Cari Blog Ini

Senin, 06 Oktober 2014

Tentang TAAT KEPADA PEMERINTAH

Allah Yang Maha Mulia berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan taatilah ulil amri diantara kalian.” (QS. An-Nisa’ : 59)

Diterangkan oleh Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya, bahwa makna ulil amri adalah ‘Ulama dan ‘Umara (pemerintah). Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah ketaatan mutlaq. Sedangkan ketaatan kepada pemerintah adalah ketaatan yang tidak mutlaq. Artinya, selama perintahnya itu tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya, maka kita wajib mentaatinya.

Allah berfirman:
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (Ali ‘Imran: 103)
Di antara tafsir “tali Allah” adalah jamaah kaum muslimin dan penguasanya, sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud radhiallahu anhu bahwa ia berkata, “Wahai manusia, wajib atas kalian untuk taat dan tetap bersama jamaah, karena itulah tali Allah yang sangat kuat. Ketahuilah, apa yang tidak kalian sukai bersama jamaah lebih baik daripada apa yang kalian sukai bersama perpecahan.” (Asy-Syari’ah karya Al-Ajurri, hal. 23-24)

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
ﻣَﻦْ ﺃَﻃَﺎﻋَﻨِﻲْ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﻃَﺎﻉَ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﻣَﻦْ ﻋَﺼَﺎﻧِﻲْ ﻓَﻘَﺪْ ﻋَﺼَﻰ ﺍﻟﻠﻪَ ﻭَﻣَﻦْ ﻳُﻄِﻊِ ﺍﻷَﻣِﻴْﺮَ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﻃَﺎﻋَﻨِﻲْ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﻌْﺺِ ﺍﻷَﻣِﻴْﺮَ ﻓَﻘَﺪْ ﻋَﺼَﺎﻧِﻲْ
“Barang siapa taat kepadaku, berarti dia telah mentaati Allah, dan barang siapa yang durhaka kepadaku berarti dia telah durhaka kepada Allah, dan barang siapa yang taat kepada pemimpin berarti dia telah taat kepadaku, dan barang siapa yang durhaka kepada pemimpin berarti dia telah durhaka kepadaku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam lafadz lain,
ﻣَﻦْ ﺃَﻃَﺎﻉَ ﺍﻷَﻣِﻴْﺮَ ﻓَﻘَﺪْ ﺃَﻃَﺎﻋَﻨِﻲْ ﻭَﻣَﻦْ ﻋَﺼَﺎ ﺍﻷَﻣِﻴْﺮَ ﻓَﻘَﺪْ ﻋَﺼَﺎﻧِﻲْ
“Barang siapa taat kepada penguasa, maka dia telah taat kepadaku, dan barang siapa yang durhaka kepada penguasa berarti dia telah durhaka kepadaku.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata, “Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang kewajiban menaati penguasa dalam hal-hal yang bukan kemaksiatan. Hikmahnya adalah menjaga persatuan dan kesatuan (umat). Sebab, perpecahan mengandung kerusakan.” (Fathul Bari 13/120)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤَﺮْﺀِ ﺍﻟْﻤُﺴْﻠِﻢِ ﺍﻟﺴَّﻤْﻊُ ﻭَﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔُ ﻓِﻴﻤَﺎ ﺃَﺣَﺐَّ ﻭَﻛَﺮِﻩَ ﺇِﻟَّﺎ ﺃَﻥْ ﻳُﺆْﻣَﺮَ ﺑِﻤَﻌْﺼِﻴَﺔٍ، ﻓَﺈِﻥْ ﺃُﻣِﺮَ ﺑِﻤَﻌْﺼِﻴَﺔٍ ﻓَﻠَﺎ ﺳَﻤْﻊَ ﻭَﻟَﺎ ﻃَﺎﻋَﺔَ
"Wajib bagi setiap muslim untuk mendengar dan taat (kepada pemimpinnya) baik pada perkara yang disenangi maupun yang dibenci, kecuali kalau dia diperintah untuk berbuat maksiat. Apabila dia diperintah untuk berbuat maksiat, tidak boleh mendengar dan taat (pada perkara itu).” (Muttafaqun alaih dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma‏)

Asy-Syaikh Abdus Salam Barjas rahimahullah berkata, “Hadits ini tidak memaksudkan tidak menaati pemerintah secara total ketika mereka memerintahkan kemaksiatan. Akan tetapi, yang dimaksud adalah wajib menaati pemerintah secara total selain dalam hal kemaksiatan. Ketika demikian, tidak boleh didengar dan ditaati.” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 117)

Al-Imam al-Mubarakfuri rahimahullah berkata, “Hadits ini mengandung faedah bahwa jika seorang penguasa memerintahkan sesuatu yang bersifat sunnah atau mubah, wajib ditaati.” (Tuhfatul Ahwadzi 5/365)

Dari Auf bin Malik dia berkata bahwa Rasulullah bersabda,
ﺃَﻻَ ﻣَﻦْ ﻭَﻟِﻲَ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺍﻝٍ ﻓَﺮَﺁَﻩُ ﻳَﺄْﺗِﻲْ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻣِﻦْ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺔِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻓَﺎﻟْﻴَﻜْﺮَﻩُ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻳَﺄْﺗِﻲْ ﻣِﻦْ ﻣَﻌْﺼِﻴَﺔِ ﺍﻟﻠﻪِ ﻭَﻻَ ﻳَﻨْﺰِﻋَﻦْ ﻳَﺪًﺍ ﻣِﻦْ ﻃَﺎﻋَﺔٍ
“Ketahuilah! Bahwa barang siapa yang dipimpin oleh seorang penguasa lalu dia melihat penguasa tersebut melakukan perbuatan maksiat, maka hendaklah dia membenci perbuatan maksiat tersebut dan tidak melepaskan ketaatan kepadanya.” (HR. Muslim)

Nabi kita juga telah bersabda dalam hadits dari Irbadh bin Sariyah,
ﻭَﺍﻟﺴَّﻤْﻊِ ﻭَﺍﻟﻄَّﺎﻋَﺔِ ﻭَﺇِﻥْ ﺗَﺄَﻣَّﺮَ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﻋَﺒْﺪٌ
“Dengar dan taatilah! Walaupun yang memerintah kalian adalah seorang budak.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi)

Dalam riwayat lain:
“Dengar dan taatilah walaupun yang dipilih sebagai penguasa kalian adalah budak dari Habasyah yang kepalanya seperti kismis (anggur kering).” (HR. Al-Bukhari 13/121 dari Anas bin Malik radhiallahu anhu)

Abu Dzar radhiallahu anhu berkata:
“Kekasihku (yakni Rasulullah shallallahu alaihi wasallam) telah mewasiatkan kepadaku agar aku mendengar dan taat, walaupun yang berkuasa adalah bekas budak yang terpotong hidungnya (cacat).” (HR. Muslim 3/467 dan Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad hal. 54)

Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah menyatakan bahwa sebagian ulama berkata: “Seorang budak tidak bisa menjadi pemimpin, akan tetapi penyebutan pemimpin dari kalangan budak dalam hadits ini hanyalah sekedar permisalan walaupun tidak mungkin terjadi, sama halnya dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam: “Siapa yang membangun masjid untuk Allah walaupun besarnya hanya seperti sarang burung maka Allah akan membangunkan untuknya sebuah rumah di jannah (surga).” Dan telah diketahui bahwa ukuran sarang burung tidak mungkin dapat digunakan oleh manusia sebagai masjid, akan tetapi di sini hanya didatangkan sebagai permisalan. Dimungkinkan pula di sini Nabi shallallahu alaihi wasallam ingin mengabarkan rusaknya perkara apabila diserahkan urusan kepada selain ahlinya, sampai akhirnya kepemimpinan diserahkan kepada seorang budak (yang dia bukan ahlinya). Sehingga andaikan permisalan yang disebutkan itu terjadi, tetaplah kalian mendengar dan taat (dalam rangka menolak kemudharatan yang lebih besar walaupun) terpaksa menempuh kemudharatan yang lebih ringan di antara dua kemudharatan yang ada, dengan bersabar atas kepemimpinan seseorang yang sebenarnya tidak boleh menjadi pemimpin. Yang mana apabila membangkang kepadanya akan mengantarkan kepada fitnah yang besar.” (Syarhul Arba’in An-Nawawiyyah, hal. 75)

Diriwayatkan oleh ‘Adi bin Hatim radhiallahu anhu:
Kami berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya tentang ketaatan kepada orang yang bertakwa, tetapi penguasa yang berbuat begini dan begitu –dia menyebutkan kejelekan-kejelekan–?” Maka Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Bertakwalah kepada Allah, dan dengarlah dan taatlah kalian kepadanya!” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, 2/494, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah)

Diriwayatkan oleh Hudzaifah radhiallahu anhu:
Aku mengatakan, “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami dahulu dalam keadaan jelek kemudian Allah mendatangkan kebaikan ini, dan kami berada di dalamnya. Maka apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Beliau berkata, “Ya.” Aku berkata, “Apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan?” Beliau berkata, “Ya.” Aku berkata, “Bagaimana itu?” Beliau berkata, “Akan ada setelahku penguasa-penguasa yang tidak mengikuti petunjukku dan tidak bersunnah dengan sunnahku. Akan muncul di tengah mereka para lelaki yang hati-hati mereka adalah hati-hati setan dalam tubuh-tubuh manusia.” Aku berkata, “Apa yang mesti saya perbuat jika mengalami keadaan itu?” Beliau berkata, “Dengar dan taatlah pada penguasa walaupun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas. Dengarlah dan taatilah.” (HR. Al-Bukhari 13/111, dan Muslim 3/1476)

Al-Imam Ibnu Abil ‘Iz al-Hanafi rahimahullah berkata, “Kewajiban menaati pemerintah tetap berlaku walaupun mereka berbuat jahat. Sebab, menentang (tidak menaati) mereka dalam hal yang ma’ruf (kebaikan) akan mengakibatkan kerusakan yang jauh lebih besar dari kejahatan yang mereka lakukan. Bersabar terhadap kejahatan mereka justru mendatangkan ampunan dari segala dosa dan pahala yang berlipat dari Allah Subhanahu wata’ala.” (Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyah, hlm. 368)

Salamah bin Yazid al-Ju’fi radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, "Wahai Nabi Allah! Apa pendapatmu apabila yang memimpin kami adalah para penguasa yang meminta kami memenuhi hak mereka, tetapi mereka menghalangi hak kami. Apa yang engkau perintahkan kepada kami?" Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling darinya, kemudian berulang dua atau tiga kali, sehingga al-Asy’ats bin Qais radhiyallahu ‘anhu menariknya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, "Dengar dan taatilah, hanyalah dibebankan kepada mereka segala sesuatu yang wajib mereka tunaikan dan kepada kalian segala sesuatu yang wajib kalian tunaikan.” (HR. Muslim)

Al-Imam al-Barbahari rahimahullah berkata, “Ketahuilah, kejahatan penguasa tidaklah menghapuskan kewajiban (menaati mereka) yang Allah Subhanahu wata’ala wajibkan melalui lisan Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kejahatannya akan kembali kepada dirinya sendiri, sedangkan kebaikan-kebaikan yang engkau kerjakan bersamanya mendapat pahala yang sempurna, insya Allah. Kerjakanlah shalat berjamaah, shalat Jum’at, dan jihad bersama mereka. Berperan sertalah bersamanya pada seluruh jenis ketaatan (yang dipimpinnya).” (Thabaqat al-Hanabilah karya al-Imam Ibnu Abi Ya’la rahimahullah 2/36, dinukil dari Qa’idah Mukhtasharah, hlm.14)

Al-Imam Muwaffiquddiin Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
“Termasuk Sunnah adalah mendengar dan taat kepada para pemimpin kaum muslimin dan para pemerintah mukminin, baik yang adil maupun yang jahat.” (Kitab Lum’atul I’tiqad)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar