Cari Blog Ini

Senin, 06 Oktober 2014

Tentang ADU DOMBA

Rasulullah shallallahu ’alaihi wasallam bersabda ketika melewati dua kuburan:
ﺇﻧﻬﻤﺎ ﻟﻴﻌﺬﺑﺎﻥ، ﻭﻣﺎ ﻳﻌﺬﺑﺎﻥ ﻓﻲ ﻛﺒﻴﺮ، ﺃﻣﺎﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﻓﻜﺎﻥ ﻻ ﻳﺴﺘﺒﺮﺉ ﻣﻦ ﺍﻟﺒﻮﻝ، ﻭﺃﻣﺎ ﺍﻵﺧﺮ ﻳﻤﺸﻲ ﺑﺎﻟﻨﻤﻴﻤﺔ
Keduanya sedang disiksa, dan disiksa bukan dalam urusan besar (sulit ditinggalkan). Yang satu karena tidak bersih dari BAK (buang air kecil), yang satu lagi ke sana ke mari berbuat namimah.

Dalam riwayat lain beliau bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ .… ‏ ﺍﻟﻘﺘﺎﺕ ﺍﻟﻨﻤﺎﻡ
Tidak akan masuk surga orang yang suka dan selalu berbuat namimah.

Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Namimah adalah menyampaikan sebuah perkataan di antara manusia dengan tujuan mengadu domba dan merusak hubungan mereka.” (I’aanatul Mustafiid, I/363)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah Ta’ala berkata:
ﻣﻦ ﻧﻢَّ ﻟﻚَ ﻧﻢَّ ﺑِﻚَ، ﻭَﻣَﻦْ ﻧَﻘَﻞَ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﻧَﻘَﻞَ ﻋَﻨْﻚَ
“Siapa yang melakukan namimah untuk membela dirimu, maka dia juga akan melakukan namimah dengan menjadikan dirimu sebagai korban. Dan siapa yang mengabarkan keburukan orang lain kepadamu, maka dia juga akan mengabarkan tentang keburukan dirimu kepada orang lain.” (Tahdziibul Asmaa’ wal Lughaat, I/56)

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah mengatakan yang semisal ini yaitu:
ﺍﺣْﺬَﺭْ ﻣِﻤَّﻦْ ﻧَﻘَﻞَ ﺇِﻟَﻴْﻚَ ﺣَﺪَﻳْﺚَ ﻏَﻴْﺮِﻙَ، ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﺳَﻴَﻨْﻘُﻞُ ﺇِﻟَﻰ ﻏَﻴْﺮِﻙَ ﺣَﺪِﻳْﺜَﻚَ
“Waspadailah siapa saja yang menyampaikan ucapan buruk orang lain kepadamu, karena sesungguhnya dia juga akan menyampaikan ucapanmu kepada orang lain."

Tentang TAAT KEPADA PEMERINTAH

Allah Yang Maha Mulia berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan taatilah ulil amri diantara kalian.” (QS. An-Nisa’ : 59)

Diterangkan oleh Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya, bahwa makna ulil amri adalah ‘Ulama dan ‘Umara (pemerintah). Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah ketaatan mutlaq. Sedangkan ketaatan kepada pemerintah adalah ketaatan yang tidak mutlaq. Artinya, selama perintahnya itu tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka kita wajib mentaatinya.

Allah berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Di antara tafsir “tali Allah” adalah jamaah kaum muslimin dan penguasanya, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu bahwa ia berkata, “Wahai manusia, wajib atas kalian untuk taat dan tetap bersama jamaah, karena itulah tali Allah yang sangat kuat. Ketahuilah, apa yang tidak kalian sukai bersama jamaah lebih baik daripada apa yang kalian sukai bersama perpecahan.” (Asy-Syari’ah karya Al-Ajurri, hal. 23-24)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺃَﻃَﺎﻋَﻨِﻲْ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﻃَﺎﻉَ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﻣَﻦْ ﻋَﺼَﺎﻧِﻲْ ﻓَﻘَﺪْ ﻋَﺼَﻰ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻄِﻊِ ﺍﻷَﻣِﻴْﺮَ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﻃَﺎﻋَﻨِﻲْ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻌْﺺِ ﺍﻷَﻣِﻴْﺮَ ﻓَﻘَﺪْ ﻋَﺼَﺎﻧِﻲْ
“Barang siapa taat kepadaku, berarti dia telah mentaati Allah, dan barang siapa yang durhaka kepadaku berarti dia telah durhaka kepada Allah, dan barang siapa yang taat kepada pemimpin berarti dia telah taat kepadaku, dan barang siapa yang durhaka kepada pemimpin berarti dia telah durhaka kepadaku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam lafadz lain,
ﻣَﻦْ ﺃَﻃَﺎﻉَ ﺍﻷَﻣِﻴْﺮَ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﻃَﺎﻋَﻨِﻲْ ﻭَﻣَﻦْ ﻋَﺼَﺎ ﺍﻷَﻣِﻴْﺮَ ﻓَﻘَﺪْ ﻋَﺼَﺎﻧِﻲْ
“Barang siapa taat kepada penguasa, maka dia telah taat kepadaku, dan barang siapa yang durhaka kepada penguasa berarti dia telah durhaka kepadaku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang kewajiban menaati penguasa dalam hal-hal yang bukan kemaksiatan. Hikmahnya adalah menjaga persatuan dan kesatuan (umat). Sebab, perpecahan mengandung kerusakan.” (Fathul Bari 13/120)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤَﺮْﺀِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺍﻟﺴَّﻤْﻊُ ﻭَﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔُ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺃَﺣَﺐَّ ﻭَﻛَﺮِﻩَ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻥْ ﻳُﺆْﻣَﺮَ ﺑِﻤَﻌْﺼِﻴَﺔٍ، ﻓَﺈِﻥْ ﺃُﻣِﺮَ ﺑِﻤَﻌْﺼِﻴَﺔٍ ﻓَﻠَﺎ ﺳَﻤْﻊَ ﻭَﻟَﺎ ﻃَﺎﻋَﺔَ
"Wajib bagi setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada pemimpinnya) baik pada perkara yang disenangi maupun yang dibenci, kecuali kalau dia diperintah untuk berbuat maksiat. Apabila dia diperintah untuk berbuat maksiat, tidak boleh mendengar dan taat (pada perkara itu).” (Muttafaqun alaih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma‏)

Asy-Syaikh Abdus Salam Barjas rahimahullah berkata, “Hadits ini tidak memaksudkan tidak menaati pemerintah secara total ketika mereka memerintahkan kemaksiatan. Akan tetapi, yang dimaksud adalah wajib menaati pemerintah secara total selain dalam hal kemaksiatan. Ketika demikian, tidak boleh didengar dan ditaati.” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 117)

Al-Imam al-Mubarakfuri rahimahullah berkata, “Hadits ini mengandung faedah bahwa jika seorang penguasa memerintahkan sesuatu yang bersifat sunnah atau mubah, wajib ditaati.” (Tuhfatul Ahwadzi 5/365)

Dari Auf bin Malik dia berkata bahwa Rasulullah bersabda,
ﺃَﻻَ ﻣَﻦْ ﻭَﻟِﻲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺍﻝٍ ﻓَﺮَﺁَﻩُ ﻳَﺄْﺗِﻲْ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻣِﻦْ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺔِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﺎﻟْﻴَﻜْﺮَﻩُ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻳَﺄْﺗِﻲْ ﻣِﻦْ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺔِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻻَ ﻳَﻨْﺰِﻋَﻦْ ﻳَﺪًﺍ ﻣِﻦْ ﻃَﺎﻋَﺔٍ
“Ketahuilah! Bahwa barang siapa yang dipimpin oleh seorang penguasa lalu dia melihat penguasa tersebut melakukan perbuatan maksiat, maka hendaklah dia membenci perbuatan maksiat tersebut dan tidak melepaskan ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim)

Nabi kita juga telah bersabda dalam hadits dari Irbadh bin Sariyah,
ﻭَﺍﻟﺴَّﻤْﻊِ ﻭَﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔِ ﻭَﺇِﻥْ ﺗَﺄَﻣَّﺮَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻋَﺒْﺪٌ
“Dengar dan taatilah! Walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)

Dalam riwayat lain:
“Dengar dan taatilah walaupun yang dipilih sebagai penguasa kalian adalah budak dari Habasyah yang kepalanya seperti kismis (anggur kering).” (HR. Al-Bukhari 13/121 dari Anas bin Malik radhiallahu anhu)

Abu Dzar radhiallahu anhu berkata:
“Kekasihku (yakni Rasulullah shallallahu alaihi wasallam) telah mewasiatkan kepadaku agar aku mendengar dan taat, walaupun yang berkuasa adalah bekas budak yang terpotong hidungnya (cacat).” (HR. Muslim 3/467 dan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad hal. 54)

Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah menyatakan bahwa sebagian ulama berkata: “Seorang budak tidak bisa menjadi pemimpin, akan tetapi penyebutan pemimpin dari kalangan budak dalam hadits ini hanyalah sekedar permisalan walaupun tidak mungkin terjadi, sama halnya dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Siapa yang membangun masjid untuk Allah walaupun besarnya hanya seperti sarang burung maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di jannah (surga).” Dan telah diketahui bahwa ukuran sarang burung tidak mungkin dapat digunakan oleh manusia sebagai masjid, akan tetapi di sini hanya didatangkan sebagai permisalan. Dimungkinkan pula di sini Nabi shallallahu alaihi wasallam ingin mengabarkan rusaknya perkara apabila diserahkan urusan kepada selain ahlinya, sampai akhirnya kepemimpinan diserahkan kepada seorang budak (yang dia bukan ahlinya). Sehingga andaikan permisalan yang disebutkan itu terjadi, tetaplah kalian mendengar dan taat (dalam rangka menolak kemudharatan yang lebih besar walaupun) terpaksa menempuh kemudharatan yang lebih ringan di antara dua kemudharatan yang ada, dengan bersabar atas kepemimpinan seseorang yang sebenarnya tidak boleh menjadi pemimpin. Yang mana apabila membangkang kepadanya akan mengantarkan kepada fitnah yang besar.” (Syarhul Arba’in An-Nawawiyyah, hal. 75)

Diriwayatkan oleh ‘Adi bin Hatim radhiallahu anhu:
Kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang yang bertakwa, tetapi penguasa yang berbuat begini dan begitu –dia menyebutkan kejelekan-kejelekan–?” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Bertakwalah kepada Allah, dan dengarlah dan taatlah kalian kepadanya!” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, 2/494, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah)

Diriwayatkan oleh Hudzaifah radhiallahu anhu:
Aku mengatakan, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu dalam keadaan jelek kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini, dan kami berada di dalamnya. Maka apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Beliau berkata, “Ya.” Aku berkata, “Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Beliau berkata, “Ya.” Aku berkata, “Bagaimana itu?” Beliau berkata, “Akan ada setelahku penguasa-penguasa yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak bersunnah dengan sunnahku. Akan muncul di tengah mereka para lelaki yang hati-hati mereka adalah hati-hati setan dalam tubuh-tubuh manusia.” Aku berkata, “Apa yang mesti saya perbuat jika mengalami keadaan itu?” Beliau berkata, “Dengar dan taatlah pada penguasa walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas. Dengarlah dan taatilah.” (HR. Al-Bukhari 13/111, dan Muslim 3/1476)

Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Kewajiban menaati pemerintah tetap berlaku walaupun mereka berbuat jahat. Sebab, menentang (tidak menaati) mereka dalam hal yang ma’ruf (kebaikan) akan mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar dari kejahatan yang mereka lakukan. Bersabar terhadap kejahatan mereka justru mendatangkan ampunan dari segala dosa dan pahala yang berlipat dari Allah Subhanahu wata’ala.” (Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah, hlm. 368)

Salamah bin Yazid al-Ju’fi radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, "Wahai Nabi Allah! Apa pendapatmu apabila yang memimpin kami adalah para penguasa yang meminta kami memenuhi hak mereka, tetapi mereka menghalangi hak kami. Apa yang engkau perintahkan kepada kami?" Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling darinya, kemudian berulang dua atau tiga kali, sehingga al-Asy’ats bin Qais radhiyallahu ‘anhu menariknya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, "Dengar dan taatilah, hanyalah dibebankan kepada mereka segala sesuatu yang wajib mereka tunaikan dan kepada kalian segala sesuatu yang wajib kalian tunaikan.” (HR. Muslim)

Al-Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah, kejahatan penguasa tidaklah menghapuskan kewajiban (menaati mereka) yang Allah Subhanahu wata’ala wajibkan melalui lisan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kejahatannya akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan bersamanya mendapat pahala yang sempurna, insya Allah. Kerjakanlah shalat berjamaah, shalat Jum’at, dan jihad bersama mereka. Berperan sertalah bersamanya pada seluruh jenis ketaatan (yang dipimpinnya).” (Thabaqat al-Hanabilah karya al-Imam Ibnu Abi Ya’la rahimahullah 2/36, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah, hlm.14)

Al-Imam Muwaffiquddiin Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
“Termasuk Sunnah adalah mendengar dan taat kepada para pemimpin kaum muslimin dan para pemerintah mukminin, baik yang adil maupun yang jahat.” (Kitab Lum’atul I’tiqad)

Tentang SIKAP TERHADAP PEMERINTAH YANG ZHALIM

1. Bersabar

Seorang tabi’in yang bernama Zubair bin ‘Adi mendatangi Anas bin Malik. Zubair bin ‘Adi mengeluhkan kejamnya penguasa Hajjaj bin Yusuf. Maka Anas berkata kepadanya,
ﺇِﺻْﺒِﺮُﻭْﺍ ﻓَﺈِﻧَّﻪُ ﻻَ ﻳَﺄْﺗِﻲْ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺯَﻣَﺎﻥٌ ﺇِﻟَّﺎ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻱْ ﺑَﻌْﺪَﻩُ ﺷَﺮٌّ ﻣِﻨْﻪُ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻠْﻘُﻮْﺍ ﺭَﺑَّﻜُﻢْ ﺳَﻤِﻌْﺘُﻪُ ﻣِﻦْ ﻧَﺒِﻴِّﻜُﻢْ ﺻَﻞَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ
“Bersabarlah kalian. Karena sesungguhnya tidaklah datang kepada kalian suatu zaman melainkan setelahnya lebih buruk dari sebelumnya hingga kalian menemui Rabbmu (meninggal dunia). Aku telah mendengarnya dari Nabi kalian.” (HR. Bukhari)

Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
ﺇِﻧَّﻜُﻢْ ﺳَﺘَﻠَﻘَّﻮْﻥَ ﺑَﻌْﺪِﻱ ﺃَﺛَﺮَﺓً ﻓَﺎﺻْﺒِﺮُﻭﺍ ﺣَﺘَّﻰ ﺗَﻠَﻘَّﻮْﻧِﻲ ﻋَﻠﻰَ ﺍﻟْﺤَﻮْﺽِ
“Sesungguhnya kalian akan menjumpai sikap mengutamakan kepentingan pribadi, maka bersabarlah kalian sampai kalian berjumpa denganku di Al-Haudh (telaga).” (HR. Al-Bukhari no. 3508 dan Muslim no. 1845 dari sahabat Abu Yahya Usaid bin Hudhair radhiallahu anhu)

Dari Ibnu Abbas radiyallahu'anhu, dia berkata, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ فَمِيتَةٌ جَاهِلِيَّةٌ
Barang siapa melihat sesuatu yang tidak dia sukai dari penguasanya, maka bersabarlah! Karena barang siapa yang memisahkan diri dari jamaah sejengkal saja, maka ia akan mati dalam keadaan mati jahiliah.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)

2. Tidak memerangi mereka

Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺧِﻴَﺎﺭُ ﺃَﺋِﻤَّﺘِﻜُﻢْ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺗُﺤِﺒُّﻮﻧَﻬُﻢْ ﻭَﻳُﺤِﺒُّﻮﻧَﻜُﻢْ ﻭَ ﻳُﺼَﻠُّﻮﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻭَﺗُﺼَﻠُّﻮﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﻭَ ﺷِﺮَﺍ ﺭُ ﺃَ ﺋِﻤَّﺘِﻜُﻢْ ﺍﻟَّﺬِ ﻳْﻦَ ﺗُﺒْﻐِﻀُﻮ ﻧَﻬُﻢْ ﻭَ ﻳُﺒْﻐِﻀُﻮ ﻧَﻜُﻢْ ﻭَﺗَﻠْﻌَﻨُﻮﻧَﻬُﻢْ ﻭَﻳَﻠْﻌَﻨُﻮﻧَﻜُﻢْ. ﻗِﻴﻞَ: ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﺃَﻑَ ﻧُﻨَﺎﺑِﺬُﻫُﻢْ ﺑِﺎﻟﺴَّﻴْﻒِ؟ ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﻟَﺎ، ﻣَﺎ ﺃَﻗَﺎﻣُﻮﺍ ﻓِﻴﻜُﻢُ ﺍﻟﺼَّﻠَﺎﺓَ
“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah para pemimpin yang kalian cintai dan yang mencintai kalian, mereka mendoakan kebaikan bagi kalian dan kalian mendoakan kebaikan bagi mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian adalah para pemimpin yang kalian benci dan yang membenci kalian, kalian melaknati (mendoakan keburukan) bagi mereka dan mereka melaknati kalian.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bolehkah kami memerangi mereka?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Tidak, selama mereka menegakkan shalat di antara kalian.” (HR. Muslim dari Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺧَﺮَﺝَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔِ ﻭَﻓَﺎﺭَﻕَ ﺍﻟْﺠَﻤَﺎﻋَﺔَ ﻓَﻤَﺎﺕَ، ﻣَﺎﺕَ ﻣِﻴﺘَﺔً ﺟَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔً
“Barang siapa keluar dari ketaatan (terhadap pemerintah) dan memisahkan diri dari al-jamaah lalu mati, niscaya matinya dalam keadaan jahiliah (di atas kesesatan).” (HR. Muslim no. 1848, an-Nasa’i no. 4114, Ibnu Majah no. 3948, dan Ahmad 2/296, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Diriwayatkan oleh Al-Ajurri dalam kitabnya Asy-Syari’ah dengan sanadnya, bahwa ketika disampaikan kepada Al-Hasan rahimahullah tentang Khawarij (para pemberontak) yang telah muncul di Khuraibiyyah (daerah Bashrah), beliau berkata: “Kasihan mereka. Mereka melihat kemungkaran kemudian mengingkarinya, ternyata mereka terjerumus dalam kemungkaran yang lebih besar.” (Asy-Syari’ah Al-Ajurri, hal. 38)

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah, dulu apabila ada yang bertanya pada beliau, "Tidakkah kamu keluar (memberontak) untuk melakukan perubahan?" beliau menjawab: "Allah hanya akan mengubah (kondisi kita) dengan taubat, dan tidak mengubah kondisi kita dengan pedang (pemberontakan)." (Ath-Thabaqat Al-Kubra, Ibnu Sa'd, VI/176)

3. Tidak merendahkan, menghinakan, atau melecehkan mereka

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺇِﻧَّﻪُ ﻛَﺎﺋِﻦٌ ﺑَﻌْﺪِﻱ ﺳُﻠْﻄَﺎﻥٌ ﻓَﻠَﺎ ﺗُﺬِﻟُّﻮﻩُ ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﻥْ ﻳُﺬِﻟَّﻪُ ﻓَﻘَﺪْ ﺧَﻠَﻊَ ﺭِﺑْﻘَﺔَ ﺍْﻹِﺳْﻠَﺎﻡِ ﻣِﻦ ﻋﻨُﻘِﻪِ
"Sesungguhnya akan ada setelahku penguasa, maka janganlah kalian merendahkannya. Siapa yang hendak merendahkannya, sungguh ia melepas ikatan Islam dari lehernya.” (HR. Ahmad dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺃَﻛْﺮَﻡَ ﺳُﻠْﻄَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ، ﺃَﻛْﺮَﻣَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ، ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻫَﺎﻥَ ﺳُﻠْﻄَﺎﻥَ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﺃَﻫَﺎﻧَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ
“Barang siapa memuliakan penguasa (yang diberi amanat oleh) Allah Subhanahu wata’ala di dunia, niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan memuliakannya di hari kiamat. Barang siapa menghinakan penguasa (yang diberi amanat oleh) Allah Subhanahu wata’ala di dunia, niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan menghinakannya di hari kiamat.” (HR. Ahmad 5/42, 48—49, dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu, dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah 5/376)

Dalam lafadz lain,
ﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥُ ﻇِﻞُّ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻓَﻤَﻦْ ﺃَﻛْﺮَﻣَﻪُ ﺃَﻛْﺮَﻣَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﻫَﺎﻧَﻪُ ﺃَﻫَﺎﻧَﻪُ ﺍﻟﻠﻪُ
"Penguasa itu naungan Allah di muka bumi. Barangsiapa memuliakannya, Allah pun memuliakannya. Barangsiapa menghinakannya, Allah akan menghinakannya pula.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah)

Sahl bin Abdullah at-Tustari rahimahullah berkata, “Senantiasa umat manusia berada dalam kebaikan selama mereka memuliakan sulthan (pemimpinnya) dan para ulama. Karena apabila mereka memuliakan keduanya, niscaya Allah Subhanahu wata’ala akan memperbaiki urusan dunia dan akhiratnya. Apabila mereka melecehkan keduanya, niscaya mereka akan mendatangkan kerusakan urusan dunia dan akhiratnya.” (Tafsir al-Qurthubi, 5/260)

4. Tidak membenci mereka dan tidak melakukan tipu daya terhadap mereka

Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata:ٌ
ﻧَﻬَﺎﻧَﺎ ﻛُﺒَﺎﺭَﺍﺅُﻧَﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﺻْﺤَﺎﺏِ ﺭَﺳُﻮﻝِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻗَﺎﻟُﻮﺍ : ﻟَﺎ ﺗَﺴُﺒُّﻮﺍ ﺃُﻣَﺮَﺍﺀَﻛُﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻐُﺸُّﻮﻫُﻢْ ﻭَﻟَﺎ ﺗُﺒْﻐِﻀُﻮﻫُﻢْ، ﻭَﺍﺗَّﻘُﻮﺍ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﺍﺻْﺒِﺮُﻭﺍ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟْﺄَﻣْﺮَ ﻗَﺮِﻳﺐٌ
"Kalangan tua dari para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melarang kami (mencela penguasa). Mereka berkata, ‘Janganlah kalian mencela pemerintah kalian, janganlah melakukan tipu daya terhadapnya, jangan pula membencinya. Bertakwalah kalian kepada Allah dan bersabarlah, karena sesungguhnya (keputusan) urusan itu sangat dekat’.” (As-Sunnah, Ibnu Abi ‘Ashim, 2/488)

5. Membenci kemungkaran yang mereka lakukan

Dari Auf bin Malik dia berkata bahwa Rasulullah bersabda,
ﺃَﻻَ ﻣَﻦْ ﻭَﻟِﻲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺍﻝٍ ﻓَﺮَﺁَﻩُ ﻳَﺄْﺗِﻲْ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻣِﻦْ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺔِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﺎﻟْﻴَﻜْﺮَﻩُ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻳَﺄْﺗِﻲْ ﻣِﻦْ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺔِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻻَ ﻳَﻨْﺰِﻋَﻦْ ﻳَﺪًﺍ ﻣِﻦْ ﻃَﺎﻋَﺔٍ
“Ketahuilah! Bahwa barang siapa yang dipimpin oleh seorang penguasa lalu dia melihat penguasa tersebut melakukan perbuatan maksiat, maka hendaklah dia membenci perbuatan maksiat tersebut dan tidak melepaskan ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim)

6. Menasihati mereka

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺍﻟﺪِّﻳﻦُ ﺍﻟﻨَّﺼِﻴﺤَﺔُ. ﻗُﻠْﻨَﺎ: ﻟِﻤَﻦْ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﻟِﻠﻪِ ﻭَﻟِﻜِﺘَﺎﺑِﻪِ ﻭَﻟِﺮَﺳُﻮﻟِﻪِ ﻭَﻟِﺄَﺋِﻤَّﺔِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻤِﻴﻦَ ﻭَﻋَﺎﻣَّﺘِﻬِﻢْ
“Agama itu nasihat.” Kami bertanya, “Untuk siapa?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Untuk Allah Subhanahu wata’ala, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan kaum muslimin seluruhnya.” (HR. Muslim dari Tamim ad-Dari)

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ﻣَﻦْ ﺃَﺭَﺍﺩَ ﺃَﻥْ ﻳَﻨْﺼَﺢَ ﻟِﺬِﻱ ﺳُﻠْﻄَﺎﻥٍ ﻓَﻠَﺎ ﻳُﺒْﺪِﻩِ ﻋَﻠَﺎﻧِﻴَﺔً ﻭَﻟَﻜِﻦْ ﻳَﺄْﺧُﺬْ ﺑِﻴَﺪِﻩِ ﻓَﻴَﺨْﻠُﻮﺍ ﺑِﻪِ ﻓَﺈِﻥْ ﻗَﺒِﻞَ ﻣِﻨْﻪُ ﻓَﺬَﺍﻙَ ﻭَﺇِﻟَّﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻗَﺪْ ﺃَﺩَّﻯ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
"Barangsiapa hendak menasihati penguasa maka janganlah dia tampakkan nasihatnya terang-terangan. Akan tetapi ambillah tangannya dan rahasiakanlah nasihat itu. Jika dia menerimanya maka itulah yang diharapkan. Namun jika ia menolaknya, sesungguhnya kewajiban memberi nasihat telah ia tunaikan.” (Diriwayatkan Ahmad dalam Al-Musnad (3/404), Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 1096 dari sahabat ‘Iyadh bin Ghunm. Dishahihkan Al-Albani dalam Zhilal Al-Jannah)

7. Tetap mendengar dan menaati mereka (selama tidak melanggar syariat)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﺳَﺘَﻜُﻮﻥُ ﺃَﺛَﺮَﺓٌ ﻭَﺃُﻣُﻮﺭٌ ﺗُﻨْﻜِﺮُﻭﻧَﻬَﺎ. ﻗَﺎﻟُﻮﺍ: ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﻓَﻤَﺎ ﺗَﺄْﻣُﺮُﻧَﺎ؟ ﻗَﺎﻝَ : ﺗُﺆَﺩُّﻭﻥَ ﺍﻟْﺤَﻖَّ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ، ﻭَﺗَﺴْﺄَﻟُﻮﻥَ ﺍﻟﻠﻪَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﻟَﻜُﻢْ
“Akan ada perbuatan mementingkan diri sendiri (mengumpulkan harta dan tidak memedulikan kesejahteraan rakyat) pada pemerintah dan hal lain yang kalian ingkari.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami (jika mendapati kondisi tersebut)?” Beliau bersabda, “Hendaknya kalian menunaikan hak (pemerintah) yang wajib kalian tunaikan, dan mohonlah kepada Allah Subhanahu wata’ala hak kalian.” (HR. al-Bukhari no. 3603 dan Muslim no. 1843, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻳَﻜُﻮﻥُ ﺑَﻌْﺪِﻱْ ﺃَﺋِﻤَّﺔٌ، ﻻَ ﻳَﻬْﺘَﺪُﻭﻥَ ﺑِﻬُﺪَﺍﻱَ، ﻭَﻻَ ﻳَﺴْﺘَﻨُّﻮْﻥَ ﺑِﺴُﻨَّﺘِﻲْ، ﻭَﺳَﻴَﻘُﻮْﻡُ ﻓِﻴْﻬِﻢْ ﺭِﺟَﺎﻝٌ ﻗُﻠُﻮْﺑُﻬُﻢْ ﻗُﻠُﻮْﺏُ ﺍﻟﺸَّﻴَﺎﻃِﻴْﻦِ ﻓِﻲ ﺟُﺜْﻤَﺎﻥِ ﺇِﻧْﺲٍ. ﻗَﺎﻝَ ‏( ﺣُﺬَﻳْﻔَﺔُ‏) ﻗُﻠْﺖُ : ﻛَﻴْﻒَ ﺃَﺻْﻨَﻊُ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ، ﺇِﻥْ ﺃَﺩْﺭَﻛْﺖُ ﺫَﻟِﻚَ؟ ﻗَﺎﻝَ: ﺗَﺴْﻤَﻊُ ﻭَﺗُﻄِﻴﻊُ ﻟِﻠْﺄَﻣِﻴْﺮِ، ﻭَﺇِﻥْ ﺿُﺮِﺏَ ﻇَﻬْﺮُﻙَ ﻭَﺃُﺧِﺬَ ﻣَﺎﻟُﻚَ، ﻓَﺎﺳْﻤَﻊْ ﻭَﺃَﻁِ ﻉْ !
“Akan ada sepeninggalku para penguasa yang tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Akan ada pula di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan dalam jasad manusia.” Hudzaifah radhiallahu anhu berkata, “Apa yang aku perbuat bila mendapatinya?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut! Walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu dirampas, (tetap) dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim no. 1847, dari Hudzaifah ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhu)

Dari ‘Alqamah bin Wa’il al-Hadhrami, dari ayahnya, beliau berkata: Salamah bin Yazid al-Ju’fi radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, "Wahai Nabi Allah! Apa pendapatmu apabila yang memimpin kami adalah para penguasa yang meminta kami memenuhi hak mereka, tetapi mereka menghalangi hak kami. Apa yang engkau perintahkan kepada kami?" Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling darinya, kemudian berulang dua atau tiga kali, sehingga al-Asy’ats bin Qais radhiyallahu ‘anhu menariknya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, "Dengar dan taatilah, hanyalah dibebankan kepada mereka segala sesuatu yang wajib mereka tunaikan dan kepada kalian segala sesuatu yang wajib kalian tunaikan.” (HR. Muslim)

Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
ﺇِﺳْﻤَﻊْ ﻭَﺃَﻃِﻊْ ﻭَﺇِﻥْ ﺃُﺧِﺬَ ﻣَﺎﻟَﻚَ ﻭَﺿَﺮَﺏَ ﻇَﻬْﺮُﻙَ
“Dengar dan taatlah sekalipun hartamu diambil dan punggungmu dipukul.” (HR. Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤَﺮْﺀِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺍﻟﺴَّﻤْﻊُ ﻭَﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔُ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺃَﺣَﺐَّ ﻭَﻛَﺮِﻩَ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻥْ ﻳُﺆْﻣَﺮَ ﺑِﻤَﻌْﺼِﻴَﺔٍ، ﻓَﺈِﻥْ ﺃُﻣِﺮَ ﺑِﻤَﻌْﺼِﻴَﺔٍ ﻓَﻠَﺎ ﺳَﻤْﻊَ ﻭَﻟَﺎ ﻃَﺎﻋَﺔَ
“Wajib bagi setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada pemimpinnya) baik pada perkara yang disenangi maupun yang dibenci, kecuali kalau dia diperintah untuk berbuat maksiat. Apabila dia diperintah untuk berbuat maksiat, tidak boleh mendengar dan taat (pada perkara itu).” (Muttafaqun alaih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma‏)

Diriwayatkan dari Junadah bin Abu Umayyah rahimahullah, dia berkata, “Kami masuk ke rumah Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu'anhu ketika beliau dalam keadaan sakit dan kami berkata kepadanya, ‘Sampaikanlah hadits kepada kami—aslahakallah (semoga Allah Subhanahuwata'ala memperbaiki keadaanmu)—dengan hadits yang kau dengar dari Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam yang dengannya Allah Subhanahuwata'ala akan memberikan manfaat bagi kami!’ Maka ia pun berkata,
دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ  فَبَايَعَنَاَ، فَكَاَنَ فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطاَّعَةِ، فِيْ مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ، قَالَ: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرَا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ
“Rasulullah Shallallahu'alaihiwasalam memanggil kami kemudian membai’at kami. Dan di antara bai’atnya adalah agar kami bersumpah setia untuk mendengar dan taat ketika kami semangat ataupun tidak suka, ketika dalam kemudahan ataupun dalam kesusahan, ataupun ketika kami diperlakukan secara tidak adil. Dan hendaklah kami tidak merebut urusan kepemimpinan dari orang yang berhak—beliau berkata—kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian memiliki bukti di sisi Allah Subhanahuwata'ala.” (HR. al-Bukhari dalam Shahih-nya juz 13 hlm.192, cet. Maktabatur Riyadh al-Haditsah, Riyadh. HR. Muslim dalam Shahih-nya, 3/1470, cet. Daru Ihya’ut Turats al-Arabi, Beirut, cet. 1)

Dikisahkan oleh ‘Adi bin Hatim radhiallahu anhu:
Kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang yang bertakwa, tetapi penguasa yang berbuat begini dan begitu –dia menyebutkan kejelekan-kejelekan–?” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Bertakwalah kepada Allah, dan dengarlah dan taatlah kalian kepadanya!” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, 2/494 dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah hal. 494)

Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu berkata:
“Wahai manusia, wajib atas kalian untuk taat dan tetap bersama jamaah, karena itulah tali Allah yang sangat kuat. Ketahuilah! Apa yang tidak kalian sukai bersama jamaah lebih baik daripada apa yang kalian sukai bersama perpecahan.” (Asy-Syari’ah karya Al-Ajurri, hal. 23-24)

Al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Para penguasa, walaupun binatang tunggangan itu bisa menari-nari dengan mereka dan rakyat berjalan di belakang mereka karena kemaksiatan itu dianggap ringan di dalam hati mereka, syariat tetap mengharuskan kita untuk menaatinya dan melarang kita untuk memberontaknya. Kita diperintahkan untuk menepis kejahatan mereka dengan taubat dan doa. Barang siapa yang menginginkan kebaikan, maka harus berpegang teguh dengan kebenaran dan mengamalkannya serta tidak menyelisihinya.” (Adab al-Hasan al-Bashri li Ibnil Jauzi, hlm. 121)

Al-Imam Muwaffiquddiin Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
“Termasuk Sunnah adalah mendengar dan taat kepada para pemimpin kaum muslimin dan para pemerintah mukminin, baik yang adil maupun yang jahat.” (Kitab Lum’atul I’tiqad)

8. Introspeksi diri dan bertaubat dari dosa-dosa

Al-Hasan al-Bashri menceritakan bahwa Malik bin Dinar memberitakan bahwa al-Hajjaj berkata, “Ketahuilah, tatkala kalian melakukan suatu dosa yang baru, Allah Subhanahu wata’ala akan mengadakan perkara yang baru pula pada penguasa sebagai balasan.”
Sungguh telah sampai berita kepadaku bahwa ada seorang yang berkata kepada al-Hajjaj, "Sungguh engkau telah melakukan perbuatan demikian dan demikian kepada umat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam." Lantas dia menjawab, "Tentu. Hanya saja aku adalah balasan bagi penduduk Irak tatkala mereka mengada-adakan perkara yang baru dalam agama mereka dan meninggalkan sebagian syariat yang dibawa oleh Nabi mereka Shallallahu ‘alaihi wasallam."
Beliau rahimahullah juga berkata: Sungguh telah sampai kepadaku berita bahwa ada seorang yang menulis surat kepada sebagian orang-orang saleh mengadukan tentang kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh aparat negara. Kemudian dia menjawab, "Wahai saudaraku, telah sampai suratmu kepadaku yang kamu sebutkan tentang kesewenang-wenangan yang menimpamu dan sebagian aparat negara. Sudah sepantasnya orang yang telah melakukan suatu perbuatan maksiat kemudian mengingkari balasan/hukumannya dan tidaklah aku meyakini tentang perkara yang menimpamu itu kecuali kejelekan yang ditimbulkan oleh dosa-dosa. Wassalam.”
(Adab al-Hasan al-Bashri li Ibnil Jauzi, hlm. 119-120)

9. Mendoakan kebaikan dan mengharapkan kebaikan bagi mereka

Al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, “Kalau saja aku memiliki satu doa yang mustajab, maka aku tidak akan panjatkan kecuali untuk kebaikan imam (pemimpin).” Beliau rahimahullah ditanya, “Bagaimana hal itu, wahai Abu Ali?” Beliau rahimahullah menjawab, “Apabila aku panjatkan doa itu untuk diriku, kebaikannya hanya untukku. Namun, apabila aku panjatkan doa itu untuk kebaikan imam, kebaikan imam akan mengakibatkan kebaikan hamba dan negara.” (Hilyatul Auliya’, 8/91)

Abu ‘Utsman Sa’id bin Ismail rahimahullah berkata, “Nasihatilah penguasa, perbanyaklah doa kebaikan, dan bimbingan dalam ucapan, perbuatan, dan keputusan hukum baginya. Sebab, apabila mereka baik, menjadi baiklah hamba-hamba dengan sebab kebaikan mereka. Takutlah kamu untuk mendoakan kejelekan bagi mereka dengan laknat. Itu hanya akan menambah kejelekan dan musibah bagi kaum muslimin. Akan tetapi, doakan kebaikan bagi mereka, agar bertobat sehingga mereka akan meninggalkan keburukan. Akhirnya, terangkatlah musibah itu dari kaum muslimin.” (Riwayat al-Baihaqi di dalam Syu’abul Iman, 13/99)

Al-Imam al-Barbahari rahimahullah di dalam kitab Syarhus Sunnah berkata, “Apabila engkau melihat seseorang mendoakan kejelekan bagi penguasa, ketahuilah bahwa dia pengekor hawa nafsu. Apabila engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan bagi penguasa, ketahuilah bahwa dia pengikut sunnah, insya Allah."

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata:
“Wajib atas kalian untuk bersama dengan al-jamaah (jamaah kaum muslimin dan penguasanya) dan berhati-hatilah kalian dari perpecahan. Sesungguhnya setan bersama orang yang sendirian, sedangkan dari orang yang berdua dia lebih jauh. Barangsiapa yang menginginkan tengah-tengahnya (yang terbaiknya) surga maka hendaklah dia bersama jamaah. Barangsiapa yang kebaikan-kebaikannya (jamaah) menggembirakan dia dan kejelekan-kejelekannya (jamaah) menyusahkan dia, maka dia adalah seorang mukmin.” (HR. At-Tirmidzi 4/465, Al-Imam Ahmad 1/18, dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, dishahihkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunan at-Tirmidzi, Ahmad Syakir dalam Syarhul Musnad, dan Al-Albani dalam Zhilalul Jannah)