Cari Blog Ini

Kamis, 05 November 2015

Tentang OSAMA BIN LADEN

Fatwa Asy Syaikh Ahmad Najmy rahimahullah

Pertanyaan:
يدعي بعض الناس أن ابن لادن هو المهدي المنتظر ويلقبونه بأمير المؤمنين فما توجيهكم لذلك؟
Sebagian manusia menganggap bahwa Ibnu Ladin adalah Al-Mahdy yang ditunggu-tunggu dan mereka menggelarinya sebagai amirul mu’minin, bagaimana bimbingan Anda?

Jawab: 
هذوله  هم الشياطين، هذوله هم الشياطين، ابن لادن شيطان خبيث، ابن لادن شيطان خبيث، خارجي، لا يجوز لأحد أن يثني عليه، ومن أثنى عليه فهذا دليل على أنه خارجي مثله، من أثنى عليه فهذا دليل على أنه خارجي مثله، ويجب أن يعاقب ويؤخذ، نعم
Mereka adalah syetan (dari jenis manusia –pent), mereka adalah syetan, Ibnu Laden adalah syetan yang buruk, Ibnu Laden adalah syetan yang buruk, seorang Khawarij, tidak boleh seorangpun memujinya dan barangsiapa memujinya maka ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang Khawarij seperti dia, barangsiapa memujinya maka ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang Khawarij seperti dia, dia wajib untuk dihukum dan ditangkap, na’am.

http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=93851

Link suara beliau: http://goo.gl/nVytu

Tentang HUKUM MANDI SEBELUM MENDATANGI SALAT JUMAT

Hukum mandi Jum’at adalah WAJIB

Di antara dalilnya adalah sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam,
غُسْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُحْتَلِمٍ
“Mandi pada hari Jum’at adalah wajib atas setiap yang sudah baligh.” (HR. al-Bukhari no. 879)

Dalam hadits ini, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan wajib dan tentu tidak ada yang lebih fasih daripada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam menyampaikan kata-kata.

Adapun hadits yang menyatakan,
“Barangsiapa berwudhu pada hari Jum’at, dia telah bagus dan barangsiapa yang mandi, mandi itu lebihbaik.” (HR. an-Nasai dalam Sunan-nya dari Amrah)
Andaikata riwayat ini sahih, tetap tidak mengandung nash dan dalil bahwa mandi Jum’at itu tidak wajib. Di dalamnya hanya dijelaskan tentang wudhu adalah sebaik-baik amalan dan bahwa mandi itu lebih baik, hal ini tidak diragukan.

Sungguh Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَلَوْءَامَنَ اَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًالَّهُمْ
“Sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka.” (Ali Imran: 110)
Apakah ayat ini menunjukkan bahwa iman dan takwa tidak wajib? Sama sekali tidak. (al-Muhalla 2/14, Ibnu Hazm)

SEBAB WAJIBNYA MANDI

 Masalah lain, wajibnya mandi bukan karena hari Jum’at, melainkan karena akan menghadiri Jum’atan (shalat jumaat, ed.).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya),
“Apabila salah seorang dari kalian mendatangi Jum’atan hendaknya dia mandi.” (Shahihal-Bukhari no. 877 dari hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang ingin menghadiri Jum’atan harus mandi meskipun yang akan hadir itu orang yang tidak wajib Jum’atan, seperti budak, anak kecil, dan wanita. Dipahami pula dari hadits ini, mandi tidak disyariatkan bagi yang tidak menghadiri Jum’atan. (lihat kitab Ahaditsul Jumu’ah hlm. 204 karya Abdul Quddus Muhammad Nadzir)

WAKTU MANDI

Adapun waktu mandi yang dianggap sudah mencukupi/sah untuk pelaksanaan shalat Jum’at adalah dari terbitnya fajar shadiq (subuh) hingga pelaksanaan shalat Jum’at. (Ahaditsul Jumu’ah hlm. 202 dan al-Majmu’ karya an-Nawawi rahimahullah 4/408)

TATACARA MANDI

Mandi Jum’at yang bagus praktiknya adalah seperti mandi junub, sebagaimana disebutkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahih-nya, bab “Fadhlul Jumu’ah” hadits no. 881, yang insya Allah akan dijelaskan.

APABILA TIDAK MENDAPATKAN AIR UNTUK MANDI

 Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, seseorang yang tidak menemukan air untuk mandi Jum’atan atau termudaratkan jika dia menggunakan air, lalu dia tidak mandi Jum’atan, mandinya tidak bisa diganti dengan tayammum. Sebab, tayammum itu disyariatkan (hanya) untuk menghilangkan hadats. (Asy-Syarhul Mumti’ 5/110—111)

Sumber:
http://asysyariah.com/kajian-utama-adab-mendatangi-shalat-jumat/

BERBAGI ILMU SYAR'I

Tentang MEMANFAATKAN WAKTU PAGI SEBAIK-BAIKNYA

Dari Shakhr Bin Wada'ah Al-Ghamidi Radhiallahu Anhu, dari Nabi صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلٰى آلِهِ وَسَلَّمَ  bersabda:
اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا
"Ya Allah, berilah berkah kepada umatku dipagi harinya."
Beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلٰى آلِهِ وَسَلَّمَ  apabila mengutus pasukan, beliau mengutusnya di pagi hari. (Perawi berkata): Dan Shakhr adalah seorang pedagang, dia mengirim barang dagangannya di pagi hari, sehingga ia menjadi kaya dan melimpah hartanya.
(HR. Abu Dawud, dishahihkan Al-Albani. Hadits ini juga diriwayatkan beberapa sahabat, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, dan yang lainnya Radhiallahu Anhum)

Berkata Ibnul Mulaqqin Rahimahullah:
لا يدل أن غير البكور لا بركة فيه؛ لأن كل ما فعله الشارع ففيه البركة ولأمته فيه أكرم الأسوة، إنما خص البكور بالدعاء من بين سائر الأوقات؛ لأنه وقت يقصده الناس بابتداء أعمالهم، وهو وقت نشاط وقيام من دعةٍ فخصه بالدعاء لينال بركة دعوته جميع أمته
"(Hadits ini) tidak menunjukkan bahwa selain pagi hari tidak memiliki keberkahan padanya, sebab segala hal yang diperintahkan syari'at ,didalamnya terdapat keberkahan, dan pada diri Rasul صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلٰى آلِهِ وَسَلَّمَ merupakan tauladan yang paling mulia bagi umatnya. Namun dikhususkannya pagi hari dengan doa tersebut dibanding waktu-waktu lainnya, sebab waktu tersebut merupakan waktu manusia memulai aktifitas mereka, dan itu merupakan waktu bergiat dan bangkit dari masa istirahat, maka dikhususkan dengan doa agar ia meraih berkah dari doa Beliau صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلٰى آلِهِ وَسَلَّمَ kepada seluruh umatnya."
(At-Taudhih syarah Al-jami' ash-shahih: 18/ 53)

telegram.me/Askarybinjamal

Tentang BERBUAT DOSA DAN MAKSIAT SECARA TERANG-TERANGAN

Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
كُلُّ أُمَّتِي مُعَافًى إِلَّا الْمُجَاهِرِينَ وَإِنَّ مِنْ الْمُجَاهَرَةِ أَنْ يَعْمَلَ الرَّجُلُ بِاللَّيْلِ عَمَلاً ثُمَّ يُصْبِحَ وَقَدْ سَتَرَهُ اللهُ عَلَيْهِ فَيَقُولَ يَا فُلَانُ عَمِلْتُ الْبَارِحَةَ كَذَا وَكَذَا وَقَدْ بَاتَ يَسْتُرُهُ رَبُّهُ وَيُصْبِحُ يَكْشِفُ سِتْرَ اللهِ عَنْهُ
Setiap umatku akan dimaafkan kecuali mujahirin (pelaku maksiat dengan terang-terangan). Dan termasuk mujaharah (berbuat maksiat dengan terang-terangan), seseorang melakukan satu perbuatan pada malam hari, kemudian dia memasuki waktu pagi dan Allah menutupi perbuatannya itu, lalu ia mengatakan, “Wahai fulan, semalam aku melakukan ini dan itu.” Dia tidur semalam dan Allah menutupi perbuatannya, lalu ketika memasuki waktu pagi ia membuka tabir Allah.” (Bukhari dan Muslim)

Disebutkan dalam Fathul Bari, “Al Mujahir” adalah istilah bagi orang yang terang-terangan berbuat dosa, menampakkan kemaksiatannya dan membuka aib (dosa) sendiri yang telah ditutup oleh Allah dengan cara menceritakannya kepada orang lain. Orang yang berterang-terangan dengan kemaksiatannya itu termasuk orang gila, dan kegilaan itu tercela menurut syara’ dan adat kebiasaan. Maka orang yang membeberkan kemaksiatannya berarti melakukan dua pelanggaran sekaligus, yaitu menampakkan kemaksiatan dan bercampurnya dengan kegilaan.
Ibnu Baththal rahimahullah berkata: “Membeberkan atau melakukan maksiat terang-terangan itu berarti meremehkan hak Allah, RasulNya, dan umat yang shalih, melakukan maksiat terang-terangan termasuk sikap keras kepala mereka. Di dalam merahasiakannya itu berarti ia terselamatkan dari sikap meremehkan agama, karena kemaksiatan itu menjadikan pelakunya hina.”
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan bahwa orang yang melakukan kefasikan atau bid’ah secara terang-terangan itu, maka boleh disebut-sebut atau dibeberkan apa yang ia lakukan dengan terang-terangan itu, bukan apa yang dilakukannya secara tidak terang-terangan. (Fathul Bari, juz 13 hal 98-99)

Ibnul Qoyyim berkata bahwa orang-orang yang berbuat dosa secara terus-terang itu telah keluar dari pemaafan Allah, dan mereka yang menceritakan kemaksiatan-kemaksiatan yang mereka lakukan, hal ini dapat menggerakkan hati si pendengar untuk berbuat yang serupa. Hal ini akan menyebarkan kerusakan yang tidak ada yang mengetahui sampai dimana kecuali oleh Allah. (Ilamul Muwaqi’in juz 3, halaman 153)

Maksud dari “mujahirin” adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Nawawi di dalam Syarh Muslim. Tipe manusia semacam inilah yang boleh untuk digunjing, tidak dianggap ghibah seseorang yang menceritakan aib mujahirin. Imam Ath-Thibi mengartikan hadits tersebut dengan, “Setiap umatku tidak boleh digunjingkan aibnya, kecuali yang terang-terangan melakukan dosa.”