai rakyatnya. Karena pemimpin adalah pemberian Allah yg bisa berupa anugerah, bisa juga berupa adzab. Tergantung keadaan rakyatnya. Jika baik, maka akan baik keadaan pemimpinnya. Jika buruk, maka akan buruk pemimpinnya. Banyaklah berdoa kepada Allah Ta'ala.

PERTANYAAN

Jazaakallahu khoyr ustadz.. afwan ustadz, jika seandainya pemimpin kita kafir, apakah boleh?

JAWABAN

Jangan berandai-andai dulu. Amalkan apa yg ada saat ini yg bisa diamalkan.

Sahabat Nabi Zaid bin Tsabit Radhiyallahu Anhu tidak suka menjawab pertanyaan yg belum terjadi.

كَانَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍإِذَا سَأَلَهُ رَجُلٌ عَنْ شَيْءٍ ، قَالَ : آللَّهِ ! كَانَ هَذَا ؟ فَإِنْ قَالَ : نَعَمْ ، تَكَلَّمَ فِيهِ ، وَإِلَّا لَمْ يَتَكَلَّمْ . 

Zaid bin Tsabit jika ditanya oleh seseorang ttg sesuatu, ia berkata: Ya Allah, apakah ini sudah terjadi? Jika orang itu berkata: Ya, maka beliau menjawabnya. Jika orang itu berkata: Belum, beliau tidak berbicara (menjawabnya) (Siyaar A'laamin Nubalaa' karya adz-Dzahabiy)

كَانَ زَيْدُ بْنُ ثَابِت ٍإِذَا سَأَلَهُ رَجُلٌ عَنْ شَيْءٍ ، قَالَ : آللَّهِ ! كَانَ هَذَا ؟ فَإِنْ قَالَ : نَعَمْ ، تَكَلَّمَ فِيهِ ، وَإِلَّا لَمْ يَتَكَلَّمْ . 

__________
Ustadz Kharisman hafizhahullah

Read full article at http://walis-net.blogspot.com/2016/10/membantah-syubhat-kita-tidak-ikut.html

Bolehkah meninggalkan amalan sunnah dalam rangka membedakan diri dari ahlu bid'ah? Apakah benar pernyataan, lebih baik wajahnya terbuka (tak pakai cadar) daripada lengan atau tumitnya yg tampak?

Bolehkah meninggalkan amalan sunnah dalam rangka membedakan diri dari ahlu bid'ah? Apakah benar pernyataan, lebih baik wajahnya terbuka (tak pakai cadar) daripada lengan atau tumitnya yg tampak?

PERTANYAAN

Assalamu'alaikim, ustadz mau bertanya.

1. Bolehkah kita meninggalkan amalan sunnah dalam rangka membedakan diri dari ahlu bid'ah, karena amalan tersebut banyak diakukan ahli bid'ah?
Contoh :

A. kita tidak ikut mengangkat tangan ketika qunut witir di pertengahan ramadhan hingga akhir ramadhan.

B. Banyak ahli bid'ah yg shalat tarawih 23 rakaat, maka kita  sesisihi dg tarawih 11 rakaat.

C. Misal ahli bid'ah dzikir bada sholat 33 x tasbih, 33 tahmid, 33 takbir, kita selisihi dg 25 tasbih, 25 tahmid, 25 takbir, 25 tahlil.

2. Apakah benar pernyataan, lebih baik wajahnya terbuka (tak pakai cadar) daripada lengan atau tumitnya yg tampak. Karena kalau wajah ada khilaf, tapi kalau tangan dan tumit tak ada khilaf (wajib tertutup).
Barakallahu fiikum..

JAWABAN

Waalaikumussalam warahmatullahi wabarokaatuh.

1) Patokan menjalankan atau meninggalkan suatu amalan adalah dalil. Jika amalan itu ada dalilnya yg shahih dan shorih (tegas) dgn pemahaman para Sahabat Nabi, maka lakukanlah. Tanpa melihat keadaan orang lain. Jika ternyata itu bid'ah, maka tinggalkanlah.

2) Patokannya bukanlah khilaf atau tidak khilaf. Amalkan sesuai dgn yg kita yakini berdasarkan hujjah yg sampai pada kita.

______
Ustadz Kharisman hafizhahullah

Read full article at http://walis-net.blogspot.com/2016/10/bolehkah-meninggalkan-amalan-sunnah.html

Masalah tahdzir terhadap person tertentu

Masalah tahdzir terhadap person tertentu

PERTANYAAN

Bismillah

Al afwu
Ada pertanyaan ikhwah yg perlu di tanyakan ke asatidzah. Jika antum berkenan mohon bantuannya utk tanyakan hal ini ke asatidzah hafidzahumullah....

Bismillah

Afwan ustadz ana bertanya & sangat membutuhkan jawaban atas pertanyaan ana dari ustadz

Baarakallahu fiykum

Tanya:

Ketika seorang ikhwah sudah tau& paham hukum haramnya gambar bernyawa, lalu kemudian dia melakukan hal itu (berfoto ria) dgn penuh kesadaran tanpa ada udzur syar'i, lalu kami sudah menasehatinya, bahkan sampai asatidzah sdh menasehatinya. Apakah ikhwah tersebut masih di golongkan sebagai salafiyyah...?

Apakah dalam menentukan seseorang itu di tahdzir harus ada tahapan seperti nasehati, tegakkan tahdzir lalu di boikot...?

Kemudian dlm masalah diatas apakah ikhwah itu bisa di boikot...?

Mohon jawabannya ustadz Baarakallahu fiykum

JAWABAN

Masalah tahdzir thd person tertentu, sebaiknya dikonsultasikan kepada asatidzah setempat yg mengenal dgn baik bagaimana sebenarnya permasalahan yg terjadi dan bagaimana sebenarnya kondisi orang tsb.

Jika setiap pihak bisa menjatuhkan vonis tahdzir pada orang tertentu sekedar dari uraian singkat, tanpa mengetahui kondisi riil sebenarnya, akan timbul fitnah yg besar di mana-mana.

_____
Ustadz Kharisman hafizhahullah

Read full article at http://walis-net.blogspot.com/2016/10/masalah-tahdzir-terhadap-person-tertentu.html

Bersedekah atas Nama Orang yang Sudah Meninggal

Bersedekah atas Nama Orang yang Sudah Meninggal

Pertanyaan Kedua dari Fatwa Nomor (501 )

Pertanyaan 2:
Apa pahala dan ganjaran kebaikan yang didapatkan oleh orang yang sudah meninggal dari sedekah yang dihadiahkan untuknya? Misalnya, apakah bersedekah atas nama orang yang sudah meninggal bisa menambah amal kebaikannya?

Jawaban 2:

Bersedekah atas nama orang yang sudah meninggal merupakan perbuatan yang disyariatkan, baik berupa harta maupun doa.

Telah diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya, Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad, dan para penulis Kitab Sunan (Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, Ibnu Majah, dll) dari Abu Hurairah radhiyallahu `anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam bersabda: Jika anak Adam meninggal dunia maka seluruh amalnya terputus kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya
(Nomor bagian 9; Halaman 26)

Secara umum hadis ini menyatakan bahwa pahala sedekah sampai kepada orang yang sudah meninggal dan Nabi tidak membedakan antara sedekah yang dilakukan karena wasiat ataupun tidak. Maka hadis ini mencakup kedua kondisi tersebut.

Bukanlah maksud dari hadis ini bahwa hanya anak yang bisa mendoakan orang yang sudah meninggal, karena banyak hadis sahih lainnya yang menjelaskan disyariatkannya berdoa untuk yang sudah meninggal, seperti juga menyalatinya, begitu juga ziarah kubur, tidak ada bedanya apakah hal itu dilakukan oleh keluarga dekat ataupun bukan.

Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari Aisyah radhiyallahu `anha dari Nabi Muhammad Shallallahu `Alaihi wa Sallam: Bahwa ada seorang lelaki berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku meninggal dunia dan tidak berwasiat. Apakah dia mendapatkan pahala jika aku bersedekah untuknya?". Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam menjawab: "Iya". .

Wabillahittaufiq, wa Shallallahu `ala Nabiyyina Muhammad wa Alihi wa Shahbihi wa Sallam.

Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa

AnggotaAnggotaWakil Ketua Komite
Abdullah bin Mani` Abdullah bin Ghadyan Abdurrazzaq `Afifi

_________
http://www.alifta.net/Fatawa/FatawaChapters.aspx?languagename=id&View=Page&PageID=3029&PageNo=1&BookID=3

Read full article at http://walis-net.blogspot.com/2016/10/bersedekah-atas-nama-orang-yang-sudah.html

Sabtu, 15 Oktober 2016

Tentang GAMBAR MAKHLUK BERNYAWA

tasfiyah.com

Shaikh Muqbil: How Is the Head to Be Cut Off from a Picture?

Question:

The ḥadīth: “The [prohibited] image is only the head, so when the head has been cut off, there is no [remaining prohibition in the] image.” So how is the cutting of the image to be done?

Answer:

The blotting out [of the picture] comes about as in the [authentic] ḥadīth: that it take the form of a tree, [that] it not be like an image of a person. So one blots it out and draws lines on it until it takes the form of a tree.

Source:
http://www.muqbel.net/fatwa.php?fatwa_id=1760

N.B.: Title mine (Trans.).

http://tasfiyah.com/shaikh-muqbil-head-cut-off-picture/

###

tasfiyah.com

Al-Albānī: Does Drawing a Line Through the Neck of a Prohibited Image Make It Permissible?

Ḥadīth 1921: “The [prohibited] picture is [really] the head, so if the head is cut off, there is no picture.”

[…H]is saying ﷺ in Abu Hurairah’s ḥadīth, “Jibrīl came to me…” [to the end of] the ḥadīth bears supporting testimony to [the authenticity of ḥadīth 1921]: in it, [Jibrīl said], “So give an order that the head of the figure in the house be cut off so that it comes to take the form of a tree….”

So this is clear regarding the [ruling that] cutting the head of a formed image–a three dimensional figure–makes it like a non-image [in permissibility].

I [Shaikh Al-Albānī] say: And this is regarding the three dimensional figure, as we mentioned; as for images printed on paper or those embroidered on cloth, it is not enough to draw a line on the neck to make it appear as if [the head] has been cut off from the body.

Rather, it is a must that the head be removed, and with that, the distinguishing features of the image are changed, and it becomes, as he ﷺ said, “like a tree in form.”

So memorize this and do not be deceived by that which has come in some of the books of Islāmic jurisprudence and by those who have taken that as a base [upon which the ruling here is made].

Silsilah Al-Aḥādīth Aṣ-Ṣaḥīḥah, ḥadīth no. 1921, vol. 4, p. 554.

N.B.: Title mine (Trans.).

http://tasfiyah.com/al-albani-drawing-line-neck-prohibited-image-make-permissible/

Jumat, 14 Oktober 2016

Hukum Membangunkan Jamaah Yang Tidur Ketika Khutbah Jum’at

Pertanyaan: Sebagian orang ada yang tidur ketika khutbah Jumat berlangsung. Apakah kalau kami membangunkan mereka, kami termasuk orang yang berbuat sia-sia sehingga tidak mendapatkan keutamaan shalat Jumat?

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah menjawab:

Disukai membangunkan mereka hanya dengan perbuatan saja, tanpa dengan ucapan. Karena berbicara ketika khutbah berlangsung itu tidak diperbolehkan, berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam,

إذا قلت لصاحبك أنصت يوم الجمعة والإمام يخطب فقد لغوت

“Jika engkau mengatakan kepada temanmu ‘diam!’ pada hari Jumat, sementara imam sedang berkhutbah, maka sungguh engkau telah berbuat sia-sia.” (HR. Al-Bukhari)

Dari hadits tersebut, Nabi shallallahu alaihi wasallam menamakan perbuatan orang tadi sebagai sesuatu yang sia-sia, padahal orang itu bermaksud melakukan amar ma’ruf (mengajak kepada kebaikan). Hal ini menunjukkan kewajiban untuk diam dan haramnya berbicara ketika khutbah berlangsung. Wallahul Muwaffiq.

(Majmu’ Fatawa Ibn Baz)

The post Hukum Membangunkan Jamaah Yang Tidur Ketika Khutbah Jum’at appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/14/hukum-membangunkan-jamaah-tidur-ketika-khutbah-jumat/

Hukum Menjadikan Orang Kafir Sebagai Pemimpin

Pembaca yang budiman, akhir-akhir ini masyarakat banyak membicarakan tentang surat Al Maidah ayat 51, yang mana Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(kalian); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kalian mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”. (QS. Al Maidah: 51)

Asbab an Nuzul (Sebab Turunnya Ayat)

Al imam al Bagowi rahimahullah menyebutkan dalam kitanya Ma’alim at Tanzil fi Tafsir al Qur’an:
Para ulama’ berselisih pendapat tentang sebab turunnya ayat ini, meskipun hukumnya umum mencakup seluruh kaum muslimin, sebagian berkata: Ayat ini turun tentang Ubadah bin as Shamit radhiyallahu anhu dan Abdullah bin Ubai bin Salul yang sedang berselisih. Ubadah radhiyallahu anhu berkata: “Sesungguhnya aku memiliki banyak pelindung dari kaum Yahudi, kekuatan mereka pun begitu besar, tapi aku berlepas diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahualaihi wasallam dari perlindungan (penguasaan) mereka, tidak ada perlindungan bagiku kecuali perlindungan Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya shallallahualaihi wasallam”. Kemudian Abdullah bin Ubai bi Salul berkata: “Akan tetapi, aku tidak akan melepaskan perlindungan kaum Yahudi, karena aku takut tertimpa bencana sehingga aku butuh mereka”. Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam berkata: “Wahai Aba Hubbab, apa yang engkau sayangkan dari perlindungan Yahudi atas Ubadah bin Shamit maka itu untukmu bukan untuknya”. Ia berkata: “Maka akan aku terima”. Kemudian Allah turunkan ayat ini.

Berkata al Imam as Suddi rahimahullah: Ketika perang Uhud semakin dahsyat bagi sekelompok orang, dan mereka dihampiri rasa takut akan dikalahkan kaum kuffar, berkatalah seorang dari kaum muslimin: “Aku akan bergabung dengan seorang Yahudi dan meminta keamanan darinya aku khawatir Yahudi akan menguasai kita”. Berkata seorang yang lain: “Adapun aku, maka aku akan bergabung dengan seorang nasrani dari Syam, dan aku akan meminta keamanan darinya”. Maka Allah pun menurunkan ayat ini untuk melarang mereka berdua.

Tafsir

Asy Syaikh Abdurrahman bin Nasir as Sa’di rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya Taisir al Karim ar Rahman fi Tafsir Kalam al Mannan, Allah subhanahu wa ta’ala membimbing hamba-hambanya yang mukmin dengan menjelaskan kondisi kaum Yahudi dan Nashara serta sifat mereka yang buruk, untuk tidak menjadikan mereka sebagai pelindung (pemimpin). Karena sebagian mereka adalah pelindung bagi sebagian yang lain, mereka saling menolong satu sama lain, dan bersatu dalam memusuhi selain mereka. Kalian (kaum muslimin) janganlah menjadikan mereka sebagai pelindung (pemimpin) kalian, sungguh mereka adalah musuh kalian yang nyata dan mereka tidak peduli akan kesulitan kalian. Bahkan mereka tidak pernah mengendorkan semangat untuk menyesatkan kalian. Maka tidaklah ada yang menjadikan mereka sebagai pemimpin kecuali orang yang semisalnya. Karena itu lah Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (artinya), “Barangsiapa diantara kalian mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka”. Karena loyalitas yang sempurna menjadikannya pindah kepada agama mereka, dan loyalitas yang sedikit mengantar pada loyalitas yang lebih besar dan banyak, kemudian bertambah dan bertambah sampai seorang hamba mukmin menjadi (kafir) seperti mereka. “Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” .

Ibnu Katsir menyebutkan dalam kitabnya Tafsir al Qur’an al Adzim, dari Iyad rahimahullah, bahwa Umar bin al Khattab radhiyallahu anhu pernah memerintahkan Abu Musa al Atsari radhiyallahu anhu untuk melaporkan apa yang diambil dan apa yang diberikannya (yaitu pemasukan dan pengeluarannya) dalam suatu catatan lengkap. Pada  waktu itu sekertaris Abu Musa al Atsari radhiyallahu anhu adalah seorang nasrani. Kemudian laporan itupun sampai kepada Umar radhiyallahu anhu, ia pun heran dengan hal tersebut, lalu berkata “Orang ini benar-benar pandai, apakah kamu bisa membacakan sebuah catatan kepada kami di masjid yang datang dari Syam? lalu Abu Musa berkata “Sesungguhnya dia tidak bisa masuk masjid”. Umar bertanya “Apakah dia sedang junub?”. Abu Musa menjawab “Tidak, tapi dia seorang nasrani”. Maka Umar bin al Khattab membentakku dan memukul pahaku, lalu berkata “Pecatlah dia!” selanjutnya membaca ayat ini (al Maidah ayat 51).

Kesimpulan

1. Penjelasan di atas sangat jelas menyebutkan bahwa tidak diperbolehkan bagi kaum muslimin untuk menjadikan orang kafir sebagai pemimpin.

2. Sikap loyal terhadap kaum kuffar sedikit demi sedikit akan mengantarkan ia menjadi seperti mereka, hal ini sebagaimana yang hadits Nabi shallallahualaihi wasallam (artinya), “Sesorang itu bergantung pada agama sahabatnya”.

The post Hukum Menjadikan Orang Kafir Sebagai Pemimpin appeared first on Situs Resmi Ma'had As-Salafy.

Read full article at http://mahad-assalafy.com/2016/10/13/hukum-menjadikan-orang-kafir-pemimpin/