Cari Blog Ini

Kamis, 18 Juni 2015

Tentang SALING MENGUCAPKAN SELAMAT ATAS KEDATANGAN BULAN RAMADAN

Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah

Pertanyaan:
ما حكم استقبال رمضان والبشارة به والتهاني به من قبل الأصدقاء والرفاق؟
Apa hukum menyambut Ramadhan, serta menyampaikan kabar gembira dan mengucapkan selamat atas datangnya Ramadhan kepada karib kerabat dan teman dekat?

Jawab:
رمضان شهر عظيم، شهر مبارك يفرح به المسلمون، وكان النبي صلى الله عليه وسلم وأصحابه يفرحون به، كان النبي صلى الله عليه وسلم يبشر أصحابه بذلك، فإذا فرح به المسلمون واستبشروا به، وهنأ بعضهم بعضاً بذلك فلا حرج في ذلك كما فعله السلف الصالح؛ لأنه شهر عظيم ومبارك يفرح به، لما فيه من تكفير السيئات، وحط الخطايا والمسابقة إلى الخيرات، في أعمال صالحة أخرى
Ramadhan adalah bulan yang agung, bulan Mubarak (dibarakahi), dan kaum muslimin bergembira karenanya.
Dulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para shahabatnya juga BERGEMBIRA dengan datangnya bulan Ramadhan.
Dulu Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga menyampaikan BERITA GEMBIRA kepada para shahabatnya dengan kedatangan Ramadhan.
Jadi apabila kaum muslimin bergembira dan menyampaikan kabar gembira dengan datangnya Ramadhan, serta MENGUCAPKAN SELAMAT satu sama lain maka hal itu TIDAK mengapa, sebagaimana itu dilakukan oleh para shalafush shalih. Karena memang Ramadhan adalah bulan yang agung, mubarak, dan bergembira karenanya. Disebabkan padanya terdapat penebusan kesalahan-kesalahan, menghapus dosa-dosa, dan berlomba-lomba pada kebaikan, serta dalam amal-amal shalih lainnya.

Sumber:
www .ibnbaz .org .sa/node/18690

Majmuah Manhajul Anbiya

Tentang MENYAMBUT BULAN RAMADAN

Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz rahimahullah

Beliau mengatakan:
ولا أعلم شيئا معينا لاستقبال رمضان سوى أن يستقبله المسلم بالفرح والسرور والاغتباط وشكر الله أن بلغه رمضان
Aku tidak mengetahui ada cara tertentu untuk menyambut Ramadhan. Kecuali, bahwa seorang muslim menyambutnya dengan gembira, bahagia, dan senang, serta bersyukur kepada Allah karena telah menyampaikannya ke Ramadhan.
(Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwiah 9/15)

Majmuah Manhajul Anbiya

Tentang MELAKUKAN PUASA DI SEPARUH AKHIR BULAN SYABAN

HUKUM BERPUASA DI HARI SYAK (yang diragukan)

Mendahului Ramadhan dengan bershaum sehari atau dua hari sebelumnya dengan niat shaum Ramadhan atau dalam rangka ihtiyath (kehati-hatian) adalah termasuk LARANGAN dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berdasarkan hadits Abu Hurairah:
قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: لا تُـقَدِّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَ لاَ يَوْمَيْنِ
Artinya:
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkata: Janganlah mendahului Ramadhan dengan bershaum sehari atau dua hari (sebelumnya).” (Muttafaq ‘alaih) *)
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
“Maksudnya jangan mendahului Ramadhan dengan ash-shaum yang dikerjakan dalam rangka ihtiyath (kehati-hatian) dengan niat shaum Ramadhan, karena shaum Ramadhan berkaitan dengan ru’yah hilal sehingga tidak memberatkan diri. Sehingga barang siapa mendahului dengan bershaum sehari atau dua hari sebelumnya maka telah melecehkan hukum ini.”
Dan berdasarkan hadits ‘Ammar bin Yasir bahwa beliau berkata:
مَنْ صَامَ الْيَوْمَ الَّذِى يُشَكَّ فِيهِ فَقَدْ عَصَى أَبَا الْقَاسِمِ
Artinya:
“Barang siapa melakukan ash-shaum pada hari yang syak (diragukan padanya), maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim (yakni Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam).”
Definisi hari Syak adalah hari ketiga puluh dari bulan Sya’ban jika pada malam harinya tidak terlihat hilal karena terhalangi oleh mendung, atau kabut, dan yang semisalnya.
Pendapat ini adalah yang dipilih oleh para Imam yang tiga dan jumhur ulama’. Al-Imam Tirmidzi mengatakan:
“Larangan bershaum di hari syak adalah amalan (pendapat yang di pilih) para ulama dari kalangan shahabat dan tabiin, dan juga pendapat Sufyan Ats Tsauri, ,Ibnul Mubarak, serta Ishak.”
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, (الَّذِى يُشَكَّ فِيهِ) disampaikan dengan kata sambung (اَلَّذِي) di mana maknanya “yang”, dan tidak karena konteks ini menunjukkan adanya penekanan makna bahwa bershaum pada hari syak (diragukan) walaupun tingkat prosentase keraguannya kecil adalah merupakan penyebab besar jatuhnya seseorang pada penyelisihan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sedangkan beliau telah menetapkan berdasarkan hukum Allah sesuai kemampuan umatnya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam membatasi larangannya sehari atau dua hari sebelum Ramadhan karena kebanyakan orang melakukan shaum secara sengaja pada dua hari ini dalam rangka ihtiyath bukan karena bertepatan dengan kebiasaannya.
Adapun kalangan madzhab Asy-Syaafi’iiyah menetapkan permulaan larangan di mulai dari hari ke-16 bulan Sya’ban atau setelah pertengan bulan Sya’ban. Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah secara marfu’:
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُومُوا
Artinya:
“Apabila telah masuk pertengahan Sya’ban janganlah kalian melakukan ash-shaum.”
Berkata Al-Hafizh dalam Fathul Bari:
“Jumhur ulama menyatakan bolehnya shiyam sunnah setelah pertengahan bulan Sya’ban dan mereka mendhoifkan (menghukumi lemah) hadits di atas. Berkata Al-Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in bahwa hadits ini mungkar, sedangkan Al Baihaqi menghukumi hadits dalam masalah ini sebagai hadits dhaif (lemah) dan menyatakan bahwa dibolehkannya shiyam setelah nisfi (pertengahan) Sya’ban berdasarkan hadits yang paling shohih dari jalannya Al-Ala’. Demikian pula pendapatnya At-Thohawi.”
Jumhur Ulama membolehkan ash-shaum di bulan Sya’ban berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha:
أَنَّهَا قَالَتْ … وَلَمْ أَرَهُ صَائِمًا مِنْ شَهْرٍ قَطُّ أَكْثَرَ مِنْ صِيَامِهِ مِنْ شَعْبَانَ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ وَكَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيْلاً
Artinya:
“Berkata ‘Aisyah: …saya tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bershaum pada suatu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban, beliau pernah bershaum satu bulan penuh pada bulan Sya’ban dan hanya beberapa hari saja yang dilewati.” (Al-Bukhari dengan Fathul Baari, Kitabush Shaum, hadits no. 1970, Muslim hadits no. 1156)

Majmuah Manhajul Anbiya

*) Dalam riwayat Muslim:
لَا تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ ولا يَوْمَيْنِ إلا رَجُلٌ كان يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului ramadhan dengan berpuasa sehari dan dua hari, kecuali seseorang yang biasa berpuasa pada hari itu maka boleh baginya berpuasa.” (HR. Muslim: 1082)
Seperti seseorang yang terbiasa berpuasa senin kamis, lalu sehari atau dua hari tersebut bertepatan dengan hari senin atau kamis, maka  boleh baginya berpuasa di hari itu.

Tentang BERHUBUNGAN SEKSUAL DI SIANG HARI BULAN RAMADAN

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz رحمه الله

Pertanyaan:
رجل جامع زوجته في رمضان قبل طلوع الفجر، واستمر على هذه الحال حتى بعد طلوع الفجر، فماذا عليهما؟ جزاكم الله خيراً
Seorang pria berhubungan dengan isterinya (jima) di bulan Ramadhan sebelum terbit fajar, dan keadaan ini terus berlanjut hingga setelah terbit fajar. Apa yang wajib ia lakukan? Semoga Allah membalas kebaikan kepada anda.

Jawaban:
عليهما التوبة والكفارة وهي عتق رقبة، فإن لم يستطيعا فصيام شهرين متتابعين ستين يوماً، فإن لم يستطيعا، فإطعام ستين مسكيناً لكل مسكين نصف صاع من قوت البلد مقداره كيلو ونصف تقريباً، وعلى كل واحد منهما مع الكفارة المذكورة قضاء اليوم الذي حصل فيه الجماع. أصلح الله حالهما
Wajib bagi keduanya bertaubat dan membayar kaffarah yaitu membebaskan seorang budak.
Apabila keduanya tidak mampu maka berpuasa dua bulan berturut-berturut enam puluh hari.
Apabila tidak mampu, maka memberi makan enam puluh orang miskin. Setiap miskin mendapatkan setengah sha dari makanan pokok penduduk negeri setempat yang beratnya kurang lebih 1,5 kg. Dan bersamaan dengan kaffarah tersebut, wajib bagi tiap masing-masingnya untuk membayar qadha hari yang ia melakukan jima padanya. Semoga Allah memperbaiki keadaan kalian berdua.

Sumber:
www .binbaz .org .sa/node/536

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

###

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz رحمه الله

Pertanyaan:
ما حكم من جامع في نهار رمضان وهو صائم، وهل يجوز للمسافر إذا أفطر أن يجامع أهله؟
Apa hukum seorang yang melakukan jima di siang hari Ramadhan dalam keadaan sedang berpuasa, dan apakah musafir itu boleh mencampuri istrinya bila ia sedang berbuka (tidak berpuasa)?

Jawaban:
على من جامع في نهار رمضان وهو صائم صوماً واجباً الكفارة، أعني كفارة الظهار مع وجوب قضاء اليوم، والتوبة إلى الله سبحانه مما وقع منه. أما إن كان مسافراً أو مريضاً مرضاً يبيح له الفطر فلا كفارة عليه ولا حرج عليه، وعليه قضاء اليوم الذي جامع فيه؛ لأن المريض والمسافر يباح لهما الفطر بالجماع وغيره، كما قال الله سبحانه: فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ. وحكم المرأة في هذا الحكم حكم الرجل إن كان صومها واجباً وجبت عليها الكفارة مع القضاء، وإن كانت مسافرة أو مريضة مرضاً يشق معه الصوم فلا كفارة عليها
Orang yang melakukan jima di siang hari Ramadhan ketika sedang berpuasa wajib, maka wajib baginya membayar kaffarah yaitu kaffarah zhihar beserta kewajiban mengqadha hari di mana ia melakukan perbuatan tersebut, diiringi dengan taubat kepada Allah subhanahu wa taala atas ketergelincirannya tersebut.
Adapun bila ia seorang musafir atau dalam keadaan sakit yang diperbolehkan untuk berbuka, maka tidak ada kaffarah dan tidak ada dosa baginya. Ia hanya wajib mengqadha hari di mana ia melakukan jima padanya. Karena seorang yang sakit dan musafir, boleh baginya berbuka baik dengan melakukan jima ataupun yang lainnya. Sebagaimana firman Allah subhanahu wa taala:
فمن كان منكم مريضا أو على سفر فعدة من أيام أخر
Barang siapa di antara kalian sakit atau dalam perjalanan (lalu berbuka) maka ia menggantinya di hari-hari yang lain. (surat al-Baqarah: 184)
Dan dalam hukum ini, hukum wanita sama dengan hukum laki-laki. Apabila puasanya wajib, maka wajib membayar kaffarah disertai membayar qadha (hari itu). Namun bila ia seorang musafir atau dalam keadaan sakit yang puasa itu akan memberatkannya, maka tidak ada kaffarah baginya.

Sumber:
www .binbaz .org .sa/node/540

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang WANITA MENGGUNAKAN OBAT PENCEGAH HAID AGAR BISA BERPUASA PENUH DI BULAN RAMADAN

Asy Syaikh Abdul Aziz bin Abdillah bin Baz رحمه الله

Pertanyaan:
بعض النسوة يستعملن الحبوب في شهر رمضان بدون انقطاع لكي لا يأتيهن العذر الشهري وهذا حتى لا يفطرن يوماً واحداً من شهر رمضان، هل هذا العمل صحيح؟
Sebagian wanita menggunakan obat di bulan Ramadhan tanpa henti guna mencegah datangnya udzur bulanan. Dengan ini, ia tidak akan berbuka meskipun hanya satu hari di bulan Ramadhan. Apakah perbuatan ini benar?

Jawaban:
لا أرى في هذا بأساً إذا كان لا يضرهن ذلك، ولا أعلم في ذلك حرجاً؛ لأن لهن في هذا مصلحة كبيرة في الصيام مع الناس ولعدم القضاء بعد ذلك
Saya memandang tidak ada masalah padanya selama penggunaan obat tersebut tidak membahayakan. Dan saya tidak mengetahui kalau ada masalah padanya. Karena pada hal tersebut terdapat maslahat yang besar bagi mereka dalam berpuasa bersama manusia dan tidak adanya qadha setelahnya.

Sumber:
www .binbaz .org .sa/node/455

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Forum Salafy Indonesia

Tentang BERNIAT UNTUK BERPUASA

Wajibnya Niat Ash-Shaum Ramadhan pada Malam Hari

Pembahasan tentang niat terkait dengan ibadah ash-shaum terbagi menjadi dua pembahasan:
1. Hukum niat dalam shaum wajib, baik Ramadhan maupun shaum wajib lainnya seperti: shaum qadha`, kaffarah, maupun nadzar.
2. Hukum niat dalam shaum nafilah atau tathawwu’ (sunnah).

Untuk jenis yang pertama, para ulama berijma’ bahwa niat shaum wajib dilakukan pada malam hari, berdasarkan keumuman hadits shahabat ‘Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu , bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata:
ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﺍْﻷَﻋْﻤَﺎﻝُ ﺑِﺎﻟﻨِّﻴَّﺎﺕِ ﻭَ ﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻟِﻜُﻞِّ ﺍﻣْﺮِﺉٍ ﻣَﺎ ﻧَﻮَﻯ
Artinya:
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung dengan niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya.” (HR Al-Bukhari hadits no. 1 dan Muslim hadits no.1097)

Kemudian berdasarkan hadits dari shahabat Hafshoh dan shahabat Ibnu ‘Umar dengan lafazh:
ﻣَﻦْ ﻟَﻢْ ﻳُﺒَﻴِﺖْ ﺍَﻟﺼِّﻴَﺎﻡَ ﻗَﺒْﻞَ ﺍْﻟﻔَﺠْﺮِﻓَﻼَ ﺻِﻴَﺎﻡَ ﻟَﻪُ
Artinya:
“Barang siapa yang tidak berniat ash-shaum di malam hari sebelum terbitnya fajar maka tidak ada shaum baginya.” (HR Abu Daud Kitabush Shiyaam, bab 71, hadits no. 2454, Shohih Sunan Abi Daud hadits no. 2454)
*) Hadits ini masih diperbincangkan di kalangan ‘ulama dalam hal marfu’ atau mauqufnya. Al-Imam Al-Bukhari, At-Tirmidzi, An-Nasai, Abu Daud, Abu Hatim, dan Al-Baihaqi menguatkan bahwa hadits ini adalah mauquf serta Asy-Syaikh Muqbil bin hadi Al Wadi’i dalam kitabnya Ijabatus Sa’il hal. 175 soal no. 102 menyatakan: Hadis ini adalah Muthorib sehingga tidak bisa dijadikan sebagai hujah. Sedangkan Al-Hakim, Ibnu Hazm, Abdul Haq, Ibnul Jauzi, dan As-syaukani menguatkan bahwa hadits ini adalah marfu’ serta dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al Albani dalam kitabnya Al Irwa’ jilid 4 hal. 25-30 hadist no. 914–915.

Namun para ulama’ berbeda pendapat dalam niat shaum Ramadhan: apakah cukup dilakukan di awal bulan, atau harus dilakukan pada setiap malamnya.
Ada beberapa pendapat, antara lain :
1. Jumhur ulama berpendapat wajibnya niat di setiap malam bulan Ramadhan berdasarkan dalil-dalil di atas. (Lihat Fathul Bari syarh hadits no. 1924)
Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ul Fatawa jilid 25 hal. 120, beliau berkata:
“Adapun pendapat ketiga: maka untuk shaum yang bersifat wajib tidak sah kecuali dengan berniat pada malam harinya, berdasarkan hadits Hafshoh dan Ibnu ‘Umar, karena seluruh waktu (sejak terbit fajar hingga terbenam matahari) diwajibkan shaum padanya, sementara hukum niat (untuk hari ini) tidaklah dapat mengikuti niat (untuk hari) yang telah berlalu. Sementara shaum nafilah (sunnah) maka boleh baginya berniat dimulai pada siang hari, sebagaimana ditunjukkan hadits: “Kalau begitu aku bershaum…”. Ini adalah pendapat yang paling benar, dan pendapat ini merupakan pendapat Al-Imam Asy-Syaafi’i dan Al-Imam Ahmad.”
2. Sebagian ulama yang lain yaitu Al-Imam Malik, Al-Laits, Ash-Shan’ani, dan yang lainnya berpendapat cukupnya sekali niat di awal bulan selama tidak terputus oleh ‘udzur (halangan) seperti sakit atau safar. Jika terdapat halangan yang mengharuskan dia berbuka pada salah satu hari bulan Ramadhan, maka wajib baginya untuk memperbaharui niatnya. Pendapat ini dirajihkan oleh Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ jilid 6 hal. 369.

Perhatian:
Bagi orang yang tidak mengetahui berita masuknya bulan Ramadhan kecuali pada siang hari, maka boleh baginya memulai niat shaum pada siang hari. Kondisi ini adalah kondisi yang diperkecualikan. Dalil yang
menunjukkan atas hal itu adalah hadits dari shahabat Salamah bin Al-Akwa’ radhiallahu ‘anhu:
ﺑَﻌَﺚَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺭَﺟُﻼً ﻣِﻦْ ﺃَﺳْﻠَﻢَ ﻳَﻮْﻡَ ﻋَﺎﺷُﻮﺭَﺍﺀَ، ﻓَﺄَﻣَﺮَﻩُ ﺃَﻥْ ﻳُﺆَﺫِّﻥَ ﻓِﻲ ﺍﻟﻨَّﺎﺱِ: ﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﻟَﻢْ ﻳَﺼُﻢْ ﻓَﻠْﻴَﺼُﻢْ، ﻭَﻣَﻦْ ﻛَﺎﻥَ ﺃَﻛَﻞَ ﻓَﻠْﻴُﺘِﻢَّ ﺻِﻴَﺎﻣَﻪُ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞِ
Artinya:
“Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam mengutus seseorang dari Aslam pada Hari ‘Asyura, maka beliau memerintahkannya untuk mengumumkan kepada khalayak: ‘Barangsiapa yang sebelumnya tidak bershaum maka hendaknya bershaum (mulai sekarang), barangsiapa yang sebelumnya sudah makan, maka hendaknya ia menyempurnakan shaumnya hingga malam.” (HR. Muslim 1135)

Bentuk pendalilan dari hadits di atas adalah adanya kesamaan hukum shaum ‘asyura -yang kala itu masih bersifat wajib atas kaum muslimin- dengan shaum Ramadhan. Sehingga hukum memulai niat shaum pada siang hari bagi yang belum mendengar berita tentang masuknya shaum Ramadhan adalah boleh dan sah, sebagaimana boleh dan sahnya pada shaum ‘asyura kala itu. Pendapat di atas adalah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Pendapat Syaikhul Islam di atas, diikuti pula oleh Ibnul Qayyim dalam Tahdzibus Sunan dan Zadul Ma’ad dan Asy-Syaukani dalam Nailul Authar. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Ash-Shahihah.
Jika telah diketahui hukum di atas, perlu diketahui bahwa hukum tersebut juga berlaku bagi anak kecil yang baligh di siang hari Ramadhan, atau seorang gila yang sadar, dan seorang kafir yang masuk Islam pada siang hari Ramadhan. Bagi mereka semua boleh untuk memulai niat shaum Ramadhan pada siang hari, dan sah shaum mereka tanpa harus mengqadha` (mengganti) pada hari lain. (Lihat Ash-Shahihah VI/251-254; penjelasan hadits no. 2624)

Kalau ada yang mengatakan bahwa, pada peristiwa shaum ‘asyura Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan pihak-pihak yang memulai niat shaumnya pada siang hari untuk mengqadha’ pada hari lain, sebagaimana dalam hadits dari shahabat Salamah bin Al-Akwa’ yang diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Dawud dengan lafazh:
ﺃَﻥَّ ﺃَﺳْﻠَﻢَ ﺃَﺗَﺖِ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺻُﻤْﺘُﻢْ ﻳَﻮْﻣَﻜُﻢْ ﻫَﺬَﺍ؟ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ: ﻻ. ﻗَﺎﻝَ: ﻓَﺄَﺗِﻤُّﻮﺍ ﺑَﻘِﻴَّﺔَ ﻳَﻮْﻣِﻜُﻢْ ﻭَﺍﻗْﻀُﻮﻩُ. ﻗَﺎﻝَ ﺃَﺑُﻮ ﺩَﺍﻭُﺩ: ﻳَﻌْﻨِﻲ ﻳَﻮْﻡَ ﻋَﺎﺷُﻮﺭَﺍﺀَ
Artinya:
Bahwa Aslam datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Apakah kalian bershaum pada hari ini?” Para shahabat menjawab: ‘Tidak.’ Beliau bersabda: “Maka sempurnakanlah shaum pada sisa hari ini, kemudian qadha’ (pada hari lain)!”
Al-Imam Abu Dawud menerangkan: Yaitu para hari ‘Asyura. (HR. Abu Dawud 529)

Maka jawabannya adalah: Hadits dengan riwayat Abu Dawud di atas adalah hadits yang lemah. Sebagaimana ditegaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Dha’if Sunan Abi Dawud. Bahkan dalam Adh-Dha’ifah beliau menegaskan bahwa hadits di atas dengan lafazh seperti itu adalah hadits yang munkar. (Lihat Dha’if Sunan Abi Dawud no. 529, Adh-Dha’ifah no. 5199)

Sementara hukum niat pada jenis shaum yang kedua, yaitu shaum nafilah atau sunnah, tidak wajib dilakukan pada malam hari. Maksudnya, apabila seseorang memulai niat shaum sunnah pada pagi atau siang hari maka boleh dan sah shaumnya. Dalam hal ini ada beberapa dalil, di antaranya hadits dari shahabat ‘Aisyah radhiallahu ‘anha:
ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﺃُﻡِّ ﺍﻟْﻤُﺆْﻣِﻨِﻴﻦَ ﺭَﺿِﻲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻨْﻬَﺎ ﻗَﺎﻟَﺖْ: ﻗَﺎﻝَ ﻟِﻲ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠﻪِ ﺫَﺍﺕَ ﻳَﻮْﻡٍ: ﻳَﺎ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔُ، ﻫَﻞْ ﻋِﻨْﺪَﻛُﻢْ ﺷَﻲْﺀٌ؟ ﻗَﺎﻟَﺖْ: ﻓَﻘُﻠْﺖُ: ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻣَﺎ ﻋِﻨْﺪَﻧَﺎ ﺷَﻲْﺀٌ؛ ﻗَﺎﻝَ: ﻓَﺈِﻧِّﻲ ﺇﺫﻥ ﺻَﺎﺋِﻢٌ
Dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha berkata: Rasulullah bersabda kepadaku pada suatu hari: “Wahai ‘Aisyah, Apakah kamu memiliki sesuatu?” Aku menjawab: ‘Saya tidak memiliki apa-apa wahai Rasulullah.’ Beliau berkata: “Kalau begitu aku bershaum.” (HR. Muslim no. 1154)
Dalam riwayat An-Nasa`i dengan lafazh:
ﻫَﻞْ ﻋِﻨْﺪَﻛُﻢْ ﻏَﺪَﺍﺀٌ
“Apakah kamu memiliki makan siang?” (HR. An-Nasa`i 2324, Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Shahih Sunan An-Nasa`i: Hasan Shahih)

Lafazh ( ﻓَﺈِﻧِّﻲ ﺇﺫﻥ ﺻَﺎﺋِﻢٌ ) menunjukkan bahwa beliau shalallahu ‘alaihi wasallam memulai niat shaum sunnah pada siang hari. Hal ini lebih dipertegas oleh riwayat An-Nasa`i, karena makanan yang beliau minta adalah Al-Ghada` yaitu makan siang. Atas dasar itu, Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim meletakkan sebuah bab yang berjudul:
ﺑﺎﺏ ﺟﻮﺍﺯ ﺻﻮﻡ ﺍﻟﻨﺎﻓﻠﺔ ﺑﻨﻴﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﻬﺎﺭ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺰﻭﺍﻝ ﻭﺟﻮﺍﺯ ﻓﻄﺮ ﺍﻟﺼﺎﺋﻢ ﻧﻔﻼ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﻋﺬﺭ
Bab Tentang bolehnya shaum Nafilah dengan niat mulai siang hari sebelum tergelincirnya Matahari, dan bolehnya berbuka bagi orang yang bershaum nafilah tanpa ada ‘udzur.

Mungkin saja akan ada yang mengatakan bahwa sebenarnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah melakukan niat untuk bershaum sejak malam harinya, namun ketika siang hari beliau kelelahan dan merasa tidak kuat untuk melanjutkan shaum sehingga beliau bertanya kepada istrinya apakah ada makanan. Namun setelah dijawab bahwa tidak didapati makanan, maka beliau melanjutkan shaumnya.
Menjawab pernyataan di atas, Al-Imam An-Nawawi menegaskan dalam syarh Muslim dengan mengatakan bahwa penakwilan semacam di atas adalah bentuk penakwilan yang salah dan terlalu dipaksakan.

Dalam kitab Syarh Al-Iqna’ diterangkan bahwa tempat niat adalah hati, maka barang siapa yang terbetik dalam hatinya untuk bershaum di keesokan harinya maka telah berniat dan cukup makan dan minum (ketika sahur) sebagai niatnya. (Taudhiihul Ahkaam jilid 4 hal. 141)

Dengan demikian melafadzkan niat dengan lisan tidak disyari’atkan dalam Islam, baik dilakukan secara berjamaah atau furada (sendiri-sendiri). Perbuatan ini adalah bid’ah yang munkar yang sudah tersebar di kalangan kaum muslimin dan wajib untuk ditinggalkan, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak pernah melakukannya, tidak pula para Al Khulafaur Rasyidiin radhiyallahu ‘anhum.

Situs Resmi Ma'had As-Salafy