Jika mengamati metode para Quthbiyyin dan yang berjalan di atas manhaj mereka maka akan engkau dapati mereka menyamarkan dan memutarbalikkan nash-nash agar mencocoki madzhab mereka dan kebatilan mereka.
Dan diantara perkara-perkara tersebut adalah :
Bolehnya memberontak kepada Penguasa yang zhalim, sama saja apakah penguasa yang fasiq atau penguasanya seorang pelaku bid’ah selama bid’ahnya tidak dihukumi sebagai kekufuran (kafir).
Dan diantara mereka yang memasukkan syubhat dan tadlis (penipuan/pengaburan) terhadap kaum muslimin adalah seorang yang bernama DR. Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji penulis buku “Al Imamatu Al ‘Udzhma”. ¹ (Dia menggambarkan bahwasanya Ahlussunnah berbeda pendapat pada masalah ini dengan perselisihan yang kuat yang tidak mungkin untuk digabung pendapat-pendapat mereka).
Diantara bentuk tadlis dan talbisnya kepada umat dengan mengatakan :
“Menjadikan riwayat-riwayat dari Imam Ahmad rahimahullah menjadi sebuah bentuk kontradiksi pada hukum memberontak kepada penguasa yang zhalim, dan mengatakan bahwa telah jelas dari Imam Ahmad membolehkan untuk mencabut ketaatan kepada penguasa yang pelaku bid’ah, dan bahwasanya beliau (Imam Ahmad) menetapkan hal yang demikian.”
Dan saya punya catatan tersendiri terhadap masalah ini :
Tentang nukilannya terhadap Imam Ahmad dengan tegas dan jelas untuk mencabut (ketaatan) dari penguasa yang mubtadi’ (ahlu/pelaku bid’ah).
Sampai nampaklah kepada kalian akan bentuk pengaburannya dan penyesatannya terhadap para pembaca, maka penulis kitab “Al Imamah Al Uzhma ‘inda Ahlissunnah” tatkala berbicara tentang madzhab Al Imam Ahmad tentang keluar memberontak terhadap para penguasa menyebutkan bahwa riwayat-riwayat darinya terdapat kontradiksi pada hukum keluar memberontak terhadap penguasa baik itu penguasa yang zhalim ataupun mubtadi’, dan bahwasanya hal tersebut sulit untuk digabungkan antara keduanya.
Diantara kontradiksi tersebut yakni apa yang telah tsabit dari Al Imam Ahmad bahwasanya beliau mengharamkan keluar memberontak terhadap penguasa yang pelaku bid’ah dan memerintahkannya untuk bersabar terhadap mereka.
Pada ucapannya (Abdullah Ad Dumaiji) : “bahkan telah jelas bahwa beliau (Imam Ahmad membolehkan) untuk mencabut (ketaatan) dari penguasa yang mubtadi’ jika mampu, dan menyebutkan bahwa Ibnu Abi Ya’la dalam akhir kitabnya (Thabaqat Al Hanabilah) menyebutkan bahwa sanadnya muttashil (tersambung) bahwa hal tersebut adalah pendapat Imam Ahmad, dia (Ad Dumaiji) mengatakan dalam kitabnya : bahwasanya Imam Ahmad berkata : ” Barangsiapa diantara mereka yang mengajak kepada suatu kebid’ahan maka jangan mengikutinya dan tidak ada kehormatan padanya, dan jika kalian mampu untuk melepaskannya (menurunkannya dari kursi penguasa,-red) maka lakukanlah.”
Maka inilah bentuk pernyataan yang jelas dari beliau (Imam Ahmad) rahimahullah bahwa jika kaum muslimin mampu untuk mencabut tampuk kekuasaan penguasa mubtadi maka hendaklah mereka lakukan.
(Catatan kaki : Kitab Al Imamah Al Uzhma hal. 539)
Maka pada perkataannya (Abdullah bin Umar Ad Dumaiji) ini terkumpul padanya beberapa kesalahan dan pengaburan.
Dan bantahannya :
1⃣ Pertama:
Perkataannya (yakni Abdullah bin Umar Ad Dumaijiy) :
“Dan disebutkan oleh Ibnu Abi Ya’la di akhir kitabnya Thabaqat Al Hanabilah”…
Dan jika engkau memperhatikan pada kitab Thabaqat Al Hanabilah oleh Ibnu Abi Ya’la rahimahullah maka engkau akan mendapati bahwa pemahaman pendapat tersebut tidak disebutkan oleh Ibnu Abi Ya’la di kitabnya tersebut, dan sesungguhnya itu adalah apa yang disandarkan oleh sang muhaqqiq yaitu Asy Syaikh Muhammad Hamid Al Faqi rahimahullah seperti pada lampiran catatan terhadap kitab tersebut pada halaman 261 sedangkan pendapat yang dinukilnya tersebut dimulai dari halaman 291 (???), maka menyandarkan pendapat ini kepada Ibnu Abi Ya’la adalah sebuah angan-angan yang jelas sekali.
2⃣ Kedua :
Perkataannya (Abdullah bin Umar Ad Dumaiji) :
….”Bahkan telah jelas (pendapat Imam Ahmad) untuk mencabut ketaatan dari penguasa mubtadi.”…
Dan ucapannya :
…”disebutkan di dalamnya dengan sanad yang tersambung (bahwa hal tersebut) adalah pendapat yang dipahami oleh Al Imam Ahmad…”
Dan perkataannya :
..” dan beliau (Imam Ahmad) berkata..”
(Bantahan) ;
Maka dari semua ungkapan-ungkapan ini akan dipahami bahwasanya yang berpendapat demikian adalah Al Imam Ahmad rahimahullah, dan ini tidak benar, ini hanyalah pendapat dari Abul Fadhl Abdul Wahid bin Abdul Aziz At-Tamimi rahimahullah dan bukan pendapat/pemahaman yang dipegang oleh Al Imam Ahmad rahimahullah.
3⃣ Ketiga :
“disebutkan di dalamnya dengan sanad yang tersambung (bahwa hal tersebut) adalah pendapat yang dipahami oleh Al Imam Ahmad…”
⬆️Adalah kesalahan yang sangat nyata, (maka bagaimana bisa) Abul Fadhl menghikayatkan aqidah ini dari imam Ahmad secara langsung (???) sebagaimana yang dia sering katakan ..”Imam ahmad telah berkata…..”, padahal Abul Fadhl wafat tahun 410 H dan Imam Ahmad sebagaimana yang telah diketahui wafat pada tahun 241 H, maka jarak antara mereka adalah 169 tahun (!!!).
Maka bagaimana bisa dikatakan sanadnya tersambung (???)
4⃣ Keempat :
Dan aqidah ini yang dihikayatkan oleh Abul Fadhl At Tamimi padanya terdapat beberapa perkara yang tidak sejalan dengan apa yang diyakini oleh Al Imam Ahmad rahimahullah, dan Abul Fadhl Abdul Wahid At Tamimi ini aqidahnya lebih condong kepada Al Asyà’irah, dan antara dia dan Abu Bakr Al Baqilaniy terjalin hubungan yang erat, dan telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah sebuah penjelasan yang memuaskan, diantaranya beliau mengatakan :
…”dan yang paling dekat hubungannya kepada Al Asya’irah adalah At Tamimiyyun yakni Abul Hasan dan anak cucunya, dan antara Abul Hasan (catatan : nampak bahwasanya yang benar adalah Abul Fadhl) At Tamimi dan antara Al Qadhi Abu Bakr bin Al Baqilaniy terdapat hubungan persahabatan yang erat sebagaimana yang telah diketahui dan dikenal.
Oleh karena itu Al Hafidz Abu Bakr Al Baihaqi di dalam kitabnya yang beliau tulis pada Manaqib Al Imam Ahmad tatkala beliau menyebutkan i’tiqadnya menyandarkan dari apa-apa yang dinukilkannya dari perkataan Abul Fadhl Abdul Wahid bin Abil Hasan At Tamimi….”
{ Catatan pinggir : Majmu’ Fatawa 4 – 167/168 }
Maka perkara ini, yaitu (bolehnya) mencabut (ketaatan dari penguasa yang) mubtadi’ adalah perkara-perkara yang menyelisihi dari yang apa-apa dinukilkan dari Al Imam Ahmad dan murid-murid beliau sebagaimana yang engkau sebutkan tadi.
Maka dari itu telah nampak jelas bahwa tidak bolehnya menyandarkan ucapan/perkataan/pendapat Abul Fadhl Abdul Wahid At Tamimi kepada Al Imam Ahmad pada perkara ini, maka terlebih lagi dengan menjadikan hal tersebut dengan perkara yang berlawanan dengan riwayat-riwayat yang shahih dari Al Imam Ahmad!!!
Wallahu A’lam
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad dan kepada keluarganya.
شيء من العبث القطبي …. نموذج من تلبيسات الدميجي في كتابه(((الإمامة العظمى))) – المنبر الإسلامي – شبكة سحاب السلفية
http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=45483
Catatan kaki:
(1) Kitab Abdullah ad Dumaiji yang dibantah di situs Sahab As-Salafiyah ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:
http://wisatabuku.com/konsep-kepemimpinan-dalam-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar