Di antara nikmat Allah yang dianugerahkan kepada kita adalah sarana transportasi/kendaraan. Dengan sarana transportasi ini kita menjadi mudah untuk melakukan aktifitas sehari-hari. Tidak sebatas nikmat, keberadaan sarana transportasi juga merupakan bentuk pemuliaan dan kebaikan Allah kepada manusia. Allah berfirman (yang artinya): “Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam (manusia), Kami mengangkut mereka (dengan sarana transportasi) di daratan dan di lautan, Kami memberi mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami melebihkan mereka dengan kelebihan (keutamaan) atas kebanyakan makhluk lainnya yang telah Kami ciptakan.” (al-Isra’: 70) (Lihat Tafsir as-Sa’di)
Di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sarana transportasi/kendaraan juga menjadi suatu hal yang penting, seperti untuk membawa barang dagangan atau untuk berperang, meskipun pada masa itu mungkin masih bersifat sederhana seperti onta, kuda, gajah dan yang semisal. Adapun di zaman kita sekarang, alhamdulillah, berbagai jenis kendaraan modern dan canggih tersedia dengan berbagai fasilitas dan pelayanan kenyamanan. Perjalanan pun menjadi lebih mudah dan cepat. Bayangkan jika kendaraan di zaman kita sekarang sama dengan kendaraandi zaman dahulu, betapa susah dan beratnya aktifitas kita. Untuk pergi haji misalnya, tentu akan membutuhkan waktu yang sangat lama dan menguras banyak tenaga dan biaya.
Agama Islam yang mulia ini telah membimbing umatnya untuk melakukan segala hal yang berdampak positif bagi diri mereka, baik terkait untuk kehidupan mereka di dunia demikian pula untuk kehidupan berikutnya di akhirat. Perihal kendaraan, Islam telah mengajarkan tata cara dan etika yang baik dalam penggunaannya agar si pengendara bisa mengambil banyak manfaat darinya. Di antara etika tersebut adalah:
1. Bersyukurlah!
Telah kita ketahui bersama bahwa kendaraan merupakan salah satu nikmat yang Allah Subhanahu wata'ala berikan kepada kita. Beragam kemudahan kita dapatkan dengan perantara nikmat yang satu ini. Jika demikian maka sebagaimana nikmat yang lain, nikmat adanya kendaraan menuntut dari kita untuk bersyukur kepada Yang Memberikannya. Di antara bentuk syukur adalah memanfaatkan dan menggunakan nikmat tersebut untuk kebaikan dan ketakwaan. Dari sini kita paham bahwa kendaraan yang kita miliki harus bisa menjadi perantara untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah Subhanahu wata'ala, bukan malah menjadi penyebab datangnya bala dan musibah. Maka kendarailah untuk menuju tempat-tempat atau kegiatan-kegiatan yang mendatangkan ridha Allah Subhanahu wata'ala, dan janganlah menggunakannya menuju tempat-tempat atau aktifitas-aktifitas yang mendatangkan kemurkaanNya. Bukankah umat-umat terdahulu dibinasakan dan dicabut nikmat dari mereka karena jauhnya mereka dari sikap syukur?
Allah telah mengingatkan kita: “Jika kalian bersyukur maka Aku akan tambah (nikmat) yang lain kepada kalian. Namun jika kalian kufur maka sungguh adzabKu amatlah pedih.” (Ibrahim: 7)
2. Merendahlah dan jauhi sikap-sikap tercela!
Etika berikutnya adalah bersikap tawadhu’ (rendah hati) saat berkendara. Suatu hal yang sangat disayangkan jika kendaraan yang dimiliki menjadi sebab riya, angkuh, ujub dan peremehan terhadap orang lain. Karena jika kita mau sadar, sesungguhnya kendaraan yang ada hanya sekedar titipan ilahi dan bukan milik kita pribadi sehingga memang tidak pantas dan tidak pula layak dijadikan alasan untuk kita berbangga diri karenanya. Terlebih kelak akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Rabbul Alamin. Maka perlu bagi kita untuk bersikap hati-hati saat berkendara. Jangan merasa “lebih” apalagi berbuat zalim kepada orang lain. Suara knalpot yang tidak enak didengar, gambar-gambar/stiker yang tidak pantas, modifikasi yang berlebihan sehingga “merusak penglihatan dan pemandangan” hingga parkir sembarangan merupakan contoh-contoh dan bentuk-bentuk perbuatan zalim, bukankah begitu?
3. Bertawakal saat berkendara.
Allah telah menetapkan dan menjadikan adanya keterkaitan antara sebab dan musabab. Dalam meraih kebaikan dan keselamatan atau terjauhkan dari bencana dan musibah, Rabbuna telah menuntunkan sebab-sebab yang dapat menghantarkan kepada tujuan tersebut. Sehingga seseorang tidak hanya sekedar berserah diri kepada Allah Subhanahu wata'ala namun di sisi lain dia pun dituntut untuk melakukan upaya agar meraih apa yang dia sandarkan tersebut. Inilah bentuk tawakal yang benar. Demikian pula terkait dengan pembahasan kita kali ini, dituntut bagi kita untuk bertawakal kepada Allah Subhanahu wata'ala. Selain dengan bersandar penuh kepadaNya, mesti ditambah pula dengan melakukan sebab-sebab tercapainya keselamatan dan sebab-sebab terhindar dari musibah dan kecelakaansaat berkendara. Di antara bentuk tawakal tersebut adalah berdoa. Rasulullah telah mengajarkan kepada kita beberapa doa terkait dengan kegiatan berkendara, di antaranya:
- Doa ketika keluar rumah:
بِسْمِ اللهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ لَا حَوْلَوَ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
”Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakkal kepada Allah, dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah.” (HR. Abu Dawud no. 5097 dan at-Tirmidzi no. 3426)
- Di saat akan berkendara:
بِسْمِ اللهِ، الْحَمْدُ لِلهِ سُبْحَانَ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ. وَإِنَّاإِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْن الْحَمْدُ لِلهِ، الْحَمْدُ لِلهِ، الْحَمْدُ لِلهِ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ إِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْ لِيْ، فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ
“Dengan nama Allah, segala puji bagi Allah, Mahasuci Dzat Yang menundukkan kendaraan ini untuk kami, padahal kami sebelumnya tidak mampu menguasainya dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Rabb kami (di hari Kiamat). Segala puji bagi Allah (3x), Allah Maha Besar (3x), Mahasuci Engkau, ya Allah! Sesungguhnya aku menganiaya diriku, maka ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.” (HR. Abu Dawud no. 2602 dan at-Tirmidzi no.3446)
- Apabila melalui jalan menanjak bertakbir (satu atau dua atau tiga kali) dan apabila melewati jalan menurun bertasbih (satu atau dua atau tiga kali) dengan suara rendah.
Sahabat Jabir berkata, “Kami dahulu apabila melalui jalan yang menanjak bertakbir dan apabila melewati jalan yang menurun kami bertasbih.” (HR. al-Bukhari no. 2831)
Termasuk bentuk upaya untuk meraih keselamatan saat berkendara adalah menaati peraturan lalu lintas dan tata tertib berkendara yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Peraturan/tata tertib tersebut merupakan satu dari sekian perintah dan ketetapan pemerintah kita. Kelayakan kendaraan, kelengkapan surat menyurat, kelayakan si pengendara, kecepatan saat berjalan, beban maksimal dan rambu-rambu di jalan merupakan beberapa hal yang wajib bagi kita untuk memperhatikan dan menaatinya. Dengan sebab seseorang patuh dengan peraturan lalu lintas dan tata tertib tersebut maka biidznillah keselamatan akan terwujud serta kecelakaan lalu lintas akan semakin berkurang atau mungkin bisa saja tidak terjadi. Yang penting untuk kita ketahui bersama bahwa kedislipinan kita dalam mematuhi tata tertib dan rambu-rambu lalu lintas merupakan salah satu bentuk ketaatan kita kepada Allah dan salah satu bentuk ibadah kepadaNya. Bagaimana tidak, sementara Allah telah memerintahkan kita untuk taat kepada mereka para pemimipin kita dalam setiap perintah mereka yang ma’ruf (kebaikan)?
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemerintah) di antara kalian.” (an-Nisaa: 59) (Lihat Tafsir at-Thabari dan al-Baghawi)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu wata'ala memerintahkan kaum mukminin untuk taat kepada Allah Subhanahu wata'ala dan taat kepada RasulNya yaitu dengan mengerjakan perintah keduanya baik yang wajib maupun yang sunnah dan menjauhi larangan keduanya. Allah Subhanahu wata'ala juga memerintahkan kepada kaum mukminin untuk taat kepada Ulil Amri (pemerintah/penguasa) karena sesungguhnya tidak akan berjalan dengan baik perkara agama dan dunia seseorang kecuali dengan taat dan tunduk kepada pemerintah dalam rangka taat kepada Allah Subhanahu wata'ala dan mengharap pahala yang ada di sisiNya. Tentunya selama mereka tidak memerintahkan kepada suatu kemaksiatan kepada Allah. (Lihat Tafsir as-Sa’di)
Rasulullah pernah bersabda:
مَنْ أَطَاعَنِي فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ عَصَى اللهَ، وَمَنْ يُطِعِ الأَمِيرَ فَقَدْ أَطَاعَنِي، وَمَنْ يَعْصِ الأَمِيرَ فَقَدْ عَصَانِي
“Barangsiapa yang menaatiku maka sungguh dia telah menaati Allah dan barangsiapa yang bermaksiat kepadaku maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Allah. Barangsiapa yang menaati pemimpinnya maka sungguh dia telah menaatiku dan barangsiapa yang bermaksiat (tidak taat) kepada pemimpinnya maka sungguh dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Hurairah)
Dalam riwayat yang lain beliau menyatakan;
عَلَيْكَ السَّمْعَ وَالطَّاعَةَ فِي عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْك
“Wajib atas kalian mendengar dan taat (kepada pemerintah) baik dalam keadaan sulitmu dan mudahmu, dalamkeadaan semangatmu dan terpaksamu, dan mereka merampas hak-hakmu.” (HR. Muslim dari shahabat Abu Hurairah)
As-Syaikh Ibnu Utsaimin menyatakan bahwa perintah dari penguasa ada tiga bentuk:
1. Sesuatu yang mereka perintahkan merupakan sesuatu yang Allah dan RasulNya perintahkan pula, maka wajib bagi kita menaatinya. Seperti jika mereka memerintahkan kita untuk melaksanakan shalat berjamaah atau memerintahkan kita untuk melaksanakan shalat Istisqa’ (minta hujan) maka wajib bagi kita untuk menaati dan melaksanakannya.
2. Sesuatu yang mereka perintahkan merupakan suatu kemaksiatan kepada Allah dan RasulNya maka tidak boleh kita menaatinya karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada al-Khaliq.
3. Sesuatu yang mereka perintahkan merupakan sesuatu yang tidak ada perintah dan juga tidak ada larangan dari Allah dan RasulNya maka wajib bagi kita untuk mendengar dan taat. Barangsiapa yang tidak mau mendengar dan taat maka dia mendapatkan dosa. Salah satu contoh dalam permasalahan ini adalah peraturan pemerintah kepada para pengendara untuk mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Maka wajib bagi kita untuk mematuhi rambu-rambu tersebut dengan benar. (Lihat Syarah Riyadhush Shalihin dan Fatawa Nur ‘ala ad-Darb Ibnu Utsaimin)
As-Syaikh bin Baz ketika ditanya pendapatnya tentang seseorang yang punya pemikiran bolehnya untuk tidak menaati peraturan-peraturan umum yang dibuat pemerintah seperti rambu lintas, paspor dan yang lainnya dengan alasan bahwa semuanya itu tidak ada dalilnya dalam syariat. Maka beliau menjawab, “Ini adalah suatu kebatilan dan kemungkaran, bahkan wajib hukumnya mendengar dan taat dalam permasalahan-permasalahan tersebut yang tidak ada kemungkaran padanya. Pemerintah telah mengaturnya demi kemaslahatan kaum muslimin, maka wajib tunduk terhadapnya, mendengar dan taat dalam permasalahan tersebut, sebab ini termasuk permasalahan yang ma’ruf dan bermanfa’at bagi kaum muslimin.” (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 8/208)
Allahu a’lam bish shawab, semoga bermanfaat.
Penulis: Ustadz Abdullah Imam
Sumber: Buletin Islam Al-Ilmu